Rabu, 21 Februari 2018

3 Hal Yang Buat Kita Selamat Dan Terlaknat





OLeh   :Irnawati Syamsuir Koto

Segala puji bagi Allaah yang telah memberikan Rahmat dan hidayahNya untuk kita, karena dengan Rahmat dan hidayahNyalah kita bisa menguatkan hati untuk mengikuti majlis ini.

Seperti yang disebutkan neng tadi, bahwa malam ini kita coba akan mengenal 3 hal. Yang mana dengan 3 hal ini kita bisa selamat dan juga dengan 3 hal berikutnya kita dilaknat oleh Allaah Azza Wajalla. 

Sahabat sahabatku yang dicintai Allah , 

Dalam menjalani tugas tugas kekhalifahan yang telah Allah amanahkan kepada kita sebagai tujuan penciptaan manusia, yaitu memakmurkan bumi, menciptakan peradaban, menebarkan agama Allah, mengajak kepada yang ma’ruf dan melarang kepada yang munkar terkadang sering terabaikan karena kita malah sering terjebak didalam hal hal sepele yang menguras tenaga dan pikiran kita, hidup terasa sulit dan sempit, waktu terasa tidak cukup, dan kita begitu lelah dengan semua masalah yang ada dihadapan kita.

Kenapa kita lelah dan merasakan rumitnya kehidupan?
Karena ada beberapa hal yang kita lupakan karna seringnya terlena oleh indahnya dunia. Rasulullah SAW telah mewasiatkan kepada kita ummatnya 3 hal yang mampu menyelamatkan hidup kita dan ada 3 hal pula yang merusak hidup kita. 

Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW berkata, “Ada tiga hal yang menyelamatkan dan tiga hal yang merusak. Yang menyelamatkan adalah takwa kepada Allah dalam sepi maupun ramai, berkata benar (adil) dalam kondisi ridha maupun marah, dan bersikap sederhana dalam keadaan kaya maupun miskin. Sedangkan yang merusak adalah bakhil yang kelewatan, nafsu yang diikuti, dan menyombongkan diri sendiri.” (HR Baihaqi).

Sahabat-Sahabatku yang semoga DiRahmati Allah, Kita coba bahas Tiga penyelamat terlebih dahulu

🔹Yang Pertama adalah Takwa
Asal makna takwa adalah upaya hamba menjadikan batas pelindung antara dirinya dengan sesuatu yang dia takuti dan khawatirkan, agar selamat darinya. Maka hamba yang bertakwa kepada Rabb-Nya adalah menjadikan batas pelindung antara dirinya dengan murka dan siksa Tuhannya, yaitu dengan mentaati perintah-Nya dan menjauhi maksiat.

Takwa menjadi tameng antara kita dan adzab Allaah Azza Wajalla, yang menjaga dari kehancuran dan kebinasaan, dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Takwa adalah wasiat Allaah Azza Wajalla semenjak dari orang-orang yang terdahulu , saat ini dan yang akan datang. 

Allah SWT berfirman “ Dan sungguh kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan (juga) kepada kamu, ‘Bertakwalah kepada Allah SWT’.”  (QS An Nisa: 131)

Takwa Ini merupakan tanggung jawab yang tidak sederhana, karena menuntut seorang hamba secara total untuk patuh dan pasrah hanya kepada Allah Azza Wajalla. Sebagian kita mungkin berpendapat takwa sekadar melaksanakan shalat, puasa, haji, dan perkara ubudiyah lainnya. Padahal, takwa mencakup seluruh gerak lahir dan batin, aqidah, syariah, muamalah dan akhlak.

Takwa menuntut seseorang hanya takut kepada Allah semata, bukan kepada yang lain, termasuk kepada atasan sendiri. Ibnul Qayyim dalam Fawaid-nya mengatakan, "Nabi Sulaiman 'alaihis salam berkata, 'kami telah mempelajari semua ilmu yang telah dipelajari manusia dan belum mereka pelajari. Namun, kami tidak mendapatkan ilmu yang paling agung daripada bertakwa kepada Allah. Karena itulah bila engkau ingin memberi nasehat kepada seseorang yang engkau cintai; anakmu, temanmu, atau tetanggamu, maka nasihatilah mereka agar bertakwa kepada Allah'."

Taqwa merupakan sebab keberuntungan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kalian kepada Allah, mudah-mudahan kalian beruntung.” (QS. al-Baqarah: 189 lihat juga QS. Ali Imran: 130 dan 200). Ini artinya, barang siapa yang tidak bertaqwa kepada Allah maka dia tidak menempuh jalan yang akan mengantarkan dirinya menuju keberuntungan (Tafsir al-Karim ar-Rahman, hal. 88).

Keberuntungan bagi orang yang bertaqwa- adalah sesuatu yang sangat wajar dan mudah dipahami, karena orang yang bertaqwa akan mendapatkan pertolongan dan pembelaan dari Allah ta’ala. 

Allah ta’ala berfirman , “Sesungguhnya Allah senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang suka berbuat ihsan atau kebaikan.” (QS. an-Nahl: 128). 

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Bertaqwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah akan senantiasa bersama dengan orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 194). 

Yang dimaksud dengan kebersamaan Allah di sini adalah pertolongan dan pembelaan serta taufik dari-Nya, sebuah kebersamaan yang khusus bagi para rasul dan pengikut setia mereka (Mudzakkirah ‘ala al-Aqidah al-Wasithiyah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hal. 38)

🔹Yang kedua Berkata Benar dalam Kondisi Senang maupun Marah
Emosi kita yang pasang-surut tak boleh menggoyahkan kita untuk tetap berpegang pada kebenaran dan keadilan. Mencaci maki dan memfitnah tetap terlarang meskipun ditujukan kepada orang yang sangat kita benci lantaran berbeda agama, mazhab atau partai.

Dari ‘Abdullâh bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga. Dan apabila seorang selalu berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang ke Neraka. Dan jika seseorang senantiasa berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai pendusta (pembohong).’”

Berkata jujur akan membawa kita kepada al-birr (yakni melakukan segala kebaikan), dan kebaikan itu akan membawamu ke Surga yang merupakan impian semua kita. Allaah Azza wa Jalla meminta para hamba-Nya yang beriman agar jujur dan berpegang teguh dengan kebenaran. Tujuannya agar mereka istiqâmah di jalan kebenaran (orang-orang yang jujur). Jujur merupakan sifat terpuji yang dituntut keberadaannya dari kaum Mukmin. 

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar."  (At-Taubah/9:119)

Allaah Azza wa Jalla memberitahukan nilai kejujuran, bahwa kejujuran itu merupakan kebaikan sekaligus penyelamat. Sifat itulah yang menentukan nilai amal perbuatan, karena kejujuran merupakan ruhnya. Seandainya orang-orang itu benar-benar ikhlas dalam beriman dan berbuat taat, niscaya kejujuran adalah yang terbaik bagi mereka.

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menerangkan sifat as-shidq (kejujuran), dengan perkataanya, “Yaitu maqam (kedudukan) kaum yang paling agung, yang darinya bersumber kedudukan-kedudukan para sâlikîn (orang-orang yang berjalan menuju kepada Allâh), sekaligus sebagai jalan terlurus, yang barang siapa tidak berjalan di atasnya, maka mereka itulah orang-orang yang akan binasa. Dengannya pula dapat dibedakan antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang beriman, para penghuni Surga dan para penghuni Neraka. Kejujuran ibarat pedang Allâh di muka bumi, tidak ada sesuatu pun yang diletakkan di atasnya melainkan akan terpotong olehnya. Dan tidaklah kejujuran menghadapi kebathilan melainkan ia akan melawan dan mengalahkannya serta tidaklah ia menyerang lawannya melainkan ia akan menang. Barangsiapa menyuarakannya, niscaya kalimatnya akan terdengar keras mengalahkan suara musuh-musuhnya. Kejujuran merupakan ruh amal, penjernih keadaan, penghilang rasa takut dan pintu masuk bagi orang-orang yang akan menghadap Rabb Yang Mahamulia. Kejujuran merupakan pondasi bangunan agama (Islam) dan tiang penyangga keyakinan. Tingkatannya berada tepat di bawah derajat kenabian yang merupakan derajat paling tinggi di alam semesta, dari tempat tinggal para Nabi di Surga mengalir mata air dan sungai-sungai menuju ke tempat tinggal orang-orang yang benar dan jujur. Sebagaimana dari hati para Nabi ke hati-hati mereka di dunia ini terdapat penghubung dan penolong.”

🔹Yang  Ketiga, Sederhana saat Kaya maupun Miskin
Sederhana saat miskin bukan hal yang aneh, sebab memang sedang “tak berpunya”. Namun sederhana saat kaya bukanlah hal mudah.

Kata Ibnul Qayyim, “Zuhud itu bukanlah orang yang meninggalkan gemerlap dunia dari genggamannya, tetapi hatinya terus memikirkannya. Zuhud adalah orang yang meninggalkan dunia dari hatinya, meskipun ada dalam genggamannya.”

Zuhud itu berada di dalam hati, yaitu dengan keluarnya rasa cinta dan ketamakan terhadap dunia dari hati seorang hamba. Ia jadikan dunia (hanya) di tangannya, sementara hatinya dipenuhi rasa cinta kepada Allah dan akhirat.

Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia secara total dan menjauhinya. Lihatlah Nabi kita Muhammad SAW Nabi Dawud AS dan Nabi Sulaiman AS, sebagai seorang penguasa mempunyai kekuasaan yang luas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Para Shahabat, juga mempunyai istri-istri dan harta kekayaan, yang di antara mereka ada yang kaya raya. Semuanya ini tidaklah mengeluarkan mereka dari hakekat zuhud yang sebenarnya.

🌷🌸🌷
Sahabatku.. kita telah bahas 3 hal yang menyelamatkan kita , sekarang apa tiga hal yang bisa membuat kita dilaknat oleh Allah Azza Wajalla?

◾Yang pertama adalah Pelit
Dalam hadits diatas tadi , Rasulullah SAW menggunakan kata “As-Shuh”, bukan “bakhil”. Kata tersebut punya makna lebih pelit dari sekedar pelit (bakhil). Kira-kira, orang itu bukan cuma pelit pada orang lain, tetapi pelit pada diri sendiri. 

Bakhil alias Kikir alias Pelit alias Medit adalah satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah. Tapi memang pada umumnya manusia itu memang pelit atau kikir:

Katakanlah: “Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya.” Dan adalah manusia itu sangat kikir.” [Al Israa’ : 100]

Sifat seperti itu sangat tak terpuji. Karena itu, Ali bin Abi Thalib berkata, “Aku tak habis pikir dengan orang pelit. Orang miskin berlari darinya. Sedangkan orang kaya meninggalkannya dalam membanggakan harta. Di dunia, dia hidup dalam kemiskinan. Di akhirat dia dimintai pertanggung-jawaban dalam kelompok orang-orang kaya."
Ibnul Qayyim menulis, “Pelit (pada dirimu sendiri) adalah kemiskinan yang tak berpahala."
Rasulullah SAW berpesan, “Jauhilah perbuatan sangat kikir karena ia merusak orang (kaum) sebelum kamu."  (HR Abu Dawud).

“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.”  [Al Lail: 8-11]

Seharusnya kita bisa memahami dan mengamalkan firman Allah dan sabda Nabi kita agar bisa terhindar dari penyakit kikir.

“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran: 180]

Padahal segala harta kita termasuk diri kita adalah milik Allah. Saat kita lahir kita tidak punya apa-apa. Telanjang tanpa busana. Saat mati pun kita tidak membawa apa-apa kecuali beberapa helai kain yang segera membusuk bersama kita. Rasulullah pun mengingatkan bahaya pelit ini dalam sebuah hadits,

"Hati-hatilah dari sifat kikir karena sesungguhnya ia telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian." (H.R. Muslim)

Maukah kita mengikuti jejak Ummat sebelum kita?
Jika kita ikuti mereka berarti kita lebih dungu dari keledai.. Mau jatuh kelobang yang sama. 

◾Yang kedua adalah Nafsu yang Diikuti
Pepatah Arab mengatakan, “nafsu bagaikan anak kecil. Jika engkau tak pandai mengendalikannya, maka engkau akan dikendalikannya”.
Ungkapan itu benar sekali. Anak kecil yang merengek minta permen, misalnya, jika dituruti justru akan menjerumuskannya pada sakit gigi. Tokoh yang terus mengikuti hawa nafsu adalah Firaun. Nafsu kekuasaan telah menjadikan dirinya sombong, serakah, dan akhirnya berkata, aku adalah tuhan kalian.

Selain setan, musuh utama manusia ada didalam dirinya sendiri, Al-Qur’an menyebutnya hawa nafsu. Hawa nafsu adalah keinginan-keinginan negatif yang menggiring manusia menuju kerusakan.

“Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami Lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginan (hawa nafsu) nya.” (QS.al-Kahf: 28)

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginan (hawa nafsu) nya.”  (QS.al-Qashas: 50)

Hawa nafsu seperti jaring-jaring yang menjerat. Situasi yang dijumpai memaksa untuk melakukannya, setelah itu akhir dari segala pilihan adalah tangisan dan penyesalan. Mulailah terhitung banyak orang yang terperangkap dalam dosa dan tidak bisa lagi keluar.

Ketika seseorang mengikuti hawa nafsunya, walaupun tidak sampai merugikan, dia tetap akan merasakan kehinaan dalam dirinya karena posisinya yang telah kalah oleh hawa nafsu. Namun hawa nafsunya tetap berpaling dari berpikir mengenai kehinaan itu. Yang demikian ini adalah sifat daripada binatang, karena hawa nafsu tidak pernah berpikir tentang akibat, hanya saja binatang lebih bisa dimaklumi. Jadi, hawa nafsu itu tak lebih laksana binatang liar yang harus dirantai lehernya, karena ia akan menghancurkan tanaman takwa yang ada di dalam jiwa.

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?. Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Surat Al-Furqon: 43-44)

Sesungguhnya manusia lebih unggul daripada binatang, karena manusia memiliki akal yang dapat mengendalikan hawa nafsunya. Jika manusia tidak mau menerima pertimbangan akal, dan merelakan hawa nafsu mengusainya, hinalah manusia dan lebih rendah derajatnya daripada makhluk tak berakal. 
Sungguh bahaya!

◾Yang ke tiga Menyombongkan Diri Sendiri
Sombong merupakan suatu penyakit hati yang mana pengidapnya merasa bangga dan memandang tinggi atas diri sendiri. Membanggakan kualitas diri sendiri bisa menjerumuskan seseorang kepada perilaku menyepelekan orang lain atau ‘ujub. Sedemikian bahayanya penyakit ‘ujub sehingga Ibnul Qayyim berkata, “Seseorang yang tertidur di malam hari lalu menyesal di pagi hari adalah lebih baik dari pada seseorang yang tahajud di malam hari lalu menyombongkan diri (dengan tahajud itu) di siang hari."

Kesombongan (takabbur) atau dikenal dalam bahasa syariat dengan sebutan al-kibr yaitu melihat diri sendiri lebih besar dari yang lain. Orang sombong itu memandang dirinya lebih sempurna dibandingkan siapapun. Dia memandang orang lain hina, rendah dan lain sebagainya.

Di dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda;
”Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada sifat sombong, walaupun hanya seberat biji sawi.” (H. R. Muslim).

Layaknya sebuah penyakit yang menyerang fisik manusia, sombong yang merupakan penyakit hati tentu akan memberikan banyak gangguan pada penderitanya. 

Rasulullah SAW bersabda yang artinya;
“Adapun amal-amal yang membinasakan adalah berprilaku kikir, mengikuti hawa nafsu dan membanggakan diri.” (HR. Thabrani)

Mereka yang memiliki sifat sombong, tidak akan pernah memiliki sifat ikhlas yang merupakan dasar daripada setiap perbuatan maupun ibadah yang kita kerjakan. Oleh karena kesombongan itu dapat membinasakan amal ibadah, artinya sia-sialah semua perbuatan yang ia lakukan.

Allaah Azza Wajalla tidak pernah menyukai mereka yang menyembah kepada-Nya, tapi tidak didasari dengan rasa ikhlas yang hanya ingin mencari ridha Allah semata. Karena pada dasarnya, seseorang yang bersifat sombong berarti ia tidak pernah benar-benar ingin meminta pertolongan terhadap Allah, tidak pula memiliki niat sungguh-sungguh dalam beribadah. Kasarnya, mereka hanya bermain-main.

Orang yang sombong akan selalu bertindak sesuai dengan apa yang ia kehendaki tanpa memikirkan atau memerdulikan sekitar. Akibatnya, mereka sering bertindak tanpa berpikir dan hanya mengandalkan hawa nafsu. Mereka akan melakukan apapun yang penting bisa membuat mereka puas dan bangga.

Dalam keadaan seperti itu, mereka akan cenderung berbuat serakah dan mudah dihasut oleh setan dan iblis sehingga yang mereka lakukan tidak lain hanyalah maksiat semata.

Orang yang memiliki sifat sombong, seringkali menyalahkan takdir atas kejelekkan atau ketidakberuntungan yang mereka dapati. Sementara ketika mereka mendapat berkah, mereka tidak akan pernah bersyukur kepada Allaah. Dapat dikatakan bahwa mereka yang memiliki sifat sombong, berarti mereka telah jauh dari Allah sehingga yang akan menemai mereka diakhirat nanti adalah iblis dan bersama-sama menuju neraka.

Semoga kita berhasil mendapatkan tiga penyelamat, dan terhindar dari tiga perusak itu.

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Ranie 
Bund, boleh tidak pelit sama orang sombong? Maksudnya biar dia kapok, tidak sombong lagi!!!

🌷 Jawab:
Subhanallah... 
Tidak ada anjuran pelit kepada orang sombong, kita disuruh menolong sesama, tidak ada batasannya dia sombong atau tidak. Maafkanlah kesombongannya, cukuplah Allah yang menjadi hakim atas dirinya. kita hanya perlu mengingatkan bahwa sombong bukan sifat terpuji. 

Jika dia butuh bantuan bantulah jika memang kita mampu untuk membantu. 

Memang ada ungkapan Sombong kepada orang sombong adalah sedekah, tapi orang yang memaafkan lebih mulia disisi Allah daripada orang yang pendendam bukan? 

Jika dia sadar dengan menerima perilaku yang sama yaa Alhamdulillah, tapi jika tidak??? Akan terjadi lagi kesombongan yang lain, akhirnya tersebab kita orang lain makin sombong. Dan kita ikut-ikutan sombong, apa itu masih bisa kita katakan sedekah? 

Wallahu a'lam

0⃣2⃣ Anggi
Bund, Istrikan wajib nurut suami jika orang tua istri minta sesuatu dan tidak dijinkan suami lalu istri berbohong bilang lagi tidak ada uang biar tidak menyakiti hati orang tua. Apa termasuk pelit kepada orang tua?

🌷 Jawab:
Ini sebenarnya dilema yaa.. antara suami dan orang tua, dan memang tak ada kewajiban anak perempuan memberi nafkah kepada orang tua. Dalam hal ini ada 2 pendapat ulama , ada yang membolehkan memberi secara diam diam, ada yang memang melarang jika suami tidak mengizinkan. 

Jika memang terjadi kondisi dimana kita tidak memungkinkan untuk membantu orang tua, maka bicarakanlah secara baik baik dan beri pengertian kepada orangtua agar hatinya tidak kecewa. 

Bermohon ampunlah kepada Allah, semoga kita tidak termasuk orang yang pelit disisi Allah. Dan berusahalah untuk mengkomunikasikan dengan suami juga. 

Wallahu a'lam

0⃣3⃣ Serra
Assalamualaikum ustadzah. 
Ketika kita dilema untuk meminjamkan karena kita tidak tau orang tersebut bisakah merawat apa yang kita pinjamkan. Bolehkah kita memberikan peringatan.  Misal saya suka buku dan saya berikan jangan di lipat, jangan baca sambil makan atau minum yang berwarna dan sebagainya. 
Terima kasih

🌷Jawab:
Boleh... 
Silakan saja memberi warning agar barang yang kita pinjamkan terjaga, tapi bicara yaa jangan terlalu polos yaa. Komunikasikan dengan ahsan, dengan kata kata yang membuat orang tak tersingggung . 

Wallahu a'lam

0⃣4⃣ Ridha
MasyaAllah.. materi malam ini, ustadzah, Ibnu qayyim rah. Penjernih keadaan, contoh kasus:  Jika seorang teman bertanya, Ridha semalam tahajjud ya apa begadang aja? Kelihatan ngantuk berat. 
Niat mengklarifikasi.. bicara jujur? Atau bagaimana? Agar bisa menjaga hati dari ujub..  
Jazakillah khairan katsiran ustadzah

🌷 Jawab:
Jika memang ingin menyembunyikan amalan, agar hati terbebas dari ujub, bisa memberi penjelasan dengan mengubah kalimat. Misal : Alhamdulillah masih Allah beri kesempatan memanfaatkan waktu malam. 

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
 💎CLoSiNG STaTeMeNT💎

Sahabat-sahabatku yang saya cintai karena Allaah

Hidup kita bukan hanya untuk saat ini... 
Tapi langkah kita akan terus berlanjut dialam keabdian, alam yang semestinya kita pikirkan dari sekarang, alam yang harus sudah kita tata dari akil baligh hingga kematian datang.

Tingkatkan ketakwaan agar kita menjadi manusia yang selamat, jauhkan merasa diri hebat agar kita tidak dilaknat. 

Demikian saja dari sifakir ilmu ini. Mohon maaf atas kesalahan malam ini. Kebenaran datang dari Allah dan kekeliruan datang dari saya. 

Billahi taufik walhidayah 
Wassalamu'alaikum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar