Sabtu, 16 November 2019

DIGITALISASI PEMBUNUH GENERASI



OLeH: Bunda Rizki Ika Sahana

           💎M a T e R i💎

🌸AWAS, DIGITALISASI 'MEMBUNUH' GENERASI!

Rizki Sahana
(Homeschool Offender, Pemerhati Perempuan, Keluarga, dan Generasi)

Anak-anak korban gadget mulai berjatuhan. Jumlahnya mencapai puluhan hingga ratusan. Mereka membanjiri RSJ dengan diagnosa adiksi internet, game online, dan sejumlah aplikasi lain. 

Di RSJ Provinsi Jawa Barat saja, berdasarkan data hingga Oktober 2019 tercatat 209 pasien kecanduan gadget. Mereka merupakan anak remaja mulai dari usia 5 hingga 15 tahun yang harus ditangani dengan cara rawat jalan, bahkan ada juga pasien yang harus dirawat inap.  (wartakota.tribunnews.com, Oktober 2019).

Sementara itu, dokter spesialis kejiwaan anak dan remaja RSMM (Rumah Sakit Marzuki Mahdi) Kota Bogor, dr Ira Safitri T, mengibaratkan gangguan kejiwaan akibat gadget ini sebagai fenomena gunung es. Artinya, jumlah real anak dengan gangguan kejiwaan sesungguhnya jauh lebih besar ketimbang yang tercatat dan mendapatkan perawatan. Innalillahi...

Anak-anak yang sudah kecanduan gadget ini relatif lebih agresif dan sulit mengendalikan emosi. Mereka juga akan sulit fokus sehingga mengalami gangguan belajar dan memahami. Rasa empati mereka juga nyaris hilang bahkan sebagiannya anti sosial.

Menurut penelusuran Aiman Witjaksono, seorang jurnalis sekaligus presenter, anak-anak ini lebih jauh menunjukkan permusuhan pada lingkungannya setelah dilarang menggunakan gadget. Mereka tak segan mendorong juga memukul orang-orang di sekitarnya yang mengamankan gadgetnya, bahkan melakukan tindak kriminal dengan mencuri atau membobol ATM milik orang tuanya. "Uangnya digunakan untuk membeli diamond alias uang elektronik yang bisa digunakan pada game online," ungkap dokter Lina Budiyanti, Dokter Spesialis Kejiwaan yang khusus menangani pasien anak dan remaja akibat kecanduan gawai. (edukasi.kompas.com, Oktober 2019).

🔹Mengurai Benang Kusut

Menyaksikan fenomena di atas, banyak pihak menyalahkan keluarga yang direpresentasikan oleh orang tua: ayah maupun ibu. "Kasus ini adalah tamparan untuk semua keluarga di Indonesia," demikian ungka Anrio Marfizal, seorang Praktisi Psikologi Anak dan Remaja jebolan Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

Menurut Rio, penyebabnya adalah salahnya pola asuh dari setiap orangtua terhadap anak-anak. Kebanyakan dari mereka justru sibuk bekerja, dan membiarkan anak bermain gadget (Okezone, 19/10/2019).

Pertanyaannya, benarkah keluarga satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terbadap massifnya korban gadget?

Jika kita cermati, maka keluarga, yakni orang tua, hanyalah satu variabel dari sekian variabel lain yang menjadi penyebab lahirnya problem generasi kecanduan gadget. Karena bagaimana pun ketatnya orang tua memberlakukan aturan penggunaan gadget kepada anak, jika konten-konten rusak gadget diberi ruang sangat luas untuk eksis, bahkan berbagai kompetisi gaming dipropagandakan secara massif struktural oleh negara atas nama e-sport, maka upaya orang tua laksana 'menggarami lautan', sia-sia. Bayangkan, Menteri Pemuda dan Olahraga (Mempora) Imam Nahrawi misalnya, berpendapat e-sport  harus  mulai masuk ke kurikulum pendidikan. "Kita kurang lebih menyiapkan Rp50 miliar untuk menggulirkan ini sebagai sesuatu yang menarik dan terbuka di level-level sekolah nanti," (m.cnnindonesia.com, Januari 2019).

Sementara itu Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Rudiantara, berjanji akan membantu pengembangan e-sport di Indonesia dengan menyediakan jaringan internet yang memadai di seluruh Indonesia yang ditempuh melalui proyek Palapa Ring.

🔹Solusi Komprehensif

Upaya melawan 'monster digital' yang siap setiap saat menerkam anak-anak kita, tidak cukup semata dibebankan kepada orang tua. Pihak lain seperti vendor, sekolah, masyarakat secara umum, juga negara, wajib hadir dengan visi yang sama dalam menyelamatkan generasi. Janganlah iming-iming keuntungan besar mengalahkan semangat melindungi dan menjaga anak-anak bangsa dari jeratan digitalisasi yang membawa bencana.

Sebagaimana laporan yang dirilis Newzoo, nilai pasar game global akan mencapai angka US$152 miliar (sekitar Rp2,15 kuadriliun) pada tahun 2019 ini. Sementara Indonesia menjadi salah satu pasar video game terbesar di Asia Pasifik, dengan angka mencapai US$941 juta (sekitar Rp13 triliun). Melihat angka tersebut, bukan hal yang mengherankan apabila industri e-sport diproyeksikan akan didorong dan disupport besar-besaran agar berkembang pesat.

Dari sana kita bisa melihat, betapa arus besar digitalisasi sengaja diciptakan dengan prioritas keuntungan bisnis. Maka kita sebagai orang tua, selain mengupayakan perlindungan terbaik untuk anak-anak dalam mengakses gadget, juga berusaha mendorong masyarakat luas agar memahami bahayanya sehingga turut berpartisipasi dalam upaya kontrol sosial. Tak lupa, kita juga harus mendorong penguasa untuk hadir dengan keseriusan yang tinggi dalam menyelamatkan anak-anak dengan menerapkan regulasi yang berpihak kepada kepentingan generasi juga publik secara keseluruhan.

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (TQS. An-Nisa': 9)

Kesejahteraan yang dimaksud ayat tersebut, bukan melulu kesejahterann yang bersifat materi atau risik, tapi juga kesejahteraan bernilai non materi, seperti pendidikan dan taqwa.

Karenanya, selain memberlakukan regulasi untuk media, produk teknologi dan sistem informasi, dalam rangka membendung kerusakan yang lebih dahsyat akibat digitalisasi, negara juga wajib menerapkan sistem pendidikan yang berorientasi pada pembentukan syakhsiyah Islamiyah (kepribadian Islam).

Dengan bersinerginya tiga variabel tersebut: orang tua, masyarakat, dan negara, niscaya kita dapat membebaskan generasi dari bencana digitalisasi yang semakin hari semakin menggila.

Wallahu a'lam.

>> Diadopsi dari FP Muslimah Bekasi Bersyariah <<

https://www.facebook.com/905330002884894/posts/2556069764477568/


🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Han ~ Nganjuk
Assalamu'alaikum,

Bunda, sekarang ini malahan orang tua lebih menyerahkan atau memberikan gadget ke anak biar anak itu diam dan tidak banyak tingkah.

Bagaimana bunda, kalau dari orang tua sendiri sedari awal sudah seperti itu?

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam Bunda Han, pertanyaan perdana yang superrr.

Memang dengan performanya yang sangat menarik (video, game, dan konten lain yang dinamis dengan warna cerah), gadget mampu 'menyihir' anak untuk duduk diam serta fokus memainkannya.

Orang tua seringkali tertipu, menganggap gadget sebagai media belajar anak yang baik serta 'pengasuh' anak sementara orang tua sedang sibuk.

Padahal, gadget bukanlah perangkat yang baik untuk menstimulus tumbuh-kembang anak, justru mengandung banyak bahaya, terlebih untuk anak usia dini. Speech delay dan berbagai problem lain seperti gangguan emosi, kesehatan mata, juga kesulitan konsentrasi, hanyalah sedikit bahaya gadget jika diberikan terlampau berlebihan.

Maka orang tua harus bijak bersikap. Mungkin memang akan sedikit repot, rempong, membersamai anak tanpa memberikannya gadget. Tapi yakinlah, anak lebih butuh ayah bundanya ketimbang gadget. Interaksi dua arah akan terbangun, bonding kuat akan tercipta, ke depan akan banyak kebaikan yang diperoleh, seperti kemudahan mengarahkan anak kepada syariah.

Begitu, Bunda.

💎Na'am bund,
Terus kiranya umur berapa untuk anak bisa diperkenalkan dengan gadget?

🌷Mungkin ada sebagian pakar yang mematok usia minimal akses gadget untuk anak di atas 5 tahun, bahkan ada yang sangat strict mematoknya di usia 14 tahun degan alasan anak di usia itu sudah bisa bertanggung jawab terhadap penggunaan gadgetnya.

Namun saya pribadi tidak mematok usia. Saya menyandarkan kepada kebutuhan anak terhadap gadget.

Karena gadget itukan bebas nilai ya. Sehingga kita tidak bisa anti gadget. Seperti kita tidak bisa anti pisau. Selama kita menggunakannya dengan benar, pisau akan menjadi sangat berguna. Tapi jika digunakan untuk melanggar syariat, pisaupun bisa jadi monster mengerikan.

Untuk anak usia dini, yang akalnya terbatas, belum bisa memahami dengan clear, maka penggunaan gadget harus dengan pendampingan. Misal belajar warna, belajar angka, mengenal binatang dengan media video, boleh saja, tapi dengan syarat, rulenya harus jelas dan tegas, tentang kapan anak boleh mengakses gadget, apa yang boleh diakses (terkait konten), dan berapa lama anak boleh menggunakannya. Dan orang tua harus konsisten terhadap rule tersebut.

Begitu, Bunda.

0⃣2⃣ Erni ~ Jogja
Assalamualaikum ustadzah,

Bagaimana caranya mengalihkan perhatian anak dari hp?

Apa beda anak yang suka tantrum dan nyerang orang karena kecanduan game dengan di ganggu jin?

Kenapa pemerintah terkesan menutupi semua? Belakangan ada kabar beredar kalau tangannya ngewel karena main game seharinya lebih dari 7 jam awalnya jelas karena game. Tiba-tiba ditepis sama pihak puskesmas kalau anak tersebut sudah lama terkena parkinson. Terus 3 hari yang lalu dapat video yang menceritakan anak tersebut main game disekolah stroke mati. Tapi tiba-tiba pernyataan orang tuanya anak tersebut belum sarapan.

Tadi ada lagi anak stroke didepan komputer ayahnya dengan game masih nyala. Terus jika ada yang klarifikasi membenarkan berita yang awal dituduh penyebar hoax. Apa yang terjadi di negeri ini Ustadzah?

Terus bagaimana caranya bisa menjadi orang tua ruhiyah bagi anak untuk keselamatan penerus risalah dakwah ini? Agar tidak abai dengan pesan Quran di an Nisa ayat 9? 

Mohon pencerahan. Nuwun

🌷Jawab:
MasyaAllah pertanyaannya borongan, saking semangatnya ya, Bund.

Cara paling efektif mengalihkan anak dari hp adalah dengan reasoning, memberikan mereka pemahaman yang benar berdasar aqidah Islam. Bahwa hp itu hanyalah alat yang bisa berkonsekuensi pada 2 hal: kebaikan atau kemudharatan.

Kemudian beri anak gambaran menggunakan hp yang benar, yang berbuah pahala, yang bernilai amal shalih. Tapi tetap durasi menggunakan hp dikontrol. Karana hp mengeluarkan radiasi yang berbahaya bagi kesehatan anak.

Berkaitan dengan berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini (menyangkut isu apa saja, termasuk isu anak yang menjadi korban gadget) memang ditengarai ada upaya disinformasi yang dilakukan rezim.

Termasuk propaganda radikalisme. Untuk apa? Rizal Ramli mengungkap supaya soalan ekonomi, kemiskinan, dan berbagai isu sosial kemasyarakatan lainnya menjadi tidak penting. Radikalisme misalnya, terus digoreng demi tutupi persoalan ekonomi yang hari ini begitu mencekik rakyat.

Tetang menjadi orang tua sebagaimana tuntutan surat An Nisa' 9, adalah dengan memerankan diri sesuai amanah yang Allah percayakan kepada kita. Menjadi sebaik-baik pengasuh dan pendidik bagi anak. Jangan jadikan hp pengasuh anak sementara kita sibuk dengan kegiatan kita. Karena tugas utama emak, ibu, ummun, itu sebagai madrasatul ula di hadapan anaknya.

Mungkin nanti bisa kita bahas soal pengasuhan dan pendidikan anak ya, di pertemuan yang lain, mudah-mudahan Allah berkenan memberi usia panjang dan berkah.

Begitu Bund.

0⃣3⃣ iNdika ~ Kartasura
Saya punya keponakan sejak kecil sudah dipegangi hp, bahkan sampai sekarang (kelas 1 SD) kalau tidak dikasih hp, ngamuk dia.

Apakah keponakan saya sudah sampai kecanduan hp, kalau sudah bagaimana memberitahu orang tuanya?

🌷Jawab:
Bunda Indika dan muslimah shaliha yang disayang Allah.

Apa yang Bunda Indika sampaikan adalah sebagian dari tanda adiksi. Maka Bunda dan orang tua anak harus waspada.

Cobalah duduk bersama kemudian diskusikan kondisi ananda bersama orang tua. Tanyakan perasaan orang tua, tidakkah orang tua curiga terhadap perubahan sikap ekstrim pada ananda. Sampaikan pendapat dan hipotesa Bunda Indika kepada orang tua yang bersangkutan. Sampaikan pula bahwa Bunda Indika sangat menyayangi anak tersebut dan inginkan yang terbaik untuknya.

Insya Allah dengan cara yang ma'ruf, memilih waktu dan kondisi yang tepat, seperti pas lagi santai, makan bersama, tidak pas orang tua lagi cape sepulang kerja, ya, maka orang tua anak akan terbuka menerima segala masukan Bunda Indika.

Semangat ya, Bunda.

0⃣4⃣ Ruri ~ Lumajang
Bunda baby saya 2 tahun,  kalau makan awalnya bisa cepat lahap biasanya harus sambil nonton video di hp kadang juga sambil nonton TV selebihnya yah main-main biasa.

Jadi sekarang begitu minta makan dia akan minta hp juga apakah ini sudah menjadi ketergantungan atau hanya sekedar kebiasaan saja. Di luar waktu makan jarang sekali minta hp.

🌷Jawab:
Bunda Ruri shalihah yang disayang Allah.

Islam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa terikat kepada syariah dalam setiap amal, termasuk amal atau aktivitas makan. Selama adab-adab makan seperti duduk, menggunakan tangan kanan, dan sebagainya bisa dilakukan, sebenarnya tidak masalah sambil menonton tv atau video di hp.

Tapi jika makan sambil nonton ini menjadi kebiasaan, sehingga anak hapal dan selalu meminta rutinitas yang sama, maka kebiasaan ini dipahami anak sebagai sebuah 'keharusan' yang wajib dilakukan saat makan.

Mungkin bisa mulai diarahkan untuk makan tanpa harus bergantung pada aktivitas nonton, Bunda. Misal sambil Bunda bercerita anak mendengarkan. Yuk, Dede makan pakai sayur. Wah, ada wortel, ada sawi, ada buncis. MasyaAllah macam-macam ya. Adik suka yang mana?

Sayuran bisa bikin sehat loh, bikin kita kuat, kuman jadi pergi, dan seterusnya, dan sebagainya. Dengan itu, suasana makan jadi menyenangkan.

0⃣5⃣ Safitri ~ Banten
Assalamualaikum ustadzah, 

Teknologi gedget sudah sangat merajalela dinegara kita sampai" anak" mengalami hal seperti itu karena kecanduan gedget, lalu bagaimana cara awal atau langkah pertama kita atau bangsa ini supaya tidak mendirikan e-sport itu semakin luas dinegara kita dukungan dan tindakan realnya yang harus segera dilakukan permintahan kita?

Mohon penjelasanya ustadzah.

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam warahmatullah, Bunda Safitri.

E-sport bukan hanya dikembangkan di negeri ini, tapi di seluruh dunia. Sistem kehidupan yang kapitalistik yang berlaku hari ini menyebabkan seluruh sendi kehidupan dikapitalisasi, dibisniskan, dijadikan industri yang menguntungkan.

Maka untuk keluar dari pusaran kehidupan yang kapitalistik ini, negara harus memiliki political will yang kuat. Dan tentu saja kehendak politik itu harus berawal dari pemimpinnya, yang berkeinginan kuat untuk berdaulat, menolak seluruh kebijakan global yang dipaksakan oleh negara-negara Besar seperti AS maupun Cina, yang menjadikan negara ini sebagai pasar industri mereka, termasuk industri gaming atau e-sport.

Political will penguasa itu hari ini sama sekali belum tampak. Malah mereka terpapar nilai-nilai Barat, sekaligus menjadi perpanjangan tangan asing dan aseng dalam menjarah serta memuluskan agenda penjajahan (ekonomi) terhadap negeri ini.

Maka, kita sebagai rakyat, tidak boleh diam, harus bersuara, menyampaikan aspirasi, hingga menuntut negara hadir melindungi generasi dari arus digitalisasi yang kini cenderung merusak.

Teknisnya macam-macam Bunda, dengan menyampaikan surat terbuka, meminta berdiskusi dengan instansi terkait, menyelenggarakan forum semacam ini untuk menyadarkan sebanyak-banyaknya umat agar gelombang pressure dan tuntutan kepada penguasa semakin besar.

Begitu gambaran umumnya.

💎Tapi ustadzah pemerintah di negara kitakan belum tentu mau mendegarkan suara rakyatnya mereka" malah bersikap bodo amat jika masyarakat semuanya sudah bersusah payah bekerja keras untuk itu semua kalau pemerintahanya malah bersikap acuh itu sama saja dong!

🌷Benar, Bunda.  Kenyataan tersebut semakin menunjukkan jati diri penguasa kita yang sesungguhnya. Mereka bukan pelindung dan pengayom rakyat, tapi justru menjadi pelayan asing dan aseng.

SDA negeri ini yang melimpah ruah justru dikeruk dan dibawa asing dan aseng dengan mulusnya melalui berbagai undang-undang yang memberikan hak eksplorasi maupun konsesi. Sementara itu rakyat hidup miskin dan dalam kelaparan.

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191106150657-532-446069/adb-laporkan-22-juta-orang-kelaparan-di-era-jokowi

Di atas itu hanya satu contoh saja, Bunda. Belum lagi yang tidak bisa beli beras, jangankan berobat atau sekolah makan saja dengan lauk dedaunan hingga bertahun-tahun, dan masih banyak lagi potret buram kegagalan negara mengurus serta mengelola potensi negeri ini.

Karenanya, kita harus menyadarkan umat akan kondisi yang demikian genting ini. Dengan terus menerus menjelaskan kepada mereka fakta yang sebenarnya, membantu mereka menilainya dari kacamata aqidah, serta mencerdaskan mereka untuk mengambil Islam sebagai satu-satunya penyelamat.

Begitu, Bund.

0⃣6⃣ Evi ~ Jaksel
Assalamualaikum ustadzah,

Alhamdulillah sejak saya ikut arisan boneka hafiz anak saya si kembar sudah berkurang main gadget saya atau bapaknya.
Nah bagaimana mensiasati agar penggunaan gadget untuk anak bisa maksimal untuk belajar atau menambah wawasan mereka?

Ada segelintir ibu-ibu yang bilang kalau anak tidak dikenalin gadget nanti mereka jadi kuper akan teknologi dan informasi, bagaimana sikap kita menanggapi omongan ibu yang berpendapat seperti itu?

Terimakasih jawabannya maaf kebanyakan.

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam Bunda Evi yang disayang Allah.

Adanya dampak negatif pada gadget tidak lantas membuat kita anti gadget Bunda. Gadget hanyalah tool atau sarana yang bisa digunakan untuk hal negatif, bisa juga menghasilkan hal positif. Yang paling pokok kita harus pahami: bijaklah menggunakan gadget.

Jika anak memang membutuhkan, saya malah merekomendasikan gadget untuk mereka akses. Misal, suatu hari anak saya yang kecil bertanya saat makan sosis,
"Umi, sosis terbuat dari apa?"
"Daging."
"Daging apa?"
"Daging sapi dong.. Mau tahu cara bikin sosis?"
"Mau mau!"
"Yuk, kita nonton bareng proses pembuatan sosis!"

Atau ketika anak sedang kepo dan antusias terhadap sesuatu, misalnya anak saya yang sulung sedang seneng-senangnya pelihara ayam. Maka kita beri kesempatan untuknya mencari tahu segala hal tetek bengek tentang ayam. Tentangg cara mempersiapkan dan bikin kandangnya, jenis ayam yang diternakkan, cara membersihkan kandang dan memberi makannya, di mana belinya, bagaimana menetaskan anakan ayam, dan seterusnya.. Itu semua pengetahuan yang menjadi hak anak, maka kita berikan gadget untuk mengaksesnya.

Tapi tetap dengan catatan, orang tua-anak menyepakati durasinya atau berapa lama, sehingga tidak menimbulkan adiksi terhadap anak.

Jadi, kita dampingi, kita arahkan, kita bersamai, saat mereka menggunakan gadget. Kecuali anak yang sudah bisa bertanggung jawab, karena sudah memahami secara utuh serta mampu mengkontrol penggunaan gadget.

Begitu, Bunda.

0⃣7⃣ Han ~ Nganjuk
Assalamu'alaikum,

Bunda, tidak bisa dipungkiri dan di tolak bahwa digitalisasi itu sekarang juga dibutuhkan. Di lingkup sekolahpun sekarang ujian atau tugas-tugas juga banyak menggunakan perangkat lunak tersebut. Apakah berpengaruh tidak bunda nantinya hasil dari pengajaran atau pembelajaran langsung dari guru dan pembelajaran yang berbasis online kepada hasil akhir siswa atau anak tersebut?

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam Bunda Han, pertanyaan perdana yang superrr

Memang dengan performanya yang sangat menarik (video, game, dan konten lain yang dinamis dengan warna cerah), gadget mampu 'menyihir' anak untuk duduk diam serta fokus memainkannya.

Orang tua seringkali tertipu, menganggap gadget sebagai media belajar anak yang baik serta 'pengasuh' anak sementara orang tua sedang sibuk.

Padahal, gadget bukanlah perangkat yang baik untuk menstimulus tumbuh-kembang anak, justru mengandung banyak bahaya, terlebih untuk anak usia dini. Speech delay dan berbagai problem lain seperti gangguan emosi, kesehatan mata, juga kesulitan konsentrasi, hanyalah sedikit bahaya gadget jika diberikan terlampau berlebihan.

Maka orang tua harus bijak bersikap. Mungkin memang akan sedikit repot, rempong, membersamai anak tanpa memberikannya gadget. Tapi yakinlah, anak lebih butuh ayah bundanya ketimbang gadget. Interaksi dua arah akan terbangun, bonding kuat akan tercipta, ke depan akan banyak kebaikan yang diperoleh, seperti kemudahan mengarahkan anak kepada syariah.

Begitu, Bunda.

0⃣8⃣ Lisa ~ Malang
Sebenarnya kita sebagai orang tua milenial agak dilema ya... Disatu sisi, pendidikan sekarang pakai gadget, registrasi sampai ujian pakai link, bahkan sampai e-raport,  namun disisi lain bebasnya, dampak negatifnya masya Allah cukup mengelus dada.

Apakah sebaiknya kita orang tua memberlakukan peraturan jaman orang tua dulu ya, tegas, disiplin dan agak menakuti anak?

Afwan atas pertanyaan saya yang fakir ilmu ini.

🌷Jawab:
Salam kenal Bunda Lisa.

Benar sekali, memang seperti makan buah simalakama ya, Bunda, menghadapi perkembangan teknologi hari ini.

Sebagai orang tua kita tidak perlu anti gadget, karena gadget itu sesungguhnya hanyalah alat atau tool atau sarana yang bebas nilai. Seperti pisau, itu bebas nilai. Bisa bernilai negatif jika digunakan untuk sesuatu yang melanggar syariat, bisa juga bernilai positif jika digunakan untuk hal produktif, positif, dan diridhai Allah. PakaI gadget untuk mengikuti kajian online, misalnya, itu bernilai amal shalih.

Maka yang harus orang tua lakukan adalah memahamkan status gadget kepada anak (kebolehan penggunaannya yang bersyarat), beserta reasoningnya, termasuk bahayanya.

Berikutnya, diskusikan rule yang jelas dan tegas kepada anak, tentang kapan anak boleh mengakses gadget, apa yang boleh diakses (terkait konten), dan berapa lama anak boleh menggunakannya.

Orang tua harus konsisten terhadap rule tersebut. Misal, anak hanya boleh akses gadget di hari Sabtu atau Ahad, maka orang tua harus konsisten mengontrolnya, dan seterusnya.

Semoga membantu ya, Bunda.

0⃣9⃣ Whita ~ Bekasi
Assalamu'alaikum,

Saat keluarga berkunjung seringkali anak pinjam hp nya untuk main game, sedangkan sehari-hari orang tua tidak mengizinkan si anak mainin hp. Keluarga yang berkunjung dengan senang hati meminjami dengan dalih kasihan dan tidak tega mau melarangnya toh jarang ketemu.

Bagaimana menyikapinya dan apakah bisa menyebabkan anak bingung dengan kebijakan yang sudah ada di rumah?

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam warahmatullah,

Bunda Whita, kita sama tinggal di Bekasi ya...

Bisa disiasati dengan memberikan rule tambahan, ya Bund, selain sebagaimana yang saya sampaikan dalam jawaban pertanyaan ke-2.

Misalnya, ketika di luar rmh, dan dipinjami hp kerabat (Om atau Tante), kita izinkan, tapi tatap konten dan durasinya dibatasi.

Lebih bagus lagi kalau kita bisa mendiskusikan soal gadget ini ke keluarga besar, agar semua satu suara terkait penggunaan gadget. Demi kebaikan anak yang juga keponakan mereka sendiri.

Kalau anak hendak pinjam atau dipinjami hp oleh tantenya di rumah orang tua (Eyangnya anak), tantenya selalu meminta izin dulu kepada saya dan bikin kesepakatan di awal sebelum anak menggunakan gadget.

Misal, pinjamnya 15 menit ya. Mau nonton apa? Mau ngapain? Bertanya kepada saya, boleh tidak mi, kalau nonton A, B, misalnya?

InsyaAllah anak tidak akan bingung rule. Asalkan kita konsisten. Karena kadang kitanya yang tidak tega, melihat temannya pada pegang dan main gadget tapi anak kita cuma melongo.

Begitu, Bund.

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
 💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎

Teknologi itu sejatinya bebas nilai. Tapi di tangan ideologi kapitalisme yang hari ini tegak, produk teknologi melahirkan bencana yang tiada akhir. Seperti nuklir misalnya, di bawah kekuasaan dan kontrol kapitalisme, menjadi senjata mengerikan pemusnah manusia dan penghancur kehidupan binatang serta alam sebagaimana yang terjadi saat AS menjatuhkan bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki pada PD 2.

Sementara di bawah kepemimpinan Islam, teknologi akan membawa keberkahan juga rahmat tiada terkira. Buktinya, di masa Kekhilafahan, ilmuan Islam dengan berbagai penemuannya melahirkan peradaban yang tinggi, bahkan hingga hari ini hasil karya mereka abadi.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar