Kamis, 30 Juni 2022

KAYA TAPI ZUHUD

 


OLeH: Ummi Yulianti, S.Pd

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸 KAYA TAPI ZUHUD

Segalanya milik Alloh ﷻ apa yang ada di langit dan bumi, kenikmatan dan kesusahan asalnya dari Alloh ﷻ sudah selayaknya kita panjatkan puji dan syukur hanya kepada Alloh ﷻ. 

Agama Islam adalah agama yang mengangkat dan membebaskan manusia dari zaman jahiliah zaman kegelapan menuju ke zaman yang terang benderang, sudah selayaknyalah kita sebagai umatnya senantiasa menghaturkan sholawat dan salam hanya kepada Nabi Muhammad  ﷺ.

ZUHUD adalah berpaling dari sesuatu karena menganggapnya hina dan kecil, sebab ia tidak membutuhkannya karena merasa sudah cukup dengan sesuatu yang lebih baik dari padanya.

Seseorang bisa disebut disebut zuhud ketika ia berlimpah harta, namun ia tidak terpesona dan terbuai karenanya. Sebab ia yakin apa yang ada disisi Alloh ﷻ lebih baik dari apa yang ada di gengaman tangannya.

Alloh ﷻ berfirman, “Apa yang ada di sisimu akan lenyap dan apa yang ada di sisi Alloh ﷻ akan kekal.” (QS. Annahl-96).

Mereka yang zuhud tidak merasakan berat berbagi karena hartanya bukan di hatinya, melainkan di tangannya yang begitu mudah ia lepaskan kepada mereka yang membutuhkannya.

Ibnu Taimiah berkata:

“الزهد ترك ما لا ينفع فى الإخرة والورع ترك ما تخاف ضرره فى الأخرة“

"Zuhud ialah meninggalkan apa yang tidak memberikan manfaat di akhirat nanti dan wara ialah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”

Seorang bisa melakukan zuhud ketika ia kaya, begitu juga seseorang disebut hemat ketika ia sedang berlimpah harta. Karena jika orang miskin yang melakukannya, bagaimana ia bisa hemat, sedangkan ia berada dalam kekurangan.

Sufyan Attsauri berkata, “Zuhud di dunia ialah pendek angan-angan bukan dengan cara makan yang kasar-kasar dan tidak memakan mantel.”

Orang yang zuhud bukanlah mereka yang berpakaian compang-camping dan terlihat lusuh, tetapi mereka yang zuhud adalah ia yang memilki mobil dan rumah mewah tetapi semuanya dijadikan kendaraan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan ia tidak silau dengannya.

Imam Ahmad berkata:

“Zuhud ialah tidak bergembira karena mendapatkan harta dan tidak bersedih hati karena tiadanya harta.”

“Zuhud adalah tidak kecewa ketika apa yang dimilkinya lenyap.” (Ibnu Kahfi).

Sedih ketika apa yang kita miliki hilang adalah wajar, namun bagi mereka yang zuhud maka ia tidak akan larut dalam kesedihan ketika mobil, motor atau handphone raib. Karena ia yakin apa yang ada di tangan lebih baik dari apa yang 
tidak ada di tangannya. Dan ia yakin jika Alloh ﷻ mengambil sesuatu darinya, maka Alloh ﷻ akan menggantinya dengan yang lebih baik jika ia mau bersabar.

Hal ini senada dengan firman-Nya:

“Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Alloh ﷻ tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid : 23)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang orang yang memilki uang 1000 dinar, apakah dia termasuk orang yang zuhud? Beliau menjawab, ”Ya dengan syarat jika ia tidak bergembira bila bertambah dan tidak sedih bila berkurang.”

Karenanya boleh jadi mereka yang zuhud adalah mereka para milyarder, dimana uangnya tidak berseri, namun hatinya tidak sedikitpun terpaut dengannya dan mereka yang terlalu cinta dunia di tengah-tengah kita bisa jadi mereka yang terlihat kumuh dalam penampilan namun hatinya terhujam kedalam gemerlapnya pesona duniawi.

Ada data menarik yang disampaikan al-Mas’udi dalam kitabnya Muruj al-Dzahab terkait harta kekayaan para sahabat Rasulullah ﷺ. Zubair bin Al-Awaam meninggalkan 59,8 juta dirham setelah wafat. Konon, beliau memiliki 1.000 budak, 1.000 kuda, 11 rumah megah, juga ratusan hektare tanah dan perkebunan yang tersebar di Madinah, Basrah, Kufah, Fustat dan Iskandariyah. Selain itu, beliau juga seorang saudagar.

Abdurrahman bin Auf saat awal berhijrah ke Madinah tidak memiliki harta sepeser pun. Tapi, tak lama kemudian beliau menjadi orang paling kaya se-Madinah. Menjelang akhir hidupnya, beliau mewasiatkan agar sebagian hartanya dibagikan kepada 100 ahli Badar yang masih hidup. Masing-masing mendapat jatah 400 dinar. Selain itu, beliau memiliki 1.000 budak yang telah dibebaskan, 1.000 unta, 100 kuda, juga 3.000 domba yang digembalakan di Baqi’.
 
Zaid bin Tsabit meninggalkan 300 ribu dinar serta ratusan ton emas dan perak.

Ibnu Mas’ud, selain memiliki 50 budak dan hewan ternak, meninggalkan 9.000 ton (mitsqal) emas dan beberapa rumah megah di pelosok-pelosok Irak.

Al-Khabab bin al-Irts, sahabat Rasul ﷺ yang terkenal miskin, di akhir hidupnya mewasiatkan untuk membagi-bagi sisa hartanya yang berjumlah 40 ribu dinar.

Fakta ini menunjukan bahwa para sahabat adalah orang-orang kaya. Tapi, kekayaan mereka tidak lantas membuat mereka lupa akan akhirat. Mereka hidup zuhud. 

Ali bin Abi Thalib menjelaskan, zuhud tersimpul dalam dua kalimat dalam Al Quran, supaya kamu tidak bersedih karena apa yang lepas dari tanganmu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadamu.

Orang yang tidak bersedih karena kehilangan sesuatu darinya dan tidak bersuka ria karena apa yang dimiliki, itulah orang yang zuhud. Dari tafsir yang dikemukakan Ali bin Abi Thalib tersebut, kita dapat melihat dua ciri orang yang zuhud dalam pandangan Alloh ﷻ.

◾Pertama, Zaid tidak menggantungkan kebahagiaan hidupnya pada apa yang dimilikinya. Zuhud adalah pola hidup menjadi. Zaid tidak memperoleh kebahagiaan dari dengan memiliki.

Para sahabat Rasulullah ﷺ tidaklah membuang semua yang dimilikinya, tetapi mereka menggunakan semuanya itu untuk mengembangkan dirinya. Kebahagiannya tidak terletak pada benda-benda mati, tetapi pada peningkatan kualitas hidupnya.

◾Kedua, kebahagiaan seorang Zaid tidak lagi terletak pada hal-hal yang duniawi, tetapi pada dataran rohani. Kedewasaan kepribadian jiwa kita terletak pada sejauh mana kecenderungan kita pada hal-hal yang rohani. Makin tinggi tingkat kepribadian kita, kebahagiaan rohani meningkat. Dua prinsip inilah yang dipegang para sahabat.

Al-Ghazali menegaskan, zuhud itu menghilangkan keterikatan hati dengan dunia, tapi bukan berarti menghilangkannya. 

Para sahabat memiliki kekayaan dunia, tapi tidak punya keterikatan hati dengan materi. Harta bagi mereka hanyalah fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Alloh ﷻ, bukan untuk tujuan hidup. 

Karena itu, petuah Rasul ﷺ harus dipegang erat-erat dalam sikap hidup kita, “Bekerjalah untuk duniamu seolah engkau hidup abadi dan beramalah untuk akhiratmu seolah engkau akan mati besok.” (HR. al-Bazzar).

Demikian Paparan kali ini
Yang benar datangnya dari اللّه. Yang salah dari ketidaktahuan ana yang masih fakir ilmu agama.

Mohon maaf jika ada salah-salah kata dalam penulisan.

 العلم بلاعمل كا لشجر بلا ثمر

Ilmu itu apabila tidak diamalkan bagaikan pohon yang tidak berbuah.

 جزاكم الله خير جزاء شكرا وعفوا منكم...
فا استبقوا الخيرات...

والسلام عليكم ورحمة الله و بر كاته

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Cucu Cudliah ~ Tasikmalaya
Ustadzah, zuhud bisa diartikan menghilangkan kemelekatan dirinya terhadap dunia.

Langkah-langkah apa yang harus dimiliki supaya tercapainya zuhud? Syukron

🌸 Jawab:
Kalau melihat dari teladan Rasulullah ﷺ dan para sahabat RA adalah dengan ringan tangan berbagi atau bersedekah. Pada materi 2 contoh sahabat-sahabat yang mempunyai kekayaan yang banyak tapi juga begitu ringan bersedekah, yang maasyaaAllah sedekahnya sampai ribuan dirham yang kalau di rupiah kan 1 dirham itu kurang lebih 1 juta. Bayangkan ratusan juta bahkan menyentuh milyaran untuk sedekah, maasyaaAllah. 

Kita mungkin belum bisa seperti generasi sahabat. Tapi bisa dimulai dengan merutinkan sedekah subuh, sedekah Jum'at dan lain-lain. Hal ini salah satu ikhtiar kita menuju zuhud.

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣2⃣ Apni ~ Garut
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

'Sebatas mana kita boleh mengekspresikan atau menunjukan kebahagian ketika kita mendapatkan sesuatu yang membuat kita senang?

Wassalammua'laikum warahmatullahi.

🌸 Jawab:
Wa‘alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Ketika mendapatkan kebahagiaan, ekpresi yang utama adalah dengan ucapan Alhamdulillah apalagi kalau ditambah sujud syukur. Karena dengan melakukan hal tersebut kita menyadari bahwa kebahagiaan tersebut pemberian Alloh ﷻ bukan semata-mata karena kepintaran dan usaha kita dengan demikian kita pun akan terhindar dari sikap sombong.

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣3⃣ Aisya ~ Cikampek 
Assalamualikum warahmatullahi wabarakatu ustadzah.

1. Bagaimana dan bolehkah kita menilai orang ini zuhud atau tidak ustadzah?
Bisakah kita menilai dari luar?

2. Ustadzah, bagaimana mencari teman untuk mensupport kita agar tidak mencintai dunia harus yang seperti apa?

Dan apakah ada perbedaan zuhud dan war'a ustadzah.
Mohon penjelasannya.

🌸 Jawab:
Wa‘alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

1. Sebaiknya kita menghindari dari sibuk menilai orang lain, lebih baik kita disibukkan dengan menilai diri sendiri.

2. Cari teman sholih yang gemar bersedekah, atau ikut komunitas yang berhubungan dengan sedekah, karena orang yang gemar bersedekah insyaaAllah tidak cinta dunia. Mba sekarang gabung komunitas BS juga salah satu ikhtiar agar tidak cinta dunia.

3. Zuhud sudah diterangkan tadi pada materi ke-1 ya. 
Wara' itu berhati-hati menghindari atau bahkan meninggalkan wilayah abu-abu atau subhat yang diragukan kehalalannya.

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣4⃣vAisya ~ Cikampek
1. Ustadzah, apa yang dilakukan orang yang zuhud ketika menghadapi kondisi ekonomi yang sulit?

Apakah zuhud itu harus tentang harta?

2. Apakah zuhud itu ada batasanya kah?
Jazakillahu khair bunda.

🌸 Jawab:
1. Ikhtiar terus dan bersabar tanpa batas serta husnudzon pada Alloh ﷻ meyakini Alloh ﷻ akan berikan jalan keluar.

2. Tidak ada batasan dalam zuhud. Semakin kita tidak terikat pada dunia, semakin zuhud kita. Tapi sekali lagi bukan berarti kita menjadi tidak mau berusaha. Tetap berusaha agar harta yang didapatkan bermanfaat untuk sesama.

Wallahu a’lam bishawab

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

"Zuhudlah di dunia maka Alloh ﷻ akan mencintaimu, dan zuhudlah dari apa yang di tangan manusia maka manusia akan mencintaimu." (HR. Ibnu Majah dan lain-lain dengan sanad Hasan).

Wallahu a’lam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar