Kamis, 30 Juni 2022

MENUTUP AIB KAUM MUSLIMIN

 


OLeH: Ibu Hj. Irnawati Syamsuir Koto

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

💎MENUTUP AIB KAUM MUSLIMIN

بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sahabat-sahabatku...

Seorang Muslim memiliki tanggung jawab terhadap Muslim lainnya yang ada di sekitarnya. Rasulullah ﷺ sendiri menjelaskan bahwa ada enam perkara yang wajib ditunaikan oleh seorang Muslim terhadap Muslim lainnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak muslim kepada muslim yang lain ada enam.” Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”(1) Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya; (2) Apabila engkau diundang, penuhilah undangannya; (3) Apabila engkau dimintai nasihat, berilah nasihat kepadanya; (4) Apabila dia bersin lalu dia memuji Alloh ﷻ (mengucapkan ’alhamdulillah’), doakanlah dia (dengan mengucapkan ’yarhamukallah’); (5) Apabila dia sakit, jenguklah dia; dan (6) Apabila dia meninggal dunia, iringilah jenazahnya (sampai ke pemakaman).” (HR. Muslim)

Demikian erat dan pentingnya sebuah ukhuwwah Islamiyah yang terjalin di antara seorang Muslim dengan Muslim lainnya. Saking eratnya, Rasulullah ﷺ menyebut bahwa sesama Muslim itu bersaudara. Atas dasar persaudaraan itulah ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan seseorang terhadap saudara Muslimnya yang lain. Rasulullah ﷺ menjelaskan mengenai tanggung jawab dan kewajiban seorang Muslim terhadap saudaranya dalam sebuah hadits yang artinya,

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, “Muslim itu saudara (nya) muslim. Ia tidak boleh mendzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya ke tangan musuh. Barangsiapa yang berkenan memenuhi hajat kebutuhan saudaranya, maka Alloh ﷻ pasti memenuhi hajatnya. Barangsiapa melepaskan suatu kesulitan muslim, maka Alloh ﷻ akan melepaskan darinya salah satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) muslim, maka Alloh ﷻ akan menutupi (aib) nya pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Di dalam hadits tersebut disebutkan kewajiban dan tanggung jawab seseorang terhadap Muslim lainnya ada empat, yakni dia tidak boleh menyerahkan Muslim lain kepada pihak musuh. Dengan kata lain, seorang Muslim tidak boleh mengkhianati Muslim lainnya. Kedua, ketika kita memiliki kemampuan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup saudara seiman, maka bantulah mereka dan Alloh ﷻ akan menggantinya dengan menanggung semua kebutuhan hidup kita.

Tanggung jawab selanjutnya adalah kewajiban melepaskan kesulitan orang lain yang sangat membutuhkan pertolongan. Membebaskan orang lain dari kesulitan dapat merayu Alloh ﷻ untuk menolong kesulitannya di hari Kiamat kelak. Terakhir, kita wajib menutupi aib, baik yang dengan sengaja kita ketahui seperti orang tersebut bercerita langsung kepada kita, maupun dengan tidak sengaja kita ketahui, misalnya tidak sengaja mendengar gunjingan orang lain tentang orang tersebut.

Aib adalah sesuatu yang memalukan yang seharusnya tak diketahui oleh orang lain. Hakikat seorang Muslim adalah suci dan bersih. Segala urusan yang berkaitan dengan seorang Muslim juga seharusnya hanya berkisar pada kebaikan saja. Namun, seiring berjalannya waktu, syaitan bekerja keras menghasut dan membisikinya dengan bujuk rayu untuk bermaksiat. Dan, nyatanya iman bisa melemah. Di saat lemahnya iman itulah ia termakan hasutan syaitan dan ia melakukan tindakan tidak terpuji yang mengakibatkan aib pada dirinya.

Kewajiban dan tanggung jawab kitalah untuk menutupi aib tersebut. Entah dari mana dan dengan cara apa kita mengetahui aib tersebut, maka kita wajib memutus rantai penyebaran cerita aib tersebut. Cukuplah sampai di telinga kita saja. Jika ada orang yang bertanya kepada kita mengenai aib saudara itu, katakanlah, “Saya tidak tahu dan sebaiknya Anda juga tidak mencari tahu.” Jangan malah menyarankan orang yang bertanya tersebut untuk menanyakan ke orang lain atau bahkan menceritakan detailnya.

Pun halnya ketika kita mendapat selentingan kabar tentang seseorang. 

Janganlah kita mencoba mencari tahu lebih jelas dan bertanya ke banyak orang. 

Tutuplah telinga, kunci mulut, dan tahan keinginan untuk mencari tahu kabar tersebut. Anggap saja kabar tersebut bukanlah hal yang penting untuk mendapat perhatian kita.

Sayangnya, masih banyak praktik ghibah yang terjadi di lingkungan sekitar kita. 

Aib seseorang yang belum tentu benar terjadi seolah menjadi bumbu penyedap dalam tiap obrolan. 

Mencari tahu aib seseorang yang tidak ada dalam perkumpulan tersebut dan mengomentarinya dengan begitu lihai seolah diri sendiri paling benar sepertinya sudah menjadi kebiasaan dan maklum adanya. 

Mereka yang melakukan praktik ghibah tersebut lupa bahwa di akhirat nanti, aibnya akan Alloh ﷻ buka dan dipertontonkan di depan seluruh manusia, dari Nabi Adam sampai manusia terakhir di bumi. 

Tidak hanya sampai di situ, orang yang mereka gunjingkan akan menuntut ganti rugi atas tindakan mereka di dunia terhadapnya.

Alloh ﷻ akan memberikan pahala milik mereka kepada orang yang digunjingi dan apabila sudah tidak ada lagi pahala untuk dibagi, maka dosa orang yang menjadi korban itu akan dipindahkan kepada mereka. 

Mereka inilah yang disebut dengan orang yang paling merugi di akhirat kelak. Rasulullah ﷺ menjelaskan perkara tuntutan ganti rugi ini dalam sebuah hadits yang artinya:

Dari Abu Hurairah ra, bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki uang dan harta kekayaan.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang dengan (pahala) shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia sering mencaci-maki, menuduh, dan makan harta orang lain serta membunuh dan memukul orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya, sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim)

Alloh ﷻ berfirman dalam surah Al-Hujarat ayat 12 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mengintip atau mencari-cari kesalahan dan aib orang lain; dan janganlah kamu mengumpat sebagian yang lain. Apakah seseorang dari kamu suka memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka sudah tentu kamu jijik kepadanya. (Oleh itu, jauhilah larangan-larangan yang tersebut) dan bertakwalah kepada Alloh ﷻ, sesungguhnya Alloh ﷻ Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Sahabat-sahabatku...

Mencari-cari kesalahan dan aib seseorang bukanlah perbuatan yang terpuji. Alloh ﷻ yang Maha Suci dan terbebas dari segala kelemahan yang dimiliki oleh setiap manusia saja selalu menutupi aib hamba-Nya. Lantas mengapa kita, hamba Alloh ﷻ yang sama lemah dan sama-sama penuh kesalahan dengan orang kita dzolimi masih saja merasa benar dan bersih dengan cara mencari aib sesama?

Selain menutupi aib orang lain, kita juga wajib menutupi aib diri sendiri. Jangan sampai karena terlalu sibuk menutupi aib orang lain, aib sendiri menjadi bahan gunjingan orang sekitar. 

Pandai-pandailah menjaga lisan dan tingkah laku di manapun kita berada karena lidah dan perilaku yang selalu dibiarkan mengumbar apa yang tengah dirasakan dengan dalih kebebasan berekspresi suatu hari nanti akan menjerumuskan pemiliknya. Alloh ﷻ sudah menutupi aib hamba-Nya, jangan sampai kita membongkar aib sendiri demi apapun.

Menutupi aib dan kesalahan seseorang sama saja dengan menjaga harkat martabat dan harga diri orang tersebut. Kita telah menolongnya dari rasa malu dan cemooh khalayak ramai. 

Membantunya menutupi masa lalunya yang kelam berarti membantu namanya bersih seperti hakikat seorang Muslim. 

Betapa banyak orang yang mengurung diri, depresi hingga memutuskan untuk mengakhiri hidup karena tidak kuasa menanggung malu lantaran aibnya terbongkar dan ramai menjadi pembicaraan orang banyak. Kalau sudah begini, akankah para pelaku ghibah dapat dituntut dengan tuduhan pembunuhan karakter yang mengakibatkan korbannya bunuh diri?

Sahabat-sahabatku...

Mari kita mengazzamkan dalam hati untuk menjadi pemutus rantai ghibahan tentang aib seseorang demi menutup kebutuhan tersebut agar tidak banyak orang yang mengetahuinya. 

Juga, tutuplah aibmu sendiri. Bertaubatlah dari kesalahan-kesalahan di masa lalu dan berusahalah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jangan karena Alloh ﷻ selalu menutupi aib kita, lantas kita bebas berbuat maksiat sekehendak hati. Nauzubillah min dzalik.

Wallahu a’lam bishawab

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Sahabat-sahabatku...

Sesungguhnya Alloh ﷻ meminta kita untuk menutupi aib sesama muslim. Seandainya kita melihat ada kekurangan yang dimiliki saudara kita, alih-alih menyebarluaskannya, lebih baik kita menyimpannya sendiri dan mendatangi saudara kita tersebut untuk memberinya nasihat.

Agar lidah kita tidak gatal untuk mengungkap aib orang lain, nasihat dari Abdullah Al Muzani ini bisa kita renungkan:

“Jika iblis memberikan was-was kepadamu bahwa engkau lebih mulia dari muslim lainnya, maka perhatikanlah. Jika ada orang lain yang lebih tua darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Orang tersebut telah lebih dahulu beriman dan beramal sholih dariku, maka ia lebih baik dariku.” Jika ada orang lainnya yang lebih muda darimu, maka seharusnya engkau katakan, “Aku telah lebih dulu bermaksiat dan berlumuran dosa serta lebih pantas mendapatkan siksa dibanding dirinya, maka ia sebenarnya lebih baik dariku.” Demikianlah sikap yang seharusnya engkau perhatikan ketika engkau melihat yang lebih tua atau yang lebih muda darimu.”

Semoga Alloh ﷻ menguatkan hati kita untuk tidak menyebarluaskan aib sesama muslim. 

Wallahu a’lam bishawab

Mohon Maaf Lahir Dan Batin.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar