Sabtu, 27 Maret 2021

TAKWINU SYAKSIYAH ISLAMIYAH

 


OLeH  : Ustadz Cipto Sugiharto

        🌀M a T e R i🌀

بسم الله الرحمن الرحيم 

السلم عليكم ورحمة الله وبركته

Alhamdulillah tsuma Alhamdulillah ala binikmatillah laa haula wa laa quwata ila billah 

Senang bisa sua kembali dengan para sholihat di grup ini.

Semoga selalu berlimpah keberkahan.

🌀TAKWINU SYAKSIYAH ISLAMIYYAH

Baiklah kali ini tema syaksiyah islamiyah saya ambil judul 

“MEMBENTUK KEPRIBADIAN ISLAM" (TAKWINU SYAKSIYAH ISLAMIYYAH)

Yang merupakan bagian rangkaian penting pembahasan takwinul  ummah (pembentukan umat) akan terealisasi dengan sempurna jika ditopang oleh pilar takwinus syakhshiyyah (pembentukan kepribadian). Bagi masyarakat Islam, kepribadian yang ideal yang harus dibentuk tentu saja adalah kepribadian Islam yang paripurna—as-syakhshiyyahtul Islamiyatul kamilah—yakni kepribadian yang ter-shibghah—terwarnai dan tercelup hati, pikiran, dan amalnya—dengan ajaran Islam.

‎صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ

“Shibghah (celupan) Alloh ﷻ, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Alloh ﷻ? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS. Al-Baqarah: 138)

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa  shibghatallah maknanya adalah “Agama Alloh ﷻ ”.

[1]

Ikhwati fillah rahimakumullah As-syakhshiyyatul Islamiyatul Kamilah.

Jika kita menelaah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah ﷺ kita dapat menyimpulkan bahwa inti dari as-syakhshiyyatul Islamiyatul kamilah adalah tertanamnya keimanan (al-iman) dan ketakwaan (at-taqwa) di dalam diri sehingga tumbuh darinya Islamiyatul hayah—Islamisasi kehidupan dalam seluruh aspeknya.

🔸CIRI PRIBADI BERIMAN

Bagaimanakah ciri-ciri pribadi beriman itu? Untuk mendapatkan jawabannya, renungkanlah firman Alloh ﷻ berikut ini,

‎انَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Alloh ﷻ dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Alloh ﷻ, mereka itulah orang-orang yang benar.”

(QS. Al-Hujurat: 15)

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pribadi yang beriman adalah mereka yang benar-benar dalam beriman kepada Rabb-Nya, mengikuti Rasul-Nya, dan menaati-Nya, kemudian mereka tidak bimbang dan ragu, dan tidak pula goyah, bahkan mereka semakin kokoh dalam keimanan yang sebenarnya. [2]

Keimanan yang dikehendaki dari pribadi islami adalah keimanan yang disertai dengan keyakinaan (al-yaqin). Berkenaan dengan hal ini Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

‎أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh ﷻ dan aku adalah utusan Alloh ﷻ. Tidak ada seorang hamba pun yang bertemu Alloh ﷻ (baca: meninggal dunia) dengan membawa keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu kecuali Alloh ﷻ akan memasukkannya ke surga.” (HR. Muslim no. 147).

Keimanan yang dikehendaki dari setiap pribadi muslim, selain keimanan yang mengandung keyakinan, juga keimanan yang dibarengi sikap  taslim  (berserah diri kepada Alloh ﷻ). Yakni tunduk pada ketentuan Alloh ﷻ dan rasul-Nya sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

‎وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ ۗ وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Alloh ﷻ, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Alloh ﷻ-lah kesudahan segala urusan." (QS. Luqman: 22)

Menyerahkan diri kepada Alloh ﷻ yaitu mengikhlaskan amalnya dan tunduk kepada perintah-Nya serta mengikuti syariat-Nya. Selalu berbuat ihsan di dalam amalnya dengan mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhkan diri dari apa yang dilarang-Nya. [3]

Bahkan keimanan seorang pribadi muslim pun—setelah diiringi keyakinan dan sikap taslim, hendaknya dibarengi dengan sikap  as-sam’u wa-tha’ah (mendengar dan taat). Mereka membaca dan mendengar ayat-ayat Alloh ﷻ dengan penuh perhatian dan pengertian kemudian taat terhadap perintah dan larangan yang ada padanya, dengan ketaatan yang sungguh-sungguh. [4]

‎آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Rasulullah ﷺ telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Alloh ﷻ, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya’, dan mereka mengatakan: ‘Kami dengar dan Kami taat.’ (mereka berdoa): ‘Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." 

(QS. Al-Baqarah: 285)

🌀🌷🌀

Ikhawatal iman rahimakumullah 

Berikutnya, pribadi-pribadi muslim beriman hanyalah mereka yang memiliki sikap  ittiba’ul minhaj  (mengikuti sunnah atau pedoman). Alloh ﷻ berfirman,

‎لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا

“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan minhaj (jalan yang terang)…” (QS. Al-Maidah: 48)

Mengenai ayat di atas, Syaikh Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar mengatakan: “Diberikan Taurat kepada penganutnya, dan diberikan pula Injil kepada penganutnya, yaitu sebelum dihapusnya syariat terdahulu dengan Al-Qur’an." Adapun setelah itu tidak ada syir’ah (aturan) dan minhaj (sunnah atau pedoman), kecuali apa-apa yang telah diberikan kepada Muhammad ﷺ.[5]

Dalam melaksanakan itu semua, pribadi muslim beriman juga benar-benar tidak merasa berat atau enggan (‘adamul haraj) terhadap keputusan yang telah ditentukan Alloh ﷻ dan rasulNya. Alloh ﷻ berfirman,

‎فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." 

(QS. An-Nisa: 65)

Nabi ﷺ bersabda,

‎لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

“Tidaklah sempurna iman kalian sehingga hawa nafsunya tunduk mengikuti ajaranku." (HR. Thabrani).

Selain ‘adamul haraj, di dalam diri pribadi muslim beriman juga tidak tertanam alternatif-alternatif lain selain tunduk kepada ketetapan-ketetapan Alloh ﷻ dan rasul-Nya itu (‘adamul khiyarah),

‎وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh ﷻ dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Alloh ﷻ dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Dalam tafsir Ibnu Katsir, ayat ini dikaitkan dengan dua peristiwa:

✓ Pertama, tunduknya Zainab binti Jahsy kepada keridhoan rasul-Nya yang menikahkan dirinya kepada Zaid bin Haritsah—padahal Zainab sendiri sebenarnya tidak berkenan. Saat itu Zainab bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Engkau meridhainya untuk menikah denganku, ya Rasulullah?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Ya.” Lalu Zainab berkata, “Kalau demikian, aku tidak akan menentang Rasulullah ﷺ. Sesungguhnya aku akan menikahkan diriku dengannya.” Berikutnya, Alloh ﷻ justru memberikan kehormatan kepada Zainab dengan dinikahinya ia oleh Rasulullah ﷺ .

[6]

✓ Kedua, tunduknya seorang wanita Anshar kepada keridhoan rasul-Nya yang menikahkan dirinya kepada Julaibib. Saat orangtuanya bermaksud menyampaikan penolakan atas lamaran ini karena alasan kemiskinan Julaibib, wanita ini berkata:  “Apakah kalian hendak menolak apa yang diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ? Jika beliau meridhai laki-laki itu untuk kalian, maka nikahkanlah dia (denganku).” [7]

Ayat di atas bersifat umum dalam seluruh perkara. Yaitu jika Alloh ﷻ dan rasul-Nya menetapkan sesuatu, maka tidak boleh bagi seseorang memiliki pilihan lain, baik pemikiran atau pendapat.

🔸PRIBADI BERTAKWA

Manakala ciri-ciri keimanan tersebut di atas telah tertanam di dalam jiwa seseorang, maka dapatlah dikatakan, takwa itu telah tumbuh dalam jiwanya.  Rasulullah ﷺ pernah menyebut-nyebut kata takwa di antaranya dalam hadits berikut.

‎لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ

”Bahwasanya seorang hamba, tidaklah akan bisa mencapai derajat ketakwaan sehingga ia meninggalkan apa yang tidak dilarang, supaya tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang.” (Hadist hasan diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi).

Diriwayatkan pula bahwa pada suatu ketika Umar bin Khattab bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang Takwa. Ubay balik bertanya:  “Apakah Anda pernah melewati jalan yang penuh duri?”, “Pernah” Jawab Umar. Ubay bertanya kembali: “Bagaimana ketika Anda melewatinya?” Umar menjawab: “Saya bersungguh-sungguh serta berhati-hati sekali supaya tidak kena duri.” Ubay akhirnya mengatakan: “Itulah arti takwa yang sebenar-benarnya.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hakikat takwa adalah kesungguhan dan kehati-hatian terhadap apa yang dilarang Alloh ﷻ. Orang yang bertakwa adalah orang yang sungguh-sungguh dalam menjauhi segala larangan Alloh ﷻ dan berhati-hati sekali agar tidak terjerumus di dalamnya, walaupun untuk menuju kepada ketakwaan tersebut, kadang-kadang ia harus meninggalkan apa yang tidak dilarang, jika hal tersebut akan menyeretnya kepada apa yang dilarang.

Orang yang berkepribadian Islam menjadikan takwa ini sebagai mabda (prinsip), karena ia tunduk kepada seruan Alloh ﷻ,

‎يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh ﷻ sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran: 102).

Bagi mereka, takwa adalah mizan (timbangan) untuk mengukur kemuliaan seseorang, sebagaimana difirmankan oleh Alloh ﷻ,

‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ﷻ ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Alloh ﷻ Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Mereka pun lebih senang memiliki az-zaadu (bekal) ketakwaan dalam kehidupannya.

‎وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197).

Ayat ini diturunkan berkaitan dengan orang-orang Arab yang merasa khawatir ketika diperintahkan melaksanakan ibadah haji. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berhaji ke rumah Rabb kami (Ka’bah) dalam keadaan tidak ada makanan.”  Lalu mereka berhaji dengan tidak membawa bekal, mereka berkata:  “Kami bertawakkal kepada Alloh ﷻ Yang Maha Suci.” Lalu mereka meminta-minta selama perjalanan haji. Maka mereka dilarang dari perbuatan seperti itu, dan diperintahkan untuk berbekal dengan cukup agar dapat memelihara diri dari perbuatan hina atau minta-minta selama perjalanan haji.

Dalam konteks yang lebih luas, zaadutaqwa adalah membekali diri agar terhindar dari perbuatan hina dalam seluruh gerak langkah kehidupan.

Pribadi muslim beriman pun tidak hanya menghiasi badannya dengan materi berupa pakaian yang indah, akan tetapi mereka lebih mengutamakan menghiasi jiwanya dengan pakaian takwa.

‎يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Alloh ﷻ, mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raf: 26)

Pakaian takwa menurut Syaikh Sulaiman Abdullah Al-Asyqar adalah pakaian iman dan amal shalih, wara’ (menjaga diri), menghindar dari maksiat kepada Alloh ﷻ, dan khasy-yah (takut) kepada Alloh ﷻ—semua ini adalah sebaik-baik pakaian dan seindah-indahnya perhiasan. [8]

🌀🌷🌀

KESIMPULAN:

Seseorang disebut telah memiliki as-syakhshiyah islamiyah al-mutakamilah (kepribadian Islam yang sempurna) jika telah tertanam dalam dirinya keimanan dan ketakwaan yang terwujud dengan Islamiyatul hayah (islamisasi kehidupan).

Wallahu a’lam…

★★★★★

Berikut sumber-sumber tulisan diatas footnotenya.

[1] Hal senada diriwayatkan dari Mujahid, Abul ‘Aliyah, ‘Ikrimah, Ibrahim, al-Hasan al-Bashri, Qatadah, ‘Abdullah bin Katsir, ‘Athiyah al-‘Aufi, Rabi’ bin Anas, as-Suddi, dan lain-lain.

[2] Lihat: Tafsir Al-Muyassar, Dr. Aidh Al-Qarni, Qisthi Press, jilid IV, hal. 159, cetakan I, April 2008 dan Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Pustaka Imam Syafi’I, Jilid 9, hal. 110, cetakan ketiga, Maret 2011.

[3] Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, hal. 212, Pustaka Imam Syafi’i, 2011.

[4] Lihat: Tafsir Q.S. Al-Baqarah ayat  285 oleh Syaikh Al-Maraghi

[5] Zubdatut Tafsir, hal. 116, Darun Nafais, Yordania.

[6] Silahkan baca surah Al-Ahzab ayat 37 yang membahas tentang hal ini.

[7] Lihat: Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7, hal. 291-292, Pustaka Imam Syafi’i, 2011.

[8] Lihat: Zubdatut Tafsir, hal. 153, Darun Nafais, Yordania.

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸

        🌀TaNYa JaWaB🌀

0⃣1⃣ Han ~ Gresik

Assalamu'alaikum,

Ustadz, bagaimana iman yang tertanam ini bila di amanahi sebagai pemimpin tapi tidak amanah dan melenceng dari ajaran agama. Bagaiman biar bisa menjadi pemimpin yang amanah dan menjadi pribadi islami?

🌀Jawab:

Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Pertanyaan yang menarik dan berat sifat iman itu yaazidu wa yankuz (naik dan turun) ia naik dengan ketaatan atau kegiatan-kegiatan yang baik dan turun dengan kemaksiyatan. Amanah adalah dimensi amaliah yang tidak ringan yang ketika pertama ia ada bahkan gunung sekali hancur ketika dilimpahkan kepadanya hanya manusia yang bodoh saja yang mau menerima amanah ini.

(QS. Al-Ahzab: 72)

إِنَّا عَرَضْنَا ٱلْأَمَانَةَ عَلَى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱلْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا ٱلْإِنسَٰنُۖ إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا 

"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh."

Karena itu agar dapat menjalankan amanah dengan baik benar sekali harus memiliki iman yang sangat teguh dan kokoh dan ini perlu dilatih dan diajarkan dengan hal-hal yang kecil dan sederhana. 

Memperhatikan lingkungan dan dengan siapa dia bergaul atau berteman juga berpengaruh dan penting ilmu qobla amal agar tidak melenceng. 

Wallahu a'lam

0⃣2⃣ Yulia ~ Bekasi 

Assalamualaikum ustadz, 

Bagaimana menjaga ketakwaan sampai akhir hayat sehingga menjadi pribadi yang islami, sedangkan iman seseorang naik turun, ibadah juga kadang taat kadang lalai?

🌀Jawab:

Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Begitulah kita manusia kak, terutama manusia yang hidup bagian dari dinamika dan ujian hidup.

(QS. Al-Mulk: 2)

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًاۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ 

"Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun."

Menjaga ketakwaan hingga akhir hayat artinya istiqomah ini yang ringan diucapkan atau ditulis tapi berat dilaksanakan.

Mencari ilmu tentang ibadah dan ketakwaan menjadi faktor penting kesuksesan beristiqomah. Kemudian pergaulan dan lingkungan orang-orang yang sama sama beristiqomah menjaga ketakwaan juga menjadi hal yang tidak kalah penting. Selanjutnya adalah doa dan memohon kepada Alloh ﷻ dengan doa yang diajarkan Rasulullah ﷺ.

Ibnu Abu Hatim mengatakan dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah ﷺ mengucapkan doa berikut:

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ

Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinika.

"Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu."

Kemudian membaca doa seperti yang tertuang dalam ayat berikut:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami; dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (rahmat)." (QS. Ali Imran: 8)

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸

🌀CLoSSiNG STaTeMeNT🌀

Baiklah ikhwatal iman rahimakumullah semoga الله senantiasa memberikan hidayah kepada kita untuk dapat terus istiqomah dalam keimanan dan ketakwaan kepada kita semua.  Keberkahan ilmu dan rezeki sehingga menjadi insan-insan mukminah sejati, semoga bermanfaat al afwuw minkum.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar