Selasa, 30 November 2021

LARANGAN MEMBANGGAKAN KELOMPOK

 


OLeH: Ustadz H. Syahirul Alim

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

 🌷LARANGAN MEMBANGGAKAN KELOMPOK

🔹Larangan Berbangga-bangga dengan Kelompoknya Sendiri

Banyak sebagian kalangan beranggapan bahwa persatuan merupakan bagaimana umat Islam menyeragamkan pendapat keagamaannya secara sama dengan menghindari bid’ah dan kembali kepada ajaran al-Quran dan sunnah. Yang lebih menggelikan lagi, persatuan kemudian dihubungkan dengan proses demokratisasi dimana persatuan terbentuk melalui suara terbanyak. Padahal, demokrasi merupakan sistem yang tidak ada hubungannya dengan persatuan, ia hanya mendudukkan soal pilihan (politik), bahwa yang berhak dipilih adalah seseorang yang terpilih sesuai dengan jumlah suara terbanyak. Menghadapkan “demokrasi” di satu sisi dan “persatuan” disisi lain jelas merupakan dua hal yang sangat berbeda.

Disinilah letak kerancuan pendapat tersebut, seakan-akan bahwa persatuan bukan terletak pada esensi sebuah jama’ah (yang paling banyak) tetapi, persatuan lebih didasarkan pada ukuran-ukuran persamaan “yang dipaksakan” atau “disesuaikan” dengan apa yang mereka pikir sendiri bersama kelompoknya.

Padahal, telah jelas bahwa mereka sendiri sebenarnya yang suka akan perpecahan, sebagaimana al-Quran menyindir, 

“Kemudian mereka menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”

 فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ 
 
(QS. al-Mu’minun: 54)
 
Kebanggaan akan golongan atau kelompok mereka sendirilah sebenarnya kemudian menjadikan agama ini menjadi terpecah-belah, akibat kebanggaan mereka kepada kelompoknya sendiri dan menganggap kelompok lain sebagai “bodoh” dan “ahli bid’ah.”

Ingatlah bahwa al-Quran jelas melarang seorang muslim untuk merasa dirinya sendiri suci, “Janganlah menganggap dirimu suci, Dia (Alloh ﷻ) mengetahui siapa yang paling bertakwa,” (QS. An-Najm: 32).

Persatuan dalam Islam secara tegas dijelaskan oleh al-Quran, “Dan berpegang teguh lah kalian semua kepada agama (habli) Alloh ﷻ dan janganlah terpecah belah...” (QS. Ali-Imran: 103). 

Kata “hablun” dalam ayat ini sesungguhnya adalah “lafdzulmusytarak” (kata yang mempunyai banyak arti), sehingga ketika menterjemahkan dengan “agama” kuranglah tepat. Kata “hablun” secara bahasa mengandung pengertian “apa yang berkait dengan keinginan (dengan mencari) dan kebutuhan.”

Dalam kondisi lain, “hablun” juga diartikan seperti persatuan butir-butir pasir yang terhampar luas (padang pasir). Walaupun memiliki arti yang berbeda, namun “hablun” memiliki makna yang sama, yaitu “sesuatu yang mengikat” karena memang sebelumnya terpecah-pecah. Ketika seseorang mencari banyak hal dan kemudian menemukannya atau seseorang yang dengan banyak kebutuhan kemudian mendapatkannya, maka dia telah menjalankan proses “hablun” sehingga mengikat keinginan dan kebutuhan dirinya sendiri.

Namun untuk konteks ayat diatas, kata “hablillahi” lebih mengarah kepada sesuatu yang dapat “mengikat” seluruh umat muslim. Ibnu Mas’ud berpendapat, “habillahi” yaitu al-Quran berdasarkan salah satu Hadis Nabi yang menyatakan, “inna hadza al-Quraana huwa hablullahi al-matiini” (sesungguhnya al-Quran merupakan “pengikat” dari Alloh ﷻ Yang Maha Kuat).

Lebih jauh lagi, Ibnu Mas’ud kemudian menyatakan bahwa kalimat “hablillahi” yang dimaksud adalah “jama’ah” atau persatuan secara fisik dan non-fisik di antara umat dengan jumlah paling banyak. Sangat sejalan dengan pendapat salah seorang ahli tafsir, al-Qurthubi yang menyatakan bahwa sesungguhnya Alloh ﷻ memerintahkan kita berada dalam persatuan dan persaudaraan (ulfah) dan melarang berpecah belah. Perpecahan adalah kehancuran dan persatuan (mengikuti jama’ah yang terbanyak) adalah keselamatan (najah).

Perpecahan (tafarraqu) yang jelas dilarang oleh al-Quran adalah perpecahan yang senantiasa terjadi dalam agama (takhtalifuu fiddiini). Hal ini sejalan dengan salah satu riwayat dari Ahmad dan Abu Daud dimana Nabi saw pernah berkhutbah, “Umat Yahudi dan Nasrani telah terpecah menjadi 72 golongan, sedangkan umatku (muslim) terpecah menjadi 73 golongan."

Kesemua golongan berada dalam neraka, hanya satu yang selamat, yaitu “al-jama’ah” (mereka yang bersatu dan mengikuti kebanyakan umat). Yang membuat perpecahan umat muslim dalam hal agama bukanlah perbedaan (ikhtilaf) soal syariat, hukum atau hal-hal lain yang bersifat furu’iyyah atau fiqhiyyah, tetapi yang membuat mereka berpecah belah karena mereka tidak mau menjadi “jama’ah” dan mereka lebih suka terpisah (mufaraqah) dari umat muslim kebanyakan.

Oleh karena itu, al-Qurthubi berpendapat, bukan syariat yang berbeda, bukan pula pendapat keagamaan yang berbeda atau persepsi hukum yang berbeda sebagai “ikhtilaf” tetapi perpecahan umat lebih didasarkan karena mereka tidak suka persatuan (ma yu’adziru min al-I’tilaaf) karena kebanyakan mereka tidak mengakui adanya ikhtilaf (perbedaan pendapat keagamaan) diantara umat muslim.

Mereka lebih suka dan bangga terhadap kelompoknya sendiri dan merasa kebenaran milik mereka sendiri. Padahal, pernyataan Nabi ﷺ bahwa “ikhtilaf ulama adalah kasih sayang (rahmat)” jelas menunjukkan, bahwa membangun persatuan melalui beragam pendapat dengan saling menghormati justru akan membentuk sebuah persatuan Islam yang kuat, karena persatuan sesungguhnya berasal dari “sesuatu” yang berbeda tetapi mampu disatukan karena memiliki unsur-unsur “kesamaan.”

Wallahu a'lam

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Safitri ~ Banten
Assalamualaikum ustadz,

Faktor apa sih yang membuat mereka tidak suka atau tidak mengakui sebuah ikhtilaf, dan dengan cara mereka seperti itu membuat kelompok" sendiri merasa paling benar diantara yang lain tanpa sadar mereka yang menghancurkan dan memecah belah kaum muslimin atau agama Islam bukan begitu ustadz?

🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Sebetulnya mereka mengakui ada ikhtilaf, tetapi bahwa ikhtilaf tidak berarti harus diterima begitu saja. Terdapat sebagian kelompok yang menilai sebagiannya salah bahkan sesat, itu karena mereka merasa paling baik. 

Faktor kesombongan biasanya yang mengikuti kelompok yang selalu menyalahkan pihak lain, padahal yang sombong hanyalah Iblis, ketika ia enggan sujud kepada Adam dengan menyatakan dihadapan Alloh ﷻ, "ana khairun minhu" (saya lebih baik dari Adam).

Iblis merasa bahwa ia diciptakan Alloh ﷻ dari api yang lebih hebat dari manusia yang diciptakan Alloh ﷻ dari tanah. Tetapi kita juga harus paham, tidak semata-mata dorongan kesombongan tetapi juga terdapat dorongan politik dimana mereka memang di disain untuk merebut kepemimpinan secara politik.

Wallahu a'lam bisshawab.

0️⃣2️⃣ Han ~ Gresik
Assalamu'alaikum,

Ustadz, bagaimana dengan banyaknya orang yang sampai sekarang pun masih saling nyinyir satu dengan yang lain terkait julukan. Padahal pemilu sudah selesai dan sebutan k***n dan c***g masih saja ada. Bahkan bisa saling hujat di medsos. 

Bagaimana menyikapi itu tadz yang sepertinya terus berkelanjutan.

🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Ya tidak apa-apa. Itu hanya realitas alam virtual, yang saling membangga-banggakan pemimpinnya, padahal mereka pun sebenarnya tidak paham apa yang sedang mereka perjuangkan. Sekalipun di dunia medsos keliatan sangat "keras" tetapi pada dunia nyata tidak sampai terjadi saling adu fisik, atau sampai terjadi peperangan. 

Indonesia masih sangat baik Muslimnya. Masih sangat menjunjung tinggi toleransi dan perbedaan. Berbeda dengan Islam di Timur Tengah, yang perbedaan madzhab saja bisa saling bunuh dan akhirnya Islam sudah terpecah belah di sana, seperti Suriah, Irak, Libya.

Bersyukurlah bahwa kita sebagai orang Islam yang hidup di Indonesia dengan damai.

Wallahu a'lam.

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Semoga diskusi yang singkat ini dapat memberi manfaat.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar