Minggu, 26 November 2017

Hal-hal Yang di Makruhkan Dalam Sholat



OLeh   : Ustadz Farid Nu'man

Hal-Hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat

Oleh: Farid Nu’man

1. Mempermainkan Baju dan Anggota Badan,  Kecuali Jika Ada Keperluan.

عن معيقب قال: سألت النبي صلى الله عليه وسلم عن مسح الحصى في الصلاة فقال: (لا تمسح الحصى وأنت تصلي فإن كنت لابد فاعلا فواحدة: تسوية الحصى) رواه الجماعة.

Dari Mu’aiqib, dia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang meratakan kerikil ketika shalat. Maka Beliau menjawab: “Janganlah meratakan kerikil ketika shalat, tapi jika terpaksa meratakannya, cukuplah dengan meratakannya sekali hapus saja. (HR. Muslim No. 546, dan lainnya)
Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahihnya, dengan judul Karahah Masaha Al Hasha wa Taswiyah At Turab fi Ash Shalah (Makruhnya Mengusap Kerikil dan Meratakan Tanah ketka Shalat).

وعن أبي ذر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا قام أحدكم إلى الصلاة فإن الرحمة تواجهه فلا يمسح الحصى) أخرجه أحمد وأصحاب السنن.

Dari Abu Dzar, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian mendirikan shalat, maka saat itu dia sedang berhadapan dengan rahmat (kasih sayang), maka janganlah dia meratakan kerikil. (HR. Ahmad dan Ashhabus Sunan)

Dari Ummu Salamah, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada seseorang bernama Yasar yang ketika shalat meniup-niup tanah.

ترب وجهك لله

“Perdebukanlah wajahmu untuk menyembah Allah.” (HR. Ahmad dengan sanad jayyid)

2. Bertolak Pinggang.

عن أبي هريرة قال: نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الاختصار في الصلاة.
رواه أبو داود وقال: يعني يضع يده على خاصرته.

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang bertolak pinggang ketika shalat. (HR. Muslim No. 545, Abu Daud No. 947, dia berkata: yaitu meletakkan tangan di atas pinggangnya. Ad Darimi No. 1428, Ibnu Hibban No. 2285. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 947, dan hadits ini menurut lafaz Abu Daud )

Imam At Tirmidzi mengatakan:

وقد كره قوم من أهل العلم الاختصار في الصلاة. والاختصار هو أن يضع الرجل يده على خاصرته في الصلاة. وكره بعضهم أن يمشي الرجل مختصرا ويروى أن إبليس إذا مشى يمشي مختصرا.

“Sekelompok ulama telah memakruhkan bertolak pinggang ketika shalat. Bertolak pinggang adalah seseorang yang meletakkan pinggangnya ketika shalat. Sebagian mereka memakruhkan seseorang yang berjalan sambil bertolak pinggang. Diriwayatkan bahwa Iblis jika berjalan dia sambil bertolak pinggang. (Sunan At Tirmidzi No. 381)

Sementara Imam An Nawawi Rahimahullah menuliskan:

قِيلَ : نَهَى عَنْهُ لِأَنَّهُ فِعْل الْيَهُود . وَقِيلَ : فِعْل الشَّيْطَان . وَقِيلَ : لِأَنَّ إِبْلِيس هَبَطَ مِنْ الْجَنَّة كَذَلِكَ ، وَقِيلَ : لِأَنَّهُ فِعْلُ الْمُتَكَبِّرِينَ .

“Disebutkan: hal itu dilarang karena merupakan perbuatan Yahudi. Disebutkan: perbuatan syetan. Disebutkan pula: karena iblis diusir dari surga dengan seperti itu. Dikatakan pula: itu adalah perilaku orang sombong. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/310. Mawqi’ Ruh Al Islam)

3. Menengadahkan Wajah Ke Langit-Langit.

عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم: (لينتهين أقوام يرفعون أبصارهم إلى السماء في الصلاة أون لتخطفن أبصارهم) 

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Hendaknya orang-orang itu menghentikan perbuatannya menengadahkan pandangan ke langit ketika shalat, atau jika tidak, niscaya tercungkillah mata mereka! (HR. Muslim No. 428, Abu Daud No. 912, Al Baihaqi, As Sunannya No. 3351, Abu Yaala No. 7473,  Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 58/3, hadits ini diriwayatkan melalui berbagai sahabat dengan redaksi yang sedikit berbeda, yakni dari Abu Hurairah, Anas, dan Jabir bin Samurah)
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

فِيهِ النَّهْي الْأَكِيد وَالْوَعِيد الشَّدِيد فِي ذَلِكَ وَقَدْ نَقَلَ الْإِجْمَاع فِي النَّهْي عَنْ ذَلِكَ . قَالَ الْقَاضِي عِيَاض : وَاخْتَلَفُوا فِي كَرَاهَة رَفْع الْبَصَر إِلَى السَّمَاء فِي الدُّعَاء فِي غَيْر الصَّلَاة فَكَرِهَهُ شُرَيْح وَآخَرُونَ ، وَجَوَّزَهُ الْأَكْثَرُونَ ، وَقَالُوا : لِأَنَّ السَّمَاء قِبْلَة الدُّعَاء كَمَا أَنَّ الْكَعْبَة قِبْلَة الصَّلَاة ، وَلَا يُنْكِر رَفْع الْأَبْصَار إِلَيْهَا كَمَا لَا يُكْرَه رَفْع الْيَد . قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَفِي السَّمَاء رِزْقكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ } .

“Dalam hadits ini terdapat larangan yang kuat dan ancaman yang keras atas perbuatan itu. Dan telah dinukil adanya ijma’ (konsensus) atas larangan hal tersebut. Berkata Al Qadhi ‘Iyadh: para ulama berbeda pendapat dalam kemakruhan menengadah pandangan ke langit ketika berdoa di luar waktu shalat. Syuraih dan lainnya memakruhkan hal itu, namun mayoritas ulama membolehkannya. Mereka mengatakan: karena langit adalah kiblatnya doa sebagaimana kabah adalah kiblatnya shalat, dan tidaklah diingkari menengadahkan pandangan kepadanya sebagaimana tidak dimakruhkan pula mengangkat tangan (ketika berdoa). Allah Taala berfirman: Dan di langit adanya  rezeki kalian dan apa-apa yang dijanjikan (kepada kalian). (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/171. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sementara Imam Ibnu Bathal Rahimahullah menerangkan:

العلماء مجمعون على القول بهذا الحديث وعلى كراهية النظر إلى السماء فى الصلاة ، وقال ابن سيرين : كان رسول الله مما ينظر إلى السماء فى الصلاة ، فيرفع بصره حتى نزلت آية إن لم تكن هذه فما أدرى ما هى : ( الذين هم فى صلاتهم خاشعون ) [ المؤمنون : 2 ] ، قال : فوضع النبى رأسه .

“Ulama telah ijma’ bahwa hadits ini merupakan dasar bagi pendapat makruhnya memandang langit ketika shalat. Ibnu Sirin mengatakan: Bahwa Rasulullah pernah memandang ke langit ketika shalat, Beliau menaikan penglihatannya sehingga turunlah ayat yang jika hal ini tidak terjadi saya tidak tahu apa maksud ayat: Orang-orang yang khusyu dalam shalatnya. (QS. Al Muminun (23): 2), dia berkata: Maka Rasulullah menundukkan kepalanya. (Imam Ibnu Bathal, Syarh Shahih Bukhari, 2/364. Cet. 3. 2003M-1423H. Maktabah Ar Rusyd, Rsiyadh)

4. Melihat Sesuatu Yang Dapat Melalaikan.

عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في حميصة لها أعلام  فقال: (شغلتني أعلام هذه، اذهبوا بها إلى أبي جهم   واتوني بأنبجانيته)   رواه البخاري ومسلم.

Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat memakai pakaian berbulu yang bergambar, lalu dia bersabda: “Gambar-gambar ini mengganggu pikiranku, kembalikan ia ke Abu Jahm, tukar saja dengan pakaian bulu kasar yang tak bergambar.”  (HR. Bukhari dan Muslim)

عن أنس قال: كان قرام لعائشة   سترت به جانب بيتها فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: (أميطي قرامك، فإنه لا تزال تصاويره تعرض لي في صلاتي

Dari Anas, dia berkata: ‘Aisyah punya tirai tipis yang dipasang di depan pintu rumahnya maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: Turunkanlah tiraimu itu, karena gambar-gambarnya menggangguku dalam shalatku.” (HR. Bukhari)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

وفي هذا الحديث دليل على أن استثبات الخط المكتوب في الصلاة لا يفسدها.

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa memakai pakaian bergambar tidaklah membatalkan shalat.” (Fiqhus Sunnah, 1/269. Darl Kitab Al ‘Arabi)

Ya, walau pun hal itu makruh lantaran berpotensi merusak kekhusyukan shalat.

5. Memejamkan Mata.

Sebenarnya Para Ulama berbeda pendapat, antara memakruhkan dan membolehkan. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

تغميض العينين: كرهه البعض وجوزه البعض بلا كراهة، والحديث المروي في الكراهة لم يصح

“Memejamkan mata: sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih.” (Fiqhs Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Para Ulama Yang Memakruhkan

Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan:

وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ

“Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad,  dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya. (As Sunan Al Kubra, 2/284)

Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri. (Al Majmu Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)

Selain mereka adalah Imam Ahmad, Imam Abu Jafar Ath Thahawi, Imam Abu Bakar Al Kisani, Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi,  dan lainnya.

Alasan pemakruhannya adalah karena memejamkan mata merupakan cara ibadahnya orang Yahudi, dan kita dilarang meniru mereka dalam urusan dunia, apalagi urusan ibadah.

Para Ulama Yang Membolehkan

Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin ‘Ubaid,katanya:

سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن شئت.
 
“Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab: “Jika engkau  mau.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162)

Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang pendapat Imam Malik:
 
وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافلة

“Berkata Malik: tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)

Semua sepakat bahwa memejamkan mata tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil  -dan  dalil  adalah hal yang sangat penting-  ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabiin bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan.

Maka, pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah  sebagai berikut:

وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالوا:هو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا: قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال: إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم.

“Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyuan, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai kekhusyuan maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qathi (meyakinkan) memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu Alam. (Zaadul Maad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)

6. Memberikan Isyarat Dengan Tangan Ketika Salam.

Hal ini banyak dilakukan orang awam. Mereka membuka tangan kanannya dan membalikkannya  ketika salam pertama dan begitu pula dengan tangan kiri ketika salam kedua.

Dari Jabir bin Samurah, katanya:

كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ما بال هؤلاء يسلمون بأيديهم كأنها أذناب خيل شمس  إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يقول: السلام عليكم السلام عليكم) رواه النسائي وغيره وهذا لفظه.

“Kami shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Kenapa mereka mengucapkan salam sambil mengisyaratkan tangan mereka, tak ubahnya seperti kuda liar! Cukuplah bagi kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu mengucapkan: Assalamu ‘Alaikum, Assalamu ‘Alaikum. “ (HR. An Nasa’i dan lainnya, dan ini adalah lafaz darinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1185)

7. Menutup Mulut dan Menjulurkan Kain Sarung/Gamis/Celana Panjang Hingga Ke Tanah.

عن أبي هريرة قال:  نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن السدل في الصلاة، وأن يغطي الرجل فاه

“Dari Abu Hurairah, katanya: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang menjulurkan kain ke bawah ketika shalat dan seseorang menutup mulutnya.” (HR.  Abu Daud No. 643, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  No. 3125, Ibnu Khuzaimah No. 772,  dan Hakim No. 631, katanya shahih sesuai syarat  Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6883)

Apa Maksudnya?

قال الخطابي: السدل إرسال الثوب حتى يصيب الارض، وقال الكمال بن الهمام: ويصدق أيضا على لبس القباء من غير إدخال اليدين في كمه.

Berkata Al Khathabi: Menurunkan kain maksudnya menjulurkannya hingga menggeser di tanah. Berkata Kamaluddin Al Hummam: Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan baju tanpa memasukkan tangan ke lobang tangannya. (Fiqhus Sunnah, 1/270)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:

وقد اختلف أهل العلم في السدل في الصلاة. فكره بعضهم السدل في الصلاة وقالوا هكذا تصنع اليهود وقال بعضهم: إنما كره السدل في الصلاة إذا لم يكن عليه إلا ثوب واحد، فأما إذا سدل على القميص فلا بأس وهو قول أحمد. وكره ابن المبارك السدل في الصلاة.

“Para ulama telah berbeda pendapat tentang menjulurkan kain dalam shalat. Sebagian mereka memakruhkannya, mereka mengatakan itu adalah perbuatan Yahudi. Sebagian lain mengatakan bahwasanya pemakruhan itu hanya jika menggunakan satu pakaian saja, ada pun jika  yang dijulurkan pakaian itu adalah sebagai bagian luar dari gamis, maka tidak apa-apa, ini adalah pendapat Ahmad. Ibnul Mubarak memakruhakan menjulurkan kain dalam shalat.”  (Sunan At Tirmidzi No. 376)

8. Shalat Ketika Makanan Telah Tersedia Dan Menahan Buang Air Besar dan  Buang Air Kecil.

Dari ‘Aisyah Radhiallah ‘Anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

“Tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim No. 559, Abu Daud No. 89, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 4816, Ibnu Khuzaimah No. 933,  Ibnu Hibban No. 2072, dari Abu Hurairah, tanpa kalimat: “tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan.”)

Hadits ini diperkuat oleh hadits berikut:       
 
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ وَتُقَامُ الصَّلَاةُ فَلَا يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ

Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu shalat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.”  Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan shalat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan  Imam.” (HR. Bukhari No. 640,641,642, Muslim No. 557, 558,559, 560.  Ibnu Majah No. 933, 934)

Imam An Nawawi  Rahimahullah berkata:

فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، وَكَرَاهَتهَا مَعَ مُدَافَعَة الْأَخْبَثِينَ وَهُمَا : الْبَوْل وَالْغَائِط ، وَيَلْحَق بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ يَشْغَل الْقَلْب وَيُذْهِب كَمَال الْخُشُوع

“Hadits-hadits ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan shalat ketika makanan yang diinginkan  telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyu’, dan juga dimakruhkan melaksanakan shalat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar.  Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyu’.” (Al Minhaj Syarh   Shahih  Muslim,  2/321. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Bahkan kalangan madzhab Zhahiriyah menganggap batal shalat dalam keadaan seperti itu:

وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاض عَنْ أَهْل الظَّاهِر أَنَّهَا بَاطِلَة 

“Dinukil  oleh Al Qadhi ‘Iyadh dari ahluzh zhahir, bahwa hal  itu batal shalatnya.” (‘Aunul Ma’bud, 1/113. Syamilah)

9. Shalat Dalam Keadaan Ngantuk.

عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا نعس أحدكم فليرقد حتى يذهب عنه النوم، فإنه إذا صلى وهو ناعس لعله يذهب يستغفر فيسب نفسه) رواه الجماعة.

Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian ngantuk, hendaknya dia tidur dulu hingga hilang rasa nganntuknya, sedangkan jika dia shalat dalam keadaan ngantuk itu, bisa jadi dia ingin istighfar ternyata dia mengucapkan caci maki untuk dirinya.” (HR. Al Jama’ah)

وعن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه   فلم يدر ما يقول فليضطجع) رواه أحمد ومسلم.

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika salah seorang kalian bangun malam dan masih ngantuk sehingga lidahnya berat membaca Al Quran dan ia tidak sadar apa yang dibacanya itu, maka sebaiknya dia tidur lagi!” (HR. Ahmad dan Muslim)

10. Makmum  Mengkhususkan Tempat Tersendiri Baginya.

Dari Abdurrahman bin Syibil, katanya:

 سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى عَنْ ثَلَاثٍ عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ وَعَنْ افْتِرَاشِ السَّبُعِ وَأَنْ يُوطِنَ الرَّجُلُ الْمَقَامَ كَمَا يُوطِنُ الْبَعِيرُ

“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang dari tiga hal, yakni melarang seseorang ruku atau sujud seperti burung gagak, duduk seperti duduknya binatang buas, dan seseorang yang menempati tempat tertentu untuk dirinya di masjid bagaikan unta yang menempatkan tempat tertentu untuk berbaring.” (HR. Abu Daud No. 862, An Nasa’i No. 1112, Ibnu Majah No. 1429, Ahmad No. 14984, 14985, juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, katanya: shahih, dan disepakati oleh Adz Dzahabi )

Adapun Syaikh Al Albani menghasankan dalam berbagai kitabnya, seperti Misykah Al Mashabih, Ats Tsamar Al Mustathab, As Silsilah Ash Shahihah, Shahih At Targhib wat Tarhib, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah, dan Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjadikan hadits ini sebagai dalil hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. (Fiqhus Sunnah, 1/271. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Asy Syaukani bahwa hadits ini merupakan dalil makruhnya makmum membiasakan shalat ditempat khusus. (Nailul Authar, 3/196. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Sedangkan Syaikh Al Albani menyatakan keharaman perilaku makmum yang mengkhususkan tempat tertentu untuk dirinya. (Ats Tsamar Al Mustathab, Hal. 669. Cet. 1. Ghiras Lin Nasyr wat Tauzi’)

Demikianlah hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat. Sementara, Syaikh Sayyid Sabiq menambahkan bahwa sengaja meninggalkan sunah-sunahnya shalat juga termasuk perbuatan yang makruh.

Wallahu A’lam.

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
         💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Dila
Assalaamu'alaikum ustadz,

Kalau lagi sholat misalnya di  gangguin temen, mau pindah tidak ada lagi tempat, biar tidak ikutan ketawa saya tutup mata. Itu hukumnya bagaimana ya?

🌷Jawab: Wa'alaikumussalam warahmatullah ..

Ya memang sebaiknya menghindar dari yang seperti itu. Ada pun memejamkan mata, jika ada hajat untuk menjaga kekhusyuan maka boleh, bukan makruh, sebagaimana dikatakan Imam Ibnul Qayyim.

Wallahu A'lam

0⃣2⃣ Tentrem
Seblmnya saya pernah mendengar, jika kita sholat tidak boleh melakukan gerakan diluar perakan shollat lebih dari 3x.

Misalnya garuk" dll....

Mohon pencerahannya Ustadz Farid..

🌷Jawab:
Gerakan 3x berturut"  dianggap membatalkan shalat, itu ada pada sebagian ulama madzhab Syafi'iy. Ada pun Syafi'iyah lainnya tidak menganggap semikian. Sedangkan mayoritas ulama tidak menganggapnya sebagai pembatal shalat. TAPI, jika gerakannya  banyak shgga dia tidak lagi nampak seperti orang shalat maka itu batal.

Dalam hadits shahih:

اقتلوا الاسودين فى الصلاة: الحية و العقرب

Bunuhlah dua hewan hitam dalam shalat: ular dan kalajengking

Berdasarkan hadits tersebut, Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan aktifitas membunuh hewan yang  membahayakan saat kita shalat adalah boleh, walau dengan pukulan berkali" untuk mematikannya.

Wallahu A'lam

0⃣3⃣ Sulis
Dalam shalat berjamaah bisa dikatakan dapat 1 rakaat apabila masih mengikuti bacaan Al-fatihah apa ketika bisa mengikuti ruku' ustadz?
Jazakumullah...

🌷Jawab:
Mayoritas ulama mengatakan kalo sempat ikut ruku' bersama imam, maka dia dapat 1 rakaat walau tidak sempat baca Al Fatihah, berdasarkan hadits Abu Bakrah, saat dia masbuq dan imam sedang ruku', maka dia ikut ruku' sejak di pintu masjid ..

Wallahu A'lam

0⃣4⃣ Atin
Saat sholat, lupa kurang 1 rakaat. Tapi ingat kekurangannya setelah selesai dzikir. Apa yg harus dilakukan? Mengulang sholat apa menambah 1 rakaat kemudian sujud sahwi Ustadz?

🌷Jawab:
Bukan mengulang, tapi menambah kekurangan rakaatnya tersebut. Lalu, setelah membaca innaka hamidum majid dalam tasyahud, lakukan sujud sahwi sebanyak 2 X, lalu salam.

Dalilnya :

Dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِحْدَى صَلَاتَيْ الْعَشِيِّ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ سَمَّاهَا أَبُو هُرَيْرَةَ وَلَكِنْ نَسِيتُ أَنَا قَالَ فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَقَامَ إِلَى خَشَبَةٍ مَعْرُوضَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَأَ عَلَيْهَا كَأَنَّه غَضْبَانُ وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ وَوَضَعَ خَدَّهُ الْأَيْمَنَ عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ الْيُسْرَى وَخَرَجَتْ السَّرَعَانُ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالُوا قَصُرَتْ الصَّلَاةُ وَفِي الْقَوْمِ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ فَهَابَا أَنْ يُكَلِّمَاهُ وَفِي الْقَوْمِ رَجُلٌ فِي يَدَيْهِ طُولٌ يُقَالُ لَهُ ذُو الْيَدَيْنِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَسِيتَ أَمْ قَصُرَتْ الصَّلَاةُ قَالَ لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرْ فَقَالَ أَكَمَا يَقُولُ ذُو الْيَدَيْنِ فَقَالُوا نَعَمْ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى مَا تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وَكَبَّرَ ثُمَّ كَبَّرَ وَسَجَدَ مِثْلَ سُجُودِهِ أَوْ أَطْوَلَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ وكبر. فربما سألوه: ثم سلم؟ فيقول: نبئت أن عمران بن حصين قال: ثم سلم.
         
  “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat bersama kami pada suatu shalat siang.” Demikianlah Abu Hurairah menamakannya tetapi saya telah lupa. Dan Abu Hurairah berkata: Lalu Beliau shalat bersama kami dua rakaat lalu salam. Kemudian Beliau bangun menuju sebuah kayu yang terbentang di masjid dan bersandar padanya seakan dia sedang marah. Lalu Beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dan merekatkan jari-jarinya, dan meletakan pipi kanannya pada punggung telapak tangan kirinya. Manusia bergegas keluar melalui pintu masjid dan mengatakan: Shalat diqashar! Pada mereka terdapat Abu Bakar dan Umar. Keduanya segan untuk menanyakan hal itu. Pada mereka ada seseorang bertangan panjang yang dinamakan   Dzulyadain, dia bertanya: Wahai Rasulullah, apakah kau lupa atau kau mengqashar shalat? Beliau menjawab: Aku tidak lupa dan tidak juga qashar.
Maka nabi bertanya: Apakah benar apa yang dikatakan Dzulyadain?
Mereka menjawab Benar. Maka beliau maju dan shalat melanjutkan yang tertinggal, lalu dia takbir dan sujud sebagaimana sujudnya atau lebih panjang, kemudian mengangkat kepalanya dan takbir, kemudian takbir dan sujud sebagaimana sujudnya  atau lebih panjang, kemudian dia mengangkat kepalanya lagi dan bertakbir. Barangkali mereka bertanya: Kemudian salam?
Dikabarkan kepadaku bahwa Imran bin Hushain berkata: Kemudian salam.  (HR. Bukhari   No. 482 dan Muslim No. 573)

Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam Bab As Sahwi fis Shalah was Sujud Lahu (Bab Lupa Dalam Shalat dan Sujud Karenanya).

Riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sujud sahwi setelah salam, Beliau melakukannya tanpa tasyahud, tetapi ditutup dengan salam lagi sebagaimana ditegaskan oleh Imran bin Hushain. Inilah petunjuk yang sangat jelas tentang cara sujud sahwi.

Wallahu A'lam

0⃣5⃣ Rafika
Jika waktu sholat kita digangguin anak maka kita berdiam dulu atau tetap melanjutkan sholat?
Misalkan si anak duduk didepan kita.
Bolehkah kita memindahkannya?

🌷Jawab:
Boleh pindahkan saja, dahulu nabi menggendong cucunya bernama  Umamah, lalu di letakkan saat hendak ruku dan sujud, lalu digendong lagi ketika berdiri .. Ini dilakukan agar cucunya tidak lari"an mengganggu jamaah lain.

Wallahu A'lam

0⃣6⃣ Nida
Ustadz mau tanya, dari materi diatas rasulullah melarang dari tiga hal yakni melarang seseorang ruku atau sujud seperti burung gagak, duduk duduknya seperti binatang buas dan seseorang yang menempati tempat tertentu untuk dirinya dimasjid bagaikan unta yang menempatkan tempat untuk berbaring.
Mohon penjelasannya ustadz?

🌷Jawab:
1. Seperti burung gagak, maksudnya sangat cepat tidak tumaninah.

2. Seperti hewan buas, sujudnya seperti hewan buas menerkam.

3. Mengkhususkan tempat dalam shalat berjamaah, dia buat kapling khusus bagi dirinya, tidak pernah mau pindah.

Wallahu A'lam

0⃣7⃣ Helmy
Pada waktu sholat kemudian terasa seperti ada yang keluar dari #maaf kemaluan kita (cairan, lendir, sisa sperma). Apakah kita langsung hentikan sholat atau tetap lanjutkan sholat? Apabila yang keluar sisa sperma apakah wajib mandi dan mengulang sholat?

🌷Jawab:
Jika itu sisa sperma, maka sperma menurut mayoritas ulama sperti  Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah, adalah SUCI, bukan najis, teruskan shalatnya.

Cebok aja lagi setelahnya.

Wallahu A'lam

0⃣8⃣ Nada
Assalamualaikum .. Ustadz,
Saya punya adik yang masih kecil", dan sewaktu sujud kadang tiba" dia naik ke atas punggung..
Kemudian saya berdiri pelan" dengan memeganginya agar tidak jatuh ke lantai dan melanjutkan sholat, seperti itu apa tidak apa" ustadz?
Atau sebaiknya saya batalkan sholatnya dan mengulangi nya lagi?

🌷Jawab: Wa'alaikumussalam warahmatullah ..
Cucu nabi  Hasanndan Husein pernah menaiki punggung nabi saat nabi sujud, nabi menunggu sampai mereka puas. Setelah itu baru nabi bangkit, dan melanjutkan shalatnya.

Wallahu A'lam

0⃣9⃣ Nida
Ustadz, nanya kemarin sempat nemu artikel disosmad, disitu disebutkan dengan hadist yang kurang lebih berbunyi tentang saat shalat harus meniru seperti shalatnya rasulullah dan begitu pun dengan wanita. Kalau sujud posisi tangannya harus seperti laki" pada umumnya. bukan seperti yang sudah  umum dilakukan para wanita saat shalat. apakah itu benar ustadz?

🌷Jawab:
Ya, memang seperti itu .. Secara umum tidak beda laki dan perempuan, TAPI ada yang beda dalam beberapa hal:

- batasan aurat
- cara membenarkan kesalahan imam, laki dengan subhanallah, wanita dengan tepuk tangan
- bacaan amiin wanita dianjurkan lirih, laki" jahr

Wallahu A'lam

🔹Berarti posisi tangan terbuka dan agak diangkat sama persis seperti posisi laki" pada saat sujud begitukah ustadz?

🌷Ya, ..
Saya   akui dalam beberapa kitab memang ada ulama yang membedakan .. Tapi, itu tidak sepakati ulama lainnya dengan alasan tidak kuat dalilnya. Ini toleran aja ..

🔹Hmm berarti tetap sah ya ustadz shalatnya?

🌷Ya

1⃣0⃣ Fadhilah
Assalamu'alaikum ustadz

Afwan ustadz, mungkin kita sudah sering mendengar kata khusyu'. Tetapi bagi saya pribadi mngucapkan ssuatu tidak lebih sulit dari pengamalannya. Jadi, khusyu' didalam shalat yang sebenarnya itu bagaimana ya tadz?

🌷Jawab: Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh ..

Khusyu itu sakinah di hati, tenang, konsentrasi dan fokus dengan bacaan dan gerakan shalat .. Itu sederhananya.

Jika khusyu hilang sama sekali menurut Syaikh Abu Bakar Al Jazairi batal shalatnya. Tapi, kalau masih bisa diperangi ketidakkhusyuan itu maka dia tetap sah dan mendapatkan nilai shalat sesuai kwalitas kakhusyuannya.

Wallahu A'lam

1⃣1⃣ Adha
Assalamu'alaikum, Ustadz..

Saya sering main-main sama anak" kecil  kelas 1 sd, bisa keponakan, bisa juga anak temen kerja. Nah pas jam sholat saya ajakin, posisi saya sebagai imam. Sedangkan anak" belum tau bacaan sholatnya, hanya mengikuti gerakan saja. Bolehkah saya jadi imam?
Dan Ada juga  yang di tengah sholat  Ada yang udah lari kemana, saya berjama'ah hanya berdua saja sama ponakan kelas 1 sd. bagaimana hukumnya saya sebgai imam, apakah Harus mengulang sholat sendiri atau bagaimana?

🌷Jawab: Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh ..
Sah bagi kita, tapi bagi mereka karena mereka belum wajib shalat mereka tidak dianggap salah ..

Wallahu A'lam

1⃣2⃣ Adhani
Saya pernah dengar, kalau lagi sholat di tempat umum, sholat ied misalnya..
Anak yang mash bayi tiba" nangis, Katanya sebaiknya digendong sampai bayi tidak nangis lagi. Batasan "mengendong" disini apakah masuk dalam batasan 3 Kali gerakan diluar sholat?
Bagaimana jika melebihi 3 x gerakan, karena debay rewel nangis tidak berhenti? Adakah perlakuan khusus disini. Karena kalau mengulang sholat sendiri tidak bisa karena sholat ied berjama'ah!

🌷 Jawab :
Ini aja ya Bu, kemarin" ada yang tanya tentang itu jg ..👇

2. Izin bertanya pa ustadz ....
Bagaimana Rasulullah saat menggendong Hasan Husein saat sholat?
Bagaimana jika ibu" pun melakukan tanpa membatalkan sholatnya?

🌷Jawab:
Menggendong anak dalam shalat boleh, dan ini dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan ditegaskan para ulama.

عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى رَقَبَتِهِ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ "

Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu  Qatadah berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah –anak puteri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al ‘Ash bin Ar Rabi’ bin Abdul ‘Uzza - berada di pundaknya, jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya. (HR. Ahmad No. 22589, An Nasa’i No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 827. Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga menshahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)

Apa Hikmahnya?

قال الفاكهاني: وكأن السر في حمله صلى الله عليه وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفه من كراهة البنات بالفعل قد يكون أقوى من القول.

“Berkata Al Fakihani: “Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan.” (Fiqhus Sunah, 1/262)

Dalil lainnya:

Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya:

خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاة العشي (الظهر أو العصر) وهو حامل (حسن أو حسين) فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى فسجد بين ظهري صلاته سجدة أطالها، قال: إني رفعت رأسي فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد فرجعت في سجودي.
فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت بين ظهري الصلاة سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر، أو أنه يوحى إليك؟ قال: (كل ذلك لم يكن، ولكن ابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar untuk shalat bersama kami untuk shalat siang (zhuhur atau ashar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein), lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk shalat, maka dia shalat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata: “Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu?” Beliau bersabda: “Semua itu tidak  terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas.” (HR. An Nasa’i No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1141)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل ، وَيَجُوز ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم ، وَالْمُنْفَرِد ، وَحَمَلَهُ أَصْحَاب مَالِك - رَضِيَ اللَّه عَنْهُ - عَلَى النَّافِلَة ، وَمَنَعُوا جَوَاز ذَلِكَ فِي الْفَرِيضَة ، وَهَذَا التَّأْوِيل فَاسِد ، لِأَنَّ قَوْله : يَؤُمّ النَّاس صَرِيح أَوْ كَالصَّرِيحِ فِي أَنَّهُ كَانَ فِي الْفَرِيضَة ، وَادَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّهُ مَنْسُوخ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ خَاصّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ ، وَكُلّ هَذِهِ الدَّعَاوِي بَاطِلَة وَمَرْدُودَة ، فَإِنَّهُ لَا دَلِيل عَلَيْهَا وَلَا ضَرُورَة إِلَيْهَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح صَرِيح فِي جَوَاز ذَلِكَ ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع ؛ لِأَنَّ الْآدَمِيَّ طَاهِر ، وَمَا فِي جَوْفه مِنْ النَّجَاسَة مَعْفُوّ عَنْهُ لِكَوْنِهِ فِي مَعِدَته ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ عَلَى الطَّهَارَة ، وَدَلَائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى هَذَا . وَالْأَفْعَال فِي الصَّلَاة لَا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ ، وَفَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - هَذَا - بَيَانًا لِلْجَوَازِ ، وَتَنْبِيهًا بِهِ عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِد الَّتِي ذَكَرْتهَا ، وَهَذَا يَرُدُّ مَا اِدَّعَاهُ الْإِمَام أَبُو سُلَيْمَان الْخَطَّابِيُّ أَنَّ هَذَا الْفِعْل يُشْبِه أَنْ يَكُون مِنْ غَيْر تَعَمُّد ، فَحَمَلَهَا فِي الصَّلَاة لِكَوْنِهَا كَانَتْ تَتَعَلَّق بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَدْفَعهَا فَإِذَا قَامَ بَقِيَتْ مَعَهُ ، قَالَ : وَلَا يُتَوَهَّم أَنَّهُ حَمَلَهَا وَوَضَعَهَا مَرَّة بَعْد أُخْرَى عَمْدًا ؛ لِأَنَّهُ عَمَل كَثِير وَيَشْغَل الْقَلْب ، وَإِذَا كَانَتْ الْخَمِيصَة شَغَلَتْهُ فَكَيْف لَا يَشْغَلهُ هَذَا ؟ هَذَا كَلَام الْخَطَّابِيّ - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - وَهُوَ بَاطِل ، وَدَعْوَى مُجَرَّدَة ، وَمِمَّا يَرُدّهَا قَوْله فِي صَحِيح مُسْلِم فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا .
وَقَوْله : ( فَإِذَا رَفَعَ مِنْ السُّجُود أَعَادَهَا )، وَقَوْله فِي رِوَايَة مُسْلِم : ( خَرَجَ عَلَيْنَا حَامِلًا أُمَامَةَ فَصَلَّى ) فَذَكَرَ الْحَدِيث . وَأَمَّا قَضِيَّة الْخَمِيصَة فَلِأَنَّهَا تَشْغَل الْقَلْب بِلَا فَائِدَة ، وَحَمْل أُمَامَةَ لَا نُسَلِّم أَنَّهُ يَشْغَل الْقَلْب ، وَإِنْ شَغَلَهُ فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ فَوَائِد ، وَبَيَان قَوَاعِد مِمَّا ذَكَرْنَاهُ وَغَيْره ، فَأُحِلّ ذَلِكَ الشَّغْل لِهَذِهِ الْفَوَائِد ، بِخِلَافِ الْخَمِيصَة . فَالصَّوَاب الَّذِي لَا مَعْدِل عَنْهُ : أَنَّ الْحَدِيث كَانَ لِبَيَانِ الْجَوَاز وَالتَّنْبِيه عَلَى هَذِهِ الْفَوَائِد ، فَهُوَ جَائِز لَنَا ، وَشَرْع مُسْتَمِرّ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْم الدِّين . وَاللَّهُ أَعْلَم .

“Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu atau sunah, baik jadi imam atau makmum.
Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh.
Sebagian kalangan Maliki menganggap hadits ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bai Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara’. Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begiru pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara’ menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut. Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam  Shahih Muslim: “Jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya.” Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyu’an sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian.” Wallahu A’lam (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi’ Ruh Al Islam)   

Wallahu A'lam

1⃣3⃣ iFY
Jika dalam keadaan sholat tiba" si pus tidur di sajadah apakah kita harus ganti sajadah atau hanya memindahkan pus nya saja?
Saya kalau tidak sambi merem tidak bisa fokus sholat sah tidak sholatnya?

🌷Jawab:
Kucing, bulu dan liurnya tidak najis.

Jika merem bisa membawa khusyu tidak apa" kata Imam Ibnul Qayyim.

🌸Hukum Liur dan Bulu Kucing, Najiskah?🌸

Ustadz..
Kucing, binatang yang suka tiduran di sajadah kita. Jika dari luar pas kita sholat pasti suka tiduran di sajadah sama jilat". Tidurannya pun ditengah" sajadah. Itu bagaimana ustadz?
Najis apa tidak ya??
Jazakillah ustadz (08133268xxxx)

🌸🌸🌸

Bismillah wal Hamdulillah ..

Dalam sebuah hadits disebutkan:

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي اَلْهِرَّةِ-: - إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ, إِنَّمَا هِيَ مِنْ اَلطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ. وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata tentang Al Hirrah (kucing): “Sesungguhnya kucing bukan najis, dia hanyalah hewan yang biasa beredar disekeliling kalian.” (HR. At Tirmidzi  No. 92,  Abu Daud No. 75, 76, An Nasa’i No. 68, Ibnu Majah No. 367, Al Hakim dalam Al Mustadrak-nya, Kitabuth Thaharah,  No. 567)

Status hadits ini, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram,   dishahihkan oleh Imam At Tirmidzi dan Imam Ibnu Khuzaimah. Imam Al Hakim mengatakan: Shahih. Beliau juga mengatakan hadits ini dishahihkan oleh Imam Malik dan dia berhujjah dengan hadits ini dalam kitabnya, Al Muwaththa’. Imam Adz Dzahabi juga menshahihkan hadits ini dalam At Talkhish. (Lihat Al Mustadrak ‘Alash Shahihain, 1/263, No. 567. Cet. 1, 1990M-1411H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tahqiq: Syaikh Mushthafa Abdul Qadir ‘Atha)

Syaikh Dr. Muhammad Mushthafa Al A’zhami mengatakan: isnadnya shahih. (Shahih Ibnu Khuzaimah, 1/54. Tahqiq: Dr. Muhammad Mushthafa Al A’zhami. Al Maktab Al Islami, Beirut)   Imam Al Baghawi mengatakan: hasan shahih. (Syarhus Sunnah No. 286)      Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: “Hadits ini shahih dan terkenal, diriwayatkan oleh para imam dunia.” (Badrul Munir, 1/551)

Makna Hadits:

 1.  Apakah maksud bahwa kucing adalah hewan yang  Ath Thawwaafiin – الطوافين  ?

Penyebutan kucing sebagai Ath Thawwaafiin, menunjukkan kedudukannya di tengah kehidupan manusia, termasuk umat Islam.

Imam Ibnul Atsir Rahimahullah menjelaskan:

الطّائف : الخادمُ الذي يَخْدُمُك برفْقٍ وعنَاية 

Ath Thaa-if adalah pelayan yang melayanimu dan menolongmu dengan lembut. (Imam Ibnul Atsir, An Nihayah fi Gharibil  Atsar, 3/323. 1979M-1399H. Maktabah Al ‘Ilmiyah, Beirut. Lihat juga Imam Ibnul Jauzi, Gharibul Hadits, 2/43. Cet. 1, 1985M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah menjelaskan:

ومعنى الطوافين علينا الذين يداخلوننا ويخالطوننا ومنه قول الله عز وجل في الأطفال: {طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ} [النور: من الآية58].

Makna dari “berputar di sekitar kita”: (mereka) adalah yang masuk dan membaur dalam kehidupan kita, dan di antaranya yang seperti ini adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla tentang anak-anak: (mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian  yang lain). (Imam Abu Umar bin Abdil Bar, At Tamhid, 1/319. Musasah Al Qurthubah) 

Imam Al Kasymiri Rahimahullah mengatakan:

وإنما هي كمتاع البيت

Sesungguhnya kucing itu seperti perhiasan rumah. (Imam Al Kasymiri Al Hindi, Al ‘Urf Asy Syaadzi, 1/130. Cet. 1. Muasasah Dhuha. Tahqiq: Syaikh Mahmud Ahmad Syakir. Ini juga merupakan ucapan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma,  Lihat At Tamhid, 1/320)

2. Hadits ini menunjukkan kesucian kucing, termasuk liurnya, dan ini merupakan salah satu kasih sayang Allah Ta’ala kepada umat ini. Sebab, kebersamaan mereka dengan manusia begitu erat, maka akan sulitlah jika mereka dikategorikan najis.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata:

يعني من الحيوانات التي تترد كثيرا عليكم ولو كان نجسا لشق عليكم

Yakni termasuk hewan yang banyak mondar mandir disekitar kalian, seandainya dia najis niscaya kalian akan menjadi sulit/payah/sempit. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘Ala Bulughil Maram, 2/35)

Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan:

وفيه أن الهر ليس ينجس ما شرب منه وأن سؤره طاهر وهذا قول مالك وأصحابه والشافعي وأصحابه والأوزاعي وأبي يوسف القاضي والحسن بن صالح بن حي

Pada hadits ini menunjukkan bahwa apa-apa yang diminum kucing tidaklah najis, dan air sisanya adalah suci.

Inilah pendapat Malik dan   para sahabatnya, Asy Syai’i dan  para sahabatnya, Al Auza’i, Abu Yusuf Al Qadhi, Al Hasan bin Shalih bin Hay.  (At Tamhid, 1/319)

Syaikh Abul Hasan ‘Ubaidullah Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil sucinya kucing secara zat, dan liurnya bukan najis, boleh berwudhu dari sisa minumnya, dan tidak makruh berwudhu di air bekasnya, sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah. Hadits ini sebagai koreksi bagi pihak yang menyatakan makruhnya berwudhu  dengan sisa air minum kucing, dengan makruh tahrimiyah atau tanzihiyah. (Mir’ah Mafatih Syarh Misykah Al Mashaabih, 2/183. Cet. 3, 1404H-1984M. Al Jaami’ah As Salafiyah)

3. Karena air liurnya suci, maka apakah boleh berwudhu dengannya?

Dalam hal ini ada dua pendapat secara umum:

Pertama, boleh dan ini pendapat mayoritas ulama.

Kedua, makruh dan ini pendapat Imam Abu Hanifah Rahimahullah dan pengikutnya.

Pendapat mayoritas adalah pendapat yang lebih kuat, karena dikuatkan oleh dalil lainnya. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau berkata:

وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ بفضلها

Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu dengan air sisa kucing. (HR. Abu Ja’far Ath Thahawi,  Bayan Musykilul Aatsar, No. 73)

Sementara, kalangan Hanafiyah terdahulu membela madzhabnya dengan mentakwil hadits ini, seperti yang dikatakan oleh Imam Mula Ali Al Qari Al Hanafi Rahimahullah, katanya:

وهذا منه صلى الله عليه وسلم لبيان الجواز ، فلا ينافي ما ذكره علماؤنا من أن سؤره مكروه يعني الأولى ألا يتوضأ منه إلا إذا عدم غيره.

Inilah hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjelaskan kebolehannya, namun ini tidak menafikan apa yang disebutkan oleh ulama kami bahwa air sisanya adalah makruh, yaitu lebih utama adalah tidak berwudhu dari air tersebut, kecuali jika tidak ada air lain selain itu. (Syarh Musnad Abi Hanifah,  Hal. 258)

Namun, umumnya kalangan Hanafiyah    justru mengikuti pendapat mayoritas ulama yaitu bolehnya berwudhu dengan air sisa minumnya kucing.

Berikut ini keterangannya:

وَفِي مَجْمَع الْبِحَار أَنَّ أَصْحَاب أَبِي حَنِيفَة خَالَفُوهُ وَقَالُوا لَا بَأْس بِالْوُضُوءِ بِسُؤْرِ الْهِرَّة وَاَللَّه تَعَالَى أَعْلَمُ .

Disebutkan dalam Majma’ Al Bihaar bahwa para sahabat (pengikut) Abu Hanifah menyelisihi pendapatnya. Mereka mengatakan: Tidak apa-apa wudhu dengan air sisa dari  kucing.
Wallahu Ta’ala A’lam. (Hasyiyah As Suyuthi was Sindi ‘ala Sunan An Nasa’i, 1/59. Mawqi’ Al islam)

Wallahu A’lam

1⃣4⃣ iiN
Assamulaikum Ustadz maaf kalau masih boleh bertanya, begini ustadz,
1. Bagaimana kalau sholat membaca alqur'an (pakai HP atau mushaf) ?

2. Kalau ada orang bersin bagaiman ya tadz,  menjawab atau bagaimana ?
Sukron

🌷Jawab:
Shalat pake mushaf ini ya 👇

🌻 Shalat Sunnah Melihat Mushaf 🌻

Shalat dengan membaca mushaf adalah boleh memurut mayoritas ulama, baik Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal, hanya Imam Abu Hanifah yang menyatakan batal. Pembolehan ini adalah pada shalat sunah, kecuali bagi yang belum hafal Al Fatihah maka boleh juga pada shalat wajib.

Berikut keterangan dari Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

فإن ذكوان مولى عائشة كان يؤمها في رمضان من المصحف، رواه مالك. وهذا مذهب الشافعية

“Dzakwan, hamba sahayanya ‘Aisyah, kalau jadi imam bagi Aisyah di waktu shalat dalam bulan Ramadhan biasa membaca ayat dari mushhaf (Diriwayatkan oleh  Malik). (Fiqhus Sunnah, 1/267).

Imam An Nawawi mengatakan:

لَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ مِنْ الْمُصْحَفِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ سَوَاءٌ كَانَ يَحْفَظُهُ أَمْ لَا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ ذَلِكَ إذَا لَمْ يَحْفَظْ الْفَاتِحَةَ كَمَا سَبَقَ، وَلَوْ قَلَّبَ أَوْرَاقَهُ أَحْيَانًا فِي صَلَاتِهِ لَمْ تَبْطُلْ، وَلَوْ نَظَرَ فِي مَكْتُوبٍ غَيْرِ الْقُرْآنِ وَرَدَّدَ مَا فِيهِ فِي نَفْسِهِ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ وَإِنْ طَالَ، لَكِنْ يُكْرَهُ، نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ فِي الْإِمْلَاءِ وَأَطْبَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ.

“Seandainya membaca Al Quran melalui mushaf, tidaklah membatalkan shalatnya. Sama saja, apakah dia sudah hafal Al Quran atau belum, bahkan menjadi wajib melihat mushaf jika dia belum hafal Al Fatihah sebagaimana penjelasan lalu. Walau kadang membolak-balikan halamannya dalam shalat, maka itu tidak membatalkan shalatnya. Juga bagi seorang yang melihat catatan lain selain Al Quran dan diulang-ulang isinya dalam hati walau lama tidaklah batal, tetapi makruh. Demikian pemaparan Asy Syafi’i dalam Al Imla’.”

( Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/20. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Ini juga menjadi pendapat Imam Malik, Imam Muhammad bin Hasan, Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad bin Hambal, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan: batal shalatnya. (Ibid)

Wallahu A'lam

✍ Farid Nu'man Hasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar