Selasa, 29 Desember 2020

BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA ADALAH JIHAD

 


OLeH  : Ustadz Syahirul Alim

 💎M a T e R i💎

🌸BERBAKTI KEPADA ORANG TUA ADALAH “JIHAD”

Terdapat sebuah hadis yang masyhur yang seringkali disebut oleh umat Muslim dengan redaksi, “al-jannatu tahta aqdamil ummahat” (surga itu ada dibawah telapak kaki ibu). Secara redaksional, hadis tersebut tidak akan kita temukan didalam kitab hadis manapun, kecuali dalam beberapa kitab akhlak dan adab, beberapa diantaranya disebut dalam kitab: “al-Jāmi’ li Akhlāq al-Rāwi wa Adāb al-Sāmi’” yang ditulis oleh al-Khatib al-Baghdadi (1002-1071 M); kemudian “Musnad al-Syihāb” karya al-Qadli Muhammad bin Salamah al-Qudha’i (w. 454/1062); terdapat juga dalam kitab “al-Kuna’ wa al-Asmā” yang ditulis oleh Abu Basyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad ad-Daulabiy (224-310 H); dan dalam kitab berjudul “al-Fawāid” yang ditulis oleh Abu Syekh al-Ashfahani (887-979 M). Menurut al-Murtadla az-Zubaidi (1145-1205 M) ketika mengomentari hadis ini dalam salah satu karyanya “al-Takhrīj fi Ahādīts al-Ihyā” menyebutkan bahwa hadis ini setelah dilakukan penelitian isnād, statusnya adalah dha’īf. 

Namun demikian, terdapat riwayat sahih yang berasal dari riwayat an-Nasai yang menukil hadis yang maknanya sama seperti di atas dengan redaksi yang berbeda:

أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ، فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ :فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

“Bahwa Jahimah datang menemui Nabi ﷺ dan berkata, “wahai Rasulullah ﷺ, saya ingin sekali berangkat untuk berjihad, maka saya datang kepadamu untuk meminta nasihat. Berkata Rasulullah ﷺ, “apakah engkau masih punya ibu?” Jahimah menjawab, “iya”. Maka, tinggalah bersama ibumu, karena surga ada dibawah kedua kakinya.” (al-Nasai/Bab Jihad/Hadis 3104) 

Untuk dapat memahami secara menyeluruh tentang kedudukan maupun hadis ini, saya akan merujuk kepada salah satu kitab syarh Sunan an-Nasai, yaitu “Dzakhīrah al-‘Uqbā fi Syarhi al-Mujtabā” yang ditulis oleh Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa al-Atsyubi al-Walawiy. Ketika menjelaskan hadis ini, al-Atsyubi terlebih dahulu melakukan kritik sanad melalui kajian transmisi intelektual antara pemberi-penerima terhadap 6 jalur (thabaqat), yaitu: [1] Abdul Wahab bin Abd al-Hakim al-Warraq yang dinilainya “tsiqat” sebagaimana penilaian oleh Abu Daud dan Tirmidzi. [2] Hajjaj bin Muhammad al-A’war al-Mashishi sebagai “tsiqatun tsābitun” bahkan Ibn Juraij memberikan penilaian terhadap Hajjaj sebagai “orang yang paling konsisten menjaga ke-tsiqatan-nya”. [3] Muhammad bin Thalhah bin Abdillah bin Abdi al-Rahman memiliki kedudukan “suddhuq” (terpercaya). [4] Thalhah bin Abdillah bin ‘Abdirrahman berkedudukan “maqbūl” (diterima). [5] Mu’awiyah bin Jahimah adalah salah seorang sahabat Nabi yang tentu saja kedudukannya dalam meriwayatkan hadis sebagaimana penilaian ulama hadis secara umum adalah “’adūl” (adil/jujur). [6] Jahimah bin al-‘Abbas, kedudukannya sama dengan sahabat Nabi lainnya dimana seluruh sahabat statusnya “kulluhum ‘adūlun.”

Terdapat nama Ibnu Juraij dalam mata rantai isnad ini ketika hadis ini diungkapkan oleh an-Nasai melalui jalur Sufyan bin Habib, bahwa penilaian atas Ibnu Juraij ada yang memberikan penilaian baik (jawwad) dan juga ada ulama hadis yang masih meragukan kebaikannya sebagaimana penilaian al-Amawiy. Hadis ini jelas memiliki jalur periwayatan yang beragam, sekalipun secara keseluruhan berasal dari jalur Mu’awiyah bin Jahimah. Tidak hanya dalam Sunan an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Baihaqi juga meriwayatkan hadis dari jalur Hajjaj yang bersambung sampai Mu’awiyah bin Jahimah. Sedangkan al-Thabrani meriwayatkannya dari jalur Sulaiman bin Harb dari Muhammad bin Thalhah bin Musharrif dari Mu’awiyah bin Dirham dengan redaksi sedikit berbeda, menggunakan “ji’tuka asytasyīruka fi al-ghazw” (saya mendatangi Nabi dan meminta pendapatnya soal berperang) yang tentu saja nama Mu’awiyah bin Jahimah berubah menjadi “bin Dirham” dalam redaksi hadis yang dikeluarkan oleh al-Thabrani. Namun demikian, hampir dipastikan sekalipun hadis ini memiliki redaksi yang berbeda-beda, keseluruhan maknanya tetap sama dimana Nabi memberikan keringanan (rukhshah) untuk tidak berperang karena masih ada ibu yang dapat menggantikan kedudukan jihad dengan berbakti kepadanya.

Hadis ini juga berkaitan dengan konteks peperangan, dimana para ulama juga berbeda pendapat tentang asbāb al-wurūd hadis ini, ada yang mengatakan dalam konteks perang Hunain sebagaimana disebut oleh Ibnu Majah dan ada yang menyatakan perang Khandaq sebagaimana diungkap Ibnu Sa’ad dalam kitabnya “Thabaqat”. Mengingat bahwa secara historis hadis ini terkait peperangan (jihad), seolah-olah bahwa Nabi menekankan betapa pentingnya kedudukan seorang ibu dalam batin setiap manusia, bahkan kewajiban jihad ternyata mampu dikalahkan oleh kemuliaan kedudukan seorang ibu, dimata Alloh ﷻ dan rasul-Nya. Jika semangat berperang di jalan Alloh ﷻ (jihad) memiliki nilai kebaikan yang dapat menyebabkan siapa yang melaksanakannya memperoleh penghargaan tertinggi dari Tuhan, berupa surga, maka berbakti dan taat kepada ibu nilai kebaikannya setara atau jauh lebih tinggi dari jihad itu sendiri.

Secara redaksional bahwa hadis yang menyebut “al-jannatu tahta aqdami al-ummahat” tentu saja tidak dikategorikan hadis maudlu’ sebagaimana juga ada yang menilai demikian, kecuali ada yang menilainya dha’if karena ada salah satu perawi yang terindikasi “munkar al-hadits” yaitu Musa al-Muqaddisi. 

Padahal, hadis dengan redaksi dimaksud tersebar dalam beberapa kitab yang membicarakan tentang tema “al-targhib wa al-tarhib” (motivasi dan resiko) dimana dorongan penghormatan dan ketaatan kepada kedua orang tua terutama ibu untuk memotivasi segala perbuatan baik, sekaligus juga mengandung suatu resiko atau ancaman jika seseorang justru menentang atau melawan perintah ibunya. 

Terlebih, bahwa dalam redaksi lain tetapi dengan makna yang sama, jelas menyebutkan bahwa surga terletak di kaki seorang ibu sebagai bentuk alegoris bahwa ibu merupakan sosok yang tidak pernah habis kebaikannya dan seseorang tentu tidak akan mampu membalas kebaikan ibunya sendiri. Surga, tentu saja adalah personifikasi dari segala kebaikan dan kenikmatan yang diserupakan dengan kebaikan dan kasih sayang ibu kepada anak-anaknya.

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸

        💎TaNYa JaWaB💎

0️⃣1️⃣ Han ~ Jatim

Assalamu'alaikum ustadz, 

Jangankan menjadi ladang jihad, melihat fenomena sekarang yang ada, anak semakin cuek, bahkan berani melawan orang tua bahkan sampai ada yang berhubungan badan dengan orang tuanya bahkan sampai ada juga yang membunuh. 

1. Mengapa hal itu bisa terjadi ustadz? Apakah salah asuh dari orang tua atau lingkungan yang mempengaruhi atau bagaimana tadz? 

2. Bagaimana menanamkan nilai-nilai dan adab yang baik pada anak agar kejadian di atas tidak terjadi?

🌸Jawab:

Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh 

1. Memang benar keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap perilaku anak. Ibu terutama yang paling mudah ditiru sehingga apa yang dilakukan ibunya, baik dan buruk langsung ditiru oleh anak. Pendidikan pertama anak dalam keluarga adalah Ibu, dengan demikian Ibu harus pandai mendidik agar anak menjadi berakhlak mulia. Pengaruh lingkungan adalah hal kedua yang sangat mungkin mengubah prilaku, itulah kenapa orang tua harus benar-benar menjaga akhlak keluarganya, sebab Al-Qur'an menegaskan, "Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..." 

Ini artinya bahwa kita sendiri dan keluarga lebih dekat terpengaruh buruk dan neraka lebih dekat kepada keluarga dari pada lingkungan, jadi jaga baik-baik akhlak dan didik anak-anak dengan cara paling baik.

2. Cara menanamkan akhlak kepada anak ya mudah, tanamkan nilai-nilai budaya yang baik, seperti menghormati yang besar menyayangi yang kecil, jaga bicara kasar, ajarkan anak-anak beribadah dan awasi ketika bergaul dengan teman-temannya, karena teman juga bisa membawa pengaruh buruk kepada anak.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Ratih ~ Dumai 

Assalamu'alaikum ustadz. 

Bagi seorang istri, taat kepada suaminya apakah bisa dihitung sebagai rasa berbakti kita kepada orang tua dan menjadi jihad kita kepada Alloh ﷻ juga ustadz? 

Dan apakah hanya dengan mendoakan kedua orang tua kita dari kejauhan karena sudah menikah dan ikut suami, apakah itu masuk ke dalam jihad juga ustadz?

Maksud saya ustadz bagaimana seseorang wanita yang sudah menikah bisa berbakti kepada kedua orang tuanya ustadz yang akan dihitung sebagai jihad ustadz?

🌸Jawab:

Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh 

Taat kepada suami itu perintah agama, selama suami itu mengajak kepada kebaikan, taat dalam kebaikan itu wajib. Sedangkan taat kepada orang tua tidak hanya terkait dengan kewajiban agama, tetapi juga kewajiban sesama manusia, sebab orang tualah yang melahirkan, merawat, dan membesarkan kita. Orang tua tidak mungkin menjadi anak dan anak tidak mungkin menjadi orang tua bagi orang tuanya.  

Maka, berbakti kepada kedua orang tua terutama Ibu adalah jihad, tetapi taat kepada suami sebatas menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ saja. Tidak ada alasan ikut suami adalah jihad, itu hanya sebatas taat kepada suami tidak mencapai derajat berjihad di jalan Alloh ﷻ.

Wallahu a'lam

0️⃣3️⃣ Evi ~ Jaksel

Assalamualaikum ustadz, 

1. Bagaimana pandangan ustad ketika seorang anak yang sudah berumah tangga dan memutuskan mandiri jauh dari orang tua tapi ketika ada masalah atau kesusahan malah mengadu ke orang tuanya dan melibatkan orang tuanya misalnya ketika si anak tidak punya uang malah meminta ke orang tuanya (anak ini laki-laki)?

2. Adakah amalan yang bisa dilakukan anak untuk orang tuanya apabila kedua orang tuanya sudah tiada?

3. Apa yang harus dilakukan seorang anak (wanita) yang ikut suaminya hampir tidak pernah menjenguk orang tuanya dikarenakan tinggal jauh diluar kota (ikut suami dinas) dan ketika orang tua sakit dan selalu memanggil-manggil nama anaknya. Apa yang harus diperbuat anak tersebut? 

Terimakasih

🌸Jawab:

Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh 

1. Bahwa orang tua tetaplah orang tua dan anak tetaplah anak. Tidak bisa tergantikan kedudukan keduanya. Maka sekalipun jauh, anak minta kepada orang tua, itu hal wajar sekalipun seharusnya anak yang memberi kepada orang tua bukan meminta terus padahal telah mandiri dan dewasa. Tetapi bagaimanapun orang tua pasti sayang kepada anaknya, tidak pandang dia sudah berumah tangga ataupun bujangan. Disini perlu kesadaran si anak dengan akhlak kepada orang tua, apakah pantas terus meminta dan tidak pernah memberi? 

2. Amalan yang bisa dilakukan ketika orang tua telah wafat adalah sedekah, bisa mengatas namakan orang tua, berdoa mengatas namakan orang tua, dan silaturrahim kepada teman-teman orang tua kita yang masih hidup. 

3. Jangan sampai menyesal, terlebih orang tua sakit dan ingin melihat anaknya. Berdosa jika anaknya dengan alasan jauh kemudian tidak datang menjenguk orang tuanya, jangan sampai orang tua kecewa atau sakit hati sebab itu akan menjadi beban anak bahkan bisa sampai durhaka pada orang tua.

Na'udzu billahi min dzalik...

0️⃣4️⃣ Atin ~ Pekalongan

Assalamualaikum Ustadz,

Bagaimana menghadapi ibu yang tidak pernah menghargai apa yang dilakukan anak yang merawat beliau.

Dengan anak yang jauh selalu telp menceritakan kekurangan-kekurangan anak yang mendampingi dalam merawat ibu.

Padahal si anak sudah merasa melayani dengan maksimal. 

🌸Jawab:

Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Terima saja perlakuan ibu seperti itu, doakan semoga sang Ibu berubah sikap. Sebagai anak kita tetap sabar dan kita pahami bahwa apapun yang dilakukan semata-mata karena mengikuti perintah Alloh ﷻ untuk berbakti kepada orang tua, persoalan orang tua itu menerima atau tidak biar serahkan urusan ini kepada Alloh ﷻ, semoga orang tua kita sadar dan mau menghargai upaya yang kita lakukan.

Wallahu a'lam

0️⃣5️⃣ iNdika ~  Semarang

Ada seorang ibu yang terobsesi ingin punya anak laki-laki, karena beliau punya anak 4 perempuan semua. Akhirnya anak bungsunya didandani seperti laki-laki. Efek dari obsesi itu, anaknya mempunyai kecenderungan menyukai sesama jenis.

Apakah salah jika anak tersebut dendam kepada ibunya?

🌸Jawab:

Tidak boleh dendam kepada ibu, apalagi ibu yang melahirkan kita. Dosa besar dendam itu apalagi kepada orang tua yang merawat kita. Saya yakin tidak ada orang tua yang berbuat agar anaknya menjadi laki-laki atau perempuan, tetapi lingkungan dan kebiasaan dirinya yang merubah tabiatnya. 

Makanya yang paling baik adalah qonaah dan menerima apa adanya pemberian Alloh ﷻ sebab Alloh ﷻ tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸

 💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎

Semoga kita sadar bahwa orang tua itu adalah "keramat" jadi tidak perlu jauh-jauh nyari sesuatu yang keramat, cukup berbakti kepada kedua orang tua kita, maka hidup kita akan merasa berkecukupan karena Alloh ﷻ akan mencukupinya dengan kita berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua kita.

Wallahu a'lam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar