Selasa, 31 Agustus 2021

IKHLAS SEBAGAI BEKAL SEMPURNA UNTUK AKHIRAT

 


OLeH: Ustadz H. Syahirul Alim

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸IKHLAS DAN KECENDERUNGAN KEPADA AKHIRAT

Seringkali kita tak pernah secara pas memberikan definisi apa itu ikhlas, sebab sebab, ikhlas merupakan urusan niat yang secara fisik mungkin tidak tampak. Ikhlas malah lebih cenderung dihubungkan dengan persoalan amal atau perbuatan yang lebih berdimensi fisik dalam ukuran-ukuran kemanusiaan. Itulah sebabnya, Rasulullah ﷺ pernah menyatakan, “Seseorang yang menghiasi perbuatannya dengan amalan akhirat, tetapi sebenarnya ia sendiri tidak menginginkannya dan tidak juga berkecenderungan kepadanya, maka ia terhina di dunia dan di akhirat kelak.”

Dalam konteks ini, kemunafikan bertentangan dengan keikhlasan, sebab perbuatan zahir  bertentangan dengan kondisi batinnya sendiri. Demikian ketika Ibnu Hajar al-Haytami menjelaskannya dalam kitabnta “al-Zawazir”. Ibnu Hajar menukil sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ yang menyebut bahwa, “Siapapun manusia yang menempatkan segala perbuatannya lebih tinggi dari rasa takutnya kepada Alloh ﷻ, maka secara otomatis ia telah melakukan kemunafikan.”

Lebih sederhana, Syekh Nawawi Banten menjelaskan makna ikhlas ini dalam dua kondisi, yaitu apa yang ia sebut sebagai “talkhis” dan “tashdiq”.  Talkhis berarti cara pandang setiap orang atas segala perbuatannya semata-mata karena didasarkan atas dorongan kewajiban syariat, tidak pula  karena takut pada sesuatu atau malu jika dirinya tidak melakukan perbuatannya itu. Sedangkan Tashdiq, merupakan penerimaan seseorang secara jujur dalam hati, sehingga membentuk kelapangan dada atas segala hal apapun yang diperbuat oleh dirinya. Sebab, orang yang tidak ikhlas dalam berbuat, kedudukannya sama dengan orang munafik dan orang yang tidak membenarkan atau menyelaraskan dengan hatinya (tashdiq) atas segala perbuatannya tersebut sama kedudukannya dengan orang-orang kafir. Ikhlas dalam pengertian Syekh Nawawi ini sebenarnya lebih dekat kepada pengertian dalam dimensi tasawuf, dimana segala hal apapun yang dilakukan semata-mata karena Alloh ﷻ dan sebesar-besarnya didasarkan atas kecintaannya kepada Alloh ﷻ semata.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa suatu waktu Rasulullah ﷺ pernah memberi nasihat kepada sahabatnya, Abu Dzar al-Ghiffari RA (nama asli beliau adalah Jundub bin Janadah) yang diabadikan dalam teks yang saya nukil dari kitab “Nashaihul Ibad”:

يَا اَبَاذَرٍّ جَدِّدِ السَّفِيْنَةَ فَإِنَّ الْبَحْرَ عَمِيْقٌ وَ خُذِ الزَّادَ كَامِلًا فَإِنَّ السَّفَرَ بَعِيْدٌ وَ خَفِّفِ الْحِمْلَ فَاِنَّ الْعَقَبَةَ كَئُوْدٌ وَاَخْلِصِ الْعَمَلَ فَإِنَّ النَّاقِدَ بَصِيْرٌ  .

Diriwayatkan dari Rasulullah ﷺ. Sesungguhnya beliau pernah bersabda kepada Jundub bin Junabah yang tergelar Abu Dzar Al Ghifari sebagai berikut:

"Wahai Abu Dzar, renovasilah (perbaikilah) kapalmu, karena sesungguhnya lautnya dalam, dan bawalah bekal yang cukup, karena perjalananmu jauh, ringankanlah bebanmu, karena rintangan berat siap menghadang, ikhlaskanlah amalmu, karena sesungguhnya Yang Maha Meneliti, Maha Melihat."

Syekh Nawawi Banten ketika menjelaskan hadis diatas menyebut bahwa “perbaikilah perahumu” artinya “perbaikilah niatmu” sebab niat itu sesuatu yang paling dalam yang ada di lubuk hati seseorang. Niat itu dapat membedakan, mana yang pada akhirnya bernilai kebaikan sehingga bernilai pahala dan mana yang bercampur dengan hal lain, sehingga niat yang baik dapat menghindarkan seseorang dari adzab di hari akhirat kelak. Niat yang ikhlas juga yang kemudian dapat membedakan, mana yang dilakukan karena dorongan manusia dan mana yang disandarkan atas keridoan kepada Alloh ﷻ. Pernah Umar bin Khatab menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari:

من خلصت نيته في الحق ولو على نفسه كفاه الله ما بينه وبين الناس

“Siapa yang ikhlas niatnya dalam kebajikan sekalipun untuk dirinya sendiri, maka Alloh ﷻ akan cukupkan antara dirinya dengan orang lain.”

Dengan demikian, niat apapun karena Alloh ﷻ, akan dinilai sebagai sebuah kebaikan dimana sekalipun bahwa kebaikan dilakukan karena dirinya sendiri, Alloh ﷻ sudah mencukupkannya (untuk mewujudkan niat kebaikan tersebut) sekalipun mungkin tidak secara langsung. Penting di ingat, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal pernah berpesan kepada putranya Abdullah, dengan mengatakan, “perbanyaklah niat” sebab dengan memperbanyak niat baik, sekalipun belum diwujudkan, niat itu bernilai kebaikan dan pahala dan Alloh ﷻ sendiri yang menjaminnya. Setiap niat baik pasti akan terwujud, sekalipun mungkin tidak kita yang mewujudkan, tetapi keluarga kita atau orang lain. 

Wallahu a’lam bisshawab.

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Kiki ~ Dumai
Ustadz Alim, apakah disaat kita beramal tapi hati ini atau niat di hati yang cenderung kurang kuat (kurang mengharap) karena tanpa sadar seperti melakukan kebiasaan saja ustadz, jadi di mulut saja.
Kondisi seperti ini berarti kita belum ikhlas dalam beramal kah ustadz? Apakah termasuk pada munafik kah ustadz?

🌸Jawab:
Niat itu dilihat dari kebiasaannya ada 2 macam: ada niat adat dan niat ibadat. 

✓ Niat adat itu yang menjadi kebiasaan. Misal kita niat pergi sekolah, niat pergi ke Bandung, dan lain-lain. 

✓ Niat adat biasanya tidak berbarengan dengan pekerjaannya, sedangkan niat ibadah berbarengan, seperti niat sholat ketika takbir, niat puasa ketika sahur, dan lain-lain. 

Kedua macam niat ini memiliki konsekuensi berbeda, sebab niat ibadah biasanya melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat dan itu yang dalam melaksanakannya harus ikhlas, semata-mata karena Alloh ﷻ. Pada akhirnya Alloh ﷻ yang Maha Melihat dan Meneliti, siapa diantara kita yang niatnya ikhlas. Ya memang jika niat ibadah kita bercampur dengan hal lain selain Alloh ﷻ atau niat berbuat baik karena motivasinya bukan karena Alloh ﷻ ya itu kepalsuan (munafik) sebab nifaq itu dosa yang sulit dihindari, karena terkait dengan urusan hati kita. 

Oleh karenanya, perbanyaklah niat yang baik. Sebab niat baik sekalipun belum terwujud tetap bernilai pahala dihadapan Alloh ﷻ.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Widia ~ Bekasi
Assalamualaikum Ustadz. 

Bagaimana agar hati kita selalu ikhlas dalam beribadah, karena setan suka menyelipkan keriaan saat kita beribadah sendiri maupun jamaah. Jazakallah ustadz.

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Lakukan saja ibadah karena Alloh ﷻ dan biarkan Alloh ﷻ nanti yang menilai, karena kita maupun orang lain tidak mungkin bisa menilai sejauh mana atau se sempurna apa ibadah kita. Lakukan saja kebaikan sekalipun sepele, tetapi lakukan dengan istiqamah atau terus menerus, sebab Alloh ﷻ lebih memandang amal yang kecil tetapi sering dan kontinyu dibanding amal besar tapi jarang dan tidak ikhlas. 

Memberi pengemis dua ribu rupiah tapi kita niatkan setiap hari lebih berharga dibanding bersedekah di hari Jum'at banyak tetap karena dorongan orang lain, lembaga, atau malu kepada teman karena tidak melakukannya. Justru bisikan setan itu ketika kita akan bersedekah banyak, karena disitu kadang hati kita berucap: alhamdulillah saya bersedekah banyak dan orang lain senang dengan sedekah saya. 
Itu artinya Alloh ﷻ sudah berada dibawah motivasi kebaikan yang kita ciptakan sendiri. Sama dengan beribadah, semakin rajin orang beribadah semakin kuat bisikan setannya.

Jadi ibadah biasa saja, yang pasti lakukan semata-mata karena Alloh ﷻ, bukan karena ingin menjadi pribadi yang dipandang sholeh oleh orang lain.

Wallahu a'lam

0️⃣3⃣ Tini ~ Yogja
Assalamualaikum ustadz.

Berkaitan dengan ikhlas, apakah ada tingkatannya? Apabila kita melakukan suatu perbuatan baik, diawali dengan memaksakan diri kita, yang niat awalnya mungkin belum lurus lillahi ta'ala, tapi terus dilakukan apakah ada kemungkinan bisa mendapatkan hidayah? Dan mencapai ikhlas yang benar-benar lillahi ta'ala tadz?

Mohon maaf apabila ada kalimat saya yang menyinggung atau kurang berkenan.

Jazakallahu Khairan katsiran.

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Ikhlas memang ada tingkatannya. Dalam Al-Qur'an ada disebut "Mukhlisin" dan "Mukhlashin". Mukhkishin adalah orang-orang yang selalu berupaya dan belajar ikhlas dan mengikhlaskan diri, sedangkan Mukhlashin adalah orang-orang yang benar-benar ikhlas, dan orang seperti ini hirup dan matinya hanya karena Alloh ﷻ. 

Orang-orang ikhlas dalam tingkatan mukhlasin merupakan orang-orang yg tidak bisa dibisiki dan digoda setan. Tidak ada suatu perbuatan karena dipaksa, kecuali ketika kita sebagai orang tua memaksa anak kecil. Dalam hadis disebut "innamal a'malu binniyat", bahwa segala amal itu tergantung atau memiliki motivasi yaitu niat. Orang yang niat awalnya dipaksa ya jelas terpaksa, berarti bukan beramal karena Alloh ﷻ, sebab amal karena Alloh ﷻ tidak ada paksaan tetapi atas dasar niatnya melakukan suatu perbuatan karena Alloh ﷻ. Tidak ada kesulitan dalam agama, sehingga sudah seharusnya tidak dipaksa, karena agama itu mudah, sebagaimana Rasulullah ﷺ menyatakan: addinu yusrun. Hidayah itu hak Alloh ﷻ bukan kehendak manusia, Alloh ﷻ yang memberi hidayah dan yang berhak menyesatkan. 

Manusia dengan kesadarannya mau belajar, mencari tahu, bertanya kepada yang lebih tahu, dan bersabar merupakan cara memperoleh hidayah dari Alloh ﷻ. Hidayah itu di jemput tidak datang sendiri. Dalam sejarah Kan'an anak Nabi Nuh sudah diajak menaiki bahtera ayahnya malah menolak, sama ketika Rasulullah ﷺ mengajak paman nya yang begitu mencintainya untuk memeluk Islam, tetapi sampai akhir hayatnya menolak. 

Berdoalah kepada Alloh ﷻ agar Alloh ﷻ menurunkan hidayah kepada siapa yang dikehendakinya. Biarlah itu menjadi keputusan Alloh ﷻ dan manusia tidak bertanggungjawab terhadap hal itu. Untuk mencapai benar-benar ikhlas, lepaskanlah segala beban duniawi. Tetapi cenderunglah untuk berbekal untuk akhirat nanti, dengan membangun hubungan baik dengan sesama dan hubungan baik dengan Alloh ﷻ.

Wallahu a'lam

0️⃣4⃣ Safitri ~ Banten 
Assalamu'alaikum ustadz, 

Apa keikhlasan itu dibarengi dengan kesabaran juga, kadang manusia itu dia ikhlas belum tentu sabar tapi sabar sudah pasti ikhlas  iya tidak sih ustadz seperti ini?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Mungkin terbalik ya, orang ikhlas pasti sabar, tetapi orang sabar belum tentu ikhlas. Hanya saja itu penilaian orang yang di lihat secara kasat mata. Apa yang di lihat dirinya dari orang lain. Sabar itu ada batasannya sedangkan ikhlas tidak ada batasnya. Ikhlas dan sabar memang urusan hati, tetapi sabar kaitannya dengan musibah sedangkan ikhlas tidak terkait musibah tetapi seluruh apa yang di niatkan untuk kebaikan.

Yang tinggi dari kondisi orang beriman itu ridho. Ridho itu setingkat dengan cinta tanpa pamrih. Cinta kepada Alloh ﷻ tanpa mengharap balasan apapun kecuali mengharap ridho Alloh ﷻ atas apa yang dilakukannya.

Wallahu a'lam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Semoga diskusi ini dapat bermanfaat dan tetaplah belajar dan berbuat baik, sebab kebaikan akan menjadi jariyah yang tidak terputus sekalipun kita sudah tidak hidup lagi.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar