Selasa, 30 November 2021

DIAMNYA SEORANG WANITA

 


OLeH: Ustadzah Masitoh

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸DIAMNYA WANITA MUSLIMAH

◼️I. Bicara Baik Atau Diam

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata,
”Seseorang mati karena tersandung lidahnya. Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya. Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya. Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan."

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Said bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam  bersabda,

مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”

Yang dimaksud dengan “Sesuatu yang ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “Sesuatu yang ada di antara dua kakinya” adalah kemaluan.

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

“Barang siapa yang beriman kepada Alloh ﷻ dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.”
(Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi) tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan."

"Karenanya, perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan."

"Oleh karena itu, orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan) hendaklah diam." (lihat Al-Fath, 10:446)

Imam An Nawawi  rahimahullah menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafii  rahimahullah  mengatakan, "Jika seseorang hendak berbicara, maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu."

Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya, silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia ragu, maka ditahan (jangan bicara).

Sebagian ulama berkata,  "Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara."

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45, "Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam."

"Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan."

Beliau berkata pula di halaman 47, "Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara."

Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. 

Menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka  perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. 

Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.

Beliau menambahkan di halaman 49, "Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat maka dia akan diam."

Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. 

Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya.

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin Umar  radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Seorang muslim adalah seseorang yang orang muslim lainnya selamat dari ganguan lisan dan tangannya.”

Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,

إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang muslim yang paling baik? Beliau menjawab, Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”

Hadis tersebut juga diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani) menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, Hadits ini bersifat umum bila dinisbatkan kepada lisan. 

Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan. Oleh karena itu, dalam sebuah syair disebutkan.

Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya. Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi.
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal. Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.

Tentang hadits (yang artinya), "Barang siapa yang beriman kepada Alloh ﷻ dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam."

Imam Ibnu Daqiqil rahimahullah mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, "Barang siapa yang beriman kepada Alloh ﷻ dan Hari Akhir, maknanya: siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna, yang menyelamatkan dari azab Alloh ﷻ dan mengantarkan kepada keridhaan Alloh ﷻ maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam."

Barang siapa yang beriman kepada Alloh ﷻ dengan keimanan yang sebenarnya, ia takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. 

Kemudian memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi gembalaannya, dan ia bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,

إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا

‘Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’ (QS. Al-Isra’:36)

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

‘Tiada suatu kalimat pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’ (QS. Qaf :18)

Yakni selalu mengawasinya dan menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,

وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ( )كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ

"‘Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Alloh ﷻ), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.’" (QS. Al-Infithar:1012)

Demikian pula, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka." (Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami, no. 5136)

”Siapa pun yang mengetahui hal itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada Alloh ﷻ berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan atau diam." (Tafsir As-Sadi)

Semoga Alloh ﷻ selalu menjaga lisan kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.

عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ فِي النَّارِ

"Dari Abu Hurairah  radhiyallahu ‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?”

Para shahabat pun menjawab, "Orang yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda."

"Beliau menimpali, Sesungguhnya orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada orang yang terdzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan, sementara belum selesai pembalasan tindak kedzalimannya, maka diambillah dosa-dosa orang yang terdzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun dicampakkan ke dalam neraka." (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no. 2581)

◼️II. Diamnya Wanita Muslimah

DIAMNYA seorang gadis ketika ditawarkan seorang pria itu adalah tanda bahwa dia setuju dan siap mengarungi bahtera rumah tangga bersama lelaki pujaannya.

Dari Abu Hurairah raḍiallāhu ‘anhu, bahwa Rasulullah ṣhallaallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Janda tidak boleh dinikahkan hingga dimintai perintahnya, dan gadis tidak boleh dinikahi hingga dimintai izinnya’. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah ﷺ, bagaimanakah izinnya? Beliau menjawab, diamnya. Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnnya.

Karenanya janganlah berharap seorang wanita mengungkapkan cintanya terlebih dahulu, walaupun tidak ada larangan sebagaimana Khadijah RA yang meminta dirinya dinikahi oleh Nabi ﷺ.
Diamnya wanita ketika mencintai seorang pria adalah didorong oleh rasa malunya yang sangat.

Pasifnya wanita dalam bercinta karena ia ujian bagi para pria, andai wanita lebih agresif dari pria, tentulah banyak laki-laki yang berjatuhan karena dahsyatnya rayuannya.

Seorang nabi Yusuf pun sempat dibuat mabuk kepayang ketika Zulaikha menggodanya andai Yusuf tidak mendapat peringatan dari Rabb-Nya.

Nabi ﷺ bersabda :

 ما تركت بعدى فتنة أضر على الرجال من النساء” 

"Sepeninggalanku tidak ada fitnah yang paling berbahaya bagi lelaki selain fitnah wanita."

 ◼️III. Benarkah Muslimah Lebih Baik Banyak Diam?

Bila lisan tidak mampu berkata kebaikan maka sebaiknya lebih baik diam.

Diam adalah emas. Ungkapan itu memang benar adanya. Tetapi, apakah seorang Muslimah dituntut diam seribu bahasa, apapun kondisinya? Imam Suyuthi menulis sebuah kitab bertajuk Hasan As Samat fi As Shumti.

Dalam kitab yang merupakan ringkasan As Shumtu wa Adab al-Lisan karya Ibnu Abi Ad Dunya tersebut, Suyuthi menjawab tentu saja tuntunan diam itu tidak bersifat mutlak.
Berbicaralah, tetapi membicarakan kebaikan. Dan berdiamlah bila menyangkut keburukan atau topik-topik yang tidak patut dibicarakan.

Suatu saat, seperti diriwayatkan Ubadah bin Shamit, Rasulullah ﷺ pernah bepergian bersama Muadz bin Jabal. Dalam perjalanan itu, sahabat yang terkenal dengan kepiawaiannya dalam hukum tersebut bertanya kepada Rasulullah ﷺ, Amalan apakah yang paling utama? Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan memberikan isyarat menunjuk ke bibirnya. Diam, kecuali dari (hal) kebaikan.

Lalu, apa hikmah di balik tuntunan yang diserukan Rasulullah ﷺ untuk berdiam, kecuali dalam hal kebaikan? Riwayat lain yang dinukil dari sahabat Abu Dzar mengungkapkan apa maksud dan manfaat yang bisa diambil dari etika ini.

Sikap berdiam diri dan berbicara hanya terkait dengan perkara yang baik bisa membantu seseorang menghindari godaan setan membantu menjaga agamanya.  

Selain itu, diam dengan pengecualian seperti ini merupakan bentuk dari kebijaksanaan. Karenanya, Rasulullah ﷺ menyebutkan pada hadis riwayat Abu Hurairah bahwa kebijaksanaan itu terdiri atas sepuluh bagian. (Sebanyak) sembilan darinya berasal dari mengasingkan diri (uzlah). Sedangkan, satu lagi terdapat di sikap diam.

Merasa penasaran, seorang salaf bernama Wahib bin Al Ward pernah mempraktikkannya. Ia sudah mencoba untuk berdiam dan tidak banyak berbicara, tapi masih saja gagal. Ternyata, diam saja tak cukup. Sikap itu harus ditopang dengan beruzlah. Akhirnya, usahanya pun berhasil.

Tuntunan untuk diam dan menjaga lisan ini pun disebarluaskan oleh para sahabat. Mereka saling berwasiat agar tidak sembarangan berbicara.

Seorang laki-laki pernah meminta wasiat kepada Said al-Khudri. Permintaan itu pun akhirnya dikabulkan. Said al-Khudri berkata, Berdiamlah, kecuali tentang kebenaran. Dengan sikap itu maka engkau akan mengalahkan setan.

Tetapi sayang, keutamaan diam ini tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Padahal, di balik sikap diam yang proporsional berbicara ketika dibutuhkan soal kebaikan terdapat segudang hikmah.

Hanya sedikit pelakunya, demikian sabda Rasulullah ﷺ dalam hadis riwayat Anas bin Malik yang dinukil oleh Ibn Addi, Baihaqi, dan Qudhai.

Inilah salah satu alasan mengapa Rasulullah ﷺ menganjurkan agar diam dan menjaga lisan yang proporsional disosialisasikan dan ditradisikan di tengah-tengah masyarakat.

Seseorang dalam riwayat Abdullah bin Masud mendatangi Rasulullah ﷺ dan mengatakan, Wahai Rasulullah ﷺ, aku adalah orang yang paling di taati di kaumku, perintah apa yang layak aku serukan ke mereka? Rasulullah ﷺ menjawab, Serukan mereka menebar salam dan sedikit bicara, kecuali berkaitan dengan perkara yang bermanfaat.

Rasulullah ﷺ pernah memberikan wasiat kepada Abu Dzar. Dalam wasiat itu, ditegaskan demikian, Aku berwasiat untukmu agar berakhlak baik dan tidak banyak bicara. Keduanya adalah amalan yang paling ringan untuk dilakukan oleh tubuh. Tetapi, dua hal itu nilai pahalanya akan memberatkan timbangan perbuatan kelak di akhirat.

Karena itulah, menjaga lisan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia. Penegasannya terdapat di hadis Abu Hurairah. Diam juga menjadi identitas yang membedakan kualitas dan kepribadian seseorang.

Wallahul Mustaan.
Wahai Rabb, ampunilah dosa-dosa hamba, bimbinglah hamba untuk senantiasa taat kepada-Mu dan masukkan lah kami ke dalam golongan orang-orang yang Engkau beri Rahmat.

Wallahu a'lam

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Bestiar ~ Pekanbaru
Dzah, bagaimana cara mengendalikan diri dari banyak bicara, kadang wanita, khususnya ana sendiri suka bicara, ada saja hal yang dibicarakan dengan teman, kalau ana bicara, hati rasanya bahagia, tapi kadang takut juga salah bicara. Afwan

🌸Jawab:
Mengendalikan diri dari banyak bicara adalah dengan:

1) Awali dengan perbanyak istighfar dan selalu berdoa kepada Alloh ﷻ agar dijaga lisannya dari perkataan yang tidak bermanfaat.

2) Memilah-milah. Apakah yang dibicarakan itu ada manfaatnya atau tidak, karena Rasulullah ﷺ mengatakan dalam haditsnya, lebih baik diam, apabila perkataan yang di ucapkan tidak bermanfaat.

3) Mengingatkan diri kita tentang pertanggungjawaban kita hidup di dunia ini, akan diminta oleh Alloh ﷻ di akhirat nanti.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Safitri ~ Banten 
Assalamualaikum ustadzah,

Apakah salah ketika kita bersikap diam kepada orang-orang luar yang tidak mengenal kita, bagaimana dengan kita yang dikenal diam, tapi ketika sekali bicara celetukannya itu ada saja, seperti begini bagaimana ustadzah?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Pendiam itu boleh untuk berkata yang tidak bermanfaat. Tetapi untuk ramah, menyapa, menegur, saling menasihati dalam kebaikan justru sangat dianjurkan. 
Rasulullah ﷺ adalah contoh teladan kita dalam hidup bermasyarakat.

Wallahu a'lam

0️⃣3️⃣ Ami ~ Pekanbaru
Assalamualaikum ustadzah,

Ana orang yang paling banyak berbicara dengan suami, bahkan hal yang sepele pun saya bilang, terkadang kalau saya sudah berbicara, semuanya diluapkan, hingga ujung-ujungnya keluhan yang keluar, mulai capek lah tadi ngerjain ini itu, tidak berhenti-henti ngomongnya, apakah ada nilai ibadahnya?

Padahal maksud hati, mau ngomong, kok jadi ngeluh, karena terlalu banyak ngomong. 

Mohon penjelasannya ustadzah.

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Iya mba Ami. Manusiawi kalau kita menyampaikan keluh kesah kita kepada pasangan kita, karena dia adalah teman kita di dunia dan disurganya Alloh ﷻ. InsyaAlloh.

Abu Bakar pernah menyampaikan kesedihannya kepada Rosul, saat beliau bersama Rosul di gua tsur, ketika mau hijrah.
Namun tetap yang paling utama adalah berkeluh kesah hanya pada Alloh ﷻ.

Wallahu a'lam

0️⃣4️⃣ Afni ~ Garut
Assalamualaikum dzah,

Bagaimana dengan orang yang diam saat dihina, diam saat dikhianati, sampai-sampai tidak pernah bertindak atas perilaku orang tersebut terhadapnya.

Namun lambat laun, tahun ke tahun, mengubah prilaku dirinya menjadi sensitif, banyak tidur dan lebih parahnya, dia tidak peka terhadap orang lain dan cenderung  tidak menyadari ketika dirinya berbuat salah.

Apakah diamnya di masa lalu itu bisa mengubah kepribadian?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Masa lalu memang bisa mempengaruhi kehidupannya di masa depan. Tetapi ketika diiringi dirinya dengan pemahaman tentang agamanya itu baik, maka masa lalu hanya akan menjadi pelajaran atau ibroh bagi dirinya.

Wallahu a'lam

0️⃣5️⃣ Niamah ~ Semarang
Assalamualaikum dzah. 

Terkadang saat kita di sakiti sudah berniat berusaha diam, bersabar dan melupakan tapi terkadang ada di kondisi yang kita seperti terpuruk, seolah ada sesuatu yang nyesek, boleh tidak kita berbicara mengungkapkannya?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Boleh saja kita sampaikan dengan bahasa yang santun, penuh hikmah seperti yang Rasulullah ﷺ contohkan.

Wallahu a'lam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Akhowatifillah...

Setelah kita pahami bagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkan pada kita, bagaimana kita harus menjaga lisan kita.

Maka marilah kita jaga lisan kita, agar yang keluar dari mulut kita adalah kata-kata yang baik, yang bermanfaat bagi umat.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar