Minggu, 14 Juni 2020

TARHIB RAMADHAN



OLeH  : Ustadz Farid Nu'man Hasan

          💎M a T e R i💎

Bismillahirrahmanirrahim..

Shaum, di ambil dari kata shaama yashuumu, yang artinya amsaka yumsiku - menahan diri.

Adapun secara terminologi, artinya adalah,

الامساك عن المفطرات من طلوع الفجر الي غروب الشمس  مع النية

"Menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai dengan tenggelam matahari dan dibarengi niat."

Kata "niat" harus ada dalam definisi, sebab tanpanya itu bukanlah puasa secara syar'i. Itu hanyalah diet. Ini juga berlaku untuk ibadah-ibadah ritual lainnya.

Kemudian, Ramadhan, diambil dari kata Ramadhan, jamaknya armidhah, atau ramadhanat, Yang artinya syiddatul haar, yaitu sangat panas.

Imam Abul Hasan al Mawardi mengatakan, saat itu Puasa Ramadhan selalu bertepatan dengan musim panas. Di sisi lain, maknanya adalah tahriqudz dzunuub - membakar dosa.

Dalam Islam, ada 7 bulan yang dianjurkan untuk berpuasa.

Asyhurul hurum, bulan-bulan haram, yaitu ada 4 bulan: Dzulhijjah (shaum tariwyah, shaum Arafah), Dzulqa'dah,  Muharram (Shaum asyura), dan Rajab. Sebagaimana hadits Abu Daud. Sanadnya jayyid, kata Syaikh Sayyid Sabiq.

Kemudian, bulan Sya'ban, Ramadhan, dan Syawwal (6 hari).

Adapun shaum senin kamis, daud, ayyamul bidh, itu umum berlaku di semua bulan, kecuali Ramadhan.

▪️Rukun Puasa Tidak Banyak, Mayoritas Ulama Mengatakan Hanya 2.

1. Niat.
2. Menahan diri dari yang batal.

Tapi, bagi kita sudah belasan kali bahkan puluhan kali mengenyam Ramadhan, sudah sepantasnya bukan hanya MENAHAN DIRI DARI YANG BATAL, tapi juga menahan diri dari yang merusak pahala dan kualitas puasanya.

▪️Ada Sunnah-sunnah Dan Adab Puasa Yang Nabi Contohkan Atau Dorong

1. Sahur, mengakhirkan waktunya.
2. "Sedekah, sedekah terbaik di bulan Ramadhan." (HR. At Tirmidzi)
3. Tilawah.
4. Berdoa.
5. Menyegerakan buka jika sudah masuk waktunya.
6. Memberikan makanan orang berbuka.
7. Tarawih.
8. I'tikaf di 10 hari terakhir.

▪️Yang Dibolehkan Dalam Puasa Adalah

1. Siwak, gosok gigi bahkan sunnah kata Imam asy Syafi'i, baik pagi atau sore.
2. Mandi siang hari, makruh jika berendam atau berenang.
3. Menyicipi makanan,  lalu dilepeh. Ini dilalukan oleh al Hasan, ditegaskan Ibnu Abbas dan para salaf.
4. Dicium atau mencium suami, asalkan bisa jaga diri kalau tidak, maka makruh.
5. Berbekam selama tidak bikin lemah, kecuali menurut Hambali yang mengatakan batal.
6. Memakai celak, tetes mata.
7. Mencium wewangian.
8. Memakai inhaler.

▪️Yang Disepakati Batalnya

1. Makan minum sengaja.
2. Muntah sengaja.
3. Niat batal, walau dia tidak makan dan minum.
4. Sengaja mengeluarkan air mani.
5. Jima' di waktu masih berlaku puasa.
6. Keluar haid di waktu puasa walau 1 menit sebelum maghrib.
7. Murtad.
8. Hilang akal, gila.

Adapun yang diperselisihkan adalah injeksi, infus, berbuka sebelum maghrib karena tertipu oleh jamnya dikira sudah maghrib.

Wallahu A’lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0️⃣1️⃣ Rency ~ Cibinong
Bismillah,
Ustadz, mengenai pembahasan di atas tentang niat, itu harus terucap sesuai seperti "usoli....." atau boleh "saya niat puasa karena Allah" begitu saja?

Jazakallahu khoir ustadz.

🌸Jawab: Bismillahirrahmanirrahim..

Tidak. Di hati sudah cukup. Dilisankan itu diperselisihkan ulama. Namun sunnah menurut mayoritas ulama. Sebagian ada yang mengatakan boleh saja. Bahkan ada yang mengatakan makruh. Tapi, semua sepakat di hati cukup.

Wallahu A’lam

0️⃣2️⃣ Fida ~  Tangerang
Ustadz, apakah merokok membatalkan puasa?

🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim..

Ya, merokok membatalkan puasa. Sengaja menghisap asap membatalkannya, karena asap itu 'ain (materi).

Beda dengan jika tidak sengaja.

Wallahu A’lam

0️⃣3️⃣ Jenni ~ Depok
Bislillahirrahmanirrahim...

Ustadz, bagaimana mengenai puasa ramadhan untuk saya yang rutin konsumsi obat 3x sehari, obat ini harus diminum 3x sehari dengan jeda waktu 8 jam, obat ini untuk penyakit amnesia dan susah bicara juga penglihatan saya kalau dengan obat lainnya yang 1x sehari tidak masalah karena minumnya pada jam 18.00 saja.

Bagaimana dengan obat yang 3x sehari jika saya berpuasa ramadhan.
Sejak kelas 1 SD saya sudah terbiasa puasa usia saya sekarang 65 th, berat rasanya untuk tidak puasa, namun dokter menganjurkan untuk tidak mengubah waktu jarak minum obatnya yang 2 macam itu karena nanti bisa lebih parah amnesianya.
Sebelum minum obat itu tidak bisa pulang ke rumah karena lupa dimana rumah saya, tidak kenal siapapun.

Syukron ustadz

🌸Jawab: Bismillahirrahmanirrahim..

Puasa itu menyehatkan. Ada hadits, walau dhaif, namun secara makna shahih yang berbunyi: shumuu tashihhuu (berpuasalah kamu niscaya akan sehat).

Namun, jika dokter terpercaya sudah menyarankan kita tidak puasa karena wajib minum obat, maka sudah boleh meninggalkan puasa di hari lain.

Jika penyakitnya adalah penyakit yang sulit sembuh, dan obat harus diminum seumur hidup maka fidyah, bukan qadha.

Semoga Allah Ta'ala mengangkat penyakit Ibu.

Wallahu A’lam

0️⃣4️⃣ Sofie ~ Depok
Ustadz, bagaimana hukumnya jika laki-laki atau perempuan setelah sahur tertidur dan dalam tidurnya bermimpi yang membangkitkan syahwat sampai maaf ada "cairan" keluar.
Apakah puasanya batal?
Jika batal apa harus segera berbuka?
Dan kemudian hari harus diganti puasanya?

Jazakallah khair jawabannya Ustadz.

🌸Jawab: Bismillahirrahmanirrahim..

أما الاحتلام في شهر رمضان فلا يفطر..

Mimpi basah di bulan Ramadhan tidaklah membatalkan puasa.  (Ibn Utsaimin, Liqo asy Syahri)

Karena itu diluar keinginannya, tidak sengaja. Segeralah dia mandi, dan melanjutkan puasanya.

Wallahu A’lam

0️⃣5️⃣ Bestiar ~ Pekanbaru
Assalamualaikum,

Ustadz, apakah boleh kita meminum obat agar tidak haid selama romadhon agar puasanya penuh?

Terimakasih sebelumnya ustadz.

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Wanita haid, terlarang puasa, shalat... Ketaatan itu ada dua:

(1) Menjalankan perintah.

(2) Menghindari larangan.

Artinya, saat wanita haid sedang tidak puasa, tidak shalat, berarti mereka juga sedang melaksanakan ketaatan yaitu menjauhkan diri dari yang Alloh ﷻ larang. Sehingga tidak usah memaksakan diri untuk berpuasa dengan minum obat, sebab apa sedang dialaminya sudah benar.

Semoga bisa dipahami.

Wallahu A’lam

0️⃣6️⃣ Fitri ~ Pontianak
Assalamu'alaykum,

Ustadz, ini tentang haid (datang bulan). Ada yang bilang kalau mandi wajib setelah haid ketika bulan suci ramadhan itu harus dilakukan setelah orang-orang dalam 1 rumah berbuka puasa atau mandi wajib sebelum melaksanakan sahur, karena jika kita mandi wajib di siang hari otomatis puasa orang-orang 1 rumah batal, apakah pernyataan ini dibenarkan atau bagaimana ustadz?

Terima kasih

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Itu mitos, tidak berdasar sama Sekali.

Wallahu A’lam

0️⃣7️⃣ iiN ~ Boyolali
Assalamua'alaikum ustadz,

1. Kalau menonton video youtube kuliner, mukbang saat berpuasa dan bisa sampai menelan air ludah ataupun tidak sampai menelan air ludah, bagaimana hukumnya ustadz?

2. Saat menonton drama atau video yang menunjukkan badan sixpack seorang laki-laki , nanti puasanya gimana ustadz?

Jazakumullah khayran

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

1. a) Bersiwak (menggosok gigi) Baik Pagi Atau Siang

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

 ويستحب للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي: ” ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا “. وكان النبي صلى الله عليه وسلم يتسوك، وهو صائم.

Disunnahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya.

Berkata At Tirmidzi: Imam Asy Syafi’i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya. Dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersiwak, padahal dia sedang puasa.

(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,Hal. 459) Beliau menambahkan:

 والصائم والمفطر في استعماله أول النهار وآخره سواء، لحديث عامر بن ربيعة رضي الله عنه

Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak, untuk bersiwak baik di awal siang atau di akhirnya, sama saja.

Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu:

 وَيُذْكَرُ عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ مَا لَا أُحْصِي أَوْ أَعُدّ

Disebutkan dari Amir bin Rabi’ah, dia berkata: “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak, dan dia sedang puasa, dan tidak terhitung jumlahnya.”

(HR. Bukhari, Bab Siwak Ar Rathbi wal Yaabis Lish Shaa-im)

Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:

 بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ

“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang berpuasa.”

Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:

 وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ

“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi, dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin, bahwa bersiwak dengan yang basah itu sama halnya seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh).”

(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158) Dalam Tuhfah Al Ahwadzi disebutkan:

 ( إِلَّا أَنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ بِالْعُودِ الرَّطْبِ ) كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ فَإِنَّهُمْ كَرِهُوا لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ لِمَا فِيهِ مِنْ الطَّعْمِ ، وَأَجَابَ عَنْ ذَلِكَ اِبْنُ سِيرِينَ جَوَابًا حَسَنًا ، قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ : قَالَ اِبْنُ سِيرِينَ : لَا بَأْسَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ ، قِيلَ لَهُ طَعْمٌ ، قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ طَعْمٌ وَأَنْتَ تُمَضْمِضُ بِهِ اِنْتَهَى . وَقَالَ اِبْنُ عُمَرَ : لَا بَأْسَ أَنْ يَسْتَاكَ الصَّائِمُ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، قُلْت هَذَا هُوَ الْأَحَقُّ

(Hanya saja sebagian ahli ilmu ada yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan dahan kayu yang basah) seperti kalangan Malikiyah dan Imam Asy Sya’bi, mereka memakruhkan orang berpuasa bersiwak dengan dahan kayu basah karena itu bagian dari makanan. Ibnu Sirin telah menyanggah itu dengan jawaban yang baik. Al Bukhari berkata dalam Shahihnya: “Berkata Ibnu Sirin: Tidak mengapa bersiwak dengan kayu basah, dikatakan “ bahwa itu adalah makanan”, Dia (Ibnu Sirin) menjawab: Air baginya juga makanan, dan engkau berkumur kumur dengannya (air).” Selesai. Ibnu Umar berkata: “Tidak mengapa bersiwak bagi yang berpuasa baik dengan kayu basah atau kering,” diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Aku (pengarang Tuhfah Al Ahwadzi) berkata: Inilah yang lebih benar.

(Syaikh Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 3/345)

Dengan demikian tidak mengapa bahkan sunnah kita bersiwak ketika berpuasa, baik, pagi, siang, atau sore secara mutlak. Syaikh Al Mubarkafuri mengatakan:

 وَبِجَمِيعِ الْأَحَادِيثِ الَّتِي رُوِيَتْ فِي مَعْنَاهُ وَفِي فَضْلِ السِّوَاكِ فَإِنَّهَا بِإِطْلَاقِهَا تَقْتَضِي إِبَاحَةَ السِّوَاكِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَالْأَقْوَى

“Dan dengan mengumpulkan semua hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ini dan tentang keutamaan bersiwak, bahwa keutamaannya adalah mutlak, dan kebolehannya itu pada setiap waktu, setiap keadaan, dan itu lebih shahih dan lebih kuat.” (Ibid)

Adapun pasta gigi, dihukumi sama dengan kayu basah, karena sama-sama mengandung air dan rasa. Dan Imam An Nawawi mengatakan bahwa dengan alat apapun selama tujuan ‘membersihkan’ telah tercapai, itu juga dinamakan bersiwak, baik itu dengan jari, kain, atau lainnya selama tidak membahayakan. Imam Abul Hasan As Sindi berkata:

 وَهُوَ كُلّ آلَة يُتَطَهَّر بِهَا شُبِّهَ السِّوَاك بِهَا ؛ لِأَنَّهُ يُنَظِّف الْفَم ، وَالطَّهَارَة النَّظَافَة ذَكَرَهُ النَّوَوِيّ

“Yaitu alat apa saja yang bisa mensucikan dengannya maka dia menyerupai siwak, karena dia bisa membersihkan mulut, bersuci dan membersihkan, demikian kata An Nawawi.”

(Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi, Syarh An Nasa’i, 1/10)

b) Mencicipi Makanan Sekedarnya

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

 وقال ابن عباس: لا بأس أن يذوق الطعام الخل، والشئ يريد شراءه. وكان الحسن يمضغ الجوز لابن ابنه وهو صائم، ورخص فيه إبراهيم.

“Berkata Ibnu Abbas: ‘Tidak mengapa mencicipi asamnya makanan, atau sesuatu yang hendak dibelinya.’ Al Hasan pernah mengunyahkan kelapa untuk cucunya, padahal dia sedang puasa, dan Ibrahim memberikan keringanan dalam hal ini.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462)

c) Hal-hal Yang Tidak Mungkin Dihindari (menelan ludah, menghirup debu jalanan, menyaring tepung, dan lain-lain)

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

 كذا يباح له ما لا يمكن الاحتراز عنه كبلع الريق وغبار الطريق، وغربلة الدقيق والنخالة ونحو ذلك.

“Demikian pula, dibolehkan baginya apa-apa yang tidak mungkin dihindari, seperti menelan ludah, menghirup debu jalanan, menyaring tepung, dan lain-lain.”

(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462)

d) Junub Di Pagi Hari

‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasuki fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan istrinya, lalu dia mandi dan berpuasa.”

(HR. Bukhari No. 1925, Muslim No. 1109)

Imam Ibnu Hajar mengatakan:

قَالَ الْقُرْطُبِيّ: فِي هَذَا فَائِدَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُجَامِع فِي رَمَضَان وَيُؤَخِّر الْغُسْل إِلَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر بَيَانًا لِلْجَوَازِ . الثَّانِي أَنَّ ذَلِكَ كَانَ مِنْ جِمَاع لَا مِنْ اِحْتِلَام لِأَنَّهُ كَانَ لَا يَحْتَلِم إِذْ الِاحْتِلَام مِنْ الشَّيْطَان وَهُوَ مَعْصُوم مِنْهُ .

“Berkata Al Qurthubi: “Hadits ini ada dua faidah. Pertama, bahwa beliau berjima’ pada Ramadhan (malamnya) dan mengakhirkan mandi hingga setelah terbitnya fajar, merupakan penjelasan bolehnya hal itu. Kedua, hal itu (junub) dikarenakan jima’ bukan karena mimpi basah, karena beliau tidaklah mimpi basah, mengingat bahwa mimpi basah adalah dari syaitan, dan beliau ma’shum dari hal itu.” (Fathul Bari, 4/144)

e) Mencium Harum-haruman

Tak ada keterangan yang shahih tentang pelarangannya, oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah berkata:

 وَشَمُّ الرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لِلصَّائِمِ

“Mencium harum-haruman adalah tidak mengapa bagi orang berpuasa.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Fatawa Al Kubra, 5/376)

2. Drama yang mempertontonkan aurat, terlarang.

Wallahu A’lam

0️⃣8️⃣ Yunita ~  Makassar
Ustadz, ramadhan tahun ini kan bertepatan dengan kegiatan karantina (dirumah saja) banyak bertebaran di media sosial link film dan drama. Saya khawatirnya banyak yang mengisi waktu luangnya dengan nonton. Bagaimana itu ustadz, apakah makruh atau batal puasanya?

🌸Jawab: Bismillahirrahmanirrahim..

Jika sampai berlebihan, itu makruh. Jika sampai meninggalkan shalat, maka dosa besar. Jika sedikit saja, tidak apa-apa. Selama film tersebut tidak ada unsur maksiat. Yang lebih utama adalah tilawah, dzikir, istirahat yang cukup, baca buku, kajian.

Wallahu A’lam

0️⃣9️⃣ Fatimah ~ Bandung
Ustadz, kalau disela shaum kita main games boleh tidak, biar tidak jenuh begitu, tapi tidak membuat shalat jadi telat tidak tuh in syaa Alloh, bagaimana tadz, boleh tidak?
Jazakalloh khoir

🌸Jawab: Bismillahirrahmanirrahim..

Itu bukan pembatal shalat, tidak pula makruh, asalkan tidak berlebihan. Yang utama adalah tilawah, baca buku-buku bermanfaat, dengarkan kajian, tidur secukupnya, berbenah rumah.

Wallahu A’lam

1️⃣0️⃣ Atin ~ Pekalongan
Assalamualaikum Tadz,

Seandainya tidak kuat puasa untuk ibu hamil dan menyusui, bagaimana cara membayar fidyah? Harus setiap hari atau ditotal akhir? Bentuknya uang atau harus makanan?

Maturnuwun.

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Masalah ini sudah pernah kami bahas tahun lalu. Tapi, sampai hari ini, tema ini termasuk yang banyak intensitas pertanyaannya. Berikut ini yang pernah dibahas tahun lalu. Untuk yang menyatakan Qadha dalilnya adalah firman Allah Taala: Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al Baqarah: 184)

Ibu hamil disetarakan dengan orang sakit, sebagaimana diketahui Al Quran pun juga menyebut mereka dengan wahnan ‘ala wahnin (lemah yang bertambah-tambah).

Untuk yang menyatakan Fidyah dalilnya adalah kalimat selanjutnya: Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al Baqarah: 184)

Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar, sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya. Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit, dan tidak merinci bagaimanakah sakitnya. Sedangkan ayat tentang Fidyah, juga tidak dirinci.

Nah, Khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir.

(Tafsir Al Quran al Azhim,  1/215. Darul Kutub al Mishriyah) bahwa ada empat pandangan atau pendapat ulama:

▪️Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan wajib qadha dan fidyah sekaligus. Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy Syafii, jika Si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.

▪️Kedua, kelompok ulama yang mewajjibkan fidyah saja, tanpa qadha. Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma. Dari kalangan tabi’in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir, Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi’ut tabi’in (murid para tabiin) seperti Al Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakha’i. Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Abbas pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil: “Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha”. Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa, maka dia menjawab: “Hendaknya dia berbuka, dan sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum.” (Riwayat Malik)

▪️Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah. Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.

▪️Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah. Demikianlah berbagai perbedaan tersebut yang disampaikan Imam Ibnu Katsir. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti.

Seorang ahli fiqih abad ini, Al Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus. Beliau berkata: “Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja, di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi. Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, terutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”

(Selesai dari Al Allamah Asy Syaikh Yusuf bin Al Qaradhawi Hafizhahullah)

Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena sering  hamil dan selalu melalui bulan Ramadhan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja. Adapun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam.

Wallahu Alam

1️⃣1️⃣ Han ~ Gresik
Assalamu'alaikum,

Ustadz, dengan adanya pandemi corona ini kemungkinan ramadhan nanti akan banyak masjid yang masih ditutup untuk menghindari banyaknya orang yang berkumpul.

Lalu bagaimana ustadz bila selama nanti ramadhan tidak bisa melaksanakan tarawih di masjid, apakan bila dilakukan di rumah mengurangi pahala tarawihnya?

Jazakallah

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Shalat Tarawih di rumah di masa Wabah.

Bagaimana tarawih kami nanti jika Ramadhan masih wabah Corona?

Bismillahirrahmanirrahim..

Semoga Allah Ta'ala berkahi Sya'ban kita dan pertemukan kita dengan Ramadhan penuh kebaikan.

Shalat tarawih adalah sunnah, berdasarkan beberapa hadits dan ijma’, di antaranya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.”
(HR. Bukhari No. 37, Muslim No. 759)

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِهَا وَاخْتَلَفُوا فِي أَنَّ الْأَفْضَلَ صَلَاتُهَا مُنْفَرِدًا فِي بَيْتِهِ أَمْ فِي جَمَاعَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَجُمْهُورُ أَصْحَابِهِ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَغَيْرُهُمْ الْأَفْضَلُ صَلَاتُهَا جَمَاعَةً كَمَا فَعَلَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَاسْتَمَرَّ عَمَلُ الْمُسْلِمِينَ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ مِنَ الشَّعَائِرِ الظَّاهِرَةِ

Para ulama sepakat atas kesunnahannya. Mereka berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama; shalat tarawih sendirian di rumah atau berjamaah di masjid. Imam asy Syafi’i dan mayoritas sahabatnya, Abu Hanifah, Ahmad, dan sebagian Malikiyah, dan lainnya mengatakan yang lebih utama adalah berjamaah, sebagaimana dilakukan oleh Umar bin al Khatab r.a, dan itu terus berlanjut dipraktekkan kaum muslimin karena itu termasuk syiar Islam yang begitu nyata.
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/39)

Beliau juga menceritakan dinamika internal Syafi’iyyah, bahwa mayoritas mengatakan lebih utama berjamaah di masjid, seperti yang dikatakan oleh Al Buwaithi, namun sebagian mengatakan lebih utama sendiri.
(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/31)

Bahkan dalam konteks fiqih Syafi’iyyah,  Syaikh Wahbah az Zuhaili Rahimahullah mengatakan tentang shalat fardhu:

وتحصل الجماعة بصلاة الرجل في بيته مع زوجته و أولاده و غيرهم لكنها للرجال في المسجد أفضل و أكثرها جماعة افضل

Berjamaah (shalat fardhu) itu sudah cukup dengan shalatnya seorang laki-laki di rumahnya bersama istrinya, anak-anaknya, atau selain mereka. Tetapi laki-laki di masjid adalah lebih utama, dan jamaah yang lebih banyak juga lebih utama.
(Syaikh Wahbah Az  Zuhailiy, Al Fiqh Asy Syafi'iyyah Al Muyassar, 1/239)

Setelah mengetahui bahwa lebih utama shalat tarawih berjamaah di masjid, dan itu terjadi dimasa normal, lalu bagaimana dengan shalat tarawih di kondisi wabah, dan wabah itu muhaqqaqah (nyata), bukan mauhumah (ilusi). Di mana berkumpulnya manusia termasuk berpeluang terjadinya penularan. Sementara upaya Hifzhun Nafs adalah sebuah kewajiban agama. Sedangkan aktifitas meninggalkan keutamaan dan sunnah,  dalam rangka terjaganya kewajiban adalah wajib.

Imam al Qarafi Rahimahullah mengatakan:

و في الحديث : فر من المجذوم كما فرارك من الأسد, فصون النفوس والأجساد والمنافع والأعضاء والأموال والأعراض عن الأسباب المفسدة واجب كما علمت

Di hadits disebutkan: “Larilah dari penyakit lepra seperti kamu lari dari singa”. Maka, melindungi jiwa, badan, maslahat, anggota badan, dan menghindar dari sebab-sebab kerusakan adalah wajib sebagaimana yang telah Anda ketahui.
(Imam al  Qarafi, Al Furuq, 4/401)

Oleh karenanya, dalam keadaan seperti ini, shalat tarawih di rumah  baik sendiri apalagi berjamaah bersama keluarga, maka itu lebih sesuai spirit maqashid syariah. Bahkan shalat yang fardhu saja seperti saat ini, dapat dianjurkan di rumah jika hadirnya di masjid ada kekhawatiran kuat tertular penyakit berbahaya maka apalagi shalat tarawih yang sunnah.

Imam al Mardawi Rahimahullah berkata:

وَيُعْذَرُ فِي تَرْكِ الْجُمُعَةِ وَالْجَمَاعَةِ الْمَرِيضُ بِلَا نِزَاعٍ، وَيُعْذَرُ أَيْضًا فِي تَرْكِهِمَا لِخَوْفِ حُدُوثِ الْمَرَضِ

Diberikan udzur untuk meninggalkan shalat Jumat dan shalat Jamaah bagi orang yang sakit ini tidak ada perselisihan pendapat. Juga diberikan udzur meninggalkan shalat Jumat dan jamaah, karena KHAWATIR TERTULAR PENYAKIT.
(Al Inshaf, 2/300)

Namun, dalam keadaan normal dan biasa maka berjamaah di masjid adalah lebih utama sebagaimana pendapat jumhur.

Demikian. Wallahu A’lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
 💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎

Ramadhan di masa tenang, adalah pertarungan...

Ramadhan di masa wabah, adalah pertarungan...
Bagi seorang mukmin, semua keadaan adalah track untuk semakin dekat dengan Allah Ta'ala.

وَ اللّٰهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَّاب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar