Kamis, 22 November 2018

AKHLAK LUHUR PARA ULAMA TERHADAP PERBEDAAN FIQH



OLeH: Ustadz Farid Nu'man Hasan

           💎M a T e R i💎

🌸Akhlak Luhur Ulama Salaf Terhadap Perbedaan Yang Mereka Alami

Tema ini sering kami angkat bahkan sangat sering, baik lisan dan tulisan.
Karena kata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, "Laa yazaal al khulfu bainan naas fi adyaanihim ..." (Tafsir Ibnu Katsir, 4/361), artinya manusia senantiasa berselisih pada urusan agama mereka...
Oleh karena itu kami tidak bosan dan tidak boleh lelah mengingatkan manusia tentang hal ini.

Banyak manusia semangat dalam mempelajari fiqih atau menanyakan fiqih, tapi lupa adab-adab dalam berfiqih. Fiqihnya ulama salaf itu penting, tapi mempelajari bagaimana adab mereka lebih penting.

Maka, kita dapati para salaf lebih mendahulukan belajar adab dibanding fiqih.
Kaku, keras, galak, bengis, dan memonopoli kebenaran, adalah potensi yang mungkin terjadi jika hanya belajar fiqih -apalagi jika hanya dari satu model pemikiran tanpa open mind terhadap yang lain - tanpa mempelajari adab dan menerepan fiqihnya di masyarakat.

Kadang sikap memaksakan kehendak juga dilakukan oleh oknum ustadz, sehingga muridnya pun mengikutinya. Hampir-hampir dia terjatuh pada sikap Iblis, "Ana khairu minhu - Aku lebih baik darinya."

Akhirnya, yang terjadi adalah fitnah dan keributan, bahkan khawatir sampai taraf "lakum diinukum waliyadin" terhadap saudaranya yang berbeda pendapat dengannya.

Sebagian orang ada yang standar ukhuwah Islamiyahnya dilihat dari kesamaan fiqih, sikap al Wala' wal Bara' dilihat dari kesamaan fiqih, menyikapi manhaj dilihat dari kesamaan fiqih.

Jika sama fiqihnya maka menjadi saudara, boleh menjadi ber-tawalli (dijadikan loyalitas), dan semanhaj. Jelas ini salah faham dan salah penerapan.

Berikut ini, akan kami tampilkan bagaimana mulianya para salafush shalih, terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, semoga kita semua bisa ambil pelajaran.

Selamat menikmati!

🔷Abdullah bin Mas'ud Radhiallahu 'Anhu

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menceritakan:

فروى أبو داود ( 1 / 307 ) أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا ، فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله
عليه وسلم ركعتين ، و مع أبي بكر ركعتين ، و مع عمر ركعتين ، و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها ، ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين ، ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا ؟ ! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 ) نحو هذا عن
أبي ذر رضي الله عنهم أجمعين .

Diriwayatkan oleh  Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan Radhiallahu ‘Anhu shalat di Mina 4 rakaat.

Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan di awal pemerintahan ‘Utsman sebanyak 2 rakaat, dan setelah itu ‘Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.”

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Mas’ud justru juga shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau:

“Engkau dulu telah mengingkari ‘Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!”

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Perselisihan itu jelek.” Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhum Ajma’in.
(As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)

🔷 Imam Al Qasim bin Muhammad Rahimahullah

Beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi'in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu 'Anhu.

Beliau ditanya oleh seseorang:

سألت القاسم بن محمد عن القراءة خلف الإمام فيما لم يجهر فيه, فقال: إن قرأت فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة، وإذا لم تقرأ فلك في رجال من أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أسوة.

Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya.

Beliau menjawab: "Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam."
(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

🔷 Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah

إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.”
(Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Tentang merutin Qunut Subuh, Imam At Tirmidzi berkata:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
 
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.”
(Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

🔷 Imam Yahya bin Sa'id Al Qaththan Rahimahullah

Beliau berkata:

ما برح أولو الفتوى يفتون فيحل هذا ويحرم هذا فلا يرى المحرم أن المحل هلك لتحليله ولا يرى المحل أن المحرم هلك لتحريمه.

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.
(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

🔷 Imam Asy Syafi'i Rahimahullah

Imam Asy Syafi'i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya Qunut Subuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada Qunut Subuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .

“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.”
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

🔷 Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.
(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Tentang Qunut Subuh,  diceritakan tentang Imam Ahmad Rahimahullah :

فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
 
“Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bid’ah. Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.”
(Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sebenarnya masih banyak lagi. Tapi, contoh-contoh sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.

Mampukah kita meneladaninya?

Wallahu A'lam


🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Yanti
Ustadz, jika kita biasa baca qunut, kemudian masbuk shalat shubuh di masjid yang tidak berqunut, apakah sebaiknya di rakaat yang ketinggalan kita baca qunut atau tidak?

🌸 Jawab:
Ikuti kebiasaan yang Ibu yakini tidak apa-apa, bagus, apalagi jika jamaah masjid termasuk tipe yang tenggang rasa.

Beda jika shalat di masjid yang rada-rada kaku, yang mudah menuduh, kepada orang yang berbeda, mungkin Ibu bisa mengalah tidak berqunut untuk menghindari fitnah perpecahan.

Wallahu a'lam

0⃣2⃣ Z. Ruslan
Ustadz, lantas sikap bagaimana yang seharusnya kita teladani ketika berada dilingkungan yang  beranggapan manhaj salaf adalah aliran keras?

Contoh: Yang bermanhaj salaf diminta untuk menjadi imam namun oleh pengurus masjid langsung diperingati agar setelah sholat tetap menjalankan zikir dan doa secara berjamaah.
Apakah sebaiknya dilakukan untuk menghindari perdebatan atau bagaimana?

🌸 Jawab:
◼ Jika dia tidak terbiasa mengeraskan zikir, sementara di situ kebiasaannya seperti itu maka dia boleh menolak secara halus.

◼ Jika tidak bisa juga menolak, maka dia ada dua sikap:
~ Tetap berdizkir masing-masing JIKA jamaah masjid tidak mempermasalahkan, jamaahnya toleran walau mereka lebih biasa dikeraskan.

~ Atau jika tidak mungkin, maka dia berdzikir dikeraskan sesuai yang dia hapal, sebenarnya Berdzikir dikeraskan itu SUNNAH sebagaimana difatwakan Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baaz. Berdasarkan hadits Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas, bahwa shalat telah diketahui selesai, ketika terdengar suara bising mereka berdzikir. Yang jadi masalah adalah berdzikir dikomando oleh satu orang.

Nah, inilah pertimbangan-pertimbangannya, khususnya saat kita berada di jamaah yang heterogen.

Wallahu a'lam

0⃣3⃣ iDha
Mengenai sholat sunnah dhuhur, ada yang 2 sebelum dan 2 sesudah, ada yang saya lihat melakukan 4 rakaat sebelum tapi tidak mengerjakan 2 rakaat setelahnya.

Ada juga tidak mengerjakan 2 rakaat sebelum ashar. Apa ya hukum ke 2 nya?
Terima kasih Ustadz

🌸Jawab:
Shalat Sunnah Rawatib

Definisi:
Tertulis dalam Al mausu’ah:

وهي السنن التابعة للفرائض ، ووقتها وقت المكتوبات التي تتبعها

Ini adalah shalat sunah yang mengiringi shalat-shalat wajib, dan waktunya adalah bersama shalat wajib yang diiringinya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/44)

Macam-Macamnya:
Secara global ada dua macam:

1) Qabliyah, yaitu shalat sunah rawatib yang dilaksanakan sebelum shalat wajib.

2) Ba’diyah, yaitu shakat sunah rawatb yang dilaksanakan sesudah shalat wajib.

Perinciannya sebagai berikut:
1) Dua rakaat sebelum shubuh, atau nama lainnya shalat sunah fajar.

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

"Dua rakaat (sebelum) fajar lebih baik dibanding dunia dan isinya." (HR. Muslim No. 725)

2) Rawatib zhuhur, ada tiga model:

▪Pertama. Dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات: ركعتين قبل الظهر، وركعتين بعدها...........

Aku hapal dari Nabi ﷺ sepuluh rakaat (shalat sunah): “Dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya ........." (HR. Al Bukhari No. 1180)

▪Kedua. Empat Rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya.
Dari Ali Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كان النبي صلى الله عليه و سلم يصلي قبل الظهر أربعا وبعدها ركعتين

"Dahulu Nabi ﷺ shalat sebelum zhuhur empat rakaat dan dua rakaat setelahnya." (HR. At Tirmidzi No. 424, katanya: hasan. Ahmad No. 1375. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isanadnys kuat. Ta’liq Musnad Ahmad No. 1375. Syaikh Al Albani menshahihkan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 424)

▪Ketiga. Empat rakaat sebelum zhuhur dan empat rakaat setelahnya.
Dari Ummu Habibah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Nabi ﷺbersabda:

من صلى قبل الظهر أربعًا وبعدها أربعًا حرمه الله على النار

Barang siapa yang shalat sebelum zhuhur empat rakaat dan setelahnya empat rakaat, maka Allah haramkan baginya neraka. (HR. At Tirmidzi no. 427, katanya: hasan. Ibnu majah No. 1160, An Nasa’i No. 1814, Abu Daud No. 1269. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam banyak kitabnya)

3) Rawatib Ashar

▪Pertama. Empat rakaat sebelum ashar.  Dalilnya adalah:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-رَحِمَ اللَّهُ امْرَأً صَلَّى قَبْلَ الْعَصْرِ أَرْبَعًا

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: Bersabda Rasulullah ﷺ : “Semoga Allah meramati seseorang yang shalat  empat rakaat sebelum ashar." (HR. Abu Daud No. 1273, At Tirmidzi No. 430, katanya: hasan. Syaikh Al Albani juga menyatakan hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 430)

▪Kedua. Dua rakaat sebelum ashar. Dalilnya adalah:

عَنْ عَلِىٍّ  أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُصَلِّى قَبْلَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ.

"Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, bahwasanya Nabi ﷺdahulu shalat dua rakaat sebelum ashar." (HR. Abu Daud No. 1274. Imam An Nawawi mengatakan: shahih. Lihat Khulashah Al Ahkam No. 1821)

Sedangkan keberadaan dua rakaat setelah ashar telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Insya Allah akan kami bahas nanti.

4) Rawatib Maghrib

▪Pertama. Dua rakaat sebelum maghrib, ini sunnah ghairu muakkadah (tidak ditekankan)

Dari Abdullah Al Muzani, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

صَلُّوا قَبْلَ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ قَالَ فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, lalu nabi mengatakan lagi yang ketiga kalinya: “Bagi yang mau.” Dia khawatir manusia menjadikannya sebagai sunah (kebiasaan). (HR. Al Bukhari No. 1183)

Ini menunjukkan bahwa qabliyah maghrib memang ada tetapi tidak sampai ditekankan (ghairu muakkadah), bagi yang mau saja. Wallahu A’lam

Abu Tamim Al Jaisyani pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib, ketika ia ditanya tentang shalat apa itu, ia menjawab, “Ini adalah shalat yang kami lakukan pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”   (HR. An Nasa’i No. 578, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 475, dalam kitab ini juga disebutkan Uqbah bin ‘Amr Al Juhani shalat sebelum maghrib)

Dari ‘Ashim, bahwa Ubai bin Ka’ab dan Abdurrahman bin ‘Auf ketika terbenam matahari mereka shalat doa rakaat sebelum maghrib. (HR. Ahmad No. 20355, Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 251, di kitab ini juga disebutkan Abdurrahman bin Abi Laila shalat dua rakaat sebelum maghrib)

Dalam riwayat Imam Ibnu Hibban , disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib.

Imam Muslim  meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhu dia berkata: “Kami shalat dua rakaat sebelum maghrib dan Rasulullah melihat perbuatan kami itu, tetapi tidak menyuruh dan tidak pula melarang kami.”

▪Kedua. Dua rakaat setelah maghrib.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:

حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات : ....... وركعتين بعد المغرب في بيته

Aku hapal dari Nabi ﷺ sepuluh raka’at (shalat sunah): ..... dan dua rakaat setelah maghrib di rumah ... (HR. Al Bukhari No. 1180)

5) Rawatib Isya

▪Pertama. Dua rakaat sebelum Isya, ini tidak ditekankan (sunnah ghairu muakkadah)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah memasukan ini dalam ghairu muakkadah, kata beliau:

"Empat rakaat sebelum Isya dan empat rakaat sesudahnya, dengan sekali salam, berdasarkan riwayat dari 'Aisyah Radhiallahu 'Anha bahwa Rasulullah ﷺ shalat sebelum Isya empat rakaat, lalu setelah Isya juga empat rakaat, kemudian dia berbaring." (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/227)

Dan, secara umum juga berdasarkan hadits ini:

بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ

Di antara setiap dua adzan ada shalatnya. (nabi ulang tiga kali), bagi yang mau. (HR. Al Bukhari No. 624)

Maksud di antara dua adzan adalah antara adzan dan iqamah. "Liman syaa'a-bagi yang mau" menunjukkan itu tidak ditekankan.

▪Kedua. Dua rakaat setelah Isya, ini termasuk yang sunah muakkadah.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:

حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات : .......  وركعتين بعد العشاء في بيته

Aku hapal dari Nabi ﷺ sepuluh raka’at (shalat sunah): ..... dan dua rakaat setelah Isya di rumah ... (HR. Al Bukhari No. 1180)

Demikianlah shalat sunah rawatib yang senantiasa ada tiap harinya mengiringi shalat wajib. Namun, dari sekian banyak itu tidak semua yang kategori muakkadah (ditekankan). Mayoritas ulama mengatakan sepuluh rakaat saja, sebagian ulama menyebut dua belas rakaat.

Tertulis dalam Al Mausu’ah:

ذهب جمهور العلماء إلى أن الرواتب المؤكدة عشر ركعات ، ركعتان قبل الصبح ، وركعتان قبل الظهر ، وركعتان بعدها ، وركعتان بعد المغرب ، وركعتان بعد العشاء ؛ لما ورد عن ابن عمر رضي الله عنهما أنه قال : حفظت من النبي صلى الله عليه وسلم عشر ركعات : ركعتين قبل الظهر ، وركعتين بعدها ، وركعتين بعد المغرب في بيته ، وركعتين بعد العشاء في بيته ، وركعتين قبل الصبح

Mayoritas ulama berpendapat bahwa rawatib yang muakkadah ada sepuluh rakaat, yaitu dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah Isya. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata: “Aku hapal dari Nabi ﷺsepuluh rakaat: dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib,  dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum subuh.” (Al Mausu’ah, 22/44)

Ada pun yang dua belas rakaat berdasarkan hadits berikut:

ما من عبد مسلم يصلي لله كل يوم ثنتي عشرة ركعة تطوعا غير فريضة إلا بنى الله له بيتا في الجنة

"Tidaklah seorang hamba muslim yang shalat karena Allah, sebanyak dua belas rakaat sunnah sehari semalam selain shalat wajibnya, melainkan Allah akan buatkan baginya rumah di surga." (HR. Muslim No. 728)

Dua belas rakaat ini di dapatkan dari sepuluh rakaat di atas (hadits Ibnu Umar), dengan dua rakaat sebelum zhuhur. Hal ini sebagaimana dikatakan Imam Al Baihaqi berikut:

باب مَنْ قَالَ هِىَ ثِنْتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً فَجَعَلَ قَبْلَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا

Bab Tentang Orang yang Mengatakan Dua Belas Rakaat Itu Dengan Menjadikan Sebelum Zhuhurnya Empat Rakaat. (As Sunan Al Kubra No. 2/48)

Wallahu A’lam

0⃣4⃣ Rahmi
Tentang sholat witir. Jika sudah di kerjakan sebelum tidur karena takut malamnya tidak qiyamullail dan jika malam bisa bangun untuk qiyamullail. Apakah sholat witir lagi? Di sebabkan witir adalah penutup sholat.
Syukron ustadz jawabanya mohon maaf jika pertanyaanya tidak jelas karena faqirnya ilmu saya.

🌸 Jawab:
 Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tidak perlu ditutup witir lagi, sebab kata Nabi Shalallahu'Alaihi wa Sallam:

لا وتران في ليلة

"Tidak ada dua kali witir dalam satu malam" (HR. At Tirmidzi)

Wallahu a'lam

0⃣5⃣ Rahmi
Bab puasa sunnah. Jika kita niat puasa untuk bayar hutang puasa wajib. Apakah adabnya sama ada waktu imsak? Soalnya jika kan puasa sunnah pernah dengar kata ustadz boleh makan  sampai batas adzan subuh!

🌸 Jawab:
Bayar hutang puasa WAJIB itu bukan bab puasa sunnah, tapi Qadha itu wajib.

Adabnya sama dengan puasa lainnya. Hanya saja waktu imsak itu bukan terlarang makan minum, tapi itu waktu siap-siap untuk shalat subuh.

Larangan makan minum, itu terjadi jika sudah masuk awal fajar, yang ditandai dengan azan subuh.

Wallahu a'lam

0⃣6⃣ Kiki
Ustadz farid,  saya pernah mendengar,  benarkah sholat sunnah rawatib yang kita lakukan menjadi pengganti atau qadha untuk sholat-shalat kita yang tertinggal di masa lalu ya ustadz?
Jazakallah ustadz

🌸Jawab:
Itu diperselisihkan ulama.

Sebagian ulama berpendapat seperti itu, seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Hazm, berdasarkan hadits riwayat Imam Abu Daud. Bahwa kekurangan pada shalat wajib, akan dilihat shalat sunnahnya.

Tapi pendapat ini dikritik oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahwa maksud hadits tersebut adalah bukan menutupi kekurangan shalat wajib masa lalu yang tidak dikerjakan, tapi menutupi kekurangan sempurnaannya, seperti kurang khusyunya, kurang bagusnya, bukan menutupi shalat yang ditinggalkan. Sebab, tidak mungkin ibadah sunnah mengganti ibadah wajib.

Demikian. Wallahu a'lam

0⃣7⃣ Rahmi
Jika masa lalu pernah bolong sholat, apakah ada taubatnya ustadz? Dan apakah harus mengqodho juga sholat yang dulu pernah di tinggalkan itu?

🌸Jawab:
Mengqadha Shalat

I. Mukadimah
Shalat adalah ibadah pokok dalam Islam yang memiliki ketentuan waktu tesendiri, dan  hendaknya   dilakukan sesuai waktunya (ada’an) itu, sebagaimana ayat:

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

  Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa (4): 103)
Juga hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu katanya:

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Amal apakah yang paling Allah cintai?” Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya.” Lalu apa lagi? Beliau bersabda:  “Berbakti kepada kedua orang tua.” Lalu apa lagi? Beliau bersabda: “Jihad fisabilillah.” (HR. Bukhari No. 527 dan Muslim No. 85)
Adapun menyengaja mengerjakan shalat tidak pada waktunya –tanpa udzur syar’i, apalagi meninggalkannya, telah dicela dalam ayat berikut:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ  الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah bagi orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai (saahuun) dari shalatnya. (QS. Al Ma’uun (107): 4-5)

II. Dasar Hukum Mengqadha Shalat
Ada beberapa hadits yang menjadi pijakan dalam masalah ini:
Dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Mereka menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa tidurnya mereka membuat lalai dari shalat. Maka Beliau bersabda: “Sesungguhnya bukan termasuk lalai  karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).” (HR. At Tirmidzi No. 177, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 437, Ibnu Majah No. 698, An Nasa’i No. 615, Ad Daruquthni, 1/386, Ibnu Khuzaimah No. 989, Ahmad No. 22546. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad No. 22546), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 2410), juga diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 680, namun dengan lafaz agak berbeda).
Karena hadits ini, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:

اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم

Para ulama sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa atau tertidur. (Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)
Yaitu wajib mengqadha bagi shalat wajib, sedangkan shalat sunah tidak wajib di qadha, melainkan sunah juga.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}

Barang siapa yang lupa dari by shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman: “dirikanlah shalat untuk mengingatKu”). (HR. Bukhari No. 597)

Dari Qatadah  Radhiallahu ‘Anhu , katanya:

سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلَاةِ قَالَ بِلَالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلَالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلَالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

“Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah,  barangkali anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari No. 595)

Demikian dasar yang begitu kuat dalam mengqadha shalat, bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas:

Qadha itu terjadi jika luputnya shalat karena lupa dan tertidur.
Qadha dilakukan segera ketika sadar atau ingat.
Mengqadha shalat wajib adalah wajib, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Tidak ada tebusan yang lain kecuali dengan itu.”
Nabi dan para sahabat pun pernah mengalaminya.

Jika Selain Lupa dan Tidur, Wajib Qadha-kah?

Berkata para ulama:

واختلفوا في وجوب القضاء على تارك الصلاة عمدا ، والمرتد ، والمجنون بعد الإفاقة ، والمغمى عليه ، والصبي إذا بلغ في الوقت ، ومن أسلم في دار الحرب ، وفاقد الطهورين .

Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban qadha shalat bagi yang sengaja meninggalkan shalat, murtad, gila setelah sadar, pingsan, anak-anak jika sudah sampai waktunya, masuk Islam di negeri kafir harbi, dan bagi orang yang ketiadaan untuk bersuci. (Al Mausu’ah, 34/26)

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa wajib mengqadha shalat yang terlewatkan bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang jima’ di siang Ramadhan untuk mengqadha di hari lain dan juga melakukan kafaratnya, yaitu sebagai pengganti bagi puasanya yang batal gara-gara jima’, sebab jika karena lupa saja wajib qadha maka alasan karena  sengaja lebih layak lagi untuk mengqadhanya.

Fuqaha lain berpendapat tidak wajibnya qadha bagi yang sengaja tidak shalat, Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan: “Tidak sah hal itu (mengqadha) kecuali menurut Daud dan Ibnu Abdirrahman Asy Syafi’i.”

Ada pun orang murtad, bagi  kalangan Hanafiyah dan Malikiyah tidaklah wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan saat dia murtad, sebab keyakinan dia saat murtad memang mewajibkan untuk meninggalkannya. Sedangkan Syafi’iyyah menyatakan wajib qadha setelah keislamannya lagi sebagai bentuk peringatan keras untuknya, sebab keterikatannya terhadap Islam tidaklah membuat gugur kewajibannya itu sebagaimana terhadap hak-ahak manusia.

Abu Ishaq bin Syaqila   menyebutkan dari Imam Ahmad, ada dua riwayat tentang kewajiban qadha atas orang murtad. Pertama. Tidak wajib qadha. Inilah zhahirnya perkataan Al Kharaqi dalam masalah ini. Maka atas inilah tidak wajibnya qadha  atas apa yang dia tinggalkan saat kekafirannya, juga saat keislamannya terdahulu sebelum murtadnya. Sebab amal dia sudah terhapus karena kemurtadannya. Kedua. Tidak wajib qadha atas ibadah-ibadah yang dia tinggal, baik saat murtadnya atau sebelumnya. Namun tidak wajib mengulangi hajinya, sebab amal itu hanyalah terhapus karena melakukan kesyirikan lalu dia mati.

Disebutkan dalam Al Inshaf bahwa yang shahih adalah wajib baginya mengqadha apa-apa yang dia tinggalkan sebelum murtadnya, dan tidak wajib mengqadha yang dia tinggalkan ketika sudah murtadnya.

Sedangkan buat orang gila, tidak ada khilafiyah para fuqaha bahwa mereka tidak dibebankan untuk shalat pada saat gilanya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang qadha saat sudah “sadar atau sembuh” dari gilanya.

Sedangkan bagi orang yang pingsan, tidak wajib baginya qadha kecuali  dia siuman atau sadar saat dibagian waktu shalat dan dia tidak melaksanakan shalat itu, maka dia wajib qadha, ini pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.  Bagi kalangan Syafi’iyah orang yang pingsan berulang-ulang wajib qadha. Hanafiyah mengatakan tidak wajib qadha bagi yang pingsan saat itu jika yang dia tinggalkan melebihi sehari semalam. Bagi Hanabilah dan ini yang shahih dari mereka, hukum pingsan sama dengan hukum tidur, bahwa kewajiban kewajiban tidak gugur, tapi mesti di qadha saat bangunnya, seperti shalat dan puasa.

Sedangkan anak-anak menurut jumhur tidak wajib mengqadha shalat, tetapi mereka diperintahkan shalat saat usia tujuh tahun, dan dipukul saat usia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat. Kalangan Syafi’iyah menyatakan bahwa anak-anak  walau sudah mumayyiz lalu dia meninggalkan shalat, lalu usianya sudah baligh maka perintah qadha itu menunjukkan anjuran saja, sebagaimana perintah  shalat baginya. Pendapat lain Syafi’iyah tetap wajib qadha. Bagi Hanabilah, anak-anak tetap wajib shalat jika sudah berakal (‘aqil), walau belum baligh.

Sedangkan orang Islam di wilayah kafir harbi, sehingga dia tidak shalat, puasa, dan tidka tahu kewajibannya, maka wajib baginya qadha menurut Syafi’iyah, Hanabilah, dan juga Malikiyah. Sednagkan Hanafiyah bertempat mereka mendapatkan ‘udzur karena keadaanya.

Sedangkan bagi yang tidak memiliki suatu untuk bersuci, bagi Malikiyah mereka tidak wajib shalat, atau bagi orang yang sudah tidak mampu melakukannya seperti orang yang dipenjara dan disiksa, sehingga tidak wajib pula mengqadhanya. Syafi’iyah mentatkan wajib mengqadha shalat wajib saja. Hanafiyah mengatakan hendaknya dia melakukan aktifitas seperti shalat, sebagai penghormatan atas waktu shalat. (Lihat semua ini dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/26-29)

III. Bagaimanakah melakukannya?
Mengqadha shalat dilakukan menurut tertibnya. Jika seseorang tertidur atau lupa shalat Ashar, lalu dia baru ingat atau sadar ketika terbenam matahari, maka dia lakukan sesuai tertibnya yakni ‘Ashar dulu baru Maghrib.
Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ

“Bahwa Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat ‘Ashar hingga matahari hampir terbenam!” Maka Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: “Demi Allah, aku juga belum melaksanakannya.” Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudlu dan kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.” (HR. Bukhari No. 596)
Namun, tidak perlu tertib sesuai urutan jika (Lihat Al Mausu’ah,  34/33-35):
1. Waktu shalatnya sudah sangat sempit, misal tertinggal shalat Zhuhur, baru ingat ketika waktu ‘Ashar sudah mau habis (menjelang maghrib), maka hendaknya melakukan ‘Ashar dulu.
2. Shalatnya bersama kaum muslimin yang shalat sesuai waktunya, misal dia tertidur sehingga melewati waktu zhuhur lalu bangun pas di waktu manusia shalat ‘Ashar berjamaah, maka hendaknya dia ikuti mereka, barulah dia shalat Zhuhur. Wallahu A’lam
3. Dia tidak mengerti (jahl) caranya, atau lupa, atau banyak yang harus diqadha.

IV. Mengqadha Shalat Sunah
Qadha pun bisa terjadi pada shalat sunah. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan Beliau sendiri pernah melakukannya.

Qadha Shalat Sunah Fajar
Shalat sunah fajar boleh diqadha, yakni dilakukan setelah subuh baik matahari telah terbit atau belum. Hal ini berdasarkan hadits berikut (sebenarnya masih ada beberapa hadits lainnya, namun saya sebut dua saja):

✔Hadits Pertama:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang belum shalat dua rakaat fajar, maka shalatlah keduanya (sunah fajar dan subuh) sampai tebitnya matahari.” (HR. At Tirmidzi No. 423)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:

وقد روي عن ابن عمر أنه فعله  والعمل على هذا عند بعض أهل العلم وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك والشافعي وأحمد وإسحق

Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia melakukannya. Sebagian ulama telah mengamalkan hadits ini dan inilah pendapat Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, penjelasan hadits No. 423)

Imam Asy Syaukani menulis dalam Nailul Authar sebagai berikut:

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَاهُمَا مَعَ الْفَرِيضَةِ لَمَّا نَامَ عَنْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ

“Telah tsabit (kuat) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengqadha keduanya  (shalat sunah fajar)  bersama shalat wajib (subuh) ketika ketiduran saat fajar dalam sebuah perjalanan.”
Tentang hadits Imam At Tirmidzi di atas,  Imam As Syaukani berkata:

وَلَيْسَ فِي الْحَدِيثِ مَا يَدُلُّ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ فِعْلِهِمَا بَعْد صَلَاةِ الصُّبْحِ

“Pada hadits ini tidaklah menunjukkan  larangan untuk melaksanakan dua rakaat tersebut setelah shalat subuh.”  (Nailul Authar, 3/25)

✔Hadits Kedua:

Hadits yang paling jelas tentang qadha shalat sunah fajar adalah riwayat tentang Qais bin Umar bahwa beliau shalat subuh di masjid bersama Rasulullah, sedangkan dia sendiri belum mengerjakan shalat sunah fajar. Setelah selesai shalat subuh dia berdiri lagi untuk shalat sunah dua rakaat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam   berjalan melewatinya dan bertanya:

مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا

“Shalat apa ini?, maka dia menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diam, dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.” (HR. Ahmad No. 23761, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf No. 4016, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 22032, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkat: “Berkata Al ‘Iraqi: sanadnya hasan.” (Fiqhus Sunnah, 1/187). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hadits ini mursal (terputus sanadnya pada generasi sahabat), namun semua perawinya tsiqaat. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 23761)

Beliau  melanjutkan:

وظاهر الاحاديث أنها تقضى قبل طلوع الشمس وبعد طلوعها، سواء كان فواتها لعذر أو لغير عذر وسواء فاتت وحدها أو مع الصبح

“Secara zhahir, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mengqadha shalat sunah fajar  bisa  dilakukan sebelum terbit matahari atau setelahnya. Sama saja, baik terlambatnya karena adanya udzur atau selain udzur,  dan sama  pula baik yang luput itu shalat   sunah fajar saja, atau juga shalat subuhnya sekaligus.” (Fiqhus Sunnah, 1/187) Sekian. Wallahu A’lam

Syaikh  Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

وقال ابن الملك: سكوته يدل على قضاء سنة الصبح بعد فرضه لمن لم يصلها قبله. وبه قال الشافعي - انتهى. وكذا قال الشيخ حسين بن محمود الزيداني في المفاتيح حاشية المصابيح، والشيخ علي بن صلاح الدين في منهل الينابيع شرح المصابيح، والعلامة الزيني في شرح المصابيح

Berkata Ibnu Al Malik: “Diamnya nabi menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunah subuh setelah ditunaikan kewajiban subuhnya, bagi siapa saja yang belum melakukannya sebelumnya. Ini adalah pendapat Asy Syafi’i. Selesai. Demikian juga pendapat Syaikh Husein bin Mahmud Az Zaidani dalam kitab Al Mafatih Hasyiah Al Mashabih, Syaikh ‘Ali bin Shalahuddin dalam kitab  Manhal Al Yanabi’ Syarh Al Mashabih, dan juga Al ‘Allamah Az Zaini dalam Syarh Al Mashabih.” (Mir’ah Al Mafatih, 3/465). Wallahu A’lam

Mengqadha shalat Ba’diyah Zhuhur
Imam Al Bukhari Rahimahullah berkata:

وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ

Kuraib berkata, dari Ummu Salamah: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat setelah ashar sebanyak dua rakaat. Beliau bersabda: “Orang-orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah zhuhur.” (Shahih Bukhari, diriwayatkan secara mu’allaq dalam Bab Maa Yushalla Ba’dal ‘Ashri wa Minal Fawaa-it wa Nahwiha) 
Sebagaimana kita ketahui, bahwa setelah ‘Ashar adalah termasuk waktu dilarang shalat, tetapi kenapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan?
Imam Badruddin Al ‘Aini Rahmahullah berkata:

قال الكرماني وهذا دليل الشافعي في جواز صلاة لها سبب بعد العصر بلا كراهة

Berkata Al Karmani: “Ini adalah dalil bagi Asy Syafi’i tentang kebolehan shalat  setelah ‘Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.” (‘Umdatul Qari, 8/19)
Imam Al ‘Aini mengomentari:

قلت هذا لا يصلح أن يكون دليلا لأن صلاته هذه كانت من خصائصه كما ذكرنا فلا يكون حجة لذاك

Aku berkata: tidak benar menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena shalatnya ini merupakan bagian dari kekhususan bagi Beliau, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas hal itu. (Ibid)

Yang benar adalah bolehnya melakukan shalat  pada waktu-waktu terlarang jika ada sebab, dan itu bukanlah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja. (lihat catatan kaki berikut). Dan, ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana keterangan berikut:

ذهب المالكية والشافعية والحنابلة ، وأبو العالية والشعبي والحكم وحماد والأوزاعي وإسحاق وأبو ثور وابن المنذر إلى أنه يجوز قضاء الفرائض الفائتة في جميع أوقات النهي وغيرها

Pendapat kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Abul ‘Aliyah, Asy Sya’bi, Al Hakam, Hammad, Al Auza’i, Ishaq, Abu tsaur, dan Ibnul Mundzir, bahwasanya boleh mengqadha shalat wajib yang ditinggalkan pada waktu-waktu terlarang dan selainnya. (Asy Syarh Ash Shaghir, 1/242. Raudhatuth Thalibin, 1/193. Al Mughni, 2/107-108)

Demikianlah tentang mengqadha shalat sunah, yaitu shalat sunah fajar dan shalat ba’diyah zhuhur. Apakah hal ini boleh dilakukan untuk semua shalat sunah? Misalnya seseorang yang tidak sempat melakukan tahajud, akhirnya dia mengqadhanya ketika dhuha dengan mengqiyaskannya  pada kasus shalat sunah fajar dan shalat ba’diyah zhuhur? Sebagian ulama ada yang membolehkan, tapi jawaban yang relatif aman adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء

Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash-nash, bukan karena qiyas-qiyas atau pendapat-pendapat. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/465)
Jadi, lebih aman dan selamat adalah mengqadha shalat sunah hanya pada jenis shalat yang memang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan atau Beliau setujui, bukan shalat sunah lainnya. Keluar dari khilafiyah dengan mengikuti petunjuk nabi adalah lebih utama.
Para ulama kita menerangkan:

يرى الحنفية والمالكية على المشهور ، والحنابلة في قول : أن السنن - عدا سنة الفجر - لا تقضى بعد الوقت

Menurut kalangan Hanafiyah, dan yang masyhur dari kalangan Malikiyah, serta Hanabilah (hambaliyah): bahwa shalat sunah –kecuali sunah subuh- tidaklah diqadha setelah waktunya. (Al Hidayah wal ‘Inayah, 1/243. Asy Syarh Ash Shaghir, 1 /408-409, Al Inshaf,  2/178)

V. Shalat yang ditinggalkan pada masa lalu, wajibkah qadha?
Dalam hal ini sebenarnya terjadi perselisihan para imam, sebagian tetap mewajibkan qadha dengan melakukan qadha shalat yang dia tinggalkan sejauh yang dia ingat. Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan wajibnya mengqadha shalat wajib yang telah tertinggal, baik karena tertidur, lupa, dan uzur syar’i lainnya,  yaitu dilakukan qadha secara segera ketika ingat dan sadar. Itulah yang diperintahkan dan dicontohkan nabi dan para sahabatnya, serta dititahkan segenap ulama Islam.
Bagaimana dengan seorang muslim yang pernah mengalami masa-masa suram terhadap agama, atau ketika masih ABG (Anak Baru Gede) masih malas untuk shalat, saat  itu mereka masih jaahil terhadap agama, atau karena lalai,  sehingga jika ditotal bisa jadi ratusan bahkan ribuan waktu shalat yang ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Mereka baru insaf terhadap agama setelah melalui masa-masa itu, bahkan bisa jadi baru insaf ketika tua. Apakah yang seperti ini “wajib qadha” juga?

Mengqadha shalat adalah sebuah amalan, yang namanya amalan mesti didasarkan  nash. Dalam konteks ini, tidak ada nash yang menunjukkan tentang wajibnya mengqadha –puluhan, ratusan, bahkan ribuan- shalat yang  pernah ditinggalkan seseorang pada masa silam. Terlebih lagi, terjadi absurditas pada bagaimana cara mengqadhanya?  Ini adalah masalah penting, apalagi sudah dikatakan “wajib”, maka tentunya masalah sepenting ini tidak mungkin luput dari perhatian pembuat syariat, lalu luput juga  dari perhatian para sahabat, dan tanpa ada  keterangan  para imam madzhab, dan para imam dunia dari zaman ke zaman hingga hari ini.

Oleh karena itu jawabannya adalah tidak wajib mengqadha jika sudah sampai seperti itu, tetapi wajib baginya banyak-banyak bertobat kepada Allah Ta’ala dengan menyesali, membenci perbuatan itu, dan berjanji tidak mengulanginya, serta memperbanyak shalat sunah. Inilah yang ditunjukkan oleh nash dan difatwakan oleh sebagian imam kaum muslimin.
Paling banter, wajibnya qadha menurut Imam Madzhab pun, jika meninggalkan 5 waktu shalat saja, jika lebih maka dia memulai shalatnya sesuai waktu yang sedang terjadi.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah menjelaskan:

وقال أبو حنيفة ومالك والشافعي يقضيها بعد خروج الوقت حتى إن مالكا وأبا حنيفة قالا من تعمد ترك صلاة أو صلوات فإنه يصليها قبل التي حضر وقتها إن كانت التي تعمد تركها خمس صلوات فأقل سواء خرج وقت الحاضرة أو لم يخرج فإن كانت أكثر من خمس صلوات بدأ بالحاضرة

Berkata Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i bahwa dia harus mengqadhanya bila waktunya habis, bahkan Malik dan Abu Hanifah mengatakan barang siapa yang sengaja meninggalkan satu shalat atau beberapa shalat maka dia mesti mengqadhanya sebelum habisnya waktu hadirnya shalat.  Ini jika dia meninggalkan lima waktu shalat atau kurang, baik waktu hadirnya sudah habis atau belum, ada pun jika lebih banyak dari lima waktu maka hendaknya dia memulai shalat sesuai waktu hadirnya. (Al Muhalla, 2/235)

VI. Memperbanyak shalat sunah
Khadimus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

شرع التطوع ليكون جبرا لما عسى أن يكون قد وقع في الفرائض من نقص، ولما في الصلاة من فضيلة ليست لسائر العبادات.

Disyariatkannya shalat sunah adalah untuk jabran (menambal) kekurangan yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, lantaran pada shalat terdapat berbagai keutamaan yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah lainnya. (Fiqhus Sunnah, 1/181)
Dalilnya adalah, dari Huraits bin Al Qabishah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pada hari kiamat nanti  yang pertama kali dihitung dari amal seorang hamba adalah shalatnya, jika bagus shalatnya maka dia telah beruntung dan selamat. Jika buruk maka dia telah merugi dan menyesal. Jika shalat wajibnya ada kekurangan maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunah? Hendaknya disempurnakan kekurangan shalat wajibnya itu dengannya.” Kemudian diperhitungkan semua amalnya dengan cara demikian. (HR. At Tirmidzi No. 413, katanya: hasan, Abu Daud No. 864, Ahmad No. 9494, Ad Darimi No. 1355, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3813, dll. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 9494)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah  mengatakan demikian:

تارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع

Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyatriatkan untuk mengqadhanya dan tidak sah jika dia melaksanakannya, tetapi hendaknya dengan memperbanyak shalat sunah. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/274)

VII. Memperbanyak Taubat
Imam Az Zarqani mengutip dari  Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan, bahwa shalat sunah tidak bisa menggantikan shalat wajib yang ditinggalkan, sebab itu dosa besar, tetapi dengan bertaubat sebenar-benarnya, berikut ini perkataan Imam Ibnu Abdil Bar:

 ومعنى ذلك عندي فيمن سها عن فريضة أو نسيها أما تركها عمدا فلا يكمل له من تطوع لأنه من الكبائر لا يكفرها إلا الإتيان بها وهي توبته

Makna hadits itu adalah menurutku bagi siapa saja yang lalai dari shalat wajib atau lupa, adapun jika sengaja meninggalkannya maka tidak bisa disempurnakan dengan shalat sunah, karena itu adalah dosa besar yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan bertobat darinya. (Syarh Az Zarqani ‘Alal Muwaththa’,  1/502)

Imam Ibnu Abdil Bar berbeda dengan Imam Ibnu Taimiyah, menurutnya jika meninggalkan shalat dengan sengaja tidak bisa dihilangkan dengan shalat sunah, tetapi dengan bertobat. Namun, keduanya sepakat bukan dengan cara mengqadha shalat wajib itu.
Ada pun Imam Ibnu Hazm, Beliau berpendapat: hendaknya orang tersebut memperbanyak shalat sunah dan amal kebaikan, serta bertobat dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala.
Berikut ini perkataan Imam Ibnu Hazm:

وأما من تعمد ترك الصلاة حتى خرج وقتها هذا لا يقدر على قضائها أبدا فليكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزاته يوم القيامة وليتب وليستغفر الله عزوجل.

Ada pun orang yang sengaja meninggalkan shalat sampai habis  waktunya, maka hal itu selamanya tidak bisa disetarakan dengan mengqadhanya, tetapi hendaknya dia memperbanyak melakukan perbuatan baik dan shalat sunah, agar dapat memperberat timbangannya pada hari kiamat, dan hendaknya dia bertobat dan memohon ampunan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/275)
Beliau mengkritik tajam pihak yang mewajibkan qadha, katanya:

فإن القضاء إيجاب شرع، والشرع لا يجوز لغير الله تعالى على لسان رسوله صلى الله عليه وسلم.
فنسأل من أوجب على العامد قضاء ما تعمد تركه من الصلاة أخبرنا عن هذه الصلاة التي تأمره بفعلها أهي التي أمره الله بها أم هي غيرها؟

Sesungguhnya qadha adalah kewajiban yang ditentukan oleh syariat, dan syariat itu tidak boleh diambil dari selain Allah Ta’ala melalui lisan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, kami bertanya,  siapakah yang mewajibkan qadha bagi orang yang sengaja tidak shalat? Kabarkan kepada kami tentang shalat yang kau perintahkan untuk melakukannya itu; apakah dia perintah Allah atau selain Allah? (Ibid)
Inilah pendapat yang  nampaknya kuat, mengingat beberapa hal:
~ Para mualaf masa awal Islam tidak pernah diperintahkan mengqadha shalat yang mereka tinggalkan ketika awal-awal keislaman mereka.
~ Pada masa Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma, banyak manusia yang murtad, lalu kembali lagi kepada Islam, namun mereka tidak diminta untuk mengqadha shalat yang mereka tinggalkan.

VIII. Menghargai Pendapat Lain
Sebagian imam –dan ini masyhur dikalangan Syafi’iyah- mengatakan wajibnya qadha terhadap shalat yang pernah ditinggalkan pada masa-masa silam. Mereka mengatakan dilakukan dengan cara: 1. Memperkirakan berapa jumalah shalat yang ditinggalkan hingga jumlah yang menenangkan hati mereka. 2. Diqadha pada waktu-waktu yang bebas kapan pun walaupun di waktu-waktu terlarang. Tentu pendapat ini perlu dihargai dan tidak ada pengingkaran dalam masalah yang masih debatable para ulama. 

Ada pun seseorang mengqadha shalat yang baru saja ditinggalkan, lalu dia ingat dan sadar, maka telah   wajib mengqadhanya menurut ijma’. Sebagaimana yang nabi dan para sahabat contohkan pada hadits-hadits di awal.
Demikianlah masalah ini. Semoga bermanfaat.

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Alihi wa Shahbihi ajmain.

0⃣8⃣ Kiki
Ustadz, bagaimana cara memberitahu atau menasehati teman yang apatis terhadap penceramah,  terutama yang tampil di televisi atau yang datang ke kota-kota,  dikarenakan teman tersebut menganggap penceramahnya meminta bayaran atau tarif tertentu ustadz?

🌸 Jawab:
Kalau begitu, kasih dia ceramah para ustadz di kampung-kampung, ajak dia ke sana. Yang memang diakui keilmuannya.

Kalau tidak mau juga, baik sangka saja, mungkin dia maunya baca buku, atau lainnya.

Adanya ustadz yang minta tarif memang bikin ilfil, tapi tidak boleh pukul rata.
Masih banyak para ustadz yang Mukhlis.

Wallahu a'lam

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
 💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎


Perbedaan pendapat dalam  fiqih, ibarat perbedaan menu; rendang, sate, semur, sop, tapi dagingnya sama yaitu daging sapi.., maka seharusnya ini bukan perbedaan yang membahayakan.

Ada pun perbedaan aqidah, bukan perbedaan menu, tapi memang perbedaan bahan dasar dagingnya yang daging sapi, yang lain daging yang berbeda. Inilah yang berbahaya.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar