Selasa, 30 November 2021

AYAH JANGAN BISU

 


OLeH: Ustadz H. Tri Satya Hadi

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

💎AYAH JANGAN BISU

“Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu ia bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” “Lalu siapa lagi?” “Ibumu” “Siapa lagi?” “Ibumu” “Siapa lagi” “Bapakmu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitabnya Fathul Bari mengutip pendapat Ibnu Battal tentang alasan Nabi Muhammad ﷺ mengulang kata 'ibu' tiga kali. Menurut Ibnu Battal, hal ini disebabkan karena sosok ibulah yang menanggung tiga kesulitan yakni ketika mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tiga hal inilah yang harus ditanggung sendirian oleh seorang ibu. Sementara sang ayah berkewajiban memberi nafkah dan ikut serta mendidik anak bersama-sama dengan ibu.

Jika hadits ini dipahami secara letter lack  (per-kata, umumnya berkembang pemahaman di masyarakat bahwa:

1) Kasih sayang dan cinta seorang anak kepada ibunya harus lebih besar tiga kali dibanding kepada ayahnya;

2) Ibu harus lebih banyak mengobrol (berkomunikasi) dengan anak dibanding dengan ayah karena anak cenderung menurut kepada ibu;

3) Mendidik dan mengasuh anak adalah tugas seorang ibu, ayah hanya membantu saja.

Maka tidak heran jika ada undangan dari sekolah untuk menghadiri pertemuan orang tua murid dengan guru baik offline atau online, yang paling banyak datang adalah ibu-ibu. Pada saat acara pengambilan raport semester atau kenaikan kelas, terlihat ibu-ibu yang paling banyak hadir dan lebih rajin berkomunikasi dengan gurunya.

Ketika acara pengajian atau taklim terkait keluarga dan pendidikan anak, yang memenuhi ruang adalah ibu-ibu, dan beberapa fenomena lainnya yang menyatakan bahwa ibulah yang paling mendominasi tumbuh kembangnya karakter dan pendidikan seorang anak.

Padahal jika kita lihat ajaran Islam, pembentukan karakter, pola pikir, akhlak, dan pendidikannya adalah kewajiban bersama antara suami dan istri, atau antara ayah dengan ibu. Kedua belah pihak memiliki beban tanggung jawab yang seimbang untuk itu.

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya lah yang membuat dia (memiliki karakter) yahudi, atau (memiliki karakter) nasrani atau (memiliki karakter) majusi.” (HR. Muslim)

Namun, fenomena yang terjadi saat ini, tidak sedikit keluarga yang memiliki pemahaman keliru tentang eksistensi anak. Seringkali keluarga yang hanya memiliki filosofi bahwa kehadiran anak semata-mata akibat logis dari hubungan biologis, anak dimanja, semua kebutuhan diberikan dengan alasan kasih sayang, tanpa memilki landasan ilmu dan makna arahan keberadaan anugerah anak. Yang akhirnya anak menjadi fitnah (ujian) dan musuh yang nyata.

Firman Alloh ﷻ: “Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Alloh ﷻ Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ath-Taghobun: 14)

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan disisi Alloh ﷻ-lah pahala yang besar.” (QS. Ath-Taghobun: 15)

Semua proses “melahirkan” anak yang berakhlak mulia diawali dari hubungan batin orang tua dengan sang pencipta (melalui do’a) dan hubungan komunikasi (dialog) yang baik dengan anak. Jika salah satu atau keduanya buruk maka hasilnya akan buruk pula.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. AlKahfi: 46)

Bahkan jika dicermati secara lebih dalam, legenda dan simbol pendidikan anak yang diabadikan dalam Al Qur’an dan sering menjadi kajian di berbagai majelis ilmu adalah Luqman Al-Hakim. Sampai dijadikan nama surat dalam Al Qur’an, yaitu surat Luqman. Beliau adalah orang salih yang dikisahkan metode pendidikan anak, dan menjadi pelajaran penting bagi semua umat manusia beriman. Legendanya adalah Luqman, bukan istrinya Luqman. Ini menandakan peran ayah yang sangat penting dalam mendidik anak.

Ada sebuah tulisan karya Sarah binti Halil bin Dakhilallah al-Muthiri yang ditulis untuk meraih gelar Magister di Universitas Umm al-Quro, Mekkah, Fakultas Pendidikan, Konsentrasi Pendidikan Islam dan Perbandingan. Judulnya  “Dialog Orang tua dengan Anak dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Aplikasi Pendidikannya.”

Menurut tulisan ilmiah tersebut, ternyata terdapat 17 dialog (berdasarkan tema) antara orang tua dengan anak dalam Al-Qur’an yang tersebar dalam sembilan surat.

🔹Pertama dialog antara ayah dengan anaknya sebanyak 14 kali yaitu:

1. QS. Al Baqarah 130 – 133, memuat kisah dialog Nabi Ibrahim AS dengan ayahnya dan dialog Nabi Ya’qub As dengan anaknya.

2. QS. Al An’am: 74, memuat kisah dialog Nabi Ibrahim AS dengan ayahnya.

3. QS. Hud: 42 – 43, memuat kisah dialog Nabi Hud AS dengan anaknya.

4. QS. Yusuf: 4 – 5, memuat kisah dialog Nabi Yusuf AS dengan ayahnya.

5. QS. Yusuf: 11 – 14, memuat kisah dialog Nabi Ya’qub AS dengan anaknya.

6. QS. Yusuf: 16 – 18, memuat kisah dialog Nabi Ya’qub AS dengan anaknya.

7. QS. Yusuf: 63 – 67, memuat kisah dialog Nabi Ya’qub AS dengan anaknya.

8. QS. Yusuf: 81 – 87, memuat kisah dialog Nabi Ya’qub AS dengan anaknya.

9. QS. Yusuf: 94 – 98, memuat kisah dialog Nabi Ya’qub AS dengan anaknya.

10. QS. Yusuf: 99 – 100, memuat kisah dialog Nabi Yusuf AS dengan ayahnya.

11. QS. Maryam: 41 – 48, memuat kisah dialog Nabi Ibrahim AS dengan ayahnya.

12. QS. Al-Qashash: 26, memuat kisah dialog Syaikh Madyan dengan anak perempuannya.

13. QS. Luqman: 13 – 19, memuat kisah dialog Luqman dengan anaknya.

14. QS. Ash-Shaffat: 102, memuat kisah dialog Nabi Ibrahim AS dengan anaknya, Ismail.

Demikianlah empat belas tempat dalam Al Qur’an yang memuat kisah dialog ayah dengan anak mereka.

🔹Kedua dialog antara ibu dan anaknya sebanyak 2 kali, yaitu:
(1) QS. Maryam: 23 – 26, memuat kisah dialog Maryam dengan janinnya.
(2) QS. Al-Qashash: 11, memuat kisah dialog Ibu Musa dengan anak perempuannya.

🔹Ketiga dialog antara kedua orang tua tanpa nama dengan anaknya 1 kali yaitu di QS. Al-Ahqaf: 17.

Kesimpulannya, ternyata Al-Qur’an ingin memberikan pelajaran, bahwa untuk melahirkan generasi istimewa (khoiru ummah) seperti yang diinginkan oleh Alloh ﷻ dan Rosul-Nya, diperlukan dialog kedua orang tua kepada anak. Dan jika kita bandingkan, ternyata dialog antara ayah dengan anaknya, lebih banyak daripada dialog antara ibu dengan anaknya.

Kenapa ayah, bukan ibu? Ini bukan berarti ibu tidak boleh banyak berdialog dengan anak tapi lebih kearah peran ayah harus lebih besar dalam komunikasi dengan anak. Ini seakan Al-Qur’an ingin menyeru kepada semua ayah, “Ayah, engkau harus rajin berdialog dengan anak, seperti dialog Luqman kepada anaknya.” Janganlah jadi “ayah bisu” (sedikit bicara), ayah yang hanya ada ketika menyediakan keperluan anak, ayah yang meninggalkan kepedulian pendidikan dan keteladanan, ayah yang hanya salih sendirian, ayah yang mempercayakan anaknya pada televisi, gadget dan internet tanpa batas, ayah yang egois karena merasa lebih tua, lebih pintar, lebih kuasa, atas anak anaknya, dan banyak lagi.

Inilah mungkin jawaban mengapa seorang anak gadis yang masih belia mudah mudah jatuh dalam “pelukan” laki-laki yang bukan mahromnya, bahkan melabrak hal-hal yang dilarang agama. Ini juga yang membuat anak laki-laki selalu memberontak bahkan durhaka kepada ayahnya, karena mereka telah kehilangan sosok ayah yang melindungi, mengayomi, yang kuat, dan yang ia hormati. mereka tidak ada rasa takut lagi atas peringatan dan ancaman ayahnya, apalagi hukuman Alloh ﷻ. Naudzubillah.

"Ya Tuhan kami, anugerah kan kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikan kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa." (QS. Al-Furqan: 74)

Lantas, bagaimana jika single parent, tidak ada sosok ayah dalam keluarga, maka tugas ayah akan diambil oleh ibu. Dialog-dialog ayah dapat digantikan dengan kakek, paman atau kerabat laki-laki yang dipercaya yang bisa membimbingnya. Dialog-dialog ayah bisa juga dititipkan saat anak bersekolah menimba ilmu disekolah yang baik lewat guru atau ustaz yang faqih.

Kisah Imam Syafi’i kecil yang dititipkan oleh ibunya kepada guru dan ulama di Mekah menjadi pelajaran bagi seorang ibu yang berharap anaknya berhasil dunia akhirat. Perkataan Ibunda Syafi’i kepada anaknya, “kelak kita akan bertemu di akhirat”, merupakan doa sekaligus motivasi bahwa menuntut ilmu agama ataupun ilmu dunia disertai keikhlasan semata karena Allah subhanahu wataala merupakan jalan menuju akhirat yang indah. Namun tentunya ibunda Syafi’i adalah yang ibu cerdas dan berilmu serta paham betul siapa Imam Syafi’i, beliau tidak mungkin melepas Syafi’i muda jauh keluar kota tanpa bekal keilmuan dan keimanan yang kuat. Ataupun belajar ilmu yang tidak jelas. Sehingga ibunya yakin Syafi’i muda tidak akan terperosok kedalam kemaksiatan dan kenistaan dalam menimba ilmu nan jauh di sana.

Sabda Rasulullah ﷺ:
”Barang siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Alloh ﷻ memudahkan baginya jalan ke surga. Dan sesungguhnya malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa yang diperbuatnya, dan bahwasanya penghuni langit dan bumi sampai ikan yang ada di lautan itu senantiasa memintakan ampun kepada orang yang pandai. Kelebihan si alim terhadap si ‘abid adalah bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi dan bahwasanya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham (kekayaan duniawi) tetapi para Nabi mewariskan ilmu pengetahuan, maka barangsiapa yang mengambil (menuntut ilmu maka ia telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Daud dan Atturmudzi)

Di era digital ini, di awal tahun 2020, kita dan anak-anak dipaksa berdamai dengan pandemi covid yang mengharuskan menghadirkan gadget (gawai) diantara aktifitas keseharian. Ayah dan anak di suatu kondisi sama-sama bisu dengan gawai di tangan yang membuat jarak yang jauh jadi dekat sekaligus juga efeknya membuat yang dekat terasa jauh. Ayah jangan terlena, rangkul anakmu, batasi gawai nya dengan syarat tertentu ketika ia ingin menggunakannya. Bicaralah saat anak di depan mata, saat anak lagi nyaman, ajak komunikasi dengan bahasa mereka, bila perlu ikuti apa yang dimainkan dalam gawai nya sambil diskusi hal-hal yang membuat mereka dapat terjaga dalam pola pikir yang islami. Ayah ibu juga harus jadi orang tua pembelajar sehingga bisa memberikan keteladanan dan pemahaman kepada anak tentang hakikat hidup di dunia dan bekal apa yang harus dipersiapkan untuk akhirat, tanamkan dan sampaikan kepada anak-anak kita tentang:

1) Tauhid kepada Alloh ﷻ dan kecintaannya kepada Rasul-Nya;
2) Shalat lima waktu yang terlarang untuk ditinggalkan kapan dan di manapun;
3) Sifat-sifat terpuji serta menghindarkannya dari sifat-sifat tercela;
4) Cara-cara hidup sehat dan gaya hidup yang baik; dan
5) Ilmu pengetahuan yang bermanfaat.

"Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Hai Anakku, janganlah kamu mempersekutukan Alloh ﷻ. Sesungguhnya mempersekutukan-Nya adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman: 13)

"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata), "Hai Anak-Anakku, sesungguhnya Alloh ﷻ telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati, kecuali dalam memeluk agama Islam." (QS. al-Baqarah: 132)

"Dan Ya'qub berkata, "Hai Anak-Anakku, janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan. Namun demikian, aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikit pun dari (takdir) Alloh ﷻ. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Alloh ﷻ; kepada-Nya lah Aku bertawakal dan hendaklah kepada-Nya saja orang' orang yang bertawakal berserah diri." (QS. Yusuf: 67)

Ayah harus menyempatkan waktu untuk banyak berdialog dengan anak-anak, karena itu adalah bagian penting dalam proses pembentukan karakter dan pendidikan anak. Ayah tidak boleh diam, jangan bisu dan menyerahkan semua komunikasi dengan anak hanya kepada ibu. Karakter dan pendidikan anak harus menjadi tanggung jawab bersama karena sosok keduanya sangat diperlukan. Keseimbangan peran dari ayah dan ibu akan memberikan andil besar bagi keberhasilan pendidikan anak-anak.

Maka jika ada sosok ayah yang bertanggung jawab dan ibu yang penuh kasih sayang, yang dengan pemahaman Islam yang baik sering berdialog dengan anak-anaknya sejak dini, maka akan muncul anak-anak yang berakhlak baik (mulia), taat kepada Alloh ﷻ dan yang mencintai Rasulullah ﷺ, serta berbakti pada kedua orang tuanya. 

Wallahu a’lam.

Pekanbaru, 16 November 2021
Self Reminder
Selamat Hari Ayah 12 November 2021

https://pijarpunbenderang.blogspot.com/2021/11/ayah-jangan-bisu.html?m=1

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Yanti ~ Rembang
Bismillah...
Assalamu'alaikum tadz.

Bagaimana cara seorang ayah menghandle pengasuhan anak yang semula pola asuh anak dominan dari ibunya, sedangkan saat ini ibunya 8 bulan yang lalu kembali kepangkuan Alloh ﷻ. Matur suwun tadz.

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Subhanallah, ini menjadi ladang amal dan surga bagi sang ayah, bahwa sosok ayah menjadi dominan untuk pengasuhan berikutnya. Memang berat untuk bisa menyamai asuhan dan kasih sayang seorang ibu, dan tentunya berbeda pendekatannya, karakter ayah yang keras dan ibu yang lembut menjadi effort yang sangat keras bagi sang ayah.

Bahwa ayah jangan langsung frontal dalam mendidik dan membangun karakter si anak, butuh penyesuaian dan memang sulit untuk bisa sama dengan sang ibu. Ayah juga mulai belajar parenting, mulai belajar membangun keteladanan diri bagi sang anak. Harus sabar dan mau menerima pendapat dari orang yang paham. Dekatkan pula si anak dengan keluarga si Ibu, nenek, tante atau bibinya. dan tentunya terakhir doakan anak dan si ibu terus menerus. 

Wallahu a'lam

 0️⃣2️⃣ Afni ~ Garut
Assalamualaikum Ustadz. 

Maaf, yang saya ingin tanyakan 'apakah seorang anak berdosa, apabila jarang mengingat ayahnya yang memang sudah terbiasa kehilangan sosoknya?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Bahwa kedudukan ayah setara sama ibu, sebagai orang tua kita.
"Sembahlah Alloh ﷻ dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (QS. An Nisa: 36).

Jikalau mengingat Ayah baik yang masih hidup atau sudah wafat (bagian berbakti, bagian silaturahmi), itu bagian dari birrul walidain, maka kedudukannya setelah tauhid, menjadi wajib, jikalau sudah berpulang dalam alam kuburnya ayah kita membutuhkan doa-doa terbaik dari anak yang salih, amal-amal yang di wasilah kan untuknya.

“Kedua orang tua itu adalah pintu surga yang paling tengah. Jika kalian mau memasukinya maka jagalah orang tua kalian. Jika kalian enggan memasukinya, silakan sia-siakan orang tua kalian.” (HR. Tirmidzi)

Usahakanlah untuk sekedar menyapa sebagai bagian silaturahim jikalau berjarak jauh, atau salah bagian juga mengingat ayah dengan selalu mendoakannya disetiap doa sehabis sholat fardhu, Rabbighfirli waliwalidayya....

Wallahu a'lam

0️⃣3️⃣ Bestiar ~ Pekanbaru  
Alhamdulillah ana dibesarkan oleh ayah yang luar biasa dan banyak nasehat-nasihat beliau yang selalu ana terapkan ke anak-anak ana.
Bagaimana membangkitkan semangat suami agar lebih banyak bicara pada anak-anaknya. Sepertinya saya saja yang bawel setiap hari menasihati anak. Afwan

🌸Jawab:
1) Share tulisan ini diwaktu yang tepat dan sempatkan si ayah untuk membacanya.

2) Bahwa ada kewajiban-kewajiban ayah untuk anak-anak nya dan suatu saat nanti hasilnya (anak salih) sangat dibutuhkannya kelak di akhirat.

3) Ajaklah dalam diskusi ketika sedang berkumpul dengan anak, pancing dengan kata-kata pujian buat si Ayah dan ajarkan pula si anak untuk selalu dekat dengan Ayah.

4) Bersama-sama ikut kegiatan parenting, belajar bersama dalam diskusi-diskusi, seminar-seminar keluarga, bujuk untuk ikut saat ada kegiatan anak di sekolah atau aktivitas hobi lainnya.

5) Doakan terus si Ayah ya, saat tahajud, atau sehabis sholat fardhu. 

Wallahu a'lam

0️⃣4️⃣ Han ~ Gresik
Assalamu'alaikum,

Ustadz, bagaimana membentuk karakter dan mengenalkan anak kepada sosok ayahnya yang tidak dikenalnya sejak lahir?

🌸Jawab: 
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

1. Cari sosok yang mirip si Ayah melalui kerabat ayah, om, paman, uwak, tentunya yang kita anggap baik dan ada keteladanan di dirinya. ajak anak silaturahim dengan mereka. 

2. Sebagai ibu, kita bisa menceritakan terus menerus ke anak, sifat, pribadi, karakter ayahnya. atau melalui kakek neneknya jikalau masih hidup. Pointnya di silaturahim dengan kerabat dan keluarga si ayah.

3. Ajarkan anak untuk selalu mengingat ayah melalui doa doanya. 

Wallahu a''lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar