Sabtu, 30 Januari 2021

AMAL TANPA ILMU DITOLAK?

 




OLeH: Ustadz Syahirul Alim

     💎M a T e R i💎

🌸AMAL TANPA ILMU DITOLAK, BENARKAH?


Kita seringkali mendengar ungkapan, “beramal harus ada ilmunya, karena jika tidak maka akan ditolak (amalnya).” Lalu, hal ini dikait-kaitkan dengan banyak kebiasaan baik berupa amaliyah yang dijalankan sementara umat muslim di Indonesia. Ada juga yang menganggap, kebiasaan seperti tahlilan, manaqiban, ziarah kubur, tabarrukan, marhabanan atau banyak amaliyah yang sudah menjadi adat dan tradisi dalam masyarakat, menjadi sasaran ungkapan ini. Sebagian yang menggunakan dalil diatas, berkeyakinan, mereka yang mengamalkan ajaran para ulama terdahulu dianggap “ikut-ikutan” dan jelas tidak tahu ilmunya, maka dengan sendirinya mereka yang hanya “ikut-ikutan” amalnya ditolak. Padahal, kita semua adalah “pengikut” (muttabi’) para ulama, karena setelah Nabi, hanya para ulama yang ditunjuk sebagai penerus ajaran mereka.

Barangkali, ungkapan soal ditolaknya amal tanpa ilmu, berasal dari bait syair terkenal Ahmad bin Husen bin Ruslan as-Syafi’i (770-844 H) dalam kitabnya “Matan Zubad Fi Ilmil Fiqhi Alaa Madzhab Asy Syafi’i” dimana dalam pembukaannya menyebutkan:

فاعمل ولو بالعُشْر كالزكاة تَخرُج بنور العلمِ من ظُلْمات
فعالمٌ بعلمِهِ لم يعمَلَنْ مُعَذَّبٌ من قبلِ عُبَّادِ الوَثَنْ
وكلُّ من بغير علم يعملُ أعمالُه مَردودَةٌ لا تُقْبَلُ
واللهَ أرجو المَنَّ بالإخلاصِ لكي يكونَ مُوجِبَ الخَلاص

“Maka beramal-lah walaupun hanya sepersepuluh, ibarat zakat yang dapat mengeluarkanmu dari kegelapan dengan cahaya ilmu. Maka seorang yang Alim karena ilmunya tidak akan diadzab karena amalnya, sebelum para penyembah berhala itu diadzab. Dan setiap orang dengan tanpa ilmu beramal, maka amalnya ditolak dan tidak diterima. Dan Alloh ﷻ akan membalas seluruh amal yang dijalankan dengan ikhlas, agar keikhlasan menjadi penyelamat atas segala amal-mu.”

Dengan demikian, keikhlasanlah sesungguhnya yang menjadi prasyarat diterima atau ditolaknya sebuah amal, karena seseorang yang “tahu” (pasti akan didahului oleh niat yang ikhlas), jika niatnya baik, maka dipastikan terhindar dari amaliyah yang haram atau ditolak. Jika seseorang beramal karena didasari bagian dari ibadahnya kepada Tuhan dengan kesungguhan dan ketulusan, maka ia akan mendapatkan balasannya dan balasan ilmu dan amal, tentu saja merupakan wilayah Alloh ﷻ yang paling mengetahuinya siapa diantara mereka yang paling baik amalnya (liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala).

Setelah persoalan ikhlas dalam beramal ini terjawab, muncul kemudian anggapan bahwa mereka yang menjalankan amal karena “ikut-ikutan” disebut sebagai orang-orang tersesat, karena hanya mengikuti kebanyakan orang di muka bumi. Dalil yang dipergunakan adalah surat al-An’am, 116:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh ﷻ. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh ﷻ)."

Ayat ini seringkali dijadikan dalil dalam hal tuduhan atas kebanyakan kaum muslim di Indonesia yang terbiasa dengan amal yang dianggap mereka “ikut-ikutan” dan dikategorikan sebagai kelompok yang sesat. Padahal, ayat ini konteksnya adalah terkait dengan sembelihan yang oleh kebanyakan orang waktu itu tidak menyebutkan didalamnya nama Alloh ﷻ. Lagi pula, yang dimaksud khusus hanya kepada Nabi Muhammad, melihat dari kata “wa in tuti’” adalah fi’il mudhari’ berkedudukan fi’il syarat dari “in” yang fa’il-nya mustathir (tersembunyi) dan yang dimaksud adalah “anta” (kamu, Muhammad). Nabi Muhammad diperintahkan agar tidak mengikuti kebanyakan orang yang pada waktu itu masih kafir, bodoh, dan senantiasa beramal didasari oleh hawa nafsu bukan karena ilmu pengetahuan.

Sebab historis (asbabunnuzul) ayat diatas adalah peristiwa dimana Nabi Muhammad ditanya oleh sekelompok orang musyrik: “Jelaskan kepada kami, jika ada kambing yang mati siapa yang telah membunuhnya?.” Maka Nabi menjawab: “Alloh ﷻ yang telah membunuhnya”. Lalu mereka berkata: “Kamu hanya berprasangka.” Lalu mereka mengatakan lagi, “jika seandainya apa yang kamu dan sahabat-sahabatmu itu sembelih atau anjing yang memburu dan membunuh buruannya bagimu juga menjadi halal, berarti itu sama halnya dengan dibunuh oleh Alloh ﷻ (karena tidak disebutkan nama-Nya) dan itu menjadi haram!” Lalu turunlah ayat 116 surat al-An’am tersebut.

Menuduh dengan prasangka tentu saja dilarang, apalagi berprasangka buruk kepada orang lain. Sedikit saja berprasangka, jelas berdosa, terlebih jika prasangka ditujukan pada amaliyah orang lain yang disangkakan tidak berdasarkan ilmu. Ada beberapa syarat yang dijelaskan para ulama, soal amaliyah yang bagaimana yang diterima oleh Alloh ﷻ, terutama dalam hal ibadah. Amaliyah maqbulah (amal yang akan diterima) paling utama adalah sebab keikhlasan, bukan karena ilmu yang diketahuinya. Amal yang ditolak jelas bukan karena ilmu, tetapi karena beramal didasari hawa nafsu, sombong, sehingga tercerabut nilai ikhlas didalamya. Sebagaimana disebut dalam al-Quran:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Alloh ﷻ dengan memurnikan (ikhlas)  ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” 
(QS. 98: 5).

Ibnu Qayyim menyebut dalam kitabnya “Ar-ruh” bahwa Alloh ﷻ telah menetapkan keikhlasan sebagai sebab diterimanya sebuah amal dan ketiadaan ikhlas dalam beramal akan berakibat pada ditolaknya amal tersebut. Hal ini pula yang menjadikan amal yang ikhlas menjadi ukuran sebagai amal yang paling baik dan menjadi “ujian” bagi setiap orang. Al-Fudlail ketika menjelaskan ayat al-Quran:

الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملاً

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “ahsanu ‘amala” adalah “khalashuhu wa ashwabuhu” (keikhlasan dan ganjaran kebaikan). Amal baik, apapun bentuknya ketika didasari oleh keikhlasan, itulah yang paling dianggap sebagai amaliyah yang berpeluang diterima Alloh ﷻ (maqbul), kecil kemungkinan menjadi amal yang tertolak.

Bahkan, jika merujuk pada sebuah hadis Rasulullah ﷺ, amal justru bukanlah jaminan seseorang untuk masuk surga, kecuali jika amaliyah yang dijalankan secara terus-menerus (mudawamah) meskipun sedikit. Hadis yang berasal dari riwayat Aisyah menyebutkan: 

لَنْ يُدْخِلَ الْجَنَّةَ أَحَدًا عَمَلُهُ " ، قَالُوا : وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ ، قَالَ : " وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ ، وَاعْلَمُوا أَنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Tidak akan masuk surga seseorang karena amalnya. Para sahabat bertanya, “termasuk engkau wahai Rasulullah?”. “Ya, saya juga tidak, kecuali Alloh ﷻ melimpahkan rahmat-Nya atas amal tersebut (sehingga mereka masuk surga). Ketahuilah, amal yang paling dicintai Alloh ﷻ adalah yang dijalankan secara terus menerus (mudawamah) walaupun kecil atau sedikit." 
(HR. Muslim). 

Menarik ketika akhir dari kalimat hadis ini menyebut amal yang sedikit tetapi dijalankan secara terus menerus justru yang paling disukai Alloh ﷻ. Amal yang kecil atau sedikit, tentu saja sering tidak dianggap, bahkan oleh seseorang yang melakukannya sendiri. Lain halnya dengan amal yang besar, terkadang justru didorong oleh unsur-unsur riya' atau keinginan dirinya untuk dipuji dan berharap Alloh ﷻ membalas amalnya dengan setimpal. Itulah kenapa, amal yang sedikit dan istiqamah-lah yang paling disukai Alloh ﷻ, bukan amal yang besar, karena dorongan hawa nafsu, ingin dianggap baik oleh orang lain dan merasa dirinya paling diperhatikan oleh Alloh ﷻ karena amaliyahnya.
Dalam redaksi yang lain, Rasulullah ﷺ juga menegaskan:

سدِّدوا وقاربوا، واعلموا أن لن يُدخِل أحدَكم عملُه الجنةَ، وأنَّ أحبَّ الأعمالِ إلى الله أدومُها وإن قلَّ

“Luruskan niatmu, lakukanlah yang paling mudah bagimu, ketahuilah bahwa amalmu tidak menjadikan kamu masuk surga dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Alloh ﷻ adalah membiasakannya walaupun kecil dan sedikit.”

Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadis diatas menjelaskan, bahwa hendaknya setiap orang meluruskan niatnya ketika beramal dan menjalankannya secara istiqamah. Karena, setiap amal yang dijalankan dengan niat, pikiran, dengan tujuan kebaikan maka sama halnya dengan menjalankan apa yang diperintahkan Alloh ﷻ dari amal yang dimaksud. Amaliyah yang dilakukan tepat atau sesuai dengan tujuannya, maka akan terhindar dari hawa nafsu yang menjadikan amal melenceng dari tujuan dan tentu saja berlebihan. Tepat sesuai tujuannya harus juga dimaknai sesuai dengan kemampuan (muqarabah) dirinya. Hal ini sesuai dengan tujuan syariat itu sendiri dengan tidak membebankan sesuatu yang tidak sanggup dilakukan, tetapi sesuai dengan kemampuan. Itulah kenapa dalam surat At-Taghabun ayat 16 disebutkan: “Bertakwalah kepada Alloh ﷻ menurut kesanggupanmu."

Maka, surga tentu saja disediakan bagi mereka yang melakukan amal dengan tujuan yang lurus, bernilai kebajikan dan memberikan manfaat kepada sesama, itulah yang dimaksud dengan ikhlas. Dalam surat Az-Zukhruf ayat 72 disebutkan:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.”

Demikianlah tidak ada ayat yang bertentangan dengan apa yang dimaksud dalam hadis Nabi, bahwa amal baik akan mengantarkan ke surga dengan syarat kesesuaian dengan niat (taufiq al-a’mal), adanya petunjuk yang mendorong pada keikhlasan (al-hidayatu lil ikhlas), dan karena rahmat Alloh ﷻ sehingga diterima seluruh amalnya.

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0️⃣1️⃣ Phity ~ Jogja 
Assalamu'alaykum wr.wb.

Ustadz, kalau kalau kita memaksa diri agar berinteraksi dengan Al Qur'an, tahajud atau amal ibadah lainnya, kadang  rasanya berat, tapi tetap memaksa diri, apakah amal itu akan tertolak? 

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Bahwa sesungguhnya Alloh ﷻ tidak membebankan ibadah kepada hanba-Nya dan ibadah tentu saja menurut kesanggupan dan bahwa "tidak ada paksaan dalam beragama" juga merupakan pesan Al-Qur'an. Harus juga diingat bahwa agama itu mudah dan tidak ada kesulitan di dalamnya. Secara tegas dalam Surat Atthaghabun ayat 16 disebutkan:

 فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ۗ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

"Maka bertakwalah kamu kepada Alloh ﷻ menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung."

Dalam ayat ini ada pernyataan "menurut kesanggupan" itu artinya sesuaikan dengan kemampuan dan tidak boleh dipaksakan, karena yang dinilai itu adalah amal yang sedikit dan kecil tapi kontinu daripada amal yang berat-berat tapi terpaksa dan jarang.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Erni ~ Jogja
Assalamualaikum Ustadz,  

Bagaimana caranya mempertemukan ilmu dan iman dalam indahnya akhlaq agar bisa memberi manfaat pada diri dan orang lain?

Mohon pencerahan.

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Iman itu merupakan manifestasi dari keyakinan hati (tashdiqu bil qalbi) akan ke Esaan Alloh ﷻ, lalu dinyatakan secara lisan (taqriru billisan) dengan jelas menyebut Laa ilaaha illallah dan terakhir melaksanakan dalam amal perbuatan (a'malu bil arkan) maka, indahnya iman melalui keselarasan antara hati, ucapan, dan perbuatan. Banyak sekali orang yang tidak sesuai antara hati, ucapan, dan perbuatannya. Nah bagi orang beriman, jadikanlah hati, ucapan, dan perbuatan sesuatu yang selaras, sejalan, tidak boleh salah satunya berbeda, ketiganya harus sama dan selaras. Disinilah muncul indahnya akhlak yang merupakan buah lezat dari iman.

Wallahu a'lam

0️⃣3️⃣ Listina ~ Pekalongan 
Ustadz, apa yang dimaksud dengan taklid? 
Terus mengikuti ulama tanpa tahu dasarnya karena memang tidak disampaikan oleh yang bersangkutan berarti boleh?

🌸Jawab:
Taklid itu manut saja mengikuti apa yang dilakukan oleh orang yang lebih tahu, bagi kita orang awam boleh taqlid kepada ulama atau orang-orang sholeh, selama kita tidak mampu mencari sendiri dan mempelajari bagaimana dalil-dalil yang rumit dan khawatir kita pun salah dalam menterjemahkan maksud dari dalil-dalil tersebut. Kita semua adalah muqallid (orang yang taklid) kepada ulama karena kita mengikuti amaliyah Imam Syafii, Maliki, Hanbali, Hanafi, Sofyan Tsauri, Adzdzahabi, bahkan Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-setelah Nabi Muhammad wafat, kita taklid kepada ulama, karena ulama adalah pewaris para Nabi.

Wallahu a'lam.

0️⃣4️⃣ Yulis ~ Balikpapan

اَلسَلامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اَللهِ وَبَرَكاتُهُ‎

Ustadz, banyak orang terus beribadah sehari-harinya, seperti ibadah maghdoh tapi tidak mau menambah pemahaman ilmu Islam nya. Jadi tidak mau mengkaji Islam.
Padahal ilmu islam sungguh sangat luas, tidak bisa kita merasa cukup dengan apa yang kita pahami yang didapat dari orang tua saja. 
Bagaimana yang demikian ustadz? 
syukron ustadz.

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Ya salah satu perintah dalam Islam adalah menuntut ilmu dan menuntut ilmu tidak bisa didapatkan hanya melalui buku atau media sosial, tetapi langsung bertemu dengan ulamanya yang mengajarkan ilmu-ilmu agama. Mengkaji Islam berarti memperdalam keilmuan agama Islam, bisa lewat lembaga formal seperti sekolah, madrasah, kampus Islam atau informal seperti mendatangi pengajian atau halaqah keagamaan di masjid atau tempat ibadah lainnya. Bagi seorang Muslim yang baik, tidak harus merasa cukup, sebab ilmu Alloh ﷻ itu sangat luas, belajarlah terus dan cari kebenaran, perbanyak silaturrahim dengan para ulama dan ambil ilmunya sebanyak-banyaknya. Insya Allah akan memberi manfaat.

Wallahu a'lam.

0️⃣5️⃣ Yulia ~ Bekasi 
Assalamualaikum ustadz,

Apabila beramal "ikut-ikutan" namun ia menceritakan kepada orang lain bagaimana hukum amalannya?

🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Beramal ikut-ikutan selama memang memberi manfaat dan kebaikan ya tidak mengapa. Kita pun sesungguhnya awalnya ikut-ikutan, bukan karena kita tahu dan paham amal atau kegiatan apa yang sedang dijalankan. Hanya saja, kita patut memilah, terutama amal kegiatan apa yang dilakukan, selama itu pengajian di masjid atau mushola, halaqah atau diskusi keagamaan, atau pengajian umum, berarti ikut-ikutan kebaikan kita akan kecipratan kebaikannya. Insya Allah jadi tidak ada masalah untuk ikut-ikutan jika yang ikut-ikutan itu bermanfaat dan bertujuan untuk kebaikan bukan untuk keburukan.

Wallahu a'lam.

0️⃣6️⃣ Hesti ~ Surabaya 
Saya ini baru belajar Islam maka ilmu saya masih sedikit. Bagaimana dengan melakukan amalan tanpa ada contoh dari nabi walau niat ikhlas? 

🌸Jawab:
Nabi sudah lama wafat, dan ada penerusnya para ulama, sebab sabda beliau sendiri menyatakan "al-ulamaa waratsatul anbiyaa" (ulama adalah pewaris para Nabi) maka contohlah amaliyah para ulama, dan amaliyah yang baik dan dianggap baik pasti memberikan manfaat. Apa yang dilakukan para ulama yang kemudian dilakukan juga oleh umat Muslim di seluruh dunia merupakan kebiasaan-kebiasaan baik. Jadi silahkan beramal, karena amal itu ada yang bersifat personal yang langsung berinteraksi dengan Alloh ﷻ ada yang bersifat sosial, bersosialisasi bergaul dan bekerja sama dengan masyarakat untuk tujuan-tujuan kemanfaatan yang lebih baik.

Wallahu a'lam

🔹Bagaimana cara membedakan bid'ah dan bukan?

🌸Kata bid'ah harus dipahami dulu konteksnya, sebab Umar bin Khatab menyebut solat Tarawih di malam bulan Ramadhan dilakukan berjamaah di masjid adalah "bidah yang nikmat." Maka, kita harus benar-benar memahami apa makna bid'ah, jangan sampai kita menuduh pihak lain bid'ah sedangkan kita sendiri belum tentu benar. Bid'ah dalam konteks yang buruk jelas ada dan kita paham dan sepakat, segala hal yang dibuat-buat dalam hal agama yang bertujuan merusak agama itu adalah bid'ah dolalah (buruk) disisi lain ada bidáh hasanah (baik) sebagaimana yang dilakukan umar bin khatab. Lagi pula bid'ah itu bukan hukum, sebab hukum hanya ada 4: HARAM, WAJIB, MAKRUH, dan SUNNAH. Bid'ah tidak termasuk kategori hukum.

Wallahu a'lam

0️⃣7️⃣ Hesti ~ Surabaya
Saya baru belajar Islam maka ilmu saya masih sedikit. Mohon dijelaskan jika melakukan suatu yang masih ragu misal menanam ari-ari dengan ditambah pernak pernik atau kemanten nginjak telur dan lain sebagainya? 

🌸Jawab:
Ya kadang ada adat istiadat atau kebiasaan yang tidak kita tahu, tetapi sudah turun temurun dalam masyarakat. Selama adat itu tidak bertentangan dengan syariat atau tidak melanggar syariat itu masih dibolehkan. Sebab, pada dasarnya Islam sama mengikuti tradisi bangsa Arab, dalam hal pembentukan hukum terutama yang hampir secara keseluruhan mengadopsi tradisi Arab. Haji, puasa, zakat, juga merupakan adopsi dari kebiasaan dan tradisi bangsa Arab yang "di Islamisasi." Jika kita tidak memahami tetapi dengan tujuan menghormati adat, ya tidak apa-apa sebab dengan tradisi-tradisi yang disebut tidak juga dalam rangka mengaburkan atau mencampur adukkan ibadah dengan adat, tetapi itu diluar ibadah yang kita jalani sehari-hari. Dalam kaidah ushul fiqh disebut "al-aadatu muhakkamatun" (adat itu bisa menjadi hukum) artinya berfungsi sebagai hukum yang harus ditaati, seperti di Minangkabau, yang melamar adalah perempuan bukan laki-laki dan yang mendapat waris lebih besar adalah perempuan dibandingkan laki-laki.

Wallahu a'lam bisshawab

🔹Mohon maaf ilmu saya msih minim. Apakah mencampur adat dan agama boleh?

🌸Yang dimaksud mencampur adat dengan agama itu seperti apa ya? Jika kita sholat dengan didepannya sesajen atau puasa dengan cara mengungsi ke gunung-gunung atau goa-goa dengan tidak makan dan minum ya itu jelas tidak boleh, sebab agama ada batas-batasan tertentu yang diatur syariat sedang adat diatur oleh kebiasaan dan tradisi. 

Tetapi, bahwa menghormati adat merupakan bagian dari agama, sebab Islam masuk ke Indonesia pun melalui proses asimilasi budaya dan adat. Banyak tradisi yang di Islamkan, seperti menara (asal dari "manaarah" yang menjadi tradisi majusi) yang dipakai juga untuk masjid, atau bedug merupakan adat yang duu dipakai untuk alat komunikasi dalam konteks tertentu tetapi dimanfaatkan untuk memanggil orang sholat selain adzan, ini juga percampuran adat dan agama. Masih banyak lagi, dan tidak hanya di Indonesia, di beberapa negara seperti Malaysia, India, China, sangat beragam adat yang di Islamisasikan.

Wallahu a'lam

🔹Maaf ilmu saya masih minim, maka perlu banyak tanya. Seberapa  besar pengaruh hadist yang dipelajari?

🌸Hadist itu masih berupa teks, yang harus kita gali maknanya. Membaca hadis saja tidak cukup, karena para ulama fiqh sudah menjelaskannya dalam beragam kitab fiqh yang terkait erat dengan kegiatan ibadah sehari-hari. Kita tidak mungkin paham hadis, sebelum kita belajar ilmu dirayah dan riwayah, dan kita mempelajari ilmu rijalul hadis sehingga kita benar-benar ahli dalam bidang hadis. Mempelajari hadis harus komprehensif, lengkap, dari mulai sanad, matan, dan ketersambungan maknanya dengan hadis lain. Kadang ada hadis yang dinyatakan dhoif oleh satu ulama, tetapi belum tentu ulama lain mendhaifkannya. Imam Bukhari sekalipun mengarang kitab hadis sohih tetapi beliau mengarang kitab ädabul mufrad yang memuat hadis-hadis dhaif dalam pandangan beliau, tetapi beliau tetap mengamalkannya. Luas sekali jika kita ingin mempelajari hadis dan hadis bukan satu-satunya ilmu yang dapat mempengaruhi seluruh amal ibadah kita. Sebab yang mempengaruhi hanya niat ikhlas kita karena Alloh ﷻ.

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
 💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎

Semoga yang sedikit ini memberi manfaat, jangan pernah berhenti mencari ilmu tetap dalam jalan yang lurus dan teruslah cari kebenaran dari sumber manapun asalnya. Semoga Alloh ﷻ meridhai kita dan kita pun ridha atas takdir baik dan buruk yang Alloh ﷻ berikan kepada kita semua.

Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar