Minggu, 29 Desember 2019

WASPADA, POST POWER SYNDROME



OLeH: Bunda Heradini Faizah, S.Psi

           💘M a T e R i💘

Alhamdulillah akhwati fillah, saya bisa hadir di tengah tengah antunna untuk bersama diskusi tentang POST POWER SYNDROM (PPS).

Mungkin diantara kita tidak ada yang mengalami, Tapi saudara atau orang tua kita yang mengalami.

Post Power Syndrome (PPS) bisa terjadi pada semua kelompok usia. Tidak melulu menimpa orang-orang berumur tua. Semula dianggap paling hebat tapi secara tiba-tiba kehilangan semuanya, bisa juga mengalami kondisi yang sering disebut sindrom pensiun.

"Karena post power syndrome ini bisa terjadi pada orang-orang yang tidak bisa menerima hidupnya," kata Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Siloam Tjhin Wiguna

Post-power syndrome, adalah gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.

Penderita Post Power Syndrome selalu ingin mengungkapkan betapa bangga dengan masa lalu yang dilewatinya dengan jerih payah yang luar biasa (menurutnya).

Post power syndrome (PPS) sindrome ini terjadi pada orang yang tidak bisa menerima hidupnya, individu yang semula merasa hebat tetapi secara tiba-tiba kehilangan semuanya, yang sering juga disebut syndrome pensiun.

Gejala yang muncul pun bermacam-macam dan meliput aspek fisik hingga psikologis. Dikatakan Veronica, gejala yang umum terlihat antara lain: rasa kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, dan merasa kosong.

Pada orang yang pernah memegang jabatan penting, gejala post power syndrome bisa muncul jika ia tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan atau tidak dimintai pendapat. Bisa juga rasa curiga dan tersinggung muncul ketika saran atau pendapatnya tidak dijalankan.

Selain itu orang yang mengalami post power syndrome juga menjadi suka ikut campur dan mengatur secara berlebihan hal-hal di sekitarnya yang bahkan bukan menjadi tanggung jawab ataupun urusannya dan tidak diminta.

Gejala post power syndrome terbagi menjadi tiga, yakni gejala fisik, emosi dan perilaku.

√ Secara fisik, penderita post power syndrome ditandai dengan penampilan yang terlihat lebih kuyu dan sering sakit-sakitan.

√ Sementara gejala emosi ditandai dengan penderita mudah tersinggung, lebih senang menyendiri, pemurung atau sebaliknya lebih cepat marah dan tersinggung jika pendapat atau ucapannya tidak dihargai.

√ Adapun gejala perilaku yang muncul bisa dilihat dari perubahan perilaku penderita yang cenderung lebih pendiam, pemalu atau sebaliknya malah terus-menerus membanggakan kejayaan karirnya di masa lampau.

Terus bagaimana cara mengatasinya?

Penderita sindrom ini memerlukan perhatian dan dukungan dari keluarga serta lingkungan sekitarnya. Berikut ini adalah upaya yang bisa dilakukan untuk membantu mengatasi post power syndrome.

◼1. Jangan malu untuk mengungkapkan perasaan. Ceritakan segala pikiran serta keluh kesah kamu pada orang terdekat. Dengan begitu, perasaan akan lebih lega dan membuka kemungkinan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru.

◼2. Alihkan dengan melakukan kegiatan atau hobi yang selama ini tidak sempat dilakukan. Buat agenda kegiatan yang harus dilakukan setiap harinya. Kesibukan akan meredakan gejala post power syndrome.

◼3. Luangkan waktu untuk berkumpul dengan keluarga atau teman-teman. Kondisi hati yang senang dan santai dapat menyingkirkan pikiran-pikiran negatif.

◼4. Banyak berdoa dan mendekatkan diri dengan sang Pencipta. Dengan begitu kamu akan merasa lebih tenang dan cepat move on dari kejayaan di masa lalu.

Yang terakhir banyak melakukan tilawah Al Quran dan sholat berjamaah.


🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
         💘TaNYa JaWaB💘

0⃣1⃣ Erni ~ Yogja
Ustadzah, saya dibesarkan dalam keluarga sebagai anak tidak pernah diperkenankan mengambil keputusan walau itu untuk kesenangan dan kepentingan saya. Orang tua selalu jadi satu satunya sumber keputusan. Jika ada yang meleset kamilah yang disalahkan. Jika ada yang sukses mereka menganggap hasil perjuangan mereka. Dapat mertua, ipar dan suami dengan karakter yang sama. Maka ketika diawal ditanya apa hobby saya, saya bingung jawabnya. Soalnya kesenangan saya sudah melebur dengan kesenangan mereka semua. Terus dengan kondisi seperti ini apa yang mesti saya lakukan?

Minimal bisa menyelamatkan anak-anak saya dari kebanggaan terhadap diri sendiri dan bisa bersabar menerima perlakuan ini semua. Tapi kalau ada kemungkinan Move On tolong beri jalan keluarnya!
Mohon pencerahan.

🌷Jawab:
Mbak erni, persoalan mbak begitu rumit.
Tapi akan menjadi lebih mudah ketika mbak sudah punya tekad untuk tidak mengulangi hal itu di generasi selanjutnya termasuk anak-anak mbak.

Move On.
Penting itu.
Kita tahu bahwa cara orang tua mendidik dulu salah. Sadari. Dan upayakan jangan terulang ke anak-anak.

Pertama memang yang harus dikasih pengertian suami dulu. Ajak dia untuk membebaskan anak mengambil keputusan sendiri di bawah bimbingan kita. Pertama beri mereka pilihan-pilihan.
Paling mudah adalah menggambar bebas. Biarkan mereka menggambar tanpa arahan.

Sampai dalam hal memilih kegiatan ekstra. Biar mereka sendiri yang memilih. Kita tinggal memaparkan baik buruknya
Dalam memilih sekolah juga gitu. Kita beri pilihan sekolah A, B, atau C.
Biarlah mereka yang menentukan.
Dan masih banyak lagi hal hal kecil yang mendidik mereka untuk mengambil keputusan sendiri.

🔹Bagaimana caranya agar suami bersedia diajak sama-sama ngepras generasi?

🌷Ajak bicara baik-baik. Ajak juga anggota keluarga yang sepemikiran dengan mbak dan dipercaya suami. Ajak suami untuk berpikir efek dari didikan yang selama ini diterima.

🔹Bagaimana kalau beliaunya tersinggung, terus mengungkit kembali kejadian kejadian yang sudah lalu, dikarenakan kami menikah tiada pacaran, setelah romantis love berlalu membuat kami  terkaget-kaget mendapati keadaan pasangan kami yang sesungguhnya hingga muncul perasaan marah, kecewa, dan saling tuduh merasa tertipu.

🌷In syaa Allah ketika hati sudah dipersatukan Allah, tak ada lagi yang tersinggung.

Banyak-banyak berdoa.
Karena menikah tanpa pacaran itu lebih berkah daripada didahului dengan pacaran.

0⃣2⃣ Nenock ~ Surabaya
Assalaamu'alaikum bunda,

Qadarullah saya ditemukan dengan orang yang bergejala tersebut.

Yang pertama papa saya sendiri, yang kadang kalau ngobrol masih suka bawa dulu anak buahku a, b, c, d

Dan suka tersinggung, juga masih suka terbawa emosi pada kami putra-putrinya.

Seolah kami masih staf di kantornya dulu.

Alhamdulillah sudah rajin ke masjid, cuma kondisi psikisnya menurut kami masih labil.

Harus seperti apa kami bersikap?

Yang kedua salah satu narasumber kami di kantor, beliau benar-benar ingin dilayani karena sebelumnya pernah menjadi kepala dinas.

Jadi, kalau mengajar suka naik ojol, itu selalu minta kami yang memesankan.

Sebenernya hal remeh tapi yaaa cukup gemes.

Harus bagaimana kalau seperti itu?

Jazakumullahu khairan bunda.

🌷Jawab:
Waalaikum salam mbak nenock,

Alhamdulillah jika papa sudah mulai bisa menguasai post power syndromnya. Memang berat dan memang harus sedikit-sedikit.

Dirutinkan saja tilawah dan shalat berjamaahnya di masjid. Berkegiatan bersama dengan para jamaah. Akan menambah kesenangan hati. Memang orang tua seperti itu. Suka mengungkit kejayaan masa lalu. Kita? Dengarin saja. Meski puluhan kali dia menceritakannya. Ingat ya, ketika kecil mereka mendengarkan kita berceloteh. Meski kita selalu membicarakan hal yang sama dan menanyakan hal yang sama.

Emosi?
Kondisi emosi seseorang itu seperti kurva. Dari bawah, naik kemudian turun lagi.
Ya begitulah. Kita yang harus sabar. Sebagaimana dulu mereka sabar.
Terus untuk narasumber yang minta dilayani, kalau memang itu sudah watak ya susah juga.
Apa apa minta dilayani. Karena lingkungan dulu membentuk dia seperti itu. Kita mau merubah? Apalah kita.

Kita hanya bisa mengambil pelajaran darinya untuk tidak bersikap seperti itu ketika kita suatu saat nanti ada diposisinya.

0⃣3⃣ Yeyen ~ Bandung Barat
Bunda, bagaimana jika seseorang yang mengalami PPS tidak ada perhatian dan dukungan dari keluarga karena tidak ada yang perduli? Malah semakin menutup diri.

🌷Jawab:
Akan semakin memperparah keadaannya.
Jika ia mampu, ia akan bangkit sendiri.
Namun ia tidak mampu, dia akan -paling parah- mengalami gangguan kejiwaan.
Jadi, jika kita menemui kasus seperti ini, bantu dia.

🔹Tapi jika ia malu untuk mengungkapkan perasaannya dan menutup diri kepada siapapun harus bagaimana baiknya?

🌷Setiap orang punya jenis kepribadian sendiri sendiri. Ada yang ekstrovert. Ada yang intorvert. Orang dengan kepribadian introvert ada kecenderunangan untuk mudah stress dan mengalami benjolan di otaknya. Karena apa apa dipendam sendiri.
Dekati pelan-pelan. Sambil diajak ngomong.
Ngomong tentang apa saja. Sehingga dia merasa nyaman untuk curhat.
Kalau masih sulit juga, ya doakan saja. Semoga semuanya baik-baik adanya.

🔹Berarti saya extrovert bukan ya ...
Saya sejak kecil lebih senang bicarakan untuk apapun, padahal suami introvert jadi saya tetap  apapun dibicarakan dengan baik sampai bisa didengar dan dipahami oleh suami bila perlu ya bicara lagi, diulang sampai bisa mengerti maksud kita.

🌷iya.

🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
 💘CLoSSiNG STaTeMeNT💘

Post Power Syndrom bisa dialami oleh siapa saja.
Yang harus kita lakukan untuk menghadapi hal demikian adalah kita belajar menerima penderita pps apa adanya, tidak merespons kemarahan dengan hal yang sama.

Kita juga bisa menyarankan agar yang bersangkutan mempunyai berbagai aktivitas yang dapat menyalurkan emosi negatif atau ketidakpuasan hidupnya secara lebih konstruktif, seperti mengikuti kegiatan sosial yang menarik, diminta memberikan ceramah dengan topik yang dikuasainya ketika ada acara keluarga, mengajar keterampilan tertentu kepada orang yang memerlukan, menjalani hobi berkebun, dan berolahraga.

Dan satu lagi, mendekatkan diri kepada Allah. Karena dengan cara itulah seseorang bisa legowo menghadapi kondisinya saat ini.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar