Kamis, 30 Juni 2022

MEMAAFKAN ITU MUDAH

 


OLeH: Ustadz Akhyar Al Banjary, S.Pd.I

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸 MEMAAFKAN ITU MUDAH

بِسْمِ اللهِ 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ


ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪَ ﻟِﻠَّﻪِ ﻧَﺤْﻤَﺪُﻩُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻌِﻴْﻨُﻪُ ﻭَﻧَﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُﻩْ ﻭَﻧَﻌُﻮﺫُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﺭِ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻨَﺎ ﻭَﻣِﻦْ ﺳَﻴِّﺌَﺎﺕِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻨَﺎ، ﻣَﻦْ ﻳَﻬْﺪِﻩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓَﻼَ ﻣُﻀِﻞَّ ﻟَﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﻓَﻼَ ﻫَﺎﺩِﻱَ ﻟَﻪُ. ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻻَ ﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻻَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ. 

ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬﺎَ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺣَﻖَّ ﺗُﻘَﺎﺗِﻪِ ﻭَﻻَ  ﺇِﻻَّ ﻭَﺃَﻧﺘُﻢْ ﻣُّﺴْﻠِﻤُﻮْﻥَ.

 ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺍﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺧَﻠَﻘَﻜُﻢْ ﻣِّﻦْ ﻧَﻔْﺲٍ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٍ ﻭَﺧَﻠَﻖَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺯَﻭْﺟَﻬَﺎ ﻭَﺑَﺚَّ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﺭِﺟَﺎﻻً ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻭَﻧِﺴَﺂﺀً ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺗَﺴَﺂﺀَﻟُﻮْﻥَ ﺑِﻪِ ﻭَﺍْﻷَﺭْﺣَﺎﻡَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺭَﻗِﻴْﺒًﺎ.

 ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻗُﻮْﻟُﻮْﺍ ﻗَﻮْﻻً ﺳَﺪِﻳْﺪًﺍ. ﻳُﺼْﻠِﺢْ ﻟَﻜُﻢْ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻳَﻐْﻔِﺮْ ﻟَﻜُﻢْ ﺫُﻧُﻮْﺑَﻜُﻢْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﻓَﺎﺯَ ﻓَﻮْﺯًﺍ ﻋَﻈِﻴْﻤًﺎ.

   ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ؛

 ﻓَﺈِﻥَّ ﺃَﺻْﺪَﻕَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﻛِﺘَﺎﺏُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻬَﺪﻱِ ﻫَﺪْﻱُ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺻَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ، ﻭَﺷَﺮَّ ﺍﻷُﻣُﻮْﺭِ ﻣُﺤَﺪَﺛَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَﻛُﻞَّ ﻣُﺤْﺪَﺛَﺔٍ ﺑِﺪْﻋَﺔٌ ﻭَﻛُﻞَّ ﺑِﺪْﻋَﺔٍ ﺿَﻼَﻟﺔٍ ﻭَﻛُﻞَّ ﺿَﻼَﻟَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ.

InsyaAllah pada Rabu yang indah dan penuh berkah ini ana akan menyampaikan materi tentang "Memaafkan Itu Mudah."

Jamaah, sekalian.. 
Pernahkah Anda disakiti, dan masih menyimpan dendam hingga sekarang? Hati-hatilah, karena itu bisa menjadi masalah dunia akhirat. 

Orang yang menyimpan dendam hatinya tidak akan tenang, jika berjumpa dengan orang yang membuatnya dendam. Apalagi jika orang itu satu kantor, apalagi jika satu ruangan, apalagi jika satu rumah. Bahkan seseorang rela memilih shalat di masjid lain, hanya karena ada orang yang menyakitinya di masjid itu. Atau bahkan memilih shalat dishaf kiri, padahal dia tahu di kanan lebih utama, hanya karena tidak ingin shalat di sebelahnya. Dendam dapat menimbulkan sifat hasad yang menyebabkan pelakunya dan orang yang dihasati binasa, memutus silaturahim bahkan menghalangi dari surga Alloh ﷻ. “Tidak akan masuk surga pemutus silaturahim.” (Muttafaq ‘Alaihi).

Karena itu, sifat memaafkan merupakan sifat yang mulia sehingga Islam sangat menganjurkan seorang muslim memiliki sifat tersebut. Dan orang yang mudah memaafkan adalah orang yang mudah bahagia. 

Sifat pemaaf dalam bahasa Arab disebut al-‘afw yang dalam kamus Al Munawwir arti bahasanya adalah penghapusan, ampun, bertambah, atau anugerah.

Secara makna, pemaaf berarti seorang yang rela memberi maaf kepada orang lain, memaafkan kesalahan orang lain tanpa ada rasa benci dan rasa ingin membalas.

Kata al-afw dipakai dalam Al-Qur-an sebanyak 2 kali yaitu di dalam QS. Al-Baqarah: 219 serta dalam QS. Al-A’raf : 199.

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۖ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang berlebih dari keperluan." (QS. Al-Baqarah: 219).

Merujuk laman UNY, kata al-‘afw yang digunakan dalam ayat tersebut bermakna bertambah atau berlebih. Makna itu lalu berkembang menjadi “memaafkan atau menghapuskan" dalam QS. Al-A’raf: 199 berikut ini:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A’raf: 199).

Salah satu dari asma atau nama (sifat) Allah Subhanahu wata’ala, juga menggunakan Al-‘Afw yang maknanya Maha Pemaaf, terdapat dalam QS. Al-Mujadilah: 2.

وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ...

"Dan sesungguhnya Alloh ﷻ Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun."

Walau terkadang berat dan sulit, namun Alloh ﷻ menganjurkan seorang muslim untuk memaafkan orang lain yang berbuat salah kepadanya.

Pemaaf adalah salah satu sifat milik orang yang bertakwa, selain sifat suka bersedekah dan menahan amarah (sabar). Hal itu terdapat dalam QS. Ali-Imran: 133-134 berikut ini:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,"

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Alloh ﷻ menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS. Ali Imran: 133-134).

Memaafkan tidak hanya sekedar formalitas yang terucap saja, namun harus disertai dengan berlapang dada dan ikhlas tanpa ada keinginan untuk membalas kejahatan yang sudah dilakukan oleh orang lain tersebut.

Di dalam Al Quran surat Al-Maidah ayat 13, Alloh ﷻ menegaskan bahwa memaafkan dan membiarkan orang yang berbuat salah (tidak membalas) itu termasuk perbuatan baik yang disukai-Nya.

Memaafkan kesalahan orang lain merupakan suatu tindakan yang terpuji. Ada satu kisah mulia dari Sayyidina Abu Bakar radhiyallahu 'anhu yang memberikan kita pelajaran tentang sikap memaafkan kesalahan orang lain.

Tepat di bulan Sya’ban pada tahun ke-5 Hijriyah pasca perang Bani Musthaliq, muncul peristiwa yang dikenal “hadits ifki” (berita bohong) yang menuduh Sayyidah ‘Aisyah istri Rasulullah ﷺ telah melakukan perselingkuhan dengan salah seorang sahabat Nabi dari golongan Anshar yang bernama Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani.

Tak pelak, tuduhan palsu dan keji itu menimbulkan kesedihan yang besar pada diri Sayyidah ‘Aisyah dan juga keluarga besarnya tidak terkecuali Sayyidina Abu Bakar sang ayah.

Lebih mencengangkan lagi adalah kenyataan bahwa di kalangan keluarga Sayyidina Abu Bakar sendiri ada yang menjadi provokator atas semakin besarnya isu itu, dia adalah Misthah bin Utsatsah.

Misthah bin Utsatsah ialah suami dari bibi dari Sayyidina Abu Bakar, sehingga Misthah ialah sepupunya. Uniknya, karena kemiskinan dan kefakiran yang dialami Misthah, ia mendapatkan santunan rutin dari Sayyidina Abu Bakar untuk menyambung hidup.

Mengetahui bahwa Misthah, sang sepupu yang disantuninya itu turut menjadi provokator atas isu tentang putrinya, Sayyidina Abu Bakar pun marah dan bersumpah tidak akan menyantuninya lagi.

Hingga Alloh ﷻ menegur Abu Bakar dalam Firman-Nya:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ   

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Alloh ﷻ, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh ﷻ mengampunimu? Dan Alloh ﷻ adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini (QS. An-Nur: 22) diturunkan sebab (Sayyidina Abu Bakr) ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ketika itu ia bersumpah tidak akan memberi bantuan (nafkah lagi) kepada Misthah bin Utsatsah setelah ia (ikut) berkata (menyebarkan berita) tentang ‘Aisyah, sebagaimana yang diceritakan sebelumnya (lihat An-Nur: 11). Ketika Alloh ﷻ menunjukkan ketidak-bersalahan (kesucian) ummul mu’minin (Sayyidah) ‘Aisyah. Ia (Aisyah) merasa sangat senang dan tenteram. Alloh ﷻ pun mengampuni orang-orang mukmin yang ikut berkomentar (menyebarkan berita) tentang (Sayyidah Aisyah), dan menetapkan hukum dera terhadap yang layak menerimanya.

Alloh ﷻ mengatakan, "Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh ﷻ mengampunimu?"

Maksudnya, karena sesungguhnya balasan (pahala) sesuai dengan jenis amal (yang dilakukannya), sebagaimana kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Alloh ﷻ pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Alloh ﷻ pun memaafkan (kesalahan)mu juga.   Seketika itu juga (Sayyidina Abu Bakr) ash-Shiddiq berkata: “Benar. Demi Alloh ﷻ, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami.” Kemudian ia kembali memberi bantuan nafkah kapada Misthah (seperti dulu) sembari berujar: “Demi Alloh ﷻ, aku tidak akan mencabut (bantuanku lagi) selama-lamanya,” sebagai pengimbang perkataannya yang lalu, (yaitu ucapan): “Demi Alloh ﷻ, aku tidak akan memberinya bantuan lagi selama-lamanya.” Karena itulah ia, (Abu Bakr) ash-Shiddiq adalah ash-Shiddiq (orang yang sangat terpercaya). Semoga Alloh ﷻ meridhainya dan puterinya (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyad: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 31).

Dari riwayat di atas, kita bisa mengambil pelajaran penting. Yaitu, pelajaran bahwa sebesar apa pun kesalahan seseorang, memaafkan jauh lebih baik daripada menyimpan dendam. Orang yang memaafkan, akan mendapatkan peluang dimaafkan lebih besar dari sesamanya ketika ia berbuat salah.

Karena itu Alloh ﷻ mengajukan pertanyaan, “Apakah kamu tidak ingin bahwa Alloh ﷻ mengampunimu?" (QS. An-Nur: 22)

Pertanyaan ini dijelaskan secara berkait dalam tafsir Ibnu Katsir di atas, yaitu: “Kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Alloh ﷻ pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Alloh ﷻ pun memaafkan (kesalahan)mu juga.” Di sini kita bisa melihat kesinambungan. 

Penjelasannya begini, bagi orang yang beriman, tidak ada seorang pun yang tidak suka mendapatkan ampunan Alloh ﷻ. Semua orang mengharapkan ampunan-Nya. Artinya kita telah mengalami sendiri perasaan itu, hanya saja mungkin hati kita masih kurang tajam dalam merasa. Karena seharusnya orang yang pernah mengalami tahu bagaimana susahnya memendam rasa bersalah; tahu bagaimana beratnya penantian dimaafkan. Apalagi jika orang tersebut benar-benar merasa bersalah dan meminta maaf seperti kasus Misthah bin Utsatsah di atas. 

Karena itu, Alloh ﷻ mengajukan pertanyaan tersebut. Berhubung Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq memiliki keluasan perasaan dan kecerdasan hati, ia langsung paham maksud ayat tersebut. Ia mencabut sumpahnya dan kembali memberi bantuan nafkah untuk Misthah bin Utsatsah. Padahal kesalahan yang dilakukan Misthah bukan kesalahan biasa. Ia ikut menyebarkan fitnah tentang Sayyidah Aisyah, puteri kesayangan Abu Bakr ash-Shiddiq. 

Jamaah sekalian, sebagian orang berpikir memaafkan itu sulit. Namun yang membuat sulit itu adalah kita tidak mengetahui bahwa ternyata dia bukan berusaha memaafkan, tapi hanya berusaha melupakan. Padahal memaafkan dan melupakan itu adalah dua hal yang berbeda.

Memaafkan itu diperintahkan Alloh ﷻ, artinya ia bisa kita lakukan bahkan mudah bagi orang yang beriman. Sementara melupakan adalah hal yang berbeda, karena itu memang berat dan diluar kemampuan manusia. Karena jika Alloh ﷻ ingin membuat kita lupa, maka kita tidak akan mampu mengingatnya dan sebaliknya. Karena itu Alloh ﷻ memerintahkan kita untuk memaafkan, bukan melupakan. 

Kita kadang terlalu fokus melupakan, lupa memaafkan, tanpa harus berusaha melupakan. Karena masalah kita dengan seseorang itu, ibarat kendaraan dia adalah kaca spionnya. Jangan dilirik terus menerus, karena akan menghambat perjlanan kita di masa depan, bahkan bisa menyebabkan kecelakaan, atau masalah pada orang-orang yang Alloh ﷻ kirim di masa depan, anak dan pasangan. 

Maka maafkanlah, dengan begitu pahala sabar terus mengalir. Teringat lagi, maafkan lagi. Kalau masih teringat, artinya kita belum lulus dari ujian itu, Alloh ﷻ masih ingin kita belajar. Tapi saat kita sudah bisa mengambil hikmah dari masalah, ketika teringat bukannya marah atau sedih, malah bersyukur kepada Alloh ﷻ. Kelak kita akan lupa dengan sendirinya. Dan bersiaplah dengan ujian baru lainnya. Yakinlah, pasti ada hikmah indah dari Alloh ﷻ. Maka pandanglah dari sudut pandang yang lain, agar hikmah dari masalah itu bisa kita temukan dan mampu bersyukur yang membuat kita kiat dan menjadi pribadi yang sabar.

Jika ada yang salah dalam hidup kita, jangan salahkan Alloh ﷻ sebagai sang sutradara, karena skenario-Nya itu sempurna. Barangkali kitalah aktor yang payah, tidak bisa memahami isi naskah (Al Qur’an dan Hadits), atau barangkali kita tidak pernah mempelajarinya, dan bahkan tidak pernah membacanya. Sehingga keliru menjalani peran dalam adegan. Maka wajarlah jika kadang dapat teguran dan Alloh ﷻ gantikan dengan aktor yang lebih baik.

Namun saat ini, bukanlah sebuah pemandangan aneh jika banyak aktor-aktris yang pemalas, tidak ada keinginan sedikitpun dihatinya untuk memahami skenario kehidupannya sendiri. Hingga jelaslah kehidupannya tidak tentu arah, dan ia tidak akan pernah menemui kebahagiaan.

Padahal panggung sandiwara bernama dunia ini akan dirobohkan dalam sebuah suasana dahsyat, dalam sebuah hari yang dijanjikan; hari kiamat, hari yang akan mengakhiri semua skenario kehidupan di dunia ini. Kematian yang akan memutuskan segala harapannya, kematian yang akan membukakan pintu-pintu lain di negeri yang lain.

Di negeri itu pesta mahsyar akan digelar, disana hari hisab dimulai. Disana hanya ada dua kemungkinan, nobel atau penjara, surga yang abadi atau neraka yang juga abadi.

Nobel surga hanya akan diraih dengan keridhaan Alloh ﷻ, ia hanya akan di dapat dengan mengikuti dan mematuhi keseluruhan skenario Agung melalui tuntunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam. Nobel yang nanti akan dianugerahkan oleh Sang Sutradara Raja Diraja di dunia, di hari pembalasan dan hari akhirat yang kekal.

“Genggamlah dunia ini, dengan pemahaman iman dan ilmu. Lalu campakanlah segera dendam sebelum ia mencampakanmu, sebelum ia membutakan matamu, sebelum ia mengikat kedua kakimu, dan sebelum ia benar-benar mengubur tubuhmu.”

Bersiaplah, karena sungguh sang sutradara bisa berteriak "Cut.. Cut..!" kapan saja, seruan yang akan menandai berakhirnya peranan seorang manusia di dunia fatamorgana ini.

Maafkanlah...
Bukankah setiap orang yang hadir dalam kehidupan kita itu telah dikirim oleh Allah ajja wazala. Wajah-wajah yang datang silih berganti itu telah membentuk sebuah rangkaian sejarah di masa lalu kita, yang mengantarkan kita kepada hari ini.

Bukankah Allah ta’ala mengetahui setiap lembar daun yang menguning kemudian jatuh ke tanah?

Apakah mungkin sesosok makhluk yang datang dalam hidup kita tanpa sengaja? Lalu pergi dengan kebencian dan kita membencinya?

Sungguh tidak ada pernah ada kata kebetulan dalam kamus Iman.

Semuanya telah terencana dengan Pengetahuan Ilmu-Nya yang sempurna
Kebaikan yang tidak kita lihat tersembunyi rapi dalam bingkai Hikmah keMahaan-Nya.

Demikian. 

Wallahu a’lam bishawab

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Fatimah ~ Bandung 
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ustadz,

Apabila kita sudah meminta maaf atas apa yang sudah kita lakukan, tetapi yang bersangkutan terlanjur sakit hati dan tidak mau memaafkan katanya, bagaimana ustadz?
Jarak kami terlalu jauh, hingga sulit untuk di dekatin untuk silaturahim. Mohon pencerahannya ustadz.

🌸Jawab:
Wa‘alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

MaasyaAllah... 
InsyaAllah Senin depan ana ada agenda ke Bandung. Kalau kita sudah minta maaf, berarti kita sudah menunaikan kewajiban kita. Jika ia tidak memaafkan, maka itu urusannya dengan Alloh ﷻ. 

Jika yang bersangkutan tidak bisa dihubungi lagi atau sudah meninggal, maka bersedekahlah atas namanya. Berbuat baik pada ahli warisnya. InsyaAllah akan memudahkan urusan, ketika harus dihadapkan dengannya di akhirat kelak. 

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣2️⃣ Cucu Cudliah ~ Tasikmalaya
Ustadz, memang apabila kita memaafkan karena Alloh ﷻ, hati terasa bebas tidak ada yang mengganjal. Tetapi kadangkala timbul rasa yang tidak bisa lupa dari peristiwa.

Adakah cara menurut syariat, supaya bisa melupakan peristiwa yang tidak mengenakkan?

🌸Jawab:
Caranya memandang dari sudut pandang lain. Karena dalam syariat Islam yang mulia ini, kita tidak diperintahkan kepada suatu sikap, kecuali ada kebaikan yang besar di balik itu semua. Seperti yang ana sampaikan di materi tadi, kita tidak diperintahkan melupakan, tapi memaafkan dan mengambil hikmah dari peristiwa itu. 

Pandang dari sudut pandang yang lain, sampai menemukan hikmah yang mampu membuat kita bersyukur, hingga ketika teringat kita akan bahagia, skenario Alloh ﷻ itu luar biasa.

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣3️⃣ Mellya ~ Pekanbaru
Assalamualaikum ustadz, 

Bagaimana baiknya sikap kita terhadap orang yang berkali-kali membohongi, bahkan dia memblokir kontak dan sosmed,  menjarak agar tidak terulang, apakah sama dengan memutus silaturahmi?

🌸Jawab:
Wa‘alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Harus kita pahami, memutus silaturahim itu, secara syariat jika kita memutus hubungan dengan orang yang memiliki hubungan darah atau rahim dengan kita. Jika kita menjaga jarak atau menghindari orang lain yang tidak ada hubungan rahim, karena khawatir terjadi keburukan jika berinteraksi dengannya, maka itu tidak masalah. 

Wallahu a’lam bishawab

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Jika ada yang salah dalam hidup kita, jangan salahkan Alloh ﷻ sebagai sang sutradara, karena skenario-Nya itu sempurna. Barangkali kitalah aktor yang payah, tidak bisa memahami isi naskah (Al Qur’an dan Hadits), atau barangkali kita tidak pernah mempelajarinya, dan bahkan tidak pernah membacanya. Sehingga keliru menjalani peran dalam adegan. Maka wajarlah jika kadang dapat teguran dan Alloh ﷻ gantikan dengan aktor yang lebih baik.

Namun saat ini, bukanlah sebuah pemandangan aneh jika banyak aktor-aktris yang pemalas, tidak ada keinginan sedikitpun dihatinya untuk memahami skenario kehidupannya sendiri. Hingga jelaslah kehidupannya tidak tentu arah, dan ia tidak akan pernah menemui kebahagiaan.

Padahal panggung sandiwara bernama dunia ini akan dirobohkan dalam sebuah suasana dahsyat, dalam sebuah hari yang dijanjikan; hari kiamat, hari yang akan mengakhiri semua skenanrio kehidupan di dunia ini. Kematian yang akan memutuskan segala harapannya, kematian yang akan membukakan pintu-pintu lain di negeri yang lain.

Di negeri itu pesta mahsyar akan digelar, disana hari hisab dimulai. Disana hanya ada dua kemungkinan, nobel atau penjara, surga yang abadi atau neraka yang juga abadi.

Nobel surga hanya akan diraih dengan keridhaan Alloh ﷻ, ia hanya akan didapat dengan mengikuti dan mematuhi keseluruhan skenario Agung melalui tuntunan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam. Nobel yang nanti akan dianugerahkan oleh Sang Sutradara Raja Diraja di dunia, di hari pembalasan dan hari akhirat yang kekal.

“Genggamlah dunia ini, dengan pemahaman iman dan ilmu. Lalu campakanlah segera dendam sebelum ia mencampakanmu, sebelum ia membutakan matamu, sebelum ia mengikat kedua kakimu, dan sebelum ia benar-benar mengubur tubuhmu.”

Bersiaplah, karena sungguh sang sutradara bisa berteriak "Cut.. Cut..!" Kapan saja, seruan yang akan menandai berakhirnya peranan seorang manusia di dunia fatamorgana ini.

Maafkanlah...
Bukankah setiap orang yang hadir dalam kehidupan kita itu telah dikirim oleh Allah ajja wazala.

Wajah-wajah yang datang silih berganti itu telah membentuk sebuah rangkaian sejarah di masa lalu kita, yang mengantarkan kita kepada hari ini.

Bukankah Allah ta’ala mengetahui setiap lembar daun yang menguning kemudian jatuh ke tanah?

Apakah mungkin sesosok makhluk yang datang dalam hidup kita tanpa sengaja? Lalu pergi dengan kebencian dan kita membencinya?

Sungguh tidak ada pernah ada kata kebetulan dalam kamus Iman.

Semuanya telah terencana dengan Pengetahuan Ilmu-Nya yang sempurna
Kebaikan yang tidak kita lihat tersembunyi rapi dalam bingkai Hikmah keMahaan-Nya.

Demikian. 

Wallahu a’lam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar