Minggu, 31 Oktober 2021

MENANAMKAN AKHLAK MULIA PADA ANAK

 


OLeH: Ustadzah Azizah, S.Pd

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

💎MENANAMKAN AKHLAK MULIA PADA ANAK

بسم الله الرحمن الرحيم

الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته

Apa yang ada dalam pikiran Anda? 
Ketika mendapati seorang anak yang lembut tutur katanya, sopan perilakunya, taat ibadahnya dan terdidik pemikirannya? 
Pasti Anda akan merasa senang untuk berjumpa dan melihatnya.

Kita tentu bisa menerka bahwa anak tersebut terdidik dengan baik dan mendapat bimbingan akhlak yang memadai. 
Mengapa demikian? 
Sebab terbentuknya akhlak yang mulia pada diri seseorang sangat dipengaruhi tempaan pendidikan yang dilaluinya.

Karenanya, sangat penting bagi kita untuk mengisi masa kanak-kanak mereka dengan menanamkan adab dan akhlak yang terpuji. Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah yang murni dan perangai yang lurus. 

Jiwa yang polos ini menerima bentuk perangai apapun yang dipahatkan pada dirinya. Selanjutnya pahatan itu akan meluas sedikit demi sedikit hingga akhirnya meliputi seluruh jiwa dan menjadi tabiat yang melekat padanya. Juga akan menentang segala yang berlawanan dengannya.

🔶TAHAP PERTAMA MENDIDIK ANAK : 

◾Mengajarkan Kalimat Tauhid

Dari ibnu ‘Abbas bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wassalam bersabda :

“Ajarkan kalimat laa ilaaha illallah kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama dan tuntunkanlah mereka mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah ketika menjelang mati.” (HR. Hakim)

Abdurrazaq meriwayatkan : 

“Bahwa para sahabat menyukai untuk mengajarkan kepada anak-anak mereka kalimat laa ilaaha illallah sebagai kalimat yang pertama kali bisa mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali, sehingga kalimat ini menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.”

Ibnul Qayyim mengatakan :

“Diawal waktu ketika anak-anak mulai bisa bicara, hendaknya mendiktekan kepada mereka kalimat laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah dan hendaknya sesuatu yang pertama kali didengar oleh telinga mereka adalah laa ilaha illallah (mengenal Alloh ﷻ) & mentauhidkan-Nya.

Juga diajarkan kepada mereka bahwa Alloh ﷻ bersemayam di atas singgasana-Nya yang senantiasa melihat & mendengar perkataaan mereka, senantiasa bersama mereka dimanapun mereka berada.” (Ahkam Al-Maulud)

Oleh karena itu, wasiat Nabi shalallahu’alaihi wassalam kepada Mu’adz bin jabal radhiyallahu anhu sebagimana yang disebutkan dalam hadits :

“Nafkahkanlah keluargamu sesuai dengan kemampuanmu. Jangan lah kamu angkat tongkatmu di hadapan mereka dan tanamkanlah kepada mereka rasa takut kepada Alloh ﷻ.” (HR. Bukhori, Ahmad, Ibnu Majah, Adabul Mufrad)

Dalam kitab Tuhfah al-Maudûd, Imam Ibn al-Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Yang sangat dibutuhkan anak adalah perhatian terhadap akhlaknya. Ia akan tumbuh sesuai dengan apa yang dibiasakan oleh pendidiknya saat kecil.

Jika sejak kecil ia terbiasa marah, keras kepala, tergesa-gesa dan mudah mengikuti hawa nafsu, serampangan, tamak & seterusnya, maka akan sulit baginya untuk memperbaiki dan menjauhi hal itu ketika dewasa. Perangai seperti ini akan menjadi sifat dan perilaku yang melekat pada dirinya. Jika ia tidak dibentengi benar dari hal itu, maka pada suatu ketika, semua perangai itu akan muncul. Karena itu, kita temukan manusia yang akhlaknya menyimpang, itu disebabkan oleh pendidikan yang dilaluinya.”

Maka, langkah pertama yang harus ditempuh adalah pembinaan akhlak secara nyata melalui keteladanan yang baik dari orang tua. Hingga mereka tumbuh dengan perangai yang mulia dan tidak mengabaikan akhlak-akhlak Islam. 
Terlebih lagi di hadapan berbagai gelombang arus perilaku yang menyimpang.

◾Contohlah Akhlak Rasulullah ﷺ

Beliau menyuruh dan melarang anak. Bercanda dengan mereka, mengajak mereka bermain, membonceng mereka dan murah senyum. Rasulullah ﷺ mendidik dengan kelembutan.

Kelembutan sebagai hukum asal dalam berinteraksi, dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شيء إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شيء إِلاَّ شَانَهُ

“Sejatinya tidaklah kelembutan ketika ada pada sesuatu pasti akan menghiasinya, dan tidaklah ketika dicabut dari sesuatu pasti akan merusaknya.”
(HR. Muslim, 259).

Beliau pun mencela orang-orang yang tidak memiliki kelembutan,

مَنْ يُحْرَمِ الرِّفْقَ ، يُحْرَمِ الْخَيْرَ

“Barang siapa yang dihalangi dari kelembutan maka dia akan dihalangi dari kebaikan.” (HR. Muslim 2592)

Pentingnya kelembutan juga disebabkan kecintaan Alloh ﷻ pada hal tersebut,

 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ

“Sejatinya Alloh ﷻ mencintai kelembutan dalam seluruh urusan.” (HR. Bukhari, 6024).

Bahkan disebutkan bahwa salah satu tolok ukur kebaikan suatu keluarga adalah kelembutan yang ada pada mereka,

إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِأَهْلِ بَيْتٍ خَيْرًا أَدْخَلَ عَلَيْهِمُ الرِّفْقَ

“Ketika Alloh ﷻ menginginkan kebaikan pada penghuni rumah, maka Alloh ﷻ akan masukkan kelembutan kepada mereka.”
(HR. Ahmad, 24427, Shahih Al-Jami’ Ash-Shogir, 303).

Tidak marah-marah di hadapan mereka dan tidak mencela mereka. 

Inilah kunci agar anak merasa dekat dengan kita. Hingga tercipta lah suasana yang hangat. Buahnya kita akan lebih leluasa dan mudah memberikan pengajaran serta pengarahan kepada mereka.

Anas bin Malik radhiyallahu’anhu menuturkan, “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Suatu hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu akupun menjawab, “Aku tidak mau pergi!” Padahal sebenarnya di hatiku akan berangkat menuruti perintah Nabiyullah shallallahu’alaihi wasallam. Akupun keluar sampai akhirnya aku melewati anak-anak kecil yang sedang bermain di pasar. Ternyata Rasulullah shallallahu ’alaihiwasallam mengikuti pelan-pelan di belakang. Aku kemudian melihat beliau ketika sedang tertawa.

Beliau berkata, “Ternyata engkau berangkat juga ke tempat yang kuperintahkan.” Aku menjawab, “Ya, aku berangkat wahai Rasulullah ﷺ!”. Selanjutnya Anas berkata, “Demi Allah, aku menjadi pelayan Nabi selama sembilan tahun. Dan seingatku beliau tidak pernah mengomentari sesuatu yang kulakukan dengan mengatakan, “Kenapa kamu lakukan begitu?” Atau mengomentari sesuatu yang kutinggalkan dengan mengatakan, “Kenapa tidak kamu lakukan ini?”
(HR. Muslim)

Ibnul Mubarok berkata,

تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”

◾Adapun langkah-langkah yang dapat kita ikhtiarkan dalam melakukan pendidikan adab sedari kecil kepada anak, adalah sebagai berikut:

★ 1. Jaga kesucian fitrah anak dengan menjaga pandangan dan pendengarannya dari contoh buruk. Ajarkan 3 hal meminta tolong, meminta maaf, dan ucapkan terima kasih. Ini yang lebih dikenal dengan kecerdasan emosional. 

Untuk itu perlu kiranya dilakukan tindakan pencerdasan emosional sedini mungkin, oleh orang tua kepada anak maupun orang tua itu sendiri.

Dibutuhkannya peran orang tua dalam pembentukan kecerdasan EQ ini pada anak, agar masa depannya lebih terarah dan agar mereka dapat menjadi problem solver baik bagi permasalahannya sendiri maupun terhadap masalah-masalah yang dihadapinya dimana pun mereka berada. Konon, anak yang punya EQ tinggi memiliki kepribadian yang disukai, lebih mudah bergaul dan lebih sehat jasmaninya berkat kemampuannya mengontrol emosi.

Kecerdasan emosional dalam pribadi anak-anak tentu tidak dapat terbentuk dengan sendirinya secara spontanitas, melainkan pelatihan berkepanjangan dimulai dari diri Ayah dan Bunda di rumah sebagai figur yang selalu dicontoh oleh anak, masyarakat lingkungan tempat tinggal dan sekolah.

Beberapa hal yang dapat kita galakkan dalam mendidik kecerdasan emosional pada anak maupun dalam diri orang tua sendiri :

Mengajarkan tata krama dalam keseharian anak, seperti; bersyukur atas setiap apa yang dia miliki dan berterimakasih pada setiap orang yang sudah melakukan kebaikan kepadanya, memaafkan orang lain dengan penuh keikhlasan dan meminta maaf jika bersalah, berlaku jujur dan berani bertanggung-jawab atas setiap perbuatannya yang merugikan orang lain, mengajar kan kepada anak untuk mau peduli atas setiap kesulitan orang lain & memberikan pertolongan semampunya, serta memberi salam kepada setiap orang yang dijumpai. Membangun dan mengembangkan rasa empati anak kepada siapa saja dan dari kalangan mana saja. Rasa empati ini dapat berlaku bagi siapa saja, baik anak-anak maupun dewasa dan orang tua. 

Misalnya, ajarkan kepada anak untuk memenuhi hak-hak sesama seperti; menjenguk yang sedang sakit, memenuhi undangan, bermasyarakat dan bersedekah. Hal yang paling penting dalam pedidikan emosional ini adalah menciptakan hubungan yang harmonis dan komunikatif dengan anak, memberi pujian dan reward atas perkembangan-perkembangan positifnya, tidak serta merta menjadikan amarah sebagai transformasi bahasa didikan, karena pendekatan yang paling jitu dalam melangsungkan proses pendidikan karakter anak adalah dengan menyentuh hatinya, agar anak mau selalu terbuka dengan kita atas setiap permasalahan yang menimpa dirinya ataupun permasalahan yang ia temui di luar rumah untuk diambil hikmahnya dan agar mereka tidak mencari tempat-tempat atau melakukan perbuatan-perbuatan tercela untuk mengekspresikan gejolak emosionalnya sebagai wujud pelampiasan dan kepuasan.

★ 2. Bangun lingkungan yang penuh keteladanan, terutama untuk anak usia balita yang cenderung "copycat" tetapi belum dapat banyak diberi pemahaman. Memberi contoh keburukan atau kebaikan akan lebih terpatri di bandingkan mengajarkan mereka tentang yang mana yang baik dan yang mana yang buruk.

✓ Pendidikan akhlak dan adab.

Akhlak adalah perangai yang dibentuk. Anak-anak mencontoh akhlaq dari lingkungan sekitarnya, terutama orang tua. Dalam mendidik akhlaq anak sholeh dan sholehah peranan teladan orang tua sangat besar. Orang tua harus mampu menjadi contoh pertama dalam mengajarkan akhlaq terpuji seperti jujur, bersabar, rendah hati dan sebagainya. 

Orang tua juga harus bisa mendeskripsikan akhlaq-akhlaq tercela kepada anak, sehingga anak dapat menghindarinya. Orang tua terkadang harus tegas ketika anak melakukan akhlaq tercela, terutama jika hal tersebut terjadi berulang kali. 

Rasulullah ﷺ pernah memberi sanksi kepada anak yang mengkhianati amanah dengan menjewer telinga anak tersebut. Imam an-Nawawi menyebutkan dalam kitab Al-Adzkar: Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu Sinni dari Abdullah bin Bisir ash-Shahabi ra. Yang berkata: “Ibuku pernah menyuruh aku menemui Rasulullah ﷺ dengan membawa setandan anggur. Namun, aku memakan sebagian anggur itu sebelum menyampaikan nya kepada Rasulullah ﷺ. Tatkala aku sampai di hadapan Rasulullah ﷺ, beliau menjewer telingaku sambil berkata, ‘Wahai yang mengkhianati janji.’”

★ 3. Pada usia balita, menghindari lingkungan buruk jauh lebih efektif dibanding berkomunikasi tentang yang baik dan buruk.

Ketika anak melakukan perilaku negatif di usia balita, tetap berikan pengertian dengan kalimat yang singkat padat dan jelas secara berulang untuk menginternalisasi pesan. Namun di usia yang lebih besar, diskusi dalam memberikan pengertian bisa lebih dikembangkan. Terutama dikaitkan dengan dalil Al-Qur'an, hadist, hikmah kejadian, dan sunnatullah sebab akibat dari sebuah perilaku. 

Di antara bentuk kepemimpinan orang tua kepada anggota keluarganya adalah perhatian dengan siapa anak-anaknya bergaul dan bagaimana anak-anaknya bersosial.

Kita semua tahu besarnya faktor lingkungan dalam membentuk karakter manusia, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اَلرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang bergantung pada agama temannya. Maka hendaknya ia melihat dengan siapa dia berteman.” (HR. Abu Daud, 4833 dan Tirmidzi, 2378).

Maka sudah selayaknya orang tua juga turut perhatian dengan teman-teman anaknya, jika baik alhamdulillah, jika ada yang tidak baik maka diminta untuk berteman dengan yang baik saja, dan jika tidak ada yang baik maka seruan hijrah terbuka untuknya.

★ 4. Tetaplah istiqomah membangun identitas diri anak yang positif melalui kegiatan dialog, bercerita kisah teladan, berdiskusi hikmah kejadian, agar anak-anak semakin tahu mana yang benar dan mana yang salah, sehingga ia termotivasi untuk tetap melakukan yang benar meskipun lingkungan melakukan sebaliknya.

Dan sebagian dari kita mungkin LDR dengan keluarga tersebab banyak hal. Coba kita simak bagaimana nabi Ibrahim bersama Ismail kecil.

Ternyata, Ibrahim as termasuk ayah yang jarang hadir dalam time line hidup anaknya; Ismail as.

Sejarah mencatat, setelah meninggalkan Ismail yang masih bayi di gurun Mekkah, Ibrahim as kembali ke Palestina untuk melanjutkan tugas dakwahnya.

Tidak adanya mobil, kereta apalagi pesawat pada masa itu, membuat Ibrahim as tidak mudah untuk bolak balik menengok perkembangan buah hatinya.

Ulama menjelaskan bahwa Ibrahim as baru menengok Ismail lagi ketika dia sudah mulai baligh, dan saat itulah terjadi peristiwa fenomenal penyembelihan yang kita teladani sampai sekarang. Setelah itu, Ibrahim as kembali pada pekerjaannya di Palestina.

Total, sebagian ulama menjelaskan, Ibrahim as hanya 4 kali ke Mekkah sepanjang time line hidup Ismail as.

Pertanyaannya, bagaimana bisa, kehadiran Ayah yang jarang-jarang seperti itu membentuk anak sholih seperti Ismail? Bahkan menjadikan Ismail as sebagai founding father peradaban arab yang menjadi pilihan Alloh ﷻ untuk menurunkan rahmatan lil `alamin`?

Ulama menjawab, peran Ibunda Hajar, yang begitu baik membersamai sang anak memang tidak bisa dikesampingkan. Namun, di antara kunci terbesar kesholihan Ismail as adalah: kesholihan Sang Ayah yang luar biasa.

Para ulama berdalil dengan firman Alloh ﷻ:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ ۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ

"Sesungguhnya waliku ialahlah Yang telah menurunkan Al Kitab (Al Quran) dan Dia menjadi wali orang-orang yang saleh." (QS. Al-A'raf: 196)

Ketika seorang Ayah, istiqomah dalam kesholihan saat harus meninggalkan keluarganya, maka Alloh ﷻ akan menjadi Wali bagi urusan keluarganya, Wali bagi pendidikan anak-anaknya.

Inilah di antara pendidikan anak ala Ibrahim as: kesholihan Ayah.

★ 5. Bonding yang kita bangun sejak awal-awal tahun usia mereka, akan teruji di usia anak sekolah, ketika mereka sudah mulai banyak melihat lingkungan sekitar. Tetaplah istiqomah menjadi guru dan sahabat terbaik bagi mereka sebagai modal utama penjagaan mereka dari pengaruh buruk lingkungan.

★ 6. Ciptakan arus positif dalam lingkungan sosial anak-anak kita. Anggaplah teman-teman anak kita sebagai anak kita sehingga kita memiliki tanggung jawab dakwah terhadap mereka. Akhlak anak-anak sangat dipengaruhi oleh akhlak lingkungan sekitarnya. 

★ 7. Teruslah berikhtiar untuk memupuk keimanan dan ketakwaan anak sedemikian hingga hati anak tunduk kepada Alloh ﷻ dan Rasulullah ﷺ sehingga bersedia berpikir dan bertindak sesuai dengan aturan yang Alloh ﷻ berlakukan pada manusia.

✓ Membiasakan beribadah pada anak.

Patutlah kita mendengar perkataan Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam mendidik anak sholeh dan sholehah, “Agar akidah anak tertanam kuat dalam jiwanya, ia harus disirami dengan air ibadah dengan segala ragam dan bentuknya. Dengan begitu akidahnya akan tumbuh kokoh dan tegar dalam menghadapi terpaan badai dan cobaan kehidupan.”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang anak tumbuh dalam ibadah sampai ajal menjemput dirinya, melainkan Alloh ﷻ akan memberi dia pahala setara dengan 99 pahala shiddiq (orang-orang yang benar dan jujur).”

Mengajarkan anak ibadah dilakukan dengan mengajak anak melaksanakan ibadah-ibadah wajib dan kemudian ibadah-ibadah sunnah. Seperti sholat wajib 5 waktu, puasa ramadhan, sholat sunnah dhuha, puasa senin kamis dan sebagainya. Orang tua harus pandai memberikan keteladanan dalam mengajarkan ibadah kepada anak-anak.

وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَّاب

Noted : dari berbagai sumber
# Bersabar dalam mengajarkan adab oleh Kiki barkiah
# Shahih fiqih ust Rosyid abu Rasyidah
# Orang Tua Menjadi Teladan Bagi Anaknya. Azhma Ulya Elfata dalam rubrik Pendidikan

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Widia ~ Bekasi
Assalamualaikum...

Ustadzah saya bingung dengan anak saya. Sejak ia main diluar rumah, ia menjadi anak yang pembangkit, berkata buruk kepada orang tua dan temannya. Juga sikapnya. Apakah ini kesalahan kami sebagai orang tua dalam mendidik atau dosa-dosa kami di masa lalu sehingga anak kami seperti ini. Maksudnya pembangkit itu berani melawan orang tua dzah. Jazakillah.

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Bissmillaahirohmannirrohiim...

Masa sekolah menengah pertama atau SMP itu, adalah masa-masa mencari identitas, nah ini yang perlu pendampingan khusus. Kalau kita kenal baik dengan anak tersebut, maka kita yang dapat mengambil alih tanggung jawab dari orang tuanya, misal kita kakaknya atau tantenya atau budenya, ajak anak tersebut untuk ngobrol dan mengatakan bahwa kelakuannya tersebut tidak disukai orang.

Sebenarnya anak seumuran anak SMP, sebenarnya sudah diajak berpikir, baik buruknya kelakuan atau perilaku. Jika bunda mempunyai anak seumuran anak SMP itu, bunda akan jelaskan, bahwa sekarang kamu sudah SMP, nanti kalau kamu gagal di perjalanan proses pendidikan kelas 1, 2 atau 3 atau sekarang klas 7,8,9, bagaimana dengan pendidikan ke tingkat selanjutnya, tingkat SMA dan kuliah.

Masa SMP adalah masa persiapan menuju dewasa, kakak atau adik gagal memahamkan diri untuk kedepannya, mau seperti apa, akan sulit untuk menjadi orang yang dapat diberi amanah. Harus ditekankan pada anak-anak, bahwa tiada hal kecil atau jangan menganggap hal kecil itu remeh dan tidak masalah, justru dari hal kecil saja, melihat kredibilitas merasa punya tanggung jawab, merasa punya komitmen menjalankan amanah, maka orang akan berpikir jika dengan hal kecil saja dia amanah, apalagi jika diberi amanah yang besar.

Tapi demikian pula sebaliknya, jika dari hal kecil saja tidak amanah, apalagi hal besar. Misalnya dimintain tolong ke warung buat beli sesuatu dan ada sisa kembalian Rp. 2.000. Jika dengan uang Rp. 2.000 saja tidak dikembalikan, bagaimana yang besar. Hal yang harus ditekankan bahwa sesuatu yang kecil, dimaknakan itu bukan sesuatu yang kecil, tapi itu adalah identitas dan sebuah kredibilitas atau komitmen tanggungjawab sebagai sebuah amanah. 

Karena ketika amanah kecil dapat dituntaskan dan diselesaikan dengan cara yang haq, yang benar, maka orang akan melihat kualitas diri pada si anak. Jika anak memasuki organisasi, akan ada banyak beban yang harus dituntaskan, diselesaikan dan karena semua harus terencana dengan baik. Sebenarnya tiada anak yang nakal atau badung, hanya saja kalau anak itu tidak dibersamai, maka akan timbul sikap negatif, karena masa-masa itu wajar, dia sedang mencari identitas diri, menunjukkan keegoisannya bahwa dia bisa melakukannya semua sendiri, karena dia merasa dia sudah besar.

Tetapi bukan itu yang saya maksud, masalahnya seberapa bisa sih anak mengemban amanah tanggung jawab atas beberapa hal yang seharusnya jadi tanggung jawabnya. Misal mengerjakan tugas-tugas sekolah, bertanggung jawab atas waktunya, alasan kenapa membolos sekolah, tugas kesehariannya. Karena pendidikan itu perlu dimulai dari kecil, jadi anak yang sudah terlanjur nyaman dengan lingkungan luar, maka perlu diingatkan. 

Orang-orang di sekitar anak tersebut adalah orang-orang terdekatnya, yang harus merangkulnya dan jangan menuruti apapun yang menjadi keinginan si anak. Kali waktu, anak perlu shock terapi, karena anak-anak seumuran anak SMP sudah akil baligh. Itu artinya si anak sudah mulai diberikan ta'lim atau pembebanan atas tanggung jawab soal agama dan ini memerlukan pendampingan khusus yang luar biasa, sehingga si anak merasa bertanggung jawab soal agama, bahwa jika meninggalkan salat, maka dia berdosa yang akan ditanggungnya.

Hal ini perlu pembelajaran dan pemahaman dari sejak dini. Lebih mudah melihat contoh yang dilihatnya, karena dia merekamnya dan mendengarnya dengan sempurna. Tanamkan tanggung jawab itu dan perlu diajarkan sedari kecil, karena itu akan menunjukkan kredibilitas dirinya hingga dewasa kelak.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Kiki ~ Dumai
Bunda, jikalau ayah dan bunda nya baru hijrah belakangan ini bun, dan anak sudah menginjak usia baligh, apakah masih bisa untuk di ajak sama-sama belajar memperbaiki akhlak ya bun? Orang tua yang lagi belajar dalam hijrahnya, sambilan mengajak si anak bun.

🌸Jawab:
Bismillahirohmanirohim...
Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu yang baru, karena Alloh ﷻ itu membuka banyak peluang. Ingat bahwa Alloh ﷻ tidak pernah melihat hasil akhir, tetapi Alloh ﷻ melihat, bagaimana kita berproses. Tentu masih ingat cerita yang mungkin pernah dengar, kisah tentang seorang pembunuh yang telah membunuh 99 orang dan ketika ingin bertaubat, dia bertanya pada seorang rahib, lalu rahib tersebut mengatakan dosamu tidak akan terampuni, karena telah menghabisi 99 orang.

Mendengar itu, sang pembunuh tidak terima, hingga akhirnya rahib tersebut dibunuh juga olehnya. Jadi genaplah menjadi 100 orang yang dia bunuh. Lalu dia pergi melanjutkan perjalanan. Di perjalanan, dia bertemu dengan para ulama dan bertanya hal yang sama, apakah dosa-dosanya akan Alloh ﷻ ampuni. Ulama tersebut berkata, bahwa Alloh ﷻ Maha Pengampun, maka jika kamu benar-benar bertaubat dan meyakininya, mohon ampunlah. Ulama tersebut meminta sang pembunuh untuk pergi ke suatu tempat dan memulai hidup yang baru. Dia mengikuti perintah ulama-ulama tadi dan pergi menuju sebuah desa, tapi belum sampai pada tempat yang dituju, orang tersebut meninggal dunia di perjalanan.

Pada saat itu, malaikat mempertanyakan untuk menentukan baik atau buruknya orang tersebut. Masuk neraka karena kejahatannya atau masuk surga. Dikatakan juga bahwa orang tersebut sedang berproses menjadi baik. Ketika diukur kadar baik dan jahatnya, ada kebaikannya lebih banyak, karena sudah bertaubat dan sedang menjalani proses taubat tersebut. 

Akhirnya orang tersebut dianggap baik, karena ditemukan bertaubat dan berusaha memperbaiki diri. Artinya kita tidak boleh berputus asa, kita harus banyak beristighfar pada Alloh ﷻ, agar dihapusnya perbuatan buruk di masa lalu, dengan perbuatan baik di masa ini.

Misalnya dulu sering ke tempat maksiat, sekarang uang yang untuk ke tempat maksiat, cobalah untuk digunakan untuk kepentingan agama, diwakafkan, disedekahkan kepada anak yatim dan sebagainya, dengan niatkan pada Alloh ﷻ, saya ingin menjadi manusia lebih baik dan jauh lebih baik dan ajaklah anak-anak untuk itu.

Ajak anak untuk mari kita sama-sama belajar, jangan dikira ketika orang tua menempatkan anak-anak di sebuah pondok pesantren, mereka telah mempelajari banyak ilmu di pesantren. Ketika mengetahui orang tuanya tidak mengetahui apa-apa, mereka akan merendahkan orang tuanya yang belum memahami tentang agama. Mereka memahaminya, karena mereka belajar, tapi ilmu yang mereka dapatkan, bukan untuk merendahkan orang tuanya dan merasa lebih pandai. Tiada cerita terlambat, karena itu menuju pada kebaikan, karena takdir Alloh ﷻ itu ada dua, tentang kebaikan dan kemudahan.

Maknanya yaitu bahwa Alloh ﷻ memberi hidayah untuk kita menjadi lebih baik. Jadi Alloh ﷻ menerima proses manusia, untuk menjadi lebih baik, bukan hasil akhirnya.

Wallahu a'lam

0️⃣3️⃣ Kiki ~ Dumai
Bunda, apakah pola pendidikan terhadap anak sama ya bun, antara anak laki dan perempuan?

🌸Jawab:
Sejarah pendidikan dalam keluarga, untuk perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan harusnya adil, akan tetapi, pendekatan yang dilakukan berbeda.

Jadi kalau anak laki-laki, jangan sesekali dibiasakan dengan yang lebih cenderung pada sifat alami perempuan, misalnya main boneka-bonekaan, main masak-masakan, atau mungkin yang lain, karena dikhawatirkan akan dapat mempengaruhi tumbuh kembang si anak laki-laki tersebut di masa depannya.

Hal ini kemudian yang amat perlu dipisahkan, bukan berarti anak laki-laki tidak diperbolehkan memasak, karena itu juga adalah keterampilan atau keahlian yang dapat dipelajari. Hanya perilaku si anak yang harus tetap di jaga, agar tetap bersikap seperti layaknya anak laki-laki dan tetap berperilaku sebagai anak laki-laki yang tegas dan bertanggung jawab.

Perempuan pun tetap dididik dengan lemah lembut dan lebih terampil sebagai kodratnya anak perempuan. Bukan berarti tidak dilarang juga untuk belajar hal yang lain, misalnya belajar montir atau lain, akan tetapi lebih mendekatkan pada fitrahnya. Si anak laki-laki dan perempuan tetap bisa belajar mencuci piring, tidak dikhususkan pada anak perempuan saja atau misalnya menyapu atau membenarkan genteng, tidak juga khusus pada anak laki-laki saja.

Semua dapat dikerjakan sesuai porsinya, agar dapat saling membantu. Namun tetap perlu pengawasan saat anak-anak bermain peran, agar tetap sesuai kodrat dan fitrahnya. Jelaskan apa yang menjadi tugas anak laki-laki dan apa yang menjadi tugas anak perempuan. Semua itu perlu dipahamkan, agar apa yang boleh di anak laki-laki dan apa yang menjadi tugas anak perempuan.

Hal ini juga akan menjadi dasar pendidikan yang diberikan seorang ibu untuk anak laki-laki dan anak perempuannya, dengan menumbuhkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab pada anak laki-laki. Tapi sayang kepada anak perempuan. Dengan mengatakan juga laki-laki adalah pelindung bagi perempuan.

Siapapun itu misalnya kepada Ibu, Kakak atau Adik perempuannya. Dan itu menjadi tanggung jawab seorang anak laki-laki. Bukan penyetaraan gender antara anak laki-laki dan perempuan, karena dalam Islam, dikatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Dari semua itu sudah jelas, untuk beberapa hal tertentu, anak laki-laki dan perempuan tetap mempunyai hak yang sama.

Wallahu a'lam

0️⃣4️⃣ Aisya ~ Riyadh 
Assalamualikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Bunda, bagaimana menyikapi atau menegur anak tetangga kita dengan baik, yang maaf kalau main, suka kasih tanda tidak baik seperti  F**k dan tahu perihal hubungan dewasa padahal masih usia dini.
Saya sudah kasih pengertian ke anak saya,
tapi ketika saya mengajak bunda nya untuk memberi pengertian kepada Ananda nya, jawaban bunda nya selalu, (biarin tidak apa-apa, anak masih kecil belum ngerti, nanti juga tahu sendiri).

Konsep mendidik seperti itu apakah langkah awal yang baik bunda?
Mohon penjelasannya bun. 

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam warohmatullah wabaarokatuh. 

Astaghfirullahaladzim.
Jika anak-anak yang belum baligh usianya atau belum waktunya sudah mengetahui kegiatan dalam orang dewasa, itu Subhanallah. Kenapa orang tuanya dapat berkata dengan santai, menyatakan bahwa biarlah saja mereka masih anak-anak. 

Biarkan saja, nanti juga mereka akan paham dan tahu pada saat mereka sudah besar. Naudzubillahimindzalik, ini kita sudah berlepas diri dengan telah menegur orang tua ke anak. Dengan kita sudah mengingatkan, apa yang terjadi dan akan yang menjadi akibatnya, maka tanggung jawab penuhnya ada pada orang tua si anak tersebut.

Bagaimana jika hal itu terjadi di rumah kita? Maka kita harus bersikap tegas dengan anak tersebut, dengan melarang anak tersebut berbuat atau bersikap demikian. Dapat pula kita melarang anak kita untuk berinteraksi dengan anak tersebut. Sibukkan anak kita dengan kegiatan lain, yang dapat mengalihkan perhatiannya dengan anak tersebut. Mengatakan bahwa Bunda sedih karena Bunda mengingatkan anak tersebut, tapi dia tidak mendengarkan, sementara orang tuanya tidak peduli.

Kita mengatakan hal tersebut karena hal yang dilakukan anak tersebut dapat berpengaruh sangat besar pada kehidupan remaja dan dewasa nya kelak. Bagaimana jika dia berperilaku negatif dan mencari penyaluran hasrat biologisnya, karena disebabkan perilakunya itu. Bukan itu saja, hal itu juga akan berakibat buruk dan fatal, naudzubillahimindzalik.

Apalagi kalau orang tuanya tidak dapat mengingatkannya. Karena itu, kita sebagai orang tua, perlu memberi batasan pada anak kita, jika melihat ada anak di lingkungan kita yang berbuat kenakalan seperti itu, dan itu perlu penegasan pada anak kita, karena dia adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua.

Perlu juga dijelaskan pada anak kita, bahwa apa yang tidak kita sukai adalah akhlak dan perilaku anak tersebut bukan orangnya tapi berhubungan dengan adab dan perilakunya yang tidak baik.

Apapun tentang anak itu adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua. Jika si anak berperilaku baik dan jadi anak soleh solehah, itu adalah bentuk investasi kita pada amanah yang Alloh ﷻ beri. Namun jika keburukan yang dilakukan anak, maka orang tuanya lah yang bertanggungjawab pada Alloh ﷻ.

Bukankah agama seseorang itu, bergantung pada temannya. Kalau sama teman terbiasa meremehkan perintah Alloh ﷻ, maka anak yang terbiasa berteman dengan anak lain tersebut. Dan lama-kelamaan akan terpengaruh juga. Intinya, jagalah anak dari pergaulan yang negatif, melindungi dirinya dari lingkungan yang tidak baik tersebut.

Wallahu a'lam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Setiap rumah tangga pasti punya ujiannya sendiri.

Ada yang diuji dengan mertua, suami, ipar, tetangga ataupun anak. Semua adalah proses bagi kita bagaimana menjalankan bahtera tetap dalam kendali yang Haq.

Anak adalah amanah yang sekaligus Investasi ukhrowi nan abadi. Salah mendidik anak, maka kesedihan tidak bertepi yang akan kita rasakan sebagai orang tua.

Menjadi orang tua artinya siap belajar seumur hidup, menggiring bahtera sampai ke Jannah ya. 

Jadikan anak sebagai tabungan amal shalih. Mendidik dengan sungguh-sungguh, berbekal pengetahuan atau wawasan yang komprehensif tentang pola asuh seperti yang dicontohkan Nabi dan para sahabat.

Tidak ada rumah tangga yang tidak bermasalah, karena bahtera tidak akan melaju tanpa terpaan ombak.

Tetap semangat menjadi orang tua yang di rindukan. 

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar