Kamis, 31 Maret 2022

BEKAL MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN

 


OLeH: Ustadzah Azizah, S.Pd

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸BEKAL MENYAMBUT BULAN SUCI RAMADHAN

بِسْمِ اللهِ الرَّحمنِ الرَّحِيْم

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ،َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.، أَمَّا بَعْدُ؛

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Illahi Rabbi, atas karunia-Nya kita bisa sama-sama berkumpul bersama dalam rangka thalabulilmi, mencari ilmu. 

Serta kita bisa bersilaturahim, bertatap muka di majlis yang mulia ini dalam keadaan aman fi amanillah, sehat wal afiat. Semoga setiap derap langkah bisa membuahkan pahala bagi kita semua, bisa menjadi penghapus dosa dan pengangkat derajat di hadapan Alloh ﷻ. 

Tidak lupa semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, kepada keluarganya, sahabatnya, para tabi'in, tabiut tabiahum, kepada kita semua, serta kepada seluruh umatnya hingga akhir zaman yang menjadikan sebagai uswatun hasanah, suri tauladan yang baik.

Sahabat sholehah...
Mari kita luruskan niat dalam belajar semata-mata karena Alloh ﷻ. Agar Alloh ﷻ memberikan Nur dalam qolbu kita untuk mencerna ilmu-ilmu-Nya.

Kita buka group diawali dengan membaca Bismillaah dan do'a

  اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي,

 وَعَلِّمْنِيْ مَايَنْفَعُنِيْ, وَ زِدْنِيْ عِلْمًا

"Allahumman-fa’niy bimaa ‘allamtaniy wa 'allimiy maa yanfa’uniy, wa zidniy ‘ilman"

“Ya Allah, berilah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku, Dan tambahkan lah ilmu kepadaku.” (HR. at-Tirmidzi: 3599, dan Ibnu Majah: 251, 3833)

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً

Allahumma inni as aluka ‘ilman naafi’aa wa rizqan toyyibaa wa ‘amalan mutaqabbalaa

“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang manfaat, rezeki yang baik dan amal yang diterima.” (HR. Ibnu As-Sunni dan Ibnu  Majah)

بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آله سيدنا محمد

"Puasa itu perisai yang dipergunakan seorang hamba untuk membentengi dirinya dari siksaan neraka.” (HR. Imam Ahmad)

Tidak lama lagi insyaAllah kita akan dipertemukan dengan bulan yang didalamnya penuh dengan keagungan dan kemuliaan. Ramadhan yang dengan kehadirannya menyebabkan setan-setan dibelenggu, pintu-pintu neraka ditutup, dan ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Semoga kita semua diberikan kesehatan, kemampuan untuk menjalaninya dengan sepenuh rasa keimanan. 

Berharap puasa kita kali ini tidak hanya sekedar puasa yang hanya menyisakan rasa dahaga dan lapar semata. Ramadhan yang kita inginkan adalah hari-hari puasa dimana kelak puasa itu akan menjadi perisai dari panasnya api neraka. Menjadi pelindung di alam barzah, dan pembela saat ditanya malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur.

Agar puasa kita berkualitas, maka kita harus membekali diri kita dengan beberapa hal. Diantaranya adalah :

🔸Bekal Ilmu Berkaitan Dengan Hukum-hukum Puasa

Di antara bekal memasuki bulan Ramadhan adalah, kita mempelajari hukum-hukum seputar Ramadhan, seperti cara menentu kan awal Ramadhan, memahami dalil-dalil tentang kewajiban puasa Ramadhan, hal-hal yang merupakan pembatal puasa, atau perkara yang makruh dan perkara yang mubah (boleh) dilakukan oleh orang yang berpuasa, hukum-hukum seputar shalat tarwih, zakat fitri, hari raya dan lain sebagainya.

Maka semua hal ini hendaknya kita pelajari dan kita tanyakan kepada orang-orang memahami agama dengan baik.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Maka bertanyalah kepada ahlu dzikir jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl ayat 43)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنۡ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيۡرًا يُفَقِّهُ فِي الدِّيۡنِ.

“Barangsiapa yang Alloh ﷻ kehendaki kebaikan, maka Dia akan paham kan perkara agama.”

Bekal ilmu ini amat utama sekali agar ibadah kita mendapat manfaat, berfaidah, dan tidak asal puasa.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Barangsiapa yang beribadah kepada Alloh ﷻ tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.”  (Al Amru bil Ma’ruf, hal. 15). 

“Sesungguhnya jika kamu menuntut ilmu untuk kamu amalkan, ilmu akan membahagiakanmu, tetapi jika kamu mencari ilmu tidak untuk kamu amalkan, ia hanya akan menambah kecongkakan.” (Az- Zuhd 1/ 262)

Tidak tahu apa saja yang terkait dengan hukum puasa, akan menyebabkan puasa kita "rusak pahalanya" bahkan bisa jadi sia-sia. 

Dari Abū Hurairah radhiyallāhu 'anhu, ia berkata, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. 

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhān dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, niscaya dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni." (Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri dan Muslim)

Tidak tahu apa saja hal-hal yang disunnahkan saat puasa, kita bisa kehilangan pahala yang banyak. Salah satu contohnya adalah masalah niat.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda: 
 
 مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلا صِيَامَ لَهُ

"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa di malam hari (sebelum fajar) maka tidak sah atau tidak ada puasa baginya."

Dalam riwayat yang lain.

Dalam Sunnan An Nassā'i, Sunnan Al Baihaqi dan yang lainnya dengan lafazh:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

"Barangsiapa yang tidak berniat di malam hari (sebelum shubuh) untuk berpuasa (puasa Ramadhān) maka tidak sah atau tidak ada puasa baginya." (HR. An Nassā'i nomor 2333, Ibnu Majah nomor 1700 dan Abū Dawud nomor 2454).

Tidak tahu jika maksiat bisa mengurangi pahala puasa, kita bisa jadi hanya dapat lapar dan dahaga saja saat puasa. 

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ. وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلاَّ السَّهَرُ

"Betapa banyak orang yang berpuasa, dia hanya sekedar mendapatkan dari puasanya lapar dan dahaga dan betapa banyak orang yang melakukan qiyamul lail, dia mendapatkan dari qiyamul Lail nya itu hanya begadang di malam hari dan bangun di malam hari saja tanpa mendapatkan pahala apapun."

Dalam hadīts lain.

Dari Abū Hurairah, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Alloh ﷻ tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan." (Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 1903).

Jika tidak paham tentang betapa besarnya pahala tarawih, maka melakukannya hanya sekedar ritual di bulan Ramadhan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang menunaikan shalat pada malam bulan Ramadhan (shalat tarawih) dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Alloh ﷻ), maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni." (HR. Muslim 1266)

Isi waktu dengan banyak memahami fiqh puasa dan memahami keutamaan puasa. Jangan biarkan banyak menganggur atau tidur hanya menunggu beduk, karena hisabnya sungguh berat.

“Manusia yang paling banyak hisabnya pada hari kiamat nanti adalah orang sehat yang banyak menganggur (tidak menggunakan waktunya untuk hal- hal yang bermanfaat di dunia atau di akhirat)."[Iqtidhaul ‘Ilmi ‘Amal hal 103)]

Tidak paham bahwasanya sedekah di bulan Ramadhan itu berlipat-lipat pahalanya, maka dia tidak pernah tergerak untuk sedekah. Andai ia tahu tentang keutamaan sedekah seperti di bawah ini...

7 Keutamaan berbagi di bulan Ramadhan:

1) Dapat Pahala Seperti Orang Berpuasa

“Siapa saja yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

2) Mendapat Doa Dari Yang Diberi

Nabi Alloh ﷻ bersabda:

"Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak yaitu, pemimpin yang adil, orang yang berpuasa ketika dia berbuka, dan do’a orang yang terdzolimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396). 

3) Mendapat Keberkahan

“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim, no. 2588).

4) Jalan Menuju Surga

“Sesungguhnya di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu diperuntukkan wahai Rasulullah ﷺ?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari di waktu manusia pada tidur.” (HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

5) Menghapus Dosa dan Menyelamatkan Naungan di Hari Kiamat

‘Uqbah bin ‘Amir RA, Nabi ﷺ bersabda, 

“Setiap orang akan berada di naungan amalan sedekahnya hingga ia mendapatkan keputusan ditengah-tengah manusia.” (HR. Ahmad, 4: 147. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

6) Mendapat Kebahagiaan dan Ridha Alloh ﷻ

Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Lathaif Al-Ma’arif, halaman 298 mengatakan bahwa puasa, shalat dan sedekah mengantarkan orang yang mengamalkannya pada Alloh ﷻ. Sebagian salaf sampai berkata, ‘Shalat mengantarkan seseorang pada separuh jalan. Puasa mengantarkannya pada pintu raja. Sedekah nantinya akan mengambilnya dan mengantarnya pada raja’.

7) Memanjangkan Umur
sahabat Amr bin Auf, Rasulullah ﷺ bersabda,

“Sesungguhnya sedekah seorang Muslim dapat menambah umurnya, dapat mencegah kematian yang su’ul khotimah, Alloh ﷻ akan menghilangkan sifat sombong, kefakiran, dan sifat berbangga diri darinya.” (HR. Thabrani).

🔸Perbanyak Taubat

Inilah yang dianjurkan oleh para ulama kita. Sebelum memasuki bulan Ramadhan, perbanyaklah taubat dan istighfar. Semoga di bulan Ramadhan kita bisa menjadi lebih baik. Kejelekan di hari-hari kemarin semoga Alloh ﷻ ampuni.

Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى أَنْفِهِ » . فَقَالَ بِهِ هَكَذَ

“Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dgn tangannya –begini–, maka lalat itu terbang.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2497 dan dishahîhkan oleh Al-Albani)

”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bila melakukan sesuatu dosa, terjadilah bintik hitam dalam hatinya. Bila dia bertaubat dan menghentikan dosanya dan mencela perbuatannya, hatinya akan bersinar kembali, dan apabila dosanya bertambah, akan bertambah pula bintik hitam itu, hingga hatinya akan tertutup." (HR. Nasa’i dan Tarmidzi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)

“Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan, maka di titik kan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambah kan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar raan” yang Alloh ﷻ sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’.” (HR. At Tirmidzi no. 3334)

Rasulullah ṣallā al-lāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ.

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmiżi no. 2499, Ṣahih al-Targīb 3139)

Hadist ini menggambarkan bagaimana kesalahan (dosa) merupakan perkara yang tidak terlepas dari diri manusia. Akan tetapi, Allah Ta’ala memberikan solusi dan jalan keluar bagi hamba-Nya yang berbuat kesalahan, yaitu bertaubat dan memohon ampunan kepada-Nya.

Dalam sebuah Hadist Qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

 يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَناَ أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعاً، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian semuanya melakukan dosa pada malam dan siang hari, padahal Aku Maha mengampuni dosa semuanya. Maka mintalah ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni kalian.” (HR. Muslim)

Untuk itu kita perlu paham syarat taubat nasuha. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, 

“Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya atau mengembalikannya.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14:61).

Dengan taubatan nasuha, berharap Alloh ﷻ memberikan kita kemudahan untuk melakukan banyak kebaikan di bulan Ramadhan.

🔸Syarat Diterima Taubat

★ Pertama: Taubat dilakukan dengan ikhlas, bukan karena makhluk atau untuk tujuan duniawi.

★ Kedua: Menyesali dosa yang telah dilakukan sehingga ia pun tidak ingin mengulanginya kembali.

★ Ketiga: Tidak terus menerus dalam berbuat dosa. Maksudnya, apabila ia melakukan keharaman, maka ia segera tinggalkan dan apabila ia meninggalkan suatu yang wajib, maka ia kembali menunaikannya. Dan jika berkaitan dengan hak manusia, maka ia segera menunaikannya atau meminta maaf.

★ Keempat: Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut lagi karena jika seseorang masih bertekad untuk mengulanginya maka itu pertanda bahwa ia tidak benci pada maksiat.

★ Kelima: Taubat dilakukan pada waktu diterimanya taubat yaitu sebelum datang ajal atau sebelum matahari terbit dari arah barat. Jika dilakukan setelah itu, maka taubat tersebut tidak lagi diterima.

Dan apabila dosa tersebut terkait dengan hak hamba, maka kita meminta maaf kepadanya dan meminta kehalalannya.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah beliau mengatakan,

إِنَّ الرَّجُلَ يُذْنِبُ الذَّنْبَ فَلَا يَنْسَاهُ وَمَا يَزَالُ مُتَخَوِّفًا مِنْهُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ

"Sungguh ada seorang yang melakukan dosa lantas dia senantiasa ingat dosa tersebut dan khawatir dampak buruknya. Akhirnya dia pun masuk surga karenanya." (Az-Zuhd karya Imam Ahmad nomor 338)

Malik bin Dinar rahimahullah mengatakan:

البكاء على الذنوب يحط الخطيئة كما تحطّ الريح الورق اليابس.

"Menangis saat mengingat dosa bisa menggugurkan kesalahan sebagaimana angin menggugurkan daun-daun kering." (At-Tabshiroh oleh Ibnul Jauzi, hlm. 791)

Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يلج النار رجل بكى من خشية الله حتى يعود اللبن في الضرع

“Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena merasa takut kepada Alloh ﷻ sampai susu [yang telah diperah] bisa masuk kembali ke tempat keluarnya.” (HR. Tirmidzi no. 1633)

Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,

لأن أدمع من خشية الله أحب إلي من أن أتصدق بألف دينار

“Sungguh, menangis karena takut kepada Alloh ﷻ itu jauh lebih aku sukai daripada berinfak uang seribu dinar!”

Ka’ab Al-Ahbar berkata,

لأن أبكى من خشية الله فتسيل دموعي على وجنتي أحب إلى من أن أتصدق بوزني ذهباً

“Sesungguhnya mengalirnya air mataku sehingga membasahi kedua pipiku karena takut kepada Alloh ﷻ itu lebih aku sukai daripada aku berinfak emas yang besarnya seukuran tubuhku.”
(Sumber: http://www.saaid.net/Doat/ehsan/149.htm)

🔸Banyak Berdoa Memohon Pada Alloh ﷻ Dimudahkan Untuk Bertemu Dengan Ramadhan-Nya

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجب وَشَعْبَانَ وَبَلغنَا رَمَضَانَ

Allahumma baariklanaa fii rojaba wa sya'baana wa ballighnaa romadhoona.

“Ya Alloh ﷻ, berkahilah kami pada bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikan kami di bulan ramadhan.”

Para salafus sholeh senantiasa mempersiapkan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Para Ulama mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

"Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Alloh ﷻ selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadhan."

Do’a yang bisa kita panjatkan untuk memohon kemudahan dari Alloh ﷻ adalah sebagai berikut.

اللَّهُمَّ لاَ سَهْلَ إِلاَّ مَا جَعَلْتَهُ سَهْلاً وَأَنْتَ تَجْعَلُ الحَزْنَ إِذَا شِئْتَ سَهْلاً

“Allahumma laa sahla illa maa ja’altahu sahlaa, wa anta taj’alul hazna idza syi’ta sahlaa”  

"Ya Allah, tidak ada kemudahan kecuali yang Engkau buat mudah. Dan engkau menjadikan kesedihan (kesulitan), jika Engkau kehendaki pasti akan menjadi mudah]." (Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 3: 255. Dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi ‘Umar, Ibnus Suni dalam ‘Amal Yaum wal Lailah).

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ

“Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot wa tarkal munkaroot.” (Ya Allah, aku memohon pada-Mu agar mudah melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran)." 
(HR. Tirmidzi no. 3233, shahih menurut Syaikh Al Albani).

🔸Memperbanyak Berpuasa di Bulan Sya’ban

Memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban merupakan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hal ini berdasarkan Hadits dari Usamah bin Zaid radhiallahu anhu, beliau berkata:

وَلَمۡ أَرَكَ تَصُوۡمُ مِنَ الشُّهُوۡرِ مَا تَصُوۡمُ مِنۡ شَعۡبَانَ؟ قََالَ: ذَاكَ شَهۡرٌ يَغۡفُلُ النَّاسُ عَنۡهُ بَيۡنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ وَهُوَ شَهۡرٌ يُرۡفَعُ فِيۡهِ الۡأَعۡمَالُ إلَی رَبِّ الۡعَالَمِيۡنَ, فَأُحِبُّ أنۡ يُرۡفَعَ عَمَلِي وَأنَا صَاءمٌ.

“Aku tidak pernah melihat engkau berpuasa pada bulan-bulan yang lainnya sebanyak engkau berpuasa pada bulan Sya’ban. Beliau bersabda: ‘Itu adalah bulan yang sering di lalaikan manusia antara Rajab dengan Ramadhan, yang merupakan bulan di mana amalan-amalan diangkat kepada Alloh ﷻ Rabb semesta alam, maka aku suka jika amalanku diangkat sementara aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)

Dan juga dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, dari Aisyah radhiallahu anha beliau berkata:

مَا رَأيۡتُ رَسُوۡلَ اللهِ صَلَّی اللهُ عَلَيۡهِ وَسَلَّمَ اسۡتَكۡمَلَ صِيَامَ شَهۡرٍ قَطُّ إلاَّ رَمَضَانَ, وَمَا رَأَيۡتُهُ فِي شَهۡرٍ أكۡثَرَ صِيَامًا مِنۡهُ فِي شَعۡباَنَ.

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan, dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa dalam satu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban."

Dan beberapa hadits yang lain yang menunjukkan disunnahkan nya memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban.

سبحانك اللهم وبحمدك اشهد ان لا اله الا انت استغفرك واتوب اليك 

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم 

والله اعلم

Bogor, Ahad, 6/3/22

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Kiki ~ Dumai
Bunda, bagaimanakah tata cara taubatan nasuha ya nda?

🌸Jawab:
Syarat-syarat Taubat Nasuha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

✓ Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Alloh ﷻ dengan taubat nasuha (yang semurni-murninya).” [QS. At-Tahrim: 8]

✓ Al-Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan ulama rahimahumullaah,

التَّوْبَةُ النَّصُوحُ هُوَ أَنْ يُقلعَ عَنِ الذَّنْبِ فِي الْحَاضِرِ، ويندمَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْهُ فِي الْمَاضِي، ويعزِم عَلَى أَلَّا يَفْعَلَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ. ثُمَّ إِنْ كَانَ الْحَقُّ لِآدَمِيٍّ رَدَّهُ إِلَيْهِ بِطَرِيقِهِ.

“Taubat nasuha (yang semurni-murninya) adalah;

1) Orang yang meninggalkan dosa secepatnya,

2) Menyesali dosanya yang telah berlalu,

3) Dan bertekad tidak akan mengulanginya di masa datang.

4) Kemudian jika dosa itu adalah mengambil hak orang lain, maka hendaklah ia mengembalikannya dengan cara yang baik.”
[Tafsir Ibnu Katsir, 8/169]

Syarat taubat yang lainnya adalah;

5) Hendaklah bertaubat dengan ikhlas karena Allah ta’ala,

6) Segera bertaubat sebelum tertutup pintu taubat, yaitu saat ajal menjemput atau terbitnya matahari dari arah barat.
[Lihat Syarhu Riyadhis Shaalihin, Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah, 1/86-92]

Ukhti Wa ummahat usholihat...

Berikut kami paparkan tahapan-tahapan dalam bertaubat:
1) "Annadm" , yang bermakna penyesalan atas maksiat yang pernah dilakukan, bahkan hati merasa tersayat dan mudah menangis jika teringat dosa-dosa yang pernah dilakukan.

2) "Al i'tiqod", yakni berjanji atau bersumpah untuk tidak pernah lagi mengulanginya. 

Alloh ﷻ berfirman: "Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri (melakukan dosa besar), mereka ingat akan Alloh ﷻ, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Alloh ﷻ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui." (QS. Ali Imran: 135)

3) "Dawaamul istigfaar", terus menerus meminta ampunan Alloh ﷻ.

Abu Bakar ash Shiddiq mohon kepada Rasulullah ﷺ, Ajarkan lah aku suatu do’a yang bisa aku panjatkan saat munajat, maka Beliau ﷺ pun berkata, Bacalah: ‘Allahumma innii zholamtu nafsii zhulman katsiiran wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta faghfirlii maghfiratan min ‘indika warhamnii innaka antal ghafuurur rahiim (Ya allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali hanya engkau, maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
(HR. Muttafaqun alaihi)

4) "Al iman bimagfirotihi", merasa yakin sepenuh hati bahwa Alloh ﷻ Maha Pengampun dan Maha Menerima Taubat.

"Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas dalam perbuatan ma'siyat, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Alloh ﷻ, sesungguhnya Alloh ﷻ mengampuni dosa-dosa semuanya, sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Az Zumar : 53)

5) "Adzdzunuubu almatrukah" dosa yang Alloh ﷻ tidak ampuni sampai yang dizholiminya memaafkannya, seperti orang dipukul, dihina, difitnah, dipergunjing, kecuali yang dibunuh, maka keluarganya punya haq hukum untuk memaafkan atau menuntutnya, kalau tidak dilakukan maka tetap di akhirat akan dibalas, segeralah mohon maaf pada orang-orang yang pernah kita zholimi.

6) "Iaadatul maal" mengembalikan harta hasil kezholiman kepada yang dizholimi, kalau tidak menjumpainya lagi maka berikan kepada ahli warisnya, kalau tidak ada juga maka sedekahkan sejumlah hasil kezholiman itu, diniatkan atas nama orang yang di zholimi itu, seperti hasil korupsi, menipu, sogokan dan sebagainya, kalau tidak dilakukan,  Rasulullah ﷺ mengecamnya, Sungguh semua hasil kezholimannya akan digantungkan dilehernya walau sekecil jarum.

7) Shalat taubat adalah shalat yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan empat madzhab. Hukum shalat taubat atau disebut juga shalat istighfar adalah sunnah sebagaimana hadist dari Abu Bakar as-Sidiq ra bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda :

ﻣﺎ ﻣﻦ ﻋﺒﺪ ﻳﺬﻧﺐ ﺫﻧﺒﺎ ﻓﻴﺤﺴﻦ ﺍﻟﻄﻬﻮﺭ ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻡ ﻓﻴﺼﻠﻰ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺛﻢ
ﻳﺴﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻻ ﻏﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ

“Tidaklah seorang hamba melakukan suatu perbuatan dosa lalu dia bersuci dengan sebaik-baiknya, kemudian dia berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat, dan disusul dengan memohon ampunan kepada Alloh ﷻ (istighfar) melainkan Alloh ﷻ akan memberikan ampunan kepadanya.” (Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud)

Memang di dalam hadist tersebut tidak disebutkan atau dinamakan sholat Taubat, tetapi selama tata caranya benar, maka pemberian nama tidak ada masalah. 

◼️Tata Cara Pelaksanaan Shalat Sunat Taubat

Sholat taubat itu terikat dengan syari'at, yaitu tata caranya harus mengikuti dalil shahih, baik di dalam Al Quran atau As Sunnah. Sholat Taubat yang dianjurkan dalam Islam adalah yang tata caranya seperti sholat-sholat sunnah lainnya, adapun jumlah raka’atnya tidak ada batas tertentu, dibolehkan dengan dua raka’at seperti yang termaktub pada hadits yang disebut di atas, dibolehkan juga lebih dari itu. 

1) Shalat hendaknya dilakukan sendirian, bukan berjamaah karena ia termasuk shalat sunnah yang tidak dilakukan secara berjamaah.

2) Mushalli (orang yang shalat) harus suci dari hadats kecil dan besar. Kalau belum hendaknya mandi junub dan berwudhu terlebih dahulu. 

3) Setelah itu, lakukan shalat 2 raka'at.

Niat shalat taubat adalah sebagai berikut:

أصلي سنة التوبة ركعتين لله تعالي

Ushalli sunnatat Taubati rokaataini lillahi taala

"Saya niat shalat sunnah taubat dua rakaat karena Alloh ﷻ."

4) Bacaan saat shalat selain Al-Fatihah boleh membaca bacaan atau surah apa saja. Tidak ada ketentuan khusus.

5) Selesai shalat perbanyaklah istighfar dan panjatkan doa memohon ampunan kepada Alloh ﷻ. 

6) Bersamaan dengan pelaksanaan shalat taubat sebagai permohonan ampun dianjurkan juga agar diiringi dengan amal-amal kebaikan berdasarkan firman Alloh ﷻ QS. Thaha ayat 82.

 وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى. 

"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar."

Adapun sholat Taubat dengan tata cara khusus yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah sholat Taubat yang TIDAK BOLEH DIAMALKAN karena hadits yang menyebutkan hal tersebut adalah HADITS PALSU. Tata cara yang disebutkan dalam hadits palsu tersebut adalah sebagai berikut :
● Harus didahului dengan mandi malam senin setelah sholat witir,
● Jumlahnya 12 raka’at,
● Pada setiap raka’atnya membaca surat Al Fatihah dan surat Al Kafirun satu kali, kemudian membaca surat Al-Ikhlas 10 kali,
 ● Kemudian berdiri lagi dan sholat empat reka’at,
 ● Setelah salam hendaknya melakukan sujud dan membaca ayat kursi dalam sujud,
 ● Kemudian duduk dan beristighfar 100 kali dan sholawat 100 kali juga..... dan seterusnya.

Para ulama menyebutkan bahwa hadits tersebut palsu, dan tidak boleh diamalkan sama sekali.

◼️Waktu Pelaksanaan Shalat Taubat

Shalat taubat (tobat) termasuk dari shalat sunnah mutlak yang dapat dilaksanakan kapan saja. Siang dan malam. Kecuali waktu yang dilarang melakukan shalat sunnah.

◼️Adapun Waktu Larangan Shalat Sunnah Ada 5 (lima) Sebagai Berikut:

1) Dari terbit fajar kedua sampai terbit matahari.
2) Dari terbit matahari sampai matahari naik sepenggal lah (قيد رمح).
3) Dari saat matahari persis di tengah-tengah sampai condong.
4) Dari shalat ashar sampai tenggelam matahari.
5) Menjelang tenggelam matahari sampai tenggelam sempurna.

Wallahualam bishawab
Tim Asatidz IHQ

🔹Bunda, berarti memang tidak harus didahului dengan mandi taubat begitu ya nda?

🌸Iya, benar.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Han ~ Gresik
Assalamu'alaikum bund,

Bagaimana nich bund persiapan ramadhan malah bekalnya itu kurang. Senang menyambut ramadhan tetapi di banyakin juga stok buat kuker untuk dijual akhirnya waktu banyak dipakai untuk itu. Dan ada juga yang puasa tapi tidak sholat. Bagaimana bund dengan yang seperti itu kurangnya ilmu?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Bismillahirrohmanirrohim... 

Ramadhan itu adalah bulan yang suci, di mana dalam satu tahun itu Alloh ﷻ hanya memberikan satu kali saja bulan, dimana yang disebut dengan malam Lailatul Qadar. Dan ini benar-benar membutuhkan semangat untuk bisa mendapatkan malam Lailatul Qadar itu.

Nah ketika kita menyambut Ramadhan dengan senang hati begitu, itu artinya kita juga siap untuk mengisi Ramadhan kita itu tidak hanya dengan, sekedar haus dan lapar saja. Tetapi dari segi pemaknaan ruh itu berkurang, bagaimana ketika kita menyambut Ramadhan justru sibuk dengan bisnisnya, seperti tadi, membuat kue kering, bukan tidak boleh begitu, tetapi tetap harus ada porsi ya, porsi yang di optimalkan untuk ibadah itu.

Karena Alloh ﷻ juga tidak menuntut kita itu berlebih-lebihan, tidak, tetapi semaksimal apa, kita berusaha, untuk mengisi yang namanya bulan Ramadhan itu. Jadi jangan sampai kemudian asik berbisnis, karena banyak orderan dan lain sebagainya, justru tilawah nggak sempat, kemudian taraweh enggak sempat, lail enggak sempat begitu kan. Kemudian sedekah juga ala kadarnya, padahal bisnisnya lancar begitu.

Nah ini yang dikhawatirkan adalah menjadi nikmat yang istidhraj ya, jadi nikmat yang justru mengantarkan seseorang itu kepada kemurkaan Alloh ﷻ pada akhirnya nanti, jadi dibiarkan saja, dia itu banyak orderan, rezeki mengalir, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Jadi Alloh ﷻ tidak suka begitu ya.

Nah ini jangan sampai terjadi hal seperti itu. Boleh, silakan berbisnis, membuat kue kering, berjualan mukena, gamis dan lain sebagainya, tetapi tetap ada porsi-porsi, pos-pos tertentu, waktu-waktu tertentu di mana kita serius dengan ibadah kita itu begitu ya. Ada juga kok, yang dia tidak sibuk dengan jualan dan lain sebagainya, dia bisa ibadah dengan baik begitu, dalam artian dia tilawah, kemudian dia juga taraweh, dia juga shalat malam, tapi lisannya tidak terjaga, jadi selama dia tidak tilawah dan tidak melakukan ibadah-ibadah sunnah, dia ngegosip ya kan, atau bahkan dia Namimah ya, mengadu domba, atau dia fitnah.

Nah itu kan juga, tidak sibuk dengan pekerjaan yang manfaat ya, bikin kue kering kan manfaat tuh. Tetapi yang ini kan sesuatu yang sia-sia dan itu juga menghanguskan dari pahala puasa. Ini juga tidak bagus begitu ya. Jadi tidak boleh dilakukan begitu.

Itu kenapa ditekankan adalah kita prepare dengan waktu kita, kapan saatnya dibagi waktunya atau membatasi jumlah ya, karena Rezeki itu Alloh ﷻ yang jamin ya. Jangan sampai kita berpikir begini, mumpung ya, jangan ada kata aji mumpung, mumpung banyak yang order, yuk kita all out begitu.

Kemudian Alloh ﷻ diabaikan, dalam artian, ya shalat sekedarnya, sedekah sekedarnya, dikhawatirkan ketika Alloh ﷻ mau, hasil yang begitu besar itu, kemudian habis dalam sekejap, naudzubillah ya, bukan mendoakan, tiba-tiba anak kita sakit, orang tua kita sakit atau apalah, entah motor kita nyerempet, mobil kita apa begitu, sehingga dana yang kita kumpulkan siang pagi malam, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, habis dalam waktu dekat, dalam waktu sekejap saja begitu.

Jadi untuk pengobatan, untuk mengurus ke polisi dan lain sebagainya. Itu kan juga cara Alloh ﷻ begitu, untuk menegur. Atau malah naudzubillah ya, kemudian kita kecopetan, sehingga habislah uangnya begitu. Jadi yang kita kejar itu adalah keberkahan begitu. Sedikit tetapi berkah, banyak juga berkah, itu jauh lebih bagus, karena apa, kalau banyak berkah, kita bisa tolong orang lain. Sedikit itu berkah, kita bisa sedekah, kita masih bisa menolong, meskipun dengan cara tidak banyak ya.

Mungkin kalau yang uangnya banyak, sampai ratusan juta misalnya, itu bisa menolong banyak orang, tetapi ketika hanya sekedar sejuta, dua juta, tiga juta, mungkin orang-orang terdekat sekitar kita saja, yang bisa ditolong, dengan sekedar satu liter minyak goreng atau apalah. Tetapi disisi Alloh ﷻ, bukan masalah jutaan dan satu liter nya, itu bukan, tapi bagaimana dia mendapatkan uang itu, kemudian untuk apa uang itu digunakan ya. Nilainya beda ya, kalau seorang jutawan bersedekah cuma 1 juta mah biasa, karena duitnya ratusan juta gitu kan, sedekah hanya 1 juta itu biasa saja.

Sangat berbeda dengan orang yang penghasilannya sehari misalnya cuma Rp50.000, dia bisa sedekah Rp2.000 itu sudah luar biasa juga. Karena dari Rp. 50.000 bisa beli apa gitu, hari gini gitu kan. Tetapi dia masih menyisihkan untuk bersedekah.

Nah ini yang perlu kita tanamkan dalam diri kita. Jangan sampai kemudian apa yang kita punya itu, justru Alloh ﷻ ambil, dengan caranya, naudzubillah, karena apa, karena kita lalai.

Kemudian pertanyaan yang satu lagi, bagaimana ketika di bulan puasa justru dia tidak shalat. Padahal ya kalau kita lihat dalam dalil-dalil yang shohih, amalan pertama yang diperiksa Alloh ﷻ itu adalah shalat.

Apabila shalatnya itu bagus, maka amalan yang lain itu bagus. Tetapi apabila shalatnya itu buruk, maka amalan yang lain juga buruk begitu. Jadi wallahu a'lam, kalau begitu puasa, bisa jadi puasanya sah. Tetapi apakah dia diterima oleh Alloh ﷻ begitu ya, ketika dia tidak melaksanakan shalat, karena shalat itu perintah utama.

Rasulullah ﷺ itu baru kemarin ya, kita memperingati Isra Mi'raj. Perintah utamanya adalah perintah untuk shalat begitu ya kan, bukan perintah untuk puasa begitu, tetapi perintah untuk shalat. Nah itu saja tidak dilakukan, terus bagaimana bisa mengharapkan keberkahan dari Alloh ﷻ, naudzubillahimindzalik. Kalau misalnya kita mati dalam keadaan tidak melakukan shalat, seumur hidup ya.

Baik, mungkin itu saja.

✓ Hukum Puasa Orang Yang TIdak Sholat

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Meninggalkan sholat adalah kekafiran, dan dosa kekafiran membatalkan semua ibadah termasuk puasa sebagaimana dalil-dalil dalam pembahasan syarat puasa pertama, maka tidak sah puasanya orang yang tidak sholat.
 
Allah ﷻ berfirman,
 
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
 
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” [QS. At Taubah: 11]
 
Rasulullah ﷺ bersabda,
 
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
 
“Sesungguhnya, batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” [HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma]
 
Dan sabda beliau ﷺ,
 
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
 
“Perjanjian antara kami dan mereka adalah sholat, barangsiapa meninggalkannya sungguh ia telah kafir.” [HR. At-Tirmidzi dari Buraidah bin Al-Hushaib radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 564]

Tabi’in yang Mulia Abdullah bin Syaqiq Al-‘Uqaili rahimahullah berkata,
 
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
 
“Dahulu para sahabat Nabi Muhammad ﷺ tidaklah menganggap ada satu amalan yang apabila ditinggalkan menyebabkan kekafiran, kecuali sholat.” [Riwayat At-Tirmidzi, Shahihut Targhib: 565]
 
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa meninggalkan sholat adalah kekafiran yang menyebabkan pelakunya murtad keluar dari Islam, dan dosa kekafiran menghapuskan semua ibadah, tidak terkecuali puasa. 
 
Allah ﷻ berfirman,
 
وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
 
“Dan barangsiapa kafir terhadap keimanan maka terhapus lah amalannya dan ia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” [QS. Al-Maidah: 5]
 
"Maka jelaslah bahwa orang yang berpuasa tapi tidak sholat, tidak sah puasanya, karena meninggalkan sholat adalah kekafiran yang menghapuskan seluruh amalan pelakunya."
[Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz, 9/280-281 dan Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahumallah, 19/87]

Bahkan tidak sah puasa orang yang hanya sholat di bulan Ramadhan dan meninggalkan sholat di selain bulan Ramadhan, karena meninggalkan sholat adalah kufur akbar yang menghapuskan amalan.

Disebutkan dalam kumpulan fatwa ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah masa ini,
 
أما الذين يصومون رمضان ويصلون في رمضان فقط فهذا مخادعة لله، فبئس القوم الذين لا يعرفون الله إلا في رمضان، فلا يصح لهم صيام مع تركهم الصلاة في غير رمضان، بل هم كفار بذلك كفرا أكبر، وإن لم يجحدوا وجوب الصلاة في أصح قولي العلماء
 
“Adapun orang-orang yang berpuasa Ramadhan dan hanya melakukan sholat di bulan Ramadhan saja maka itu adalah usaha menipu Alloh ﷻ (yang sesungguhnya tidak sanggup mereka lakukan), sungguh jelek suatu kaum yang tidak mengenal Alloh ﷻ kecuali di bulan Ramadhan, maka tidak sah puasa mereka apabila meninggalkan sholat di selain bulan Ramadhan, karena mereka kafir dengan sebab itu; dengan kekafiran yang besar walau mereka tidak menentang kewajiban sholat, menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama.” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/140-141]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

0️⃣3️⃣ Aisya ~ Cikampek 
Assalamualikum warahmatullahi wabarakatuh 

1. Semenjak covid bunda kita melaksanakan sholat tarawih di rumah masing-masing, apa hukumnya sholat tarawih tanpa berjamaah bund.

2. Yang manakah yang afdhol untuk raka'at sholat tarawih, apa 11,13, 20, 23 rakaat?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh 

1. Shalat Tarawih

Allah subhanahu wata’ala mengkhususkan bulan ini dengan syariat shalat tarawih, dan dengan beginilah Allah ta’ala benar-benar ingin mendidik hamba-hambanya menjadi hamba yang bertakwa dengan ibadah puasa di siang hari dan ibadah shalat tarawih dimalam hari, bahkan keduanya pun memiliki keutamaan yang amat besar disisi Allah ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(HR. Muslim).

Imam An Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menerangkan bahwa shalat tarawih bisa menggugurkan dosa dengan syarat karena iman yaitu membenarkan pahala yang dijanjikan oleh Alloh ﷻ dan mencari pahala dari Alloh ﷻ, bukan karena riya’ atau alasan lainnya. Dan yang dimaksud dengan “pengampunan dosa” dalam hadits ini adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar tetao harus diiringi  dengan bertaubat kepada Allah ta’ala.”

Keutamaan Sholat Tarawih Berdasarkan Hadits-Hadits Shohih
Ustadz Muhammad Wasitho, Lc., MA.

Sholat Tarawih merupakan salah satu amal ibadah yang Alloh ﷻ syari’atkan bagi para hamba-Nya di bulan suci Romadhon. Dan hukum sholat Tarawih adalah SUNNAH sebagaimana yang disepakati oleh para ulama.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan Qiyam Ramadhan adalah sholat Tarawih, dan para ulama telah bersepakat bahwa sholat Tarawih itu hukumnya mustahab (sunnah atau dianjurkan).” (Lihat Syarhu Shohih Muslim VI/282, dan kitab Al-Majmu’ III/526)

 ✓ Keutamaan Shalat Tarawih

Pada beberapa waktu yang lalu, kami telah menposting hadits PALSU tentang keutamaan sholat Tarawih dari malam pertama hingga malam ketiga puluh (terakhir) dari bulan Romadhon. Maka pada kesempatan kali ini kami akan menyebutkan keutamaan sholat Tarawih berdasarkan hadits-hadits yang SHOHIH dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam.

🔸KEUTAMAAN PERTAMA:

Allah Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa yang telah lalu bagi siapa saja yang melakukan sholat Tarawih dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dan ridho Alloh ﷻ semata. Bukan karena riya’ dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar amal kebaikannya oleh orang lain).

Hal ini berdasarkan hadits SHOHIH berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم : « مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

"Barangsiapa melakukan Qiyam Romadhon (yakni sholat malam pada bulan Romadhon) karena iman dan mengharap pahala dan ridho Alloh ﷻ, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. al-Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

» Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: 

“Yang dimaksud Qiyam Romadhon adalah sholat Tarawih.”

» Ibnul Mundzir rahimahullah menerangkan berdasarkan nash (tekstual) hadits ini bahwa yang dimaksud “pengampunan terhadap dosa-dosa yang telah lalu dalam hadits ini adalah bisa mencakup dosa besar dan dosa kecil."

Sedangkan imam An-Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksudkan pengampunan dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil saja. Karena dosa-dosa besar tidaklah diampuni dengan sebab melakukan amal-amal sholih, akan tetapi hanya dengan melakukan Taubat Nasuha, yakni taubat yang sempurna.

🔸KEUTAMAAN KEDUA:

Barangsiapa melaksanakan sholat Tarawih berjamaah bersama imam hingga selesai, maka akan dicatat baginya pahala seperti orang yang melakukan Qiyamul Lail semalam penuh.

Hal ini berdasarkan Hadits Shohih berikut ini:

Dari Abu Dzar rdhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabatnya. Lalu beliau bersabda:

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

“Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (Tarawih) bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala Qiyamul Lail satu malam penuh.” (HR. An-Nasai no.1605, At-Tirmidzi no.806, Ibnu Majah no.1327, dan selainnya. Dan hadits ini dinyatakan SHOHIH oleh At-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani dalam Irwa’ Al-Gholil no. 447)

Demikian keutamaan sholat Tarawih berdasarkan hadits-hadits Shohih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Semoga Allah Ta’ala memberikan

Taufiq dan pertolongan-Nya kepada kita semua untuk dapat istiqomah dalam melaksanakan sholat Tarawih dan ibadah lainnya di bulan Ramadhan dan di bulan-bulan setelahnya. Amiin. 

Semua pertanyaan bunda jawab dengan artikel lengkap ya.

2. Bolehnya Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at.

(Oleh: Ustadz DR. Firanda Andirja Abidin, Lc, MA.)

Ijma’ Boleh Lebih 11 Rakaat

Para ulama telah ijmak (sepakat) akan bolehnya sholat malam (tarawih) lebih dari 11 raka’at. Bahkan yang menukil ijmak tersebut para ulama dari berbagai madzhab fikih. Berikut ini nukilan tersebut:

1. Madzhab Maliki:

Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) berkata:

وأكثر الآثار على أن صلاته كانت إحدى عشرة ركعة وقد روي ثلاث عشرة ركعة. واحتج العلماء على أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود والصلاة خير موضوع فمن شاء استقل ومن شاء استكثر.

“Kebanyakan atsar menunjukkan bahwa shalat beliau adalah 11 rakaat, dan diriwayatkan bahwa 13 rakaat, para ulama berdalil bahwa shalat lail tidak ada batasnya, dan shalat adalah ibadah terbaik, siapa yang berkehendak silahkan menyedikitkan rakaát, dan siapa yang berkehendak maka silahkan memperbanyak rakaát.” (1)

Beliau juga berkata:

وقد أجمع العلماء على أن لا حد ولا شيء مقدرا في صلاة الليل وأنها نافلة فمن شاء أطال فيها القيام وقلت ركعاته ومن شاء أكثر الركوع والسجود

“Para ulama sepakat tidak ada batas atau ukuran dalam shalat lail (malam), mereka juga sepakat bahwa shalat lail sunnah, siapapun mau boleh memanjangkan berdiri dan sedikit jumlah rakaatnya, dan siapapun mau boleh memperbanyak ruku’ dan sujud.” (2)

Beliau juga berkata:

وَلَيْسَ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ حَدٌّ مَحْدُودٌ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَتَعَدَّى

“Tidak ada batas tertentu dalam jumlah rakaat dalam shalat lail yang tidak boleh dilewati menurut satupun ulama.” (3)

Al-Qadhi Iyadh mengatakan:

ولاَ خِلاَفَ أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدٌّ لاَ يُزَادُ عَلَيْهِ وَلاَ يُنْقَصُ مِنْهُ، وَأَنَّ صَلاَةَ اللَّيْلِ مِنَ الْفَضَائِلِ وَالرَّغَائِبِ الَّتِي كُلَّمَا زِيْدَ فِيْهَا زِيْدَ فِي الأَجْرِ وَالْفَضْلِ، وَإِنَّمَا الْخِلاَفُ فِي فِعْلِ النَّبِيِّ (صلى الله عليه وسلم) وَمَا اخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ

“Tidak ada khilaf bahwa tidak ada batas yang tidak boleh ditambahi dan dikurangi, dan shalat lail termasuk amalan utama dan dianjurkan, jika ditambahi maka bertambah pula pahala dan keutamaanya, yang diperselisihkan hanya dalam perbuatan Nabi dan jumlah rakaat yang beliau pilih untuk beliau lakukan.” (4)

2. Madzhab Hanbali

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyebutkan bahwa yang menjadi pilihan jumhur ulama adalah shalat tarawih 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan oleh Umar ketika mengumpulkan orang-orang, beliau juga berkata: “Para sahabat bersepakat dalam hal itu di masa mereka.” (5)

Ishaq bin Mansur bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Berapa rakaat shalat qiyam bulan Ramadhan? Beliau berkata: Ada beberapa pendapat, diriwayatkan sekitar 40, tetapi itu adalah shalat tathawwu’. (6)

3. Madzhab Syafi’i

Abul Qasim Ar-Rafi’i: “Sesungguhnya Umar bin Khatthab mengumpulkan orang-orang di imami oleh Ubai bin Ka’ab, dan disepakati oleh para sahabat.” (7)

An-Nawawi menukil ijma’ ini dan mengikrarkannya. (8)

Az-Za’farani meriwayatkan dari As-Syafi’I: “Aku lihat orang-orang di Madinah mengerjakan shalat 39 rakaat”, beliau berkata “Yang lebih aku suka adalah 20”, beliau berkata “Begitupula yang dikerjakan di Makkah”. Beliau berkata: “Tidak ada dalam hal ini batas akhirnya, jika mereka perbanyak ruku’ dan sujud maka lebih baik.” (9)

Al-Iraqi mengatakan:

فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ مَحْصُورٌ وَلَكِنْ اخْتَلَفَتْ الرِّوَايَاتُ فِيمَا كَانَ يَفْعَلُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Para ulama sepakat bahwa tidak ada batas tertentu dalam qiyamul-lail, akan tetapi riwayat-riwayat berbeda tentang mana yang dilakukan oleh Nabi.” (10)

4. Ulama Hadits

Ibnu Al-Qatthan Al-Fasi juga menukil ijma’ tersebut dalam kitabnya “Al-Iqna’ fi Masa’il Ijma’”.

At-Tirmidzi dalam Jami’-nya berkata:

“Para ulama berselisih pendapat dalam qiyam Ramadhan: Sebagian berpendapat 41 rakaat bersama witir, ini adalah pendapat ahlul Madinah, dan yang diamalkan oleh penduduk Madinah." Kebanyakan ulama adalah mengikuti riwayat Umar, Ali dan lainnya dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ berpendapat 20 rakaat, ini adalah pendapat At-Tsauri, Ibnu Al-Mubarak dan As-Syafi’i.

As-Syafi’i berkata: Demikianlah yang aku jumpai di kota kami Makkah, mereka shalat 20 rakaat.

Ahmad mengatakan: Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat dan tidak ada titik penentu.

Ishaq berkata: Tapi kita pilih 41 rakaat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ubai bin Ka’ab.”

★ Kesimpulan:

Di atas adalah pernyataan sejumlah ulama dari berbagai madzhab yang menukilkan ijma’ (konsensus) ulama bahwa tidak ada batas jumlah shalat lail yang di antaranya adalah shalat tarawih, tidak ada seorangpun ulama setelah mereka yang mempermasalahkan hal itu. Lihatlah dalam buku fikih manapun dan dalam madzhab manapun tidak ditemukan seorang ulama pun yang menyatakan tidak boleh sholat malam lebih dari 11 rakaát. Jika ada ulama yang mu’tabar (yang diakui) yang melarang dari kalangan para ulama terdahulu, tentu sudah dinukil dalam kitab-kitab fikih klasik (11).

Adapun hadits Aisyah (yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama kontemporer bahwa sholat malam tidak boleh lebih dari 11 rakaat) :

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ، وَلاَ فِي غَيْرِهَا عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ، وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي.

Abu Salamah bin Abdurrahman bertanya kepada Aisyah ‘Berapa shalat Rasulullah ﷺ pada bulan Ramadhan?’ ia menjawab: ‘Beliau tidak menambah sebelas rakaat baik di bulan Ramadhan atau di bulan lain, beliau shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat empat rakaat dan jangan bertanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian shalat tiga rakaat, lalu aku bertanya : wahai Rasulullah ﷺ apakah engkau tidur sebelum melakukan witir? Beliau menjawab: wahai Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tertidur tapi hatiku tidak tidur’. 

Maka hadits di atas menjelaskan bahwa sholat malam Nabi tidak lebih dari 11 raka’at. Tetapi tidak seorang salaf pun yang memahami bahwa maksud Aisyah itu adalah batasan jumlah sholat malam, tidak boleh dikurangi dan tidak boleh ditambah.

Sementara tatkala kita memahami hadits atau memahami syari’at Islam harus dengan pemahaman para salaf, sebagai konsenkuensi dari bentuk berpegang dengan manhaj salaf dalam beristidlal (berdalil).

Dalil-Dalil bahwa Shalat Tarawih Tidak Ada Batas Rakaat

Pertama: Hadits Ibnu Umar

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ –صلى الله عليه وسلم– وَأَنَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّائِلِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ صَلاَةُ اللَّيْلِ قَالَ «مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خَشِيتَ الصُّبْحَ فَصَلِّ رَكْعَةً وَاجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِكَ وِتْرًا». ثُمَّ سَأَلَهُ رَجُلٌ عَلَى رَأْسِ الْحَوْلِ وَأَنَا بِذَلِكَ الْمَكَانِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– فَلاَ أَدْرِى هُوَ ذَلِكَ الرَّجُلُ أَوْ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ.

Seorang bertanya kepada Nabi, ia mengatakan: saat itu aku berada di antara beliau dan penanya. Penanya nya mengatakan: Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana mengerjakan shalat lail? Beliau menjawab: Dua rakaat, dua rakaat, jika kamu khawatir masuk subuh maka shalat lah satu rakaat, dan jadikan akhir shalatmu witir. Kemudian ada lelaki berusia hampir satu abad, dan aku di tempat itu bersama Rasulullah ﷺ, aku tidak tahu apakah itu orang tadi atau orang lain, ia mengatakan semacam itu pula (13).

Dalam riwayat yang lain (juga dalam shahih Muslim):

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ رَجُلاً نَادَى رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أُوتِرُ صَلاَةَ اللَّيْلِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– «مَنْ صَلَّى فَلْيُصَلِّ مَثْنَى مَثْنَى فَإِنْ أَحَسَّ أَنْ يُصْبِحَ سَجَدَ سَجْدَةً فَأَوْتَرَتْ لَهُ مَا صَلَّى».

Seorang memanggil Rasulullah ﷺ sedangkan beliau berada di masjid, lantas bertanya : Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimana aku melakukan witir pada shalat lail? Rasulullah ﷺ menjawab : Siapapun yang shalat, hendaklah shalat dua rakaat dua rakaat, jika merasa datang subuh maka hendaklah melakukan satu sujud, makai ia telah melukan shalat witir.

Dalam riwayat yang lain:

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Shalat lail dua-dua, jika kamu melihat subuh akan tiba maka wtirlah satu rakaat. Lalu ada yang bertnya kepada Ibnu Umar: apa itu dua-dua? Beliau menjawab: hendaklah engkau salam di setiap dua rakaat. (diriwayatkan muslim juga di tempat yang sama).

Tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. 

Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ  namun berdirinya agak lama. 

Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama. Nabi ﷺ  bersabda,  

‎أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ

“Sebaik-baik shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

‎عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

“Nabi ﷺ  melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Mukhtashiron → Terburu buru

Resume : Yang mau pilih 11 silahkan yang mau pilih 23 silahkan, jika didekat rumah ada masjid yang 23 rakaat, maka setelah 8 rakaat boleh saja meninggalkan mesjid dan witir 3 rakaat di rumah. 

Anjuran → Pilihlah sampai Imam Bubar [selesai] mengerjakan witir, sehingga mendapatkan pahala seperti semalam suntuk sholat sunnah sampai subuh.

Tanya #07
➖➖➖➖

Sholat tarawih lebih afdhal di rumah atau di masjid kah...? Mana yang lebih afdhal..?

Jawab 🖌
➖➖➖
Para ulama menegaskan bahwa shalat tarawih boleh dikerjakan sendiri di rumah tanpa berjamaah. An-Nawawi menegaskan,

‎أما حكم المسألة فصلاة التراويح سنة بإجماع العلماء … وتجوز منفردا وجماعة

Hukum mengenai masalah tarawih, bahwa shalat tarawih hukumnya sunah dengan sepakat ulama… dan boleh dikerjakan sendiri maupun berjamaah.
(al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 4/31)

Manakah yang lebih afdhal...? Ada perbedaan pendapat Ulama dalam hal ini. Secara keumuman sholat sunnah itu di Sunnah kan di rumah masing masing, dikarenakan sholat wajib, wajib dikerjakan berjamaah di masjid bagi laki-laki. 

Dan juga ada Ulama yang berpendapat bahwa ada syiar Islam jika dikerjakan berjamaah di masjid dan banyak mendapatkan keutamaan.

‎والله أعلم بالصواب 

Tanya #08
➖➖➖➖

Sholat tarawih 11 rakaat [jika memilih 11 rakaat] itu bolehkah dikerjakan 2-2-2-2 kemudian 2-1 atau bolehkah menggunakan pola 4-4-3...?

Jawab 🖌
➖➖➖
Memang ada hadis yang mengatakan bahwa sholat sunnah itu 2 rakaat 2 rakaat dan ada juga hadis yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melakukan 4 rakaat 4 rakaat. 

Dari hadis yang sangat panjang tersebut [tidak di sajikan] Sangat terperinci sifat shalat witir Beliau ﷺ  dalam hadits di atas. 

Beliau ﷺ  tidak melakukannya dua rakaat dua rakaat. Sah kah shalat beliau tersebut? Tentu saja sah, karena apa yang dilakukan Beliau ﷺ  yang menjadi dalil bagi ibadah kita akan keabsahannya.

Resume nya, shalat malam atau shalat tarawih 4 raka’at dengan satu salam adalah boleh dan sah. Jika dilakukan dua raka’at dua raka’at, lebih afdlal.

Urutannya jika 4 Rakaat sekali salam:
1. Tidak ada Tasyahud awal.
2. Salam di Rakaat ke-4.
3. Demikian juga dengan Witir.

Demikianlah fiqih ringkas Ramadhan Series. kita kali ini, semoga اللّهُ Ta'ala melindungi kita semua. 

Nantikan Series lanjutannya. 

والله تعالى أعلم والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

0️⃣4️⃣ Aisya ~ Cikampek 
Assalamu'alaikum,

1. Bund, banyak yang beredar di masyarakat bahwa "Tidurnya orang puasa itu ibadah."

Apa maksudnya dan apa hukumnya bunda?

2. Apa yang dimaksud dengan setan dibelenggu pada bulan puasa bunda?

Sedangkan masih banyak perbuatan maksiat di bulan mulia tersebut?

3. Kalau hutang puasanya belum sempat di Qodho sampai Ramadhan tiba ... (karena tahun kemarin hamil ngeflenya dan tahun ini juga hamil sama saran dokter jangan puasa dulu) bagaimana hukumnya, dan apa jadi berlipat atau fidyah?

4. Pada waktu puasa ramadhan afdolnya berniat di awal puasa untuk satu bulan penuh atau setiap malam hari sebelum berpuasa esok harinya bunda?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

1. Ungkapan seperti yang anda sampaikan, yaitu tidurnya orang berpuasa merupakan ibadah memang sudah seringkali kita dengar, baik di pengajian ataupun di berbagai kesempatan. Dan paling sering kita dengar di bulan Ramadhan.

Di antara lafadz nya yang paling populer adalah demikian:

"Tidurnya orang puasa merupakan ibadah, diamnya merupakan tasbih, amalnya dilipat-gandakan (pahalanya), doanya dikabulkan dan dosanya diampuni."

Meski di dalam kandungan hadits ini ada beberapa hal yang sesuai dengan hadits-hadits yang shahih, seperti masalah dosa yang diampuni serta pahala yang dilipat-gandakan, namun khusus lafadz ini, para ulama sepakat mengatakan status kepalsuannya.

Adalah Al-Imam Al-Baihaqi yang menuliskan lafadz itu di dalam kitabnya, Asy-Syu'ab Al-Iman. Lalu dinukil oleh As-Suyuti di dalam kitabnya, Al-Jamiush-Shaghir, seraya menyebutkan bahwa status hadits ini dhaif (lemah).

Namun status dhaif yang diberikan oleh As-Suyuti justru dikritik oleh para muhaddits yang lain. Menurut kebanyakan mereka, status hadits ini bukan hanya dhaif tetapi sudah sampai derajat haditsmaudhu' (palsu).

Hadits Palsu

Al-Imam Al-Baihaqi telah menyebutkan bahwa ungkapan ini bukan merupakan hadits nabawi. Karena di dalam jalur periwayatan hadits itu terdapat perawi yang bernama Sulaiman bin Amr An-Nakhahi, yang kedudukannya adalah pemalsu hadits.

Hal senada disampaikan oleh Al-Iraqi, yaitu bahwa Sulaiman bin Amr ini termasuk ke dalam daftar para pendusta, di mana pekerjaannya adalah pemalsu hadits.

Komentar Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah juga semakin menguatkan kepalsuan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa si Sulaiman bin Amr ini memang benar-benar seorang pemalsu hadits.

Bahkan lebih keras lagi adalah ungkapan Yahya bin Ma'in, beliau bukan hanya mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr ini pemalsu hadits, tetapi beliau menambahkan bahwa Sulaiman ini adalah "Manusia paling pendusta di muka bumi ini!"

Selanjutnya, kita juga mendengar komentar Al-Imam Al-Bukhari tentang tokoh kita yang satu ini. Beliau mengatakan bahwa Sulaiman bin Amr adalah matruk, yaitu haditsnya semi palsu lantaran dia seorang pendusta.

Saking tercelanya perawi hadits ini, sampai-sampai Yazid bin Harun mengatakan bahwa siapapun tidak halal meriwayatkan hadits dari Sualiman bin Amr.

Iman Ibnu Hibban juga ikut mengomentari, "Sulaiman bin AmrAn-Nakha'i adalah orang Baghdad yang secara lahiriyah merupakan orang shalih, sayangnya dia memalsu hadits. Keterangan ini bisa kita dapat di dalam kitab Al-Majruhin Minal Muhadditsin Wadhdhu'afa Wal-Matrukin. Juga bisa kita dapati di dalam kitab Mizanul I'tidal.

Rasanya keterangan tegas dari para ahli hadits senior tentang kepalsuan hadits ini sudah cukup lengkap, maka kita tidak perlu lagi ragu-ragu untuk segera membuang ungkapan ini dari dalil-dalil kita. Dan tidak benar bahwa tidurnya orang puasa itu merupakan ibadah.

Oleh karena itu, tindakan sebagian saudara kita untuk banyak-banyak tidur di tengah hari bulan Ramadhan dengan alasan bahwa tidur itu ibadah, jelas-jelas tidak ada dasarnya. Apalagi mengingat Rasulullah ﷺ pun tidak pernah mencontohkan untuk menghabiskan waktu siang hari untuk tidur.

Kalau pun ada istilah qailulah, maka praktiknya Rasulullah ﷺ hanya sejenak memejamkan mata. Dan yang namanya sejenak, paling-paling hanya sekitar 5 sampai 10 menit saja. Tidak berjam-jam sampai meninggalkan tugas dan pekerjaan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
(Ahmad Sarwat, Lc)

2. Mengapa Masih Ada Maksiat di Bulan Ramadhan Padahal Setan-setan Telah Dibelenggu?

بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallaam bersabda,

إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ

“Apabila masuk bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallaam juga bersabda,

أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ ، وَتُغَلَّقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ ، وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ ، لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ

“Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang diberkahi, Alloh ﷻ mewajibkan puasanya atas kalian, padanya pintu-pintu langit di buka, pintu-pintu neraka di tutup, setan-setan yang paling durhaka dibelenggu, dan Alloh ﷻ memiliki satu malam padanya yang lebih baik dari seribu bulan, barangsiapa yang terhalangi kebaikannya maka sungguh ia telah benar-benar terhalangi.” [HR. Ahmad dan An-Nasaai dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Shahihul Jaami’: 55]

Hadits-hadits yang mulia di atas menunjukkan bahwa Allah ta’ala menolong hamba-hamba-Nya untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya di bulan Ramadhan dengan mengikat setan-setan, tapi mengapa masih ada maksiat di bulan Ramadhan?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Dan setan-setan dibelenggu, sehingga membuat kekuatan dan godaan mereka lemah karena belenggu tersebut, maka mereka tidak mampu melakukan di bulan Ramadhan seperti yang biasa mereka lakukan di bulan lainnya, tetapi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa mereka dibunuh, tidak pula mati, namun beliau berkata, ‘Dibelenggu’, sedang setan yang dibelenggu masih mungkin menggoda, akan tetapi lebih sedikit dan lebih lemah daripada selain Ramadhan, namun itu terjadi sesuai dengan sempurna atau tidaknya puasa seseorang, maka siapa yang puasanya sempurna niscaya ia mampu melawan setan melebihi orang yang puasanya tidak sempurna.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/246]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menukil dari Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah,
"Sesungguhnya kemaksiatan itu hanyalah berkurang dari orang-orang yang berpuasa apabila puasanya memenuhi syarat-syarat puasa dan menjaga adab-adabnya."

Atau bisa juga bermakna bahwa yang dibelenggu itu hanyalah sebagian setan, yaitu para pembesar setan yang paling durhaka bukan seluruhnya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada sebagian riwayat hadits.

Atau bisa juga maksudnya adalah pengurangan kejelekan-kejelekan di bulan Ramadhan, dan ini sesuatu yang dapat disaksikan, yaitu terjadinya kemaksiatan di bulan Ramadhan lebih sedikit dibanding bulan lainnya.

Karena dibelenggu nya seluruh setan pun tidak dapat memastikan kejelekan dan kemaksiatan hilang sama sekali, sebab terjadinya kemaksiatan itu juga karena banyak sebab selain setan, seperti;

✓ Jiwa yang jelek,
✓ Kebiasaan yang tidak baik,
✓ Godaan setan-setan dari golongan manusia.

"Dan berkata selain Al-Qurthubi tentang dibelenggu nya setan-setan di bulan Ramadhan adalah isyarat bahwa telah dihilangkannya alasan bagi seorang mukallaf dalam melakukan dosa, seakan dikatakan kepadanya, ‘Setan-setan telah ditahan dari menggoda mu, maka jangan lagi kamu menjadikan setan sebagai alasan dalam meninggalkan ketaatan dan melakukan maksiat’.” [Fathul Bari, 4/114-115]

Wallaahu A'lam
Wallaahu Waliyyut Taufiq

TETAP HATI-HATI MESKI SETAN DIBELENGGU

Al-Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata,

لا يلزم من تصفيد جميعهم أن لا يقع من العبد شر ، ولا إثمٌ ، ومعصية؛
- لأن لذلك أسباباً غير الشياطين، كالنفوس الخبيثة، والعادات القبيحة، والشياطين الإنسية".

Tidak mesti ketika semua setan dibelenggu membuat seorang hamba tidak bisa terjatuh dalam kejelekan, dosa, dan maksiat.

Sebab, ada faktor lain selain setan, seperti jiwa yang jelek, kebiasaan buruk, dan setan dari bangsa manusia.
(Fathul Bari, 4/114)

Wallahu a'lam

3. Lupa Jumlah Hari Qadha Puasa

Oleh: Ustadz Ammi Nur Baits

★ Jika Lupa Jumlah Hari Puasa yang Harus Di Qadha

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

✓ Pertama, kami menghimbau kepada seluruh kaum muslimin yang memiliki kewajiban membayar hutang puasa atau kafarah sumpah atau nazar atau yang lainnya, agar berusaha menjaganya, mengingat-ingat, memberikan perhatian, dan bila perlu mencatatnya. Agar kita tidak dianggap telah melakukan tindakan menyia-nyiakan kewajiban agama, kurang peduli dengan aturan syariat, atau berpaling dari perintah Alloh ﷻ, Sang Maha Pencipta.

Alloh ﷻ mencela orang sibuk dengan urusan dunia, namun dalam masalah akhirat dia lalai,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

"Mereka mengetahui yang dzahir dari kehidupan dunia, namun dalam urusan akhirat, mereka lalai." (QS. Ar-Rum: 7).

Banyak orang yang tahu jumlah hutang-piutang dalam bisnisnya, karena dia perhatian. Namun hutang puasa, dia sia-siakan, sengaja dia lupakan.

Mengingat semacam ini termasuk bentuk kesalahan, maka kewajiban mereka yang melalaikan perintah agama, kurang peduli terhadap utang puasanya, untuk bertaubat dan memohon ampun kepada Alloh ﷻ. Memohon agar amal yang dilakukan, diterima oleh Alloh ﷻ.

✓ Kedua, orang yang lupa dalam ibadah, dia diperintahkan untuk mengambil yang lebih meyakinkan. Kaidah dasar mengenai hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait orang yang lupa bilangan rakaat ketika shalat,

إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلْيُلْقِ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى الْيَقِينِ

“Apabila kalian ragu dalam shalat, hendaknya dia buang keraguannya dan dia ambil yang lebih meyakinkan….” (HR. Abu Daud 1024 dan dishahihkan Al-Albani).

Kemudian, beliau mengarahkan agar orang yang shalat, mengambil bilangan yang lebih sedikit, karena itu yang lebih meyakinkan.

Orang yang shalat zuhur dan lupa apakah telah mengerjakan 2 rakaat atau 3 rakaat, yang harus dia pilih adalah 2 rakaat, karena ini yang lebih meyakinkan.

Orang yang thawaf dan lupa, sudah melakukan 5 kali putaran ataukah 6 kali, yang harus dia pilih adalah yang lebih sedikit, baru melakukan 5 kali putaran, karena ini lebih meyakinkan.

Demikian pula orang yang lupa berapa jumlah hari yang menjadi tanggungan dia berpuasa, apakah 12 hari ataukah 10 hari, yang harus dia pilih adalah yang lebih meyakinkan yaitu 12 hari. Dia memilih yang lebih berat, karena semakin menenangkan dan melepaskan beban kewajibannya. Karena jika dia memilih 10 hari, ada 2 hari yang akan membuat dia ragu. Jangan-jangan yang 2 hari ini juga tanggungan dia untuk berpuasa. Berbeda ketika dia memilih 12 hari. Dan sekalipun kelebihan, puasa yang dia lakukan tidak sia-sia, dan insyaaAllah dia tetap mendapat pahala.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan,

إذا كَثرَت الْفوائتُ عليهِ يتشاغلُ بالقضَاء… فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ

“Apabila tanggungan puasa sangat banyak, dia harus terus-menerus melakukan qadha….jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajiban puasanya, maka dia harus mengulang-ulang qadha puasa, sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.”

Kemudian Ibnu Qudamah menyebutkan riwayat keterangan dari Imam Ahmad, tentang orang yang menyia-nyiakan shalatnya,

يُعِيدُ حَتَّى لَا يَشُكَّ أَنَّهُ قَدْ جَاءَ بِمَا قَدْ ضَيَّعَ. وَيَقْتَصِرُ عَلَى قَضَاءِ الْفَرَائِضِ, وَلَا يُصَلِّي بَيْنَهَا نَوَافِلَ, وَلَا سُنَنَهَا

"Dia ulangi sampai tidak ragu lagi bahwa dia telah melakukan apa yang telah dia lalaikan. Dia hanya melakukan yang wajib saja, dan tidak melakukan shalat rawatib maupun shalat sunah." (Al-Mughni, 1/439)

Berdasarkan keterangan di atas, orang yang lupa sama sekali jumlah hari puasa yang menjadi tanggungannya, dia bisa memperkirakan berapa jumlah utangnya, kemudian segera membayar puasa sebanyak yang dia prediksikan, sampai dia yakin telah melunasi utang puasanya.

Allahu a’lam

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Hamil Sebelum Memulai Qadha, Dan Ketika Hamil Tidak Mampu Berpuasa

Alhamdulillah...

Alloh ﷻ memberikan keluasan waktu untuk meng-qadha puasa Ramadhan bagi yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan—karena alasan syar’i’—sampai datang Ramadhan berikutnya. Namun demikian, seorang muslim tidak boleh sampai lalai dengan keluasan waktu ini sehingga menunda-nunda pelaksanaan qadha puasa. Karena bisa saja di akhir-akhir kesempatan itu ia akan dihadapkan pada kondisi yang membuatnya tidak bisa berpuasa, sehingga ia tidak bisa menunaikan qadha puasa tersebut sama sekali, terutama para wanita yang bisa saja tanpa diduganya tiba-tiba hamil, haidh atau nifas. 

Barangsiapa yang menunda qadha puasa tanpa alasan syar’i’, sampai waktunya menjadi sempit, kemudian tanpa disadarinya Sya’ban pun berlalu dan ia masih belum melaksanakan qadha puasanya, maka ia berdosa. Namun jika itu terjadi karena ada halangan syar’i maka itu tidak menjadi dosa baginya. Pada kedua kondisi ini, ia tetap wajib menunaikan qadha puasa Ramadhan sebelumnya setelah Ramadhan berikutnya. Sebagian ulama mewajibkan juga, di samping kewajiban qadha tersebut, kewajiban memberi makan orang miskin untuk setiap hari qadha-nya. Jika hal itu tidak memberatkannya maka itu lebih baik baginya. Namun jika ia tidak mampu melakukannya, maka qadha saja sudah cukup. Lihat soal-jawab nomor 26865 dan 21710. 

Syaikh Muhammad ash-Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya:

Apa hukum orang yang menunda qadha puasa sampai masuk Ramadhan berikutnya? 

Ia menjawab:

Menunda pelaksanan qadha puasa sampai masuk Ramadhan berikutnya adalah tidak boleh, berdasarkan pendapat yang masyhur di kalangan ulama. Karena Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,

كان يكون عليَّ الصوم من رمضان فلا أستطيع أن أقضيه إلا في شعبان

“Aku punya hutang puasa Ramadhan. Aku tidak bisa meng-qadha-nya kecuali di bulan Sya’ban.” Ini menunjukkan bahwa tidak ada qadha setelah datangnya Ramadhan. Jika seseorang melakukan hal itu tanpa alasan syar’i maka ia telah berdosa, dan ia diharuskan langsung meng-qadha-nya setelah Ramadhan berikutnya. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah diwajibkan pula, di samping itu, memberi makan orang miskin ataukah tidak. Berdasarkan pendapat yang shahih: tidak diwajibkan. Karena Allah ‘azza wa jalla berfirman,  

وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” Dalam firman ini, Alloh ﷻ hanya mewajibkan qadha." Dinukil dari “Majmu’ Fatawa Syaikh Ibn ‘Utsaimin” (19/soal nomor 357) 

Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah juga ditanya:

Seorang wanita berbuka puasa beberapa hari di bulan Ramadhan tahun lalu, kemudian ia meng-qadha-nya pada akhir bulan Sya’ban. Tiba-tiba ia haidh dan terus berlangsung sampai masuk bulan Ramadhan, sehingga masih tersisa hutang puasanya satu hari lagi. Apa yang harus ia lakukan? 

Ia menjawab:

Yang wajib dilakukan oleh wanita tersebut adalah tetap meng-qadha puasa yang ditinggalkannya itu walaupun ia lakukan setelah Ramadhan kedua. Karena ia meninggalkan qadha puasa Ramadhan pertama disebabkan oleh adanya alasan syar’i . Namun jika tidak memberatkan sebaiknya ia meng-qadha-nya pada musim dingin (sebelum Ramadhan kedua datang) meskipun itu tidak berurutan, sehari puasa, sehari tidak. Itu wajib ia lakukan meskipun ia dalam keadaan menyusui. Sebaiknya ia bergegas menyelesaikan qadha puasa Ramadhan pertama sebelum datang Ramadhan kedua. Jika itu tidak mungkin dilakukannya maka tidak mengapa jika ia mengakhirkannya sampai Ramadhan kedua. Dinukil dari “Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin” (19/soal nomor 360).

★ Kesimpulan: 
Qadha puasa yang belum diselesaikannya itu tetap menjadi hutang bagi istri Anda. Ia harus membayarnya ketika ada kesempatan.

Wallahu ‘alam.

4. Imam Nawawi rahimahullahu dalam Kitabnya ar-Raudhoh mengatakan : Jika seseorang berniat puasa, dan ia melafalkan lafazhnya hanya di lisannya, artinya tidak disertai dengan niat dalam hati pada apa yang ia ucapkan dari lafazh niat puasa tersebut, maka hal tersebut tidak cukup, sebab kefardhuan niat itu dalam hati sedangkan mengucapkan niat adalah sunnat agar dapat membantu apa yang dilisankan pada hati. (Lihat — Hasyiat al-Bajuri 'ala Ibn Qasim al-Guzy, Jilid :01, Halaman : 288. Kitab percetakan : Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyyah, Surabaya).
  
Menurut Imam Nawawi rahimahullahu, kalaulah seseorang melakukan sahur untuk berpuasa, atau ia minum agar dapat terhindar dari rasa haus di siang hari, atau ia mencegah melakukan makan minum, dan atau ia mencegah dari melakukan hubungan intim karena takut terburu terbit fajar, dan ia berpikir besok hari akan berpuasa di bulan Ramadhan — maka hal inipun termasuk niat puasa (sekalipun tidak melafalkan lafazh niat puasa yang sudah kita maklumi). Lihat :

~ Hasyiat al-i'anatu at-Tholibin, Jilid : 02, halaman : 221, Kitab percetakan Dar an-Nasyr al-Mishriyyah, Surabaya.

~ Hasyiat al-Bajuri 'ala Ibn Qasim al-Guzy, Jilid :01, Halaman : 288 : Kitab percetakan Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyyah, Surabaya.
 
★ Kesimpulan:
Jika seseorang, hanya melafalkan lafazh niat puasa Ramadhan dalam lisannya tetapi tidak berniat dalam hatinya, yang dilakukan itu karena atas kebodohan ia dalam berniat, akan tetapi ia sempat berpikir di waktu sahur untuk melaksanakan puasa Ramadhan di esok harinya, maka puasanya sah. Jika tidak demikian, puasanya tidak sah.

Wallahu 'alamu bish Showab.

=====
Rukun dan niat puasa kali ini penting juga dipelajari. Kita masih mengkaji dari Matan Abu Syuja dari pelajaran fikih Syafi’i.

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah mengatakan,

وَفَرَائِضُ الصَّوْمِ أَرْبَعَةُ أَشْيَاءَ : النِّيَّةُ وَالإِمْسَاكُ عَنِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالجِمَاعِ وَتَعَمُّدِ القَيْءِ

“Kewajiban puasa (rukun puasa) itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jimak), (4) menahan diri dari muntah dengan sengaja.”

Dari perkataan Abu Syuja’ di atas, intinya ada dua hal yang beliau sampaikan. Orang yang menjalankan puasa wajib berniat dan wajib menahan diri dari berbagai pembatal puasa.

★ Cara Berniat Puasa
Niat berarti al-qashdu, keinginan. Niat puasa berarti keinginan untuk berpuasa. Letak niat adalah di dalam hati, tidak cukup dalam lisan, tidak disyaratkan melafazhkan niat. Berarti, niat dalam hati saja sudah teranggap sahnya.

Muhammad Al-Hishni berkata,

لاَ يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلاَّ بِالنِّيَّةِ لِلْخَبَرِ، وَمَحَلُّهَا القَلْبُ، وَلاَ يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِهَا بِلاَ خِلاَفٍ

“Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadits yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan dilafazhkan.” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).

Muhammad Al-Khatib berkata,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلاَ تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا وَلاَ يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat.” (Al-Iqna’, 1:404).

Akan tetapi, disunnahkan untuk melafazhkan niat di lisan bersama dengan niat dalam hati. Niat sudah dianggap sah dengan aktivitas yang menunjukkan keinginan untuk berpuasa seperti bersahur untuk puasa atau menghalangi dirinya untuk makan, minum, dan jimak khawatir terbit fajar. (Lihat Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i, 2:173).

Hukum berniat adalah wajib dan puasa Ramadhan tidaklah sah kecuali dengan berniat, begitu pula puasa wajib atau puasa sunnah lainnya tidaklah sah kecuali dengan berniat. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

★ Syarat Berniat
1) At-tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.
Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar Shubuh, maka puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshah—Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha–, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An-Nasai, no. 2333; Ibnu Majah, no. 1700; dan Abu Daud, no. 2454. Syaikh Al-Albani menshahihkan hadits ini).

Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari asalkan sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Dalilnya sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemui ku lalu ia berkata, “Apakah kalian memiliki makanan?” Jika kami jawab tidak, maka beliau berkata, “Kalau begitu aku puasa.” (HR. Muslim, no. 1154 dan Abu Daud, no. 2455).

Penulis Kifayah Al-Akhyar berkata, “Wajib berniat di malam hari. Kalau sudah berniat di malam hari (sebelum Shubuh), masih diperbolehkan makan, tidur dan jimak (hubungan intim). Jika seseorang berniat puasa Ramadhan sesudah terbit fajar Shubuh, maka tidaklah sah.” (Kifayah Al-Akhyar, hlm. 248).

2) At-ta’yiin, yaitu menegaskan niat.
Yang dimaksudkan di sini adalah niat puasa yang akan dilaksanakan harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah. Jika puasa Ramadhan yang diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekadar niatan puasa mutlak. Dalilnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى

“Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907)

Adapun puasa sunnah tidak disyaratkan ta’yin dan tabyit  sebagaimana dijelaskan pada poin 1 dan 2. Dalilnya adalah sebagaimana hadits ‘Aisyah yang tadi telah terlewat.

3) At-tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya.
Niat mesti ada pada setiap malamnya sebelum Shubuh untuk puasa hari berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah hari yang berdiri sendiri. Ibadah puasa yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang berbeda setiap harinya. (Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 340-341).

InsyaAllah bahasan ini akan tersaji dalam bentuk buku. Moga Alloh ﷻ mudahkan.
(Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal)

Wallahu a'lam

0️⃣5️⃣ Aisya ~ Cikampek
Bagaimana dengan tarawih di masjid pada bula ini dengan kondisi  masih dihantui pandemi ini bunda, terkadang orang masih takut dan menjadi kan itu alasan untuk melalaikan sholat tarawih bagaimana menyikapinya bunda?

🌸Jawab:
Bismillahirrohmanirrohim... 

Tidak ke masjid BUKAN berarti tidak tarawih kan!!!

Terkait dengan pandemi ya, untuk tarawih. Nah ini perlu kita melihat kondisi di lapangan, artinya kalau itu hijau dan itu aman, maka disunnahkan untuk ke masjid begitu ya, sholat sama-sama. Akan tetapi, jika zona nya, zona merah, maka kewajiban kita itu adalah saling menjaga, karena keselamatan orang lain itu wajib untuk dilindungi.

Karena kita juga sama-sama tidak tahu, apalagi kalau masyarakatnya tidak taat prokes. Nah ini yang perlu kita pahami ya, bahwa menjaga keselamatan diri, tidak menjatuhkan diri kita ke dalam kemudharatan, itu wajib hukumnya.

Sebagaimana kisah bahwa, kalau yang kita pahami tentang toun begitu ya. Bahwa ketika ada musibah toun, maka dilarang keluar dari wilayah itu dan tidak kemana-mana. Dalam artian, ya berarti di rumah begitu kan, karena dikhawatirkan kalau kita itu adalah OTG, itu akan menularkan kepada orang lain. Nah keselamatan orang lain itu perlu dijaga, apalagi kalau orang-orang di sekitar kita itu adalah orang-orang yang komorbid misalnya. Nah ini yang perlu kita jaga ya.

Artinya, ketika tidak bisa ke masjid untuk salat tarawih, bukan berarti kemudian di rumah tidak salat. Bisa mendirikan salat tarawih itu bersama keluarga di rumah begitu ya. Ayah sebagai Imam atau kalau tidak ada Ayah, berarti anak laki-laki, kalau misalnya anak laki-lakinya belum baligh, itu ya ibu yang menjadi imam, maka shalat bersama anak-anak. 

Jadi, jangan benturkan sesuatu itu ya. Ini sebenarnya terkait dengan pemahaman. Itu kenapa, di dalam materi Bunda itu, yang paling dipentingkan, adalah pemahaman akan ilmu itu sendiri. Jadi bagaimana menyikapi Ramadhan, dengan kondisi pandemi dan seperti biasanya. Kalau seperti biasanya, ya tidak masalah begitu ya. Semua orang pergi ke masjid begitu, tetapi ketika itu terkait dengan keselamatan orang lain, adanya pandemi dan lain sebagainya, maka ada rukhsoh untuk kita bisa shalat di rumah. Jangankan tarawih yang sunnah begitu ya, ketika Jumat begitu, yang wajib bagi laki-laki, tetapi ketika kondisi tidak memungkinkan, maka, tidak terlarang untuk tidak ke masjid begitu.

Jadi semuanya harus dibingkai dengan ilmu, yang tentunya adalah orang-orang yang berhak untuk mengkaji ini dan para ulama seperti yang kemarin kita sudah lalui begitu ya, bahwa kita itu tarawih di rumah, kemudian idul fitri di rumah begitu ya, jadi tidak masalah.

Jadi jangan benturkan sesuatu itu tanpa ilmu. Semuanya ada ilmunya begitu, mungkin untuk lebih menambah pengetahuan, silakan cek di video-video dari Ustadz Raihanun begitu ya.

Karena beliau itu adalah dokter, kemudian beliau juga Ustadz. Dan beliau juga konsen sekali untuk membahas hal-hal yang seperti ini. Jadi silakan cek video-video beliau, dalam menyikapi beberapa hal terkait dengan pandemi dan terutama seputar kegiatan aktivitas kegiatan ibadah di masjid.

Wallahu a'lam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Ramadhan adalah bulan penyucian ruhi. Ramadhan adalah sarana bagi diri untuk lebih mengerem keinginan atas duniawi. Adalah Ramadhan tempat diri mengoptimalkan segala perilaku menjadi tabungan ukhrowi.

Ramadhan tanpa ilmu, ibarat menempuh jalan dalam keremangan. Ramadhan berbekal ilmu,  laksana menempuh jalan penuh cahaya.

Tersebab ilmu Ramadhan kita full pahala. Karena ilmu, menjadikan ibadah di bulan puasa begitu istimewa.

Tidak ada kata terlambat untuk terus menambah tsaqofah.

Semoga Alloh ﷻ mudahkan untuk mendapatkan maghfirah.

Aamin amin ya mujibassailiin

Wallahu a'lam






Tidak ada komentar:

Posting Komentar