Kamis, 30 Juni 2022

FIQH KURBAN


OLeH: Ustadz H. Farid Nu'man Hasan, S.S 

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸 FIQH KURBAN

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah wash sholattu wa salamu ala rasulillah wa ala alihi wa shohbihi wa man walah wala hawla wala quwwata illa billah

Amma ba'du

Kurban diambil dari kata qoroba, yaqrobu, kurban, kurbanan, yang artinya mendekat. 

Dalam Al Qur'an, Alloh ﷻ berfirman: 

اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Inna raḥmatallāhi qarībum minal-muḥsinīn

"Sesungguhnya rahmat Alloh ﷻ dekat dengan orang berbuat baik."

Jadi, tujuan berkurban dalam rangka pendekatan diri kepada Alloh ﷻ, bukan untuk strata sosial bahwa dia mampu untuk beli hewan kurban, bukan untuk kesombongan. 

Kemudian, kurban ini bukan barang baru, bukan aktifitas baru, dia sudah ada sejak zaman para nabi sebelumnya, yaitu nabi Ibrahim Alaihi Salam dan juga kurban bahkan sejak zaman Habil dan Qabil. 

Jadi ini merupakan syar'u man qoblana, syariat sebelum nabi kita, yang tetap menjadi syariat kita, bukan hanya kurban sebenarnya, seperti khitan, puasa sunnah Daud, itu juga syariat sudah ada sebelum zaman nabi Muhammad ﷺ kemudian tetap menjadi syariat kita.

Dalam bahasa fiqh, kurban ada beberapa istilah, selain Qurban ya. 

1. An nahru, yaitu sembelihan. Hal ini berdasarkan firman Alloh ﷻ:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ

fa ṣalli lirabbika wan-ḥar

"Shalatlah kamu untuk mengingat Tuhanmu dan sembelihlah kurban."

2. Al hadyu
Ini istilah kurban bagi mereka yang sedang haji, mereka yang sembelih kurban di tanah haram disebut Al hadyu. Adapun kurban di tanah air selain di luar tanah haram, seperti kita di Indonesia misalnya, atau di negeri lain itu Al Udhiyah yang artinya pengorbanan atau hewan kurban, jamaknya Al Hadhoi.

Dan kurban ini memiliki beberapa syarat ya. Hewan kurban boleh dijadikan hewan kurban. Syaratnya jenis hewan kurbannya itu seperti yang disebutkan oleh para ulama kita, ittafaqal ulama ala ana adonal iwil. Jadi para ulama sepakat yang paling utama adalah unta (tsummal baqar), lalu sapi (summal ghonam), lalu kemudian kambing, alahadar tartib, begitulah urutannya. 

Jadi, tidak boleh di luar itu, karena memang demikianlah aturan mainnya walaupun dengan ayam, dengan ikan, walaupun berton-ton jumlahnya atau beratnya tetap tidak boleh karena memang bukan seperti itu berkurban. 

Lalu kemudian, syarat hewan kurban secara, hewan itu sendiri seperti apa, itu ada dua, pertama itu sehat, tidak boleh berpenyakit seperti misalnya jurba, kulit, sakit kulit, kemudian ajefa (kurus), lalu kemudian arja (pincang) dan juga ada penyakit di matanya, ini juga tidak boleh. Lalu kemudian secara umur, dia sudah masuk, untuk kambing minimal 1 tahun, domba 6 bulan, sapi 2 tahun, unta 4 tahun, kalau sudah terpenuhi ini semua maka hewan tersebut sudah boleh dijadikan hewan kurban.

Adapun hukum dari kurban, ada dua pendapat ulama, yang pertama yang mengatakan bahwa kurban itu wajib, ini pendapat Imam Abu Hanifah. Kedua, mengatakan sunnah muakkadah, sunnah yang sangat ditekankan, namun bukan kewajiban, ini merupakan pendapat mayoritas ahli fiqh, baik Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal, bahkan Imam Ibnu Hazm mengatakan tidak ada riwayat yang shohih dari para sahabat nabi yang mengatakan itu wajib. 

Dengan kata lain dari sekian banyak ulama, umumnya ulama mengatakan sunnah muakkadah. Dalilnya adalah, Rasul mengatakan:

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

“Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih kurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya.” (HR. Muslim no. 1977, dari Ummu Salamah).

Hadist ini menggunakan kata  

إِذَا أَرَادَ أَحَدُكُمْ

"Jika kalian ingin berkurban." Kata-kata jika ingin berkurban, kata Imam Syafi'i itu menunjukkan bahwa dia bukan wajib, Al irodah tadhulu anha ghoiru wajibah. Kata-kata kehendak, jika berkehendak menunjukkan itu bukan wajib, itu menunjukkan pilihan saja. Ya ini di antara alasan pihak yang mengatakan sunnah muakkadah. 

Lalu bagaimana sikap kita? 

Sikap kita dalam rangka hurujan minal khilaf, keluar dari perbedaan pendapat maka lebih baik tetap berkurban. Supaya apa? Kalau kita ketemu ustadz yang mengatakan wajib, toh kita sudah berkurban. Kalau kita ketemu ustadz yang mengatakan sunnah muakkadah (tidak wajib), ya apa salahnya kita hidupkan sunnah muakkadah tersebut. Dan ini baik yang bilang wajib atau yang sunnah muakkadah berlaku bagi mereka yang sedang ada rezeki, sedang ada uang, ya untuk membeli hewan kurban. Kalau tidak ada maka ya tidak diwajibkan atau tidak dianggap sunnah muakkadah.

Bagaimana dengan kurban untuk orang tua yang sudah wafat? Atau saudara kita yang sudah wafat? 

Para ulama umumnya mengatakan hal itu boleh dan insyaAllah sampai dan bermanfaat buat orang yang wafat. Dari mana dalilnya, yaitu hadist dari Imam Muslim yang diriwayatkan dari Aisyah RA. Kata Aisyah RA, ketika Rasulullah menjelang menyembelih hewan kurban (kambing), Rasul membaca Bismillah Allahumma taqobbal min Muhammad wa Ali Muhammad wa ummati Muhammad. 

"Bismillah, ya Allah terimalah kurban nabi Muhammad ﷺ, kurban keluarganya dan kurban umat nabi Muhammad ﷺ."

Maka kalimat ini yaitu terimalah kurban umat nabi Muhammad menunjukkan bahwa buat orang wafat boleh, karena umat nabi Muhammad ada dua, ada yang masih hidup dan ada yang sudah wafat. Alasan lain adalah karena kurban ini sama dengan sedekah. Dan sedekah itu boleh untuk orang yang sudah wafat dan tidak ada beda pendapat masalah itu. 

Ketika salah satu sahabat bertanya kepada Rasul tentang ibunya yang wafat, bolehkah aku bersedekah atas nama ibuku, Rasul pun menjawab: Tashodaq anha, Silahkan engkau bersedekah atas nama ibumu. Maka kata Imam Nawawi, ini menjadi dalil dan telah menjadi ijma, kesepakatan, sedekah untuk orang yang sudah wafat itu boleh dan sampai, bermanfaat. 

Kalau kurban bagian dari sedekah maka dia pun juga sama seperti sedekah, yaitu boleh untuk orang meninggal, atas nama orang yang sudah wafat. Inilah pendapat mayoritas seperti Hanafi, Maliki dan Hambali. Justru dalam mahzab Syafi'i, untuk orang meninggal tidak boleh kecuali orang yang meninggal ini sebelum wafat, dia sempat berpesan, berwasiat, bernadzar, atau sempat mewaqafkan kambingnya, misalnya, nah yang seperti itu barulah boleh atas nama yang sudah wafat. Jika tidak, sekedar inisiatif kita saja yang masih hidup, bagi golongan Syafi'iyah tidak sah dan tidak sampai. Ini dua pendapat tersebut, walaupun umumnya para ulama hari ini lebih cenderung ikut pendapat yang pertama bahwa hal itu sampai dan bermanfaat.

Lalu bagaimana dengan orang yang belum aqiqah, apakah dibenarkan untuk kurban? Dalam hal ini ada dua pendapat pula. Qatadah Rahimahullah mengatakan tidak boleh seseorang yang belum aqiqah, dia berkurban, namun mayoritas ahli fiqh mengatakan boleh dan sah, karena keduanya sama-sama sunnah dan hal yang sunnah tidaklah menghalangi sunnah yang lain, sebagaimana orang yang belum sholat tahajud tidak lantas terlarang buat sholat dhuha, boleh-boleh saja. Maka buat mereka yang belum aqiqah, boleh saja dia kurban dan ini pendapat mayoritas ulama. 

Boleh tidak satu hewan dengan dua niat, kurban dan aqiqah sekaligus? Mayoritas ahli fiqh mengatakan tidak boleh, apalagi bagi yang sedang lapang rezeki ya, hendaknya mereka masing-masing tidak digabungkan niatnya dalam satu hewan, kecuali mahdzab Hambali yang mengatakan boleh-boleh saja dan Imam Ahmad bin Hambal pun pernah mempraktikkan ketika anaknya aqiqah, dia niatkan kurban sekaligus. Syeikh Abdul Affaqi mengatakan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah tidak boleh, bahwasannya kurban dan aqiqah tidak bisa disatuniatkan, namun bagi mereka yang sedang sempit rezeki, lagi susah misalnya, dan hanya mampu beli satu kambing, menurut beliau hafidzhahullah bisa jadi pendapat Imam Ahmad bin Hambal paling mungkin bisa dia jalankan saat itu dan ini memiliki hikmah yang banyak bahwa kurban supaya kita dekat dengan Alloh ﷻ dan tidak terombang-ambing oleh harta dan agar kebahagiaan orang yang berada bisa dirasakan oleh orang yang lainnya lalu kemudian juga supaya kebahagiaan dan syiar kurban ini juga tidak hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, ya sehingga kurban ini siapapun umat Islam boleh memakannya, ya haqqul jammi, hak seluruhnya, baik kaya, miskin, pemiliknya atau orang lain, mereka semua boleh untuk mengkonsumsi hewan kurban tersebut. Baik diberikan dalam keadaan matang atau mentah, itu sesuatu yang lapang saja. 
Demikian. 

Wallahu a'lam bishawab

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Rochma ~ Bantul
Assalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh ustadz

1. Apakah hewan kerbau boleh digunakan untuk kurban?

2. Apakah ada ketentuan daging Shohibul kurban (selain sepertiganya), maksudnya apakah Shohibul kurban yang diambil sepertiganya itu dipilih yang bagus-bagus semua atau sudah dicampur rata baru diambil sepertiganya?

3. Apakah Shohibul kurban boleh meminta tulangnya?

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

1. Dalam Al Mausu'ah Al Fiqhiyah disebutkan bahwa Jawamis (Kerbau) boleh, itu masih varian dari baqarah (sapi). 

2. Bebas saja. Shahibul Kurban sunnah memakan kurbannya sendiri, atau boleh juga dengan daging lainnya. 

3. Boleh

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemilik hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.” (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣2️⃣ Cucu Cudliah ~ Tasikmalaya
Wa'alaikumsalam Ustadz
Syukron notulen juga moderator.

1. Apakah batas Aqiqah itu satu minggu atau dua minggu atau sebelum empat belas hari? 

2. Bagaimana kalau kurban tapi sistemnya arisan, misalnya satu sapi oleh tujuh orang selama tiga tahun?

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam Wa Rahmatullah

1. Boleh lebih, bahkan ketika dewasa. 

Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal) untuk aqiqah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke-14 dan ke-21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapanpun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa. Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 كلُّ غلامٍ رهينةٌ بعقيقته: تذبح عنه يوم سابعه، ويحلق، ويسمى 

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqah nya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. Lihat Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr. Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami) 

Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:

 فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ التَّسْمِيَةِ فِي الْيَوْمِ السَّابِعِ وَالرَّدُّ عَلَى مَنْ حَمْلِ التَّسْمِيَةَ فِي حَدِيثِ سَمُرَةَ السَّابِقِ عَلَى التَّسْمِيَةِ عِنْدَ الذَّبْحِ . وَفِيهِ أَيْضًا مَشْرُوعِيَّةُ وَضْعِ الْأَذَى وَذَبْحِ الْعَقِيقَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ . 

“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu.” (Nailul Authar, 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) 

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, memberikan syarah (penjelasan) demikian:

  فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ وَقْت الْعَقِيقَة سَابِع الْوِلَادَة ، وَأَنَّهَا لَا تُشْرَع قَبْله وَلَا بَعْده وَقِيلَ تَجْزِي فِي السَّابِع الثَّانِي وَالثَّالِث لِمَا أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ عَنْ عَبْد اللَّه بْن بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيّ أَنَّهُ قَالَ ” الْعَقِيقَة تُذْبَح لِسَبْع وَلِأَرْبَع عَشْرَة وَلِإِحْدَى وَعِشْرِينَ ” ذَكَرَهُ فِي السُّبُل . وَنَقَلَ التِّرْمِذِيّ عَنْ أَهْل الْعِلْم أَنَّهُمْ يَسْتَحِبُّونَ أَنْ تُذْبَح الْعَقِيقَة يَوْم السَّابِع فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ فَيَوْم الرَّابِع عَشَر ، فَإِنْ لَمْ يَتَهَيَّأ عَقَّ عَنْهُ يَوْم إِحْدَى وَعِشْرِينَ . 

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: sudah mencukupi dilakukan pada hari ke-14 dan ke-21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke-7, jika dia belum siap maka hari ke-14, jika dia belum siap maka di hari ke-21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) Para imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran. Berikut keterangannya:

 قال أبو داود في كتاب المسائل سمعت أبا عبد الله يقول العقيقة تذبح يوم السابع وقال صالح بن أحمد قال أبي في العقيقة تذبح يوم السابع فإن لم يفعل ففي أربع عشرة فإن لم يفعل ففي إحدى وعشرين وقال الميموني قلت لأبي عبد الله متى يعق عنه قال أما عائشة فتقول سبعة أيام وأربعة عشرة ولأحد وعشرين وقال أبو طالب قال أحمد تذبح العقيقة لأحد وعشرين يوما انتهى 

“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke-7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke-7, jika belum melaksanakannya maka hari ke-14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke-21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Adapun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21.’ Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke-21. Selesai.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) 

Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Sementara ‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh  dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke-14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i, Malik tidak menambahkan hingga hari ke-14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke-21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44) 

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

 والذبح يكون يوم السابع بعد الولادة إن تيسر، وإلا ففي اليوم الرابع عشر وإلا ففي اليوم الواحد والعشرين من يوم ولادته، فإن لم يتيسر ففي أي يوم من الايام. ففي حديث البيهقي: تذبح لسبع، ولاربع عشر، ولاحدي وعشرين. 

“Penyembelihan dilakukan pada hari ketujuh setelah kelahiran jika  dia lapang, jika tidak maka pada hari ke-14, jika tidak maka hari ke-21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke-7, ke-14, dan ke-21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi) 

Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke-7. Namun klaim ini lemah dan bertentangan dengan realita perselisihan yang ada. Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

 وَنَقَلَ صَاحِبُ الْبَحْرِ عَنْ الْإِمَامِ يَحْيَى أَنَّهَا لَا تُجْزِئُ قَبْلَ السَّابِعِ وَلَا بَعْدَهُ إجْمَاعًا وَدَعْوَى الْإِجْمَاعِ مُجَازَفَةٌ مَا عَرَفْت مِنْ الْخِلَافِ الْمَذْكُورِ . 

“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke-7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) 

Bolehkah Aqiqah setelah Dewasa? 

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif. Dari Anas bin Malik, katanya:

  عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة   

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq No. 7960) 

Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini? Sanad hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para imam ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya. Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang). Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). 

Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya. Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats) 

Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah) 

Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub Al ‘ilmiyah) 

Imam An Nasa’i mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits [haditsnya ditinggalkan]. (Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332) 

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah di antara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengetahui, dan banyak memutarbalikkan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297) 

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan [lemah sekali]. (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) 

Adapun ulama yang mendhaifkan hadits ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits bathil, sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid) 

Oleh karena itu, dengan dasar dhaifnya hadits ini, ulama kalangan Malikiyah dan sebagian Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa. Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan. Sebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), sehingga terangkat menjadi shahih. 

✓ Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883: Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

 أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة 

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian). 

✓ Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 994: Berkata kepada kami Ahmad, berkata kepada kami Al Haitsam (bin Jamil), berkata kepada kami Abdullah (bin Mutsanna), dari Tsumamah, dari  Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

 أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا 

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diutus sebagai nabi.

✓ Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla, 7/528, Darul Fikr: Kami meriwayatkan dari Ibnu Aiman, berkata kepada kami Ibrahim bin Ishaq As Siraaj, berkata kepada kami ‘Amru bin Muhammad An Naaqid, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Al Mutsanna bin Anas, berkata kepada kami Tsumamah bin Abdullah bin Anas, dari Anas, katanya:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَقَّ، عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ 

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah datang kepadanya masa kenabian. Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang semua riwayat penguat ini:

Aku berkata: "Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujjah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad." (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502) Sehingga, walau sanad hadits riwayat Imam Abdurrazzaq sebelumnya adalah dhaif –karena di dalamnya ada Abdullah bin Muharrar yang telah disepakati kedhaifannya- namun hadits ini SHAHIH LI GHAIRIH karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya, sebagaimana dikatakan Syaikh Al Albani Rahimahullah. (Ibid) 

Ulama yang membolehkan aqiqah ketika sudah dewasa adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah. Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:

 وقال أن فعله إنسان لم أكرهه 

"“Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) 

Imam Muhammad bin Sirrin berkata:

 لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي. 

"Seandainya aku tahu aku belum di aqiqah kan, niscaya akan aku aqiqah kan diriku sendiri." (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718) Imam Al Hasan Al Bashri berkata:

 إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا 

"Jika dirimu belum di aqiqah kan, maka aqiqah kan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki." (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322) 

Dan, inilah pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil ini, InsyaAllah. Hanya saja di negeri kita umumnya, memang tidak lazim aqiqah ketika sudah dewasa. Aquulu qauliy haadza wa astaghfirullahu liy wa lakum. 

Wallahu A’lam.

2.  Arisan hakikatnya berhutang dengan orang banyak. Boleh saja dengan SYARAT:

~ Cicilannya sama atau tetap selama 3 tahun itu agar tidak riba.
~ Hewannya pun dengan kwalitas yang sama.

Tapi itu hal yang sulit. 

Jangan lupa, harga sapi tiap tahun naik. Jika cicilan tetap, sedangkan harga sapi naik, tentu akan dapat sapi yang tidak sebesar tahun sebelumnya sehingga ada pihak yang dirugikan. Maka sebaiknya patungan biasa saja tidak usah arisan.

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣3️⃣ Apni ~ Garut
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ustadz, apakah yang berkurban harus menerima daging hewan kurbannya?

Terus apakah panitia bebas mengambil daging hewan kurban?

Wassalammua'laikum warahmatullahi wabarakatuh.

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

✓ Pemilik Kurban Boleh Makan Kurbannya Sendiri

Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, hal itu sama sekali tidak masalah, baik sedikit atau banyak, bahkan itu SUNNAH. 

Allah Ta'ala yang memerintahkannya:

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“...Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (QS. Al Hajj: 28)

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَمْرٌ مَعْنَاهُ النَّدْبُ عِنْدَ الْجُمْهُورِ. وَيُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ هَدْيِهِ وَأُضْحِيَتِهِ وَأَنْ يَتَصَدَّقَ بِالْأَكْثَرِ، مَعَ تَجْوِيزِهِمُ الصَّدَقَةَ بِالْكُلِّ وَأَكْلِ الْكُلِّ. 

Perintah di sini maknanya adalah anjuran (mandub atau sunnah) menurut mayoritas ulama. Hal yang disukai bagi seseorang memakan hewan hadyu (kurban bagi jamaah haji) dan kurbannya, dan menyedekahkannya bagian yang lebih banyak, namun memang dibolehkan baginya untuk menyedekahkan semuanya atau memakan semuanya.

(Tafsir Al Qurthubi, 12/44)

Dahulu, keyakinan mereka memang tidak boleh makan hewan kurbannya sendiri lalu keyakinan itu telah dikoreksi oleh ayat di atas:

قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: قَوْلُهُ تَعَالَى" فَكُلُوا مِنْها" نَاسِخٌ لِفِعْلِهِمْ، لِأَنَّهُمْ كَانُوا يُحَرِّمُونَ لُحُومَ الضَّحَايَا عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَا يَأْكُلُونَ مِنْهَا - كَمَا قُلْنَاهُ فِي الْهَدَايَا- فَنَسَخَ اللَّهُ ذَلِكَ بِقَوْلِهِ:" فَكُلُوا مِنْها" وَبِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (مَنْ ضَحَّى فَلْيَأْكُلْ مِنْ أُضْحِيَتِهِ) وَلِأَنَّهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ أَكَلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ وَهَدْيِهِ. وَ

Sebagian ulama berkata: firman-Nya: "Makanlah olehmu sebagian darinya" merupakan nasikh (penghapus) perilaku mereka, karena dulu mereka mengharamkan daging kurban mereka sendiri dan tidak memakannya - sebagaimana yang kami ceritakan tentang daging hadyu-, lalu Alloh ﷻ hapuskan hal itu dengan firman-Nya: "Makanlah olehmu sebagian darinya," serta hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: "Siapa yang berkurban hendaknya dia makan kurbannya," Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pun pernah makan kurban dan hadyu-nya. (Ibid, 12/46)

Imam Al Khathib asy Syarbini Rahimahullah mengatakan:

(وَيَأْكُل من الْأُضْحِية المتطوع بهَا) أَي ينْدب لَهُ ذَلِك قِيَاسا على هدي التَّطَوُّع الثَّابِت بقوله تَعَالَى {فَكُلُوا مِنْهَا وأطعموا البائس الْفَقِير} أَي الشَّديد الْفقر وَفِي الْبَيْهَقِيّ أَنه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم كَانَ يَأْكُل من كبد أضحيته

"Hendaknya dia makan hewan kurban sunnahnya, yaitu dianjurkan baginya memakannya diqiyaskan dengan hadyu yang sunnah, sebagaimana begitu kuat dalilnya dalam firman Allah Ta’ala: “Makanlah olehmu sebagian darinya dan sebagian lain berikan kepada orang-orang fakir.” Yaitu yang kefakirannya berat. Dalam riwayat al Baihaqi disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakan hati hewan kurbannya." (Al Iqna’, 2/592)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah memaparkan cara pembagian sebagai berikut:

للمهدي أن يأكل من هديه الذي يباح له الاكل منه أي مقدار يشاء أن يأكله، بلا تحديد، وله كذلك أن يهدي أو يتصدق بما يراه. وقيل: يأكل النصف، ويتصدق بالنصف وقيل: يقسمه أثلاثا، فيأكل الثلث، ويهدي الثلث، ويتصدق بالثلث

“Si pemiliki hewan kurban dibolehkan makan bagian yang dibolehkan baginya sesuai keinginannya tanpa batas. Dia pun boleh menghadiahkan atau mensedekahkan sesuka hatinya. Ada pula yang mengatakan dia boleh memakannya setengah dan mensedekahkan setengah. Dan dikatakan: dibagi tiga bagian, untuknya adalah sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.” (Fiqhus Sunnah, 1/742-743)

Tapi, jika kurban wajib seperti kurban karena NADZAR para ulama berbeda pendapat atas kebolehan memakannya. Dalam Al Mausu’ah tertulis:

اما اذا وجبت الاضحية ففى حكم الاكل منها اختلاف الفقهاء

"Adapun jika kurban yang wajib, maka hukum memakannya para ulama berselisih pendapat." (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, 6/116)

Pihak yang melarang mengatakan kurban yang wajib maka seperti sedekah wajib (misal zakat), di mana pihak yang bersedekah tidak sepatutnya memakan sedekahnya sendiri. Sementara pihak yang membolehkan menegaskan kebolehan itu berdasarkan keumuman dalil anjuran memakannya tanpa memilih kurban sunnah atau wajib. 

Jika ingin ambil sikap yang hati-hati dalam kurban nadzar  adalah dengan tidak memakannya, tentu itu sangat bagus. 

Demikian. Wallahu a’lam.

Untuk panitia, mereka boleh saja mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena mereka juga "umat Islam" yang berhak mendapatkannya. Kurban adalah hak semua kaum muslimin. Tapi, kesan "memilih" sebaiknya dihilangkan, mereka hendaknya ikhlas menerima bagian apapun. 

Wallahu a’lam bishawab

🔹MaasyaAllah. Terima kasih banyak.

0️⃣4️⃣ Aisya ~ Cikampek 
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

1. Ustadz, bagaimana hukumnya kurban secara bergilir.
Misalnya tahun kemarin Almarhum bapak, tahun ini Ibu, next jika Alloh ﷻ kasih umur panjang tahun seterusnya kurban anak-anaknya satu per satu.

2. Dan perihal aqiqah, bagaimana hukumnya aqiqah sendiri atau oleh diri sendiri untuk sendiri? 

3. Dan bolehkah hewan aqiqah disembelih di hari kurban?
Jadi, misalnya 2 kambing niatnya 1 kurban dan satu aqiqah sendiri? 
Mohon penjelasannya, Ustadz?

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam Wa Rahmatullah wa Barakatuh

1. Satu ekor buat atas nama satu orang, sah.

Satu ekor buat seseorang dan keluarganya, juga sah. Keduanya sama-sama sah.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah berqurban satu kibasy untuk dirinya, dan keluarganya. Dari Aisyah Radhiallahu Anha:

قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

'Nabi mengucapkan: “Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammadin wa Aali Muhammad wa min  ummati Muhammadin (Dengan Nama Alloh ﷻ, Ya Alloh ﷻ terimalah kurban dari Muhammad, dari keluarga Muhammad dan umat Muhammad), lalu beliau pun menyembelih." (HR. Muslim no. 1967)

Abu Ayyub al Anshari Radhiallahu 'Anhu ditanya oleh Atha bin Yassar:

كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

Bagaimana tata cara kurban di zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam? Beliau menjawab: "Dahulu seorang laki-laki berkurban satu ekor kambing untuk dirinya dan keluarganya."

(HR. At Tirmidzi no. 1505, Imam at Tirmidzi berkata: Hasan shahih)

Sahnya kurban satu ekor kambing untuk sendiri dan keluarga, adalah pendapat mayoritas ulama, kecuali Hanafiyah, Beliau memakruhkan. 

Imam al 'Aini Rahimahullah, mengutip dari Imam al Khathabi Rahimahullah:

الشاة الواحدة تجزئ عن الرجل وأهله وإن كثروا وأجازه مالك والشافعي وجماعة وكرهه أبو حنيفة

"Satu ekor kambing itu SAH untuk seseorang, dan untuk keluarganya, walau jumlah mereka banyak. Hal ini dibolehkan oleh Imam Malik, Imam asy Syafi'i, dan segolongan ulama, ada pun Abu Hanifah memakruhkannya."
(Nakhbul Afkar, 12/543)

2. Meng-Aqiqahkan untuk diri sendiri sah. Sebagaimana Rasulullah ﷺ mengaqiqah dirinya sendiri saat sudah menjadi Rasul. Hadits tentang ini banyak, satu sama lain saling menguatkan sehingga hadits tersebut shahih.

3. Aqiqah disembelih di waktu hari kurban, sama sekali tidak masalah. Bilang saja ke penjagalnya, ini buat aqiqah, itu buat kurban. 

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣5️⃣ Ratnah ~ Cikarang
Assalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh Ustadz.

Bagaimana hukumnya kurban patungan atau iuran misalnya iuran seikhlasnya 200 atau berapa saja nanti terkumpul dananya buat beli sapi, apakah patungan seperti bisa dinamakan ikut berkurban juga? 

Mohon penjelasannya, Ustadz, syukron. 

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam Wa Rahmatullah Wa Barakatuh

Baca sampai tuntas ya...

✓ Serba Serbi Patungan Kurban

(1) Patungan Kurban Sapi

Boleh dan sah menurut mayoritas ulama, kecuali menurut Malikiyah. 

Imam Malik Rahimahullah berkata –seperti yang dikutip oleh Imam Ibnu  
Abdil Bar: 
 
"Tidak diperbolehkan membeli hewan kurban diantara mereka secara  patungan lalu mereka menyembelihnya." (At Tamhid, 12/139)
 
Dalam Fatawa asy Syabakah al Islamiyah no. 29438 tertulis:
 
Adapun patungan dalam pendanaan -jika Unta atau Sapi- maka hal itu  
sah menurut mayoritas ulama secara umum, adapun Malikiyah mengatakan tidak boleh, dan madzhab mayoritas adalah lebih kuat. (Selesai)
 
Pendapat jumhur lebih kuat, berdasarkan hadits:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
  
Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhuma dia berkata: “Kami  menyembelih bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyah yaitu seekor unta untuk 7 orang dan seekor sapi untuk 7 orang.” (HR. Muslim no. 1318)

(2) Apakah harus tujuh orang?

Tidak harus, tujuh orang itu maksimal. Sendiri juga sah, atau dua, tiga, sampai tujuh orang.

Imam Asy Syafi'i Rahimahullah mengatakan:

وإذا كانوا أقل من سبعة أجزأت عنهم ، وهم متطوعون بالفضل

Jika mereka kurang dari 7 orang maka itu SAH bagi mereka, mereka telah mendapatkan keutamaan  tathawwu' (sunnah). (Al Umm, 2/244)

(3) Kalau lebih tujuh orang bagaimana?

Tidak sah patungan qurban sapi lebih dari tujuh orang, se-RT atau sekampung. 

Dalam Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah:

فلا حرج في أن يشترك شخصان أو ثلاثة.. أو أكثر في الأضحية ببقرة أو بدنة ما لم يتجاوزوا سبعة. كما يجوز أن يضحي شخص واحد ببقرة أو بدنة

Tidak apa-apa patungan dua orang atau tiga... Atau lebih dalam kurban Sapi atau Unta selama tidak melebih tujuh orang. Sebagaimana bolehnya seseorang berqurban dengan seekor Sapi atau Unta.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 189873)

(4) Katanya, patungan Unta boleh 10 orang?

Pendapat itu ada, yaitu Ishaq bin Rahawaih Rahimahullah, berdasarkan hadits shahih namun dalilnya telah mansukh (terhapus secara hukum). Sehingga menurut mayoritas ulama tetap maksimal tujuh orang baik sapi atau unta. 

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma mengatakan:

كنا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَحَضَرَ اْلأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي الْبَقَرَةِ سَبْعَةً وَفِي الْبَعِيْرِ عَشَرَةً

"Kami bersama Rasulullah ﷺ  dalam sebuah safar dan masuk hari Idul Adha maka kami berkurban sapi untuk 7 orang dan Unta untuk 10 orang."

(HR. At Tirmidzi no. 1501, shahih)

Tentang 1 Unta untuk 10 orang, berkata Ath Thibiy: "Hadits ini diamalkan oleh Ishaq bin Rahawaih, adapun selainnya mengatakan hadits ini telah mansukh (dihapus hukumnya)." (Syarhul Misykah, 4/1306)

Imam Ali Al Qari mengutip dari Al Muzhhir, dia berkata: 

"Hadits ini diamalkan oleh Ishaq bin Rahawaih, adapun selainnya mengatakan hadits ini telah mansukh oleh hadits yang berbunyi: Sapi untuk 7 orang, Unta untuk 7 orang." (Mirqah Al Mafatih, 3/1086)

(5) Patungan Kambing Bagaimana?

Menurut Ijma' - dan ijma' adalah salah satu sumber hukum Islam - tidak sah patungan kambing untuk kurban. 

Imam an Nawawi Rahimahullah berkata:

 وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الشَّاة لا يَجُوز الاشْتِرَاك فِيهَا . وَفِي هَذِهِ الأَحَادِيث أَنَّ الْبَدَنَة تُجْزِئ عَنْ سَبْعَة , وَالْبَقَرَة عَنْ سَبْعَة 

Para ulama telah IJMA' bahwa untuk kambing tidak boleh patungan. Dan pada hadits-hadits ini menunjukkan bahwa untuk Unta sah untuk 7 orang dan Sapi untuk 7 orang.

(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/67)

(6) Terus, patungan kambing anak-anak sekolah bagaimana dong?

Patungan kurban untuk kambing di sekolah, sebenarnya ini bagus sebagai sarana pendidikan dan membiasakan sedekah. Dan ini dinilai sebagai infaq atau sedekah biasa.

Tapi bisa saja apa mereka kumpulkan dijadikan kurban, agar momen kurban ini tidak sia-sia, caranya kambing itu dihadiahkan atau dihibahkan kepada salah satu guru, atau penjaga sekolah, atau siswa, sehingga kambing itu menjadi milik salah satu dari mereka.

Lalu boleh orang tersebut kurban atas nama dirinya atau keluarganya. Sebab kambing itu telah menjadi miliknya, maka dia sudah bebas memanfaatkannya, dan jika dia berkurban dengan kambing itu maka memang hal yang sudah selayaknya. Adapun anak-anak tadi, semoga mereka tetap dapat nilai ibadah kurban karena mereka menjadi sebab seseorang bisa berkurban.

(7) Boleh tidak seorang yang patungan kurban sapi, dia niatkan pahalanya juga buat keluarganya?

Ya, dengan jalan qiyas, sebagian ulama menyatakan hal itu boleh. Semoga keluarganya juga mendapatkan pahalanya.

قد صح عن النبي عليه الصلاة والسلام أن أمر بالاشتراك في البدنة والبقرة عن سبعة، فإذا أجزأت عن سبعة من الناس، في الضحايا والهدايا، فهكذا يجوز للرجل أن يجعل السبع الذي يذبحه عن نفسه، يكون عنه وعن أهل بيته؛ لأن الرجل وأهل بيته كالشيء الواحد، فلا أرى بأساً في ذلك، حتى يكون السبع عنه وعن أهل بيته، ولا حرج في ذلك.

Telah Shahih dari Rasulullah ﷺ tentang patungan unta dan sapi untuk 7 orang. Jika hal itu sah buat 7 orang, baik dalam kurban dan al hadyu (kurban haji), maka demikian juga sah jika seseorang dari tujuh orang itu menyembelih untuk dirinya, juga untuk keluarganya, karena seseorang dan keluarganya satu kesatuan, itu tidak masalah. Dia jadikan itu untuk dirinya dan keluarganya, tidak masalah hal itu.

(Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Fatawa Nuur 'alad Darb)

(8) Kalau patungan apakah dananya harus sama besar?

Tidak ada ketentuan baku dalam masalah itu. Yang penting mereka yang terlibat dalam patungan tersebut sama-sama tahu dan ridha. Jika si A, 3 juta, si B 4 juta, si C 2,5 juta dan seterusnya, sampai genap seharga sapinya, dan mereka ridha, tidak masalah.

Demikian. Wallahu a'lam

Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa' ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Ibadah kurban bukan hanya sarana mendekatkan diri kepada Alloh ﷻ, tapi cara cerdas melanggengkan nilai amal shalih, sebagaimana sedekah, nilainya akan tetap ada walau kita sudah wafat.

Wallahu a’lam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar