Selasa, 31 Maret 2020

AZAB ATAU MUSIBAH



OLeH   : Ibu Irnawati Syamsuir Koto

         💎M a T e R i💎

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Belakangan ini negara kita silih berganti ditimpa oleh musibah, mulai dari yang ringan sampai yang berat.

Musibah tidak lekang dalam cerita hidup setiap insan. Dari luka ringan hingga kesedihan mendalam menjadi warna-warni kehidupan. Namun tidak semua musibah diberikan sebagai ujian keimanan yang dapat meningkatkan derajat serang hamba di sisi-Nya. Ada kalanya, musibah datang berupa azab akibat dosa yang dilakukan hamba.

Nah Apakah musibah itu sebagai ujian untuk meninggikan derajat hamba? Ataukah musibah sebagai siksa (azab)? Atau hukuman yang disegerakan di dunia? Ketiga kemungkinan itu bisa ada. Sehingga dengan mengetahui hikmah musibah tersebut seharusnya membuat kita giat dan berusaha keras untuk bersabar serta meraih pahala lewat ujian.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Kata musibah (dalam bahasa Arab) berasal dari kata yang bermakna lemparan dengan anak panah. Kemudian kata itu digunakan untuk setiap bencana, musibah, dan malapetaka.”

Ar-Raghib berkata, “Kata أَصَابَ digunakan pada perihal kebaikan dan keburukan yang menimpa.”

Alloh ﷻ berfirman:
“Jika kamu ditimpa oleh suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh suatu bencana ….” (QS. at-Taubah: 50)

Ada yang berpendapat, kata musibah (dalam bahasa Arab) jika digunakan pada perihal kebaikan, berasal dari kata الصَّوْبُ yang artinya hujan. Maksudnya, hujan yang turun sebatas keperluan, tidak membahayakan dan merugikan. Jika digunakan pada perihal keburukan, ia berasal dari kata إِصَابَةُ السَّهْمِ artinya bidikan atau sasaran anak panah.

Al-Kirmani berkata, “Kata musibah jika ditinjau dari segi bahasa, bermakna apa saja yang menimpa manusia secara mutlak (umum). Jika ditinjau dari segi istilah, bermakna peristiwa-peristiwa tertentu yang tidak disukai yang terjadi. Makna inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini.” (Fathul Bari, dalam Kitabul Mardha)

Ahli bahasa berkata, “Pada kata musibah dikatakan: مَصُوبَةٌ – مُصَابَةٌ – مُصِيبَةٌ Hakikatnya adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia.”

Al-Qurthubi  menerangkan, ”Musibah adalah segala sesuatu yang menyakitkan, merugikan, menyusahkan orang mukmin, dan menimpa dirinya.”

🔹APAKAH PERBEDAAN MUSIBAH DAN COBAAN

Musibah adalah suatu hal yang menyebabkan manusia kehilangan nikmat-nikmat Alloh ﷻ  yang telah Dia  anugerahkan kepadanya, berupa anak, orang tua, saudara, harta. Sakit yang menimpanya atau hal yang serupa dengan itu disebut musibah.
Adapun cobaan, lebih umum daripada musibah. Cobaan terkadang berbentuk kenikmatan. Hal seperti ini, bisa jadi lebih sulit dibandingkan dengan cobaan dalam bentuk musibah karena seringnya menyebabkan seseorang lupa akan akhirat, lupa kepada Rabbnya. Kebanyakan manusia hatinya tetap baik jika diuji dengan kefakiran, sakit, musibah, tetapi justru rusak jika diuji dengan kenikmatan. Hal ini sebagaimana firman Alloh ﷻ :

“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. al-‘Alaq: 6—7) (Syarh Kitab at-Tauhid, oleh asy-Syaikh al-Ghunaiman)

Adapun pengertian azab adalah siksaan dan hukuman. Dikatakan dengan kalimat عَذَّبْتُهُ تَعْذِيبًا وَعَذَابًا, yakni “Aku menyiksanya.”

Sekilas, banyak orang mengira bahwa azab merupakan istilah yang digunakan hanya untuk azab yang besar, berat, dan mengerikan. Hal ini karena penyebutan azab dalam Al-Qur’an seringnya berupa azab yang keras, pedih, hina, besar, berat, kekal, dan sebagainya. Semua itu sebagai bentuk ancaman bagi mereka yang terjerumus dalam syahwat, syubhat, kesesatan, dan pelanggaran.

Namun, Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa Alloh ﷻ mengancam orang-orang yang menentang dan membuat kerusakan dengan suatu azab selain azab yang besar. Dengan harapan, mereka mau kembali dari kesesatan kepada ketaatan dan tersadarkan dari perbuatannya. Alloh ﷻ  menjelaskan bahwa bencana dan malapetaka yang menimpa orang-orang yang menentang di dunia ini itu hanya azab yang dekat (kecil).

Alloh ﷻ berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).” (QS. as-Sajdah: 21)

🌸🌷🌸
Para ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memaknai “azab yang dekat.”

1. Maknanya adalah musibah dunia, penyakit, bencana yang menimpa jiwa dan harta, yang Alloh ﷻ  menjadikannya sebagai ujian bagi hamba-Nya agar mereka bertaubat.

Ulama yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’b, Abul Aliyah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Ibrahim an-Nakha’i, Alqamah, Athiyah, Mujahid, dan Qatadah, semoga Alloh ﷻ  merahmati mereka semua. Mereka memandang bahwa apa yang telah berlalu, baik berupa bathsyah (hantaman), sebagaimana dalam
firman Alloh ﷻ :
“(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras, sesungguhnya Kami benar-benar menimpakan hukuman.” (QS. ad-Dukhan: 16)

Atau lizam (kebinasaan), sebagaimana dalam firman Alloh ﷻ:

“Sesungguhnya kalian telah mendustakan-Nya, kelak akan menjadi kebinasaan bagi kalian.” (QS. al-Furqan: 77)

Atau dukhan (kabut), sebagaimana dalam ayat:

“Maka tunggulah hari ketika langit membawa kabut yang nyata.” (QS. ad-Dukhan: 10)

Demikian pula yang menimpa orang-orang kafir Quraisy, berupa pembunuhan dan penawanan pada Perang Badar, termasuk azab yang diisyaratkan di sini. Itu semua merupakan musibah-musibah dunia.

Dalam Tafsir-nya, as-Suyuthi  menyebutkan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Idris al-Khaulani, ia berkata, “Aku bertanya kepada Ubadah bin ash-Shamit  tentang ayat ini. Beliau menjawab, ‘Aku pernah menanyakan ayat ini kepada Rasulullah . Beliau  bersabda, ‘Itu adalah musibah, sakit, dan kesusahan, sebagai azab di dunia bagi orang yang melampaui batas sebelum datang azab akhirat.’ Aku bertanya kembali kepada Rasulullah , ‘Wahai Rasulullah, apa yang kita peroleh jika semua itu menimpa kita?’ Beliau menjawab, ‘Suci dan bersih’.”

2. Maknanya adalah azab kubur.

Pendapat ini diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib, Abu ‘Ubaidah, dan Mujahid.

3. Maknanya adalah hukum-hukum had.

Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas .

4. Maknanya adalah pedang, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin al-Harits bin Naufal.

Beliau berkata, “Maksudnya adalah dibunuh dengan pedang. Segala sesuatu yang Alloh ﷻ mengancam umat ini dengan ancaman azab yang dekat, maksudnya adalah pedang.”

Ibnu Jarir memandang bahwa pendapat yang paling utama dalam masalah ini adalah bahwa Alloh ﷻ mengancam orang-orang fasik dan pendusta dengan ancaman-Nya di dunia berupa azab yang dekat, agar Dia merasakan azab tersebut kepada mereka sebelum azab yang besar. Azab ini adalah apa yang terjadi di dunia, yaitu bencana, kelaparan yang mematikan, pembunuhan, atau musibah lain yang menimpa. Terkadang, Alloh ﷻ mengancam hamba-Nya dengan salah satu jenis azab, terkadang dengan semuanya.

Adapun hakikat azab yang dekat adalah setiap azab yang dengannya Alloh ﷻ mengazab suatu umat atau individu, di dunia atau di alam kubur, baik bersifat merata seperti yang menimpa kaum Nuh maupun secara khusus, seperti yang menimpa Qarun.

Azab kadang bersifat hissi (fisik, tampak) seperti ditenggelamkan ke air, dibenamkan ke dalam bumi, diubah bentuk atau rupa (menjadi kera atau babi), gempa, suara keras yang mengguntur. Namun, terkadang azab juga bersifat maknawi (abstrak), seperti dilenyapkan penglihatannya (buta mata), ditutup, dan dikunci mata hatinya (buta hati), ditolak doanya, dan dikuasai oleh setan. Sama saja, dosa yang dilakukan berupa sikap congkak, melampaui batas terhadap sang Pencipta, seperti syirik dan mendustakan para rasul; atau melampaui batas terhadap hak manusia, seperti membunuh orang-orang yang lemah atau curang dalam menimbang.

Alloh ﷻ terkadang menyegerakan azab dan menimpakannya secara tiba-tiba karena suatu dosa. Adakalanya Ia menunda azab duniawi dalam keadaan orang yang tertipu menyangka bahwa ia berada di atas kebaikan. Apalagi jika ia melihat nikmat dan karunia-Nya datang terus-menerus dan silih berganti. Ia tidak tahu bahwa jarak antara dirinya dengan azab Alloh ﷻ hanya sekejap mata, sebagaimana azab yang menimpa kaum Nabi Luth.

Semua yang terjadi itu menjadi tanda kekuasaan Alloh ﷻ bagi semesta alam, nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, dan peringatan serta contoh bagi siapa saja yang meniru amalan atau perbuatan orang-orang yang berbuat dosa.

Alloh ﷻ terkadang mengakhirkan azab hingga di negeri akhirat supaya siksaan itu bertambah. Orang kafir menyangka, penangguhan azab Alloh ﷻ  terhadapnya lebih baik baginya.

“Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Ali ‘Imran: 178)

Orang yang tidak berilmu menyangka bahwa orang kafir berada di atas kebenaran dengan kenikmatan hidup yang mereka dapati dan keselamatan mereka dari azab di dunia. Ia tidak mengira bahwa kenikmatan hidup yang mereka dapati itu hanya bagian dari disegerakannya balasan atas perbuatan mereka.

Ibnu Katsir menafsirkan surat al-Ahqaf ayat 20, “Mereka dibalas sesuai dengan amalannya. Sebagaimana mereka lebih suka memuaskan hawa nafsu, menyombongkan diri dari mengikuti kebenaran, senang melakukan kefasikan dan kemaksiatan, Alloh ﷻ pun membalas mereka dengan azab kehinaan, yaitu kehinaan, kerendahan, rasa sakit yang menyakitkan, penyesalan yang terus-menerus, dan tempat tinggal di lapisan neraka yang mengerikan.”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya, “Kapan seorang hamba mengetahui bahwa musibah yang menimpa itu merupakan cobaan atau azab (siksaan)? Jika seseorang diuji dengan sakit atau musibah jelek yang menimpa jiwa atau hartanya, bagaimana ia tahu bahwa musibah itu adalah cobaan atau kemurkaan dari sisi Allah?”

Beliau menjawab, “Allah  menguji para hamba-Nya dengan kesenangan dan penderitaan, kesempitan dan kelapangan. Alloh ﷻ terkadang mengujinya untuk mengangkat derajat, meninggikan nama, dan melipatgandakan pahala mereka, seperti yang Ia lakukan terhadap para nabi, rasul, dan hamba-Nya yang saleh. Hal ini sebagaimana termuat dalam riwayat dari jalan Mush’ab bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya Sa’d bin Abi Waqqash. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia yang berat cobaannya?” Beliau bersabda:

أَشَدُّ النَّاسِ بَلَاءً الْأَنْبِيَاءُ، ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisal.” (HR. al-Imam al-Hakim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan yang lain)

Terkadang, Alloh ﷻ  menimpakan hal itu karena kemaksiatan dan dosa sehingga musibah itu menjadi hukuman yang disegerakan. Hal ini sebagaimana firman Alloh ﷻ:

“(Dan) apa saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (QS. asy-Syura: 30)

Keumuman manusia menyepelekan dan tidak menunaikan kewajiban. Jadi, musibah apa pun yang menimpa adalah karena dosa dan sikap mereka menyepelekan perintah Alloh ﷻ.

Sebab itu, apabila seorang hamba yang shaleh diuji dengan sakit atau semisalnya, hal ini sejenis dengan ujian yang diberikan kepada para nabi dan rasul. Tujuannya adalah meninggikan derajat, membesarkan pahala, dan agar menjadi teladan bagi yang lain dalam kesabaran dan keikhlasan.

◼Jadi Kesimpulan Kajian Kita Malam Ini:

1. Terkadang cobaan itu untuk meninggikan derajat dan memperbesar pahala.
Hal ini sebagaimana yang telah Alloh ﷻ perbuat terhadap para nabi dan sebagian orang pilihan (musibah sebagai cobaan).

2. Cobaan tersebut kadang bermaksud untuk menghapuskan dosa-dosa (musibah sebagai kaffarah), sebagaimana firman Alloh ﷻ :

“Barang siapa yang mengerjakan keburukan niscaya akan diberi balasan akibat keburukan itu.” (QS. an-Nisa’: 123)

Demikian juga sabda Nabi:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan segala kesalahan dan dosanya dengan musibah itu, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)

Demikian pula sabda beliau:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرا يُصِبْ مِنْهُ

“Barang siapa yang Alloh ﷻ inginkan kebaikan, Alloh ﷻ menimpakan musibah kepadanya.” (HR. al-Bukhari, no. 5321)

3. Terkadang, azab itu disegerakan karena kemaksiatan dan tidak segeranya bertaubat (musibah sebagai hukuman atau kemurkaan).

Hal ini sebagaimana dalam hadits Rasulullah ﷺ:

إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Apabila Alloh ﷻ  menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah hukuman baginya di dunia. Jika Alloh ﷻ menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, Alloh ﷻ akan menahan dia lantaran dosa-dosanya hingga (dibalas) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2396) (al-‘Adzabul Adna, karya Muhammad bin ‘Abdillah as-Suhaim).

Wallahu a’lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Atin ~ Pekalongan
Assalamualaikum Uni,

1. Seseorang ditimpa sakit parah, sampai hitungan tahun belum sembuh. Tapi dia tidak mau mengatakan ini azab dari Alloh ﷻ. Dia berprinsip Allah Maha Sayang, ini ujian bukan azab untuk mengukur keimanan seseorang.
Bagaimana menurut Uni?

2. Apakah fenomena corona bisa dikatakan azab dari Alloh ﷻ?

3. Mohon dijelaskan kalimat: "Cobaan lebih umum dari musibah."

🌸Jawab:
Wa'alaikumsalam,

1. Mudah-mudahan prasangkanya kepada Alloh ﷻ diridhoi. Tapi tetap tidak ada salahnya perbanyak istighfar.

2. Wallahu a'lam mba ku,  ini azab atau ujian, hanya Alloh ﷻ yang tahu, dan kita harus bermuhasabah agar kita mampu mengembalikan segala sesuatunya kepada Alloh ﷻ. 

3. Cobaan itu bisa dari hal-hal kecil, seperti tertusuk duri atau hal kecil lainnya, maka disebut lebih umum, sementara musibah itu lebih kepada yang besar-besar.

Wallahu a'lam

0⃣2⃣ Phity ~ Yogja
Bagaimana kita mengedukasi masyarakat yang sering mencemooh orang atau wilayah yang kena musibah.

Misalnya daerah A sedang terkena gempa hingga luluh lantah, terus berbondong-bondong mencemooh menyebutkan daerahnya banyak maksiat lah, padahal mungkin tidak semuanya begitu?

🌸Jawab:
Inilah manfaat dari dakwah, memang ada benarnya apa yang mereka katakan, tapi caranya mungkin tidak tepat dengan mencemooh, karena mencemooh adalah kesombongan dan Alloh ﷻ tidak suka kesombongan. Jadi sama saja dengan kita lebih mungkar dari mereka yang diberi Alloh ﷻ peringatan. 

Jelaskan ke mereka hal ini. 

Jelaskan juga bahwa jangan kesombongan dan ke sok sucian kita menjadi sebab undangan kemurkaan Alloh ﷻ juga terhadap negeri dan kita sendiri. 

Wallahu a'lam

0⃣3⃣ Safitri ~ Banten
Bun, katanya Alloh ﷻ itu bakal kasih musibah atau azab kepada seseorang atau suatu wilayah atau di suatu tempat itu karena kebanyakan maksiat bahkan dalam keluarga pun bisa Alloh ﷻ selalu kasih kesusahan karena mereka berbuat maksiat apa memang benar bun, dan bagaimana supaya mereka sadar atau nyadar dirilah kalau itu teguran bagi Alloh ﷻ peringatan supaya pada bertobat tapi malah mereka menyalahkan Alloh ﷻ atau mengeluh "kenapa seperti gini kenapa Alloh ﷻ kasih musibah seperti ini"  itu bagaimana bun kadang manusia itu tidak tahu diri kan, bukannya berfikir atau minta ampunan jika dia melakukan dosa yang disengaja atau tidak tapi malah meratapi nasib!
Minta penjelasannya bun.

Terimakasih

🌸Jawab:
Benar, adakalanya Alloh ﷻ akan memberi musibah karena kedzaliman kita. 

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). ” (QS. Syura: 30).

Jadi iringilah perbuatan salah dengan taubat, maka In syaa Allah Alloh ﷻ akan lindungi kita. 

Bagaimana membuat orang bertaubat? 

Langkah pertama adalah berdoa, kita mohon kepada Alloh ﷻ agar Alloh ﷻ yang mampu  membolak-balikkan hati ini memberikan hidayah kepada mereka. 

Selanjutnya adalah dengan berdakwah, dan kita sudahi lagi dengan doa. Selanjutnya kita bertawakal kepada Alloh ﷻ. 

Karena hidayah itu hak milik Alloh ﷻ sepenuhnya. 

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
 💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎

Saudari-saudariku...

Berulangkali musibah datang silih berganti menerpa negeri yang tercinta ini.

Konotasinya musibah selalu diartikan buruk. Padahal sebenarnya yang kita anggap buruk boleh jadi merupakan kebaikan.

Tidaklah Alloh ﷻ  menciptakan peristiwa, atau kejadian sesuatu yang sia-sia.

Manusia dianjurkan untuk merenung dan mengambil pelajaran dari berbagai macam peristiwa yang terjadi.

Islam sangat mendorong umatnya untuk menggunakan potensi yang Alloh ﷻ berikan kepadanya, penglihatan, pendengaran, hati, panca indra yang lain agar difungsikan untuk merenung hikmah dibalik peristiwa.

Ambil hikmah dibalik bala yang Allah turunkan untuk kita.

Mohon maaf lahir batin untuk semua kata yang tidak pada tempatnya. 

Billahitaufik walhidayah

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar