Minggu, 31 Juli 2022

QADHA DAN QADHAR

 


OLeH: Ummu Azkia Fachrina

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸 QADHA DAN QODAR

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

 نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ 

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ

لا نبى بعدى

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى (إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى) آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ

رَبِّىْ زِدْنِيْ عِلْمًـا ناَفِعًاوَرْزُقْنِـيْ فَهْمًـا

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالْاِسْلاَمِ دِيْنًا 
وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَرَسُوْلاً
رَبِّىْ زِدْنِيْ عِلْمًـا ناَفِعًاوَرْزُقْنِ

بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ
رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

أَمَّا بَعْدُ

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ

Akhwati rahimakumullah
مَا شَاءَ ٱللَّٰهُ‎

Alhamdulillah wa syukurillah, malam ini kita kembali dipertemukan untuk kajian. Kajian kitab Nizamul Islam ya, bab Qadha dan Qadar.

InsyaAllah ini merupakan lanjutan dari bab yang sebelumnya, terkait dengan Thoriqul Iman. Mudah-mudahan Alloh ﷻ memberikan kepahaman kepada kita semua, mengampuni Saya jika ada kekeliruan dan kesalahan dan kekurangan ketika menyampaikan. Kita awali semua dengan niat yang benar, dengan niat yang baik, mudah-mudahan Alloh ﷻ membukakan pintu kepahaman untuk kita semua ya.

إِنْ شَاءَ ٱللَّٰه
تبارك الله

Bismillah... 

Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ sebagaimana yang telah, selalu kita kaitkan ya ketika kita berusaha untuk memahami ilmu Alloh ﷻ kemudian juga melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Alloh ﷻ, maka kita akan senantiasa mengaitkan segala sesuatunya dengan Kitabullah dan Sunnah. 

Terkait dengan pembahasan kali ini, alangkah baiknya kita kembali merenungkan apa yang disampaikan Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ dalam surat Ali Imran: 

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ 

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan ijin Alloh ﷻ sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya."

Kemudian juga dalam surat Al A'raf. Di sini ayat yang ke-34 ya, kalau tadi Ali Imran: 145, ni yang Al A'raf ayat ke-34, sambil kita membuka Al Qur'an ya. 

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ

"Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal). Maka jika datang waktunya maka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak pula bisa memajukannya."

Atau kemudian dalam surat Al Hadid:

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ

"Tidak satu bencana pun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab {kitab di sini adalah Lauhul Mahfudz} sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Alloh ﷻ."

Itu ada dalam surat Al Hadid: 22. Kemudian juga surat At Taubah: 51, kemudian surat Saba: 3, surat 34 ayat 3 ya, kemudian surat Al An'am: 60, kemudian juga surat An Nisa: 78.

Kalau kita kemudian berusaha memahami dan merenungi, bahwasannya ayat-ayat yang tadi telah dibacakan dan juga ayat-ayat sejenis yang lainnya, itu biasanya sering digunakan oleh kebanyakan orang dan orang-orang ini adalah orang-orang ahli kalam, pada saat membahas terkait tentang Qadha dan Qadar, nah, untuk apa ayat-ayat itu digunakan ternyata ayat-ayat ini digunakan untuk dijadikan dalil yang kesannya begini, kesannya ya, menurut orang-orang ahli kalam ini, bahwasannya manusia itu seolah-olah dipaksa ya untuk melakukan perbuatannya, artinya manusia melakukan itu ya karena dipaksa untuk melakukan itu dan semua perbuatan itu dilakukan karena memang dipaksa dengan adanya irobbah dan maksiyatullah, kemudian pula dikesankan bahwasannya Alloh ﷻ itu telah menciptakan manusia sekaligus perbuatannya. Jadi, mereka itu menganggap dengan ayat ini manusia itu ya diciptakan  sekaligus dengan perbuatannya. 
Jadi perbuatannya itu dipaksakan oleh Alloh ﷻ seperti itu. Kemudian juga mereka berusaha menguatkan pendapat mereka itu dengan firman Alloh ﷻ yang lainnya ya, dalam surat As Saffat: 96. Di sini Alloh ﷻ menyampaikan ayat ini seperti ini:

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

Di sini, "Dan Alloh ﷻ menciptakan kalian dan apa yang kamu perbuat, apa yang kalian perbuat."

Jadi, Alloh ﷻ itu menciptakan juga berikut perbuatan kalian juga. Jadi, mereka berusaha mengesankan apa yang mereka fahami itu diperkuat dengan ayat ini.  Kemudian juga mereka mengambil apa yang disampaikan atau yang disabdakan oleh Rasul ﷺ yang artinya kurang lebih seperti ini:
"Jibril telah membisikkan ke dalam kalbuku, tidak akan mati suatu jiwa sebelum dipenuhi rezeki, ajal, dan apa-apa yang ditakdirkan baginya."

Jadi, mereka memahaminya dengan ayat dan hadist tadi, bahwasannya manusia itu diciptakan oleh Alloh ﷻ berikut dengan apa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. 

Terkait dengan pembahasan ini maka yang harus kita pahami, bahwasannya yang namanya masalah qadha dan qadar itu telah memainkan peranan penting di dalam madzhab-madzhab Islam, jadi terkait dengan fiqah (teologi yang terdahululah begitu ya) dan bahkan di sini ahli sunnah memiliki berbagai pendapat, dan yang pada intinya mengatakan bahwa manusia itu memiliki apa yang disebut dengan kadzhab ikhtiari itu, di dalam perbuatan-perbuatannya. Jadi artinya apa, maksudnya di sini apa, bahwasannya ketika manusia hendak berbuat sesuatu, Alloh ﷻ menentukan atau menciptakan amal perbuatan tersebut. Jadi, menurut marfhum terkait dengan apa yang disampaikan ahlusunnah, bahwasannya manusia itu punya kadzhab ikhtiari, jadi, ketika manusia hendak berbuat sesuatu itu maka Alloh ﷻ telah menciptakan amal perbuatan tersebut. Jadi, dengan kadzhab ikhtiari ini mafhumnya adalah bahwasannya manusia itu akan dihisab, jadi, akan ditanyakan atas perbuatannya, itu ahlusunnah. 

Nah, kemudian terkait dengan pendapat mu'tadzillah ya, kalau mu'tadzillah memiliki pendapat yang ringkasnya seperti inilah, bahwasannya manusia itu sendirilah yang menciptakan perbuatannya, kemudian manusia akan dihisab berdasarkan perbuatannya sebab dia sendirilah yang kemudian menciptakannya, itu pendapat mu'tadzillah. 

Kemudian kalau yang Jabariyah, mereka juga punya pendapat, apa pendapat mereka, yang ringkasnya seperti inilah, bahwasannya Alloh ﷻ menciptakan hamba beserta perbuatannya. Jadi, manusia itu dipaksa melakukan perbuatannya yang tidak bisa memilih, jadi seperti kalau begini mah ya, kalau bulu diterbangkan angin itu, dia tidak bisa milih, ya sudah sesuai dengan angin membawa. Jadi, gimana nih dengan pendapat-pendapat ini. 

Tadi, ada berpendapat, ada yang pendapatnya Ahlussunnah, ada yang pendapatnya mu'tadzillah, ada pendapatnya Jabariyah. Nah, terus bagaimana terkait dengan masalah qadha dan qadar ini, bagaimana kita memahami pembahasan terkait ini. 

Nah, kalau kita meneliti terkait dengan masalah qadha dan qadar ini maka kita bisa mendapati, bahwasannya ketelitian terkait pembahasannya menuntut kita itu untuk tahu terlebih dulu dasar dari pembahasan terkait dengan masalah ini, kenapa, karena inti masalahnya adalah bukan hanya menyangkut perbuatan manusia, dilihat dari apakah diciptakan Alloh ﷻ ataukah kemudian dibuat oleh dirinya sendiri. Jadi, inti masalahnya bukan cuma itu, apakah kemudian dibuat oleh makhluk Alloh ﷻ atau manusia sendiri atau bagaimana, atau juga tidak menyangkut ilmu Alloh ﷻ, dilihat dari kenyataan bahwasannya Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى‎ mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba-Nya dan ilmu Alloh ﷻ itu kan meliputi segala perbuatan hamba kan, kemudian tidak juga terkait dengan iradah Alloh ﷻ, sementara iradah Alloh ﷻ itu dianggap berhubungan dengan perbuatan hamba, sehingga suatu perbuatan harus terjadi karena adanya iradah tadi. 

Kemudian yang lainnya, tidak juga berhubungan dengan status perbuatan hamba yang telah ditulis di Lauhul Mahfudz, yang tidak boleh tidak, dia harus melakukan sesuai apa yang tertulis. 

Nah, memang benar, perkara-perkara tadi itu memang bukan jadi dasar pembahasan qadha dan qadar, kenapa, karena tidak ada hubungannya dilihat dari segi pahala dan siksa. Hubungannya ada adalah hanya terkait dengan penciptaan, bahwasannya kalau terkait dengan penciptaan, ilmu Alloh ﷻ yang meliputi segala sesuatu, iradahnya yang berkaitan dengan berbagai kemungkinan, hubungannya dengan lauhul mahfudz dan yang mencakup segala sesuatu yaitu terkait dengan penciptaan Alloh ﷻ, ilmu Alloh ﷻ, iradah Alloh ﷻ, apa yang tertulis di Lauhul Mahfudz, itu terkait dengan penciptaan. Seluruh perkara yang dihubungkan dengan ini adalah merupakan pembahasan lain dan ini terpisah dari topik pahala dan siksa atas perbuatan manusia, dengan kata lain, tidak berkaitan dengan pertanyaan apakah manusia itu dipaksa melakukan perbuatan baik dan buruk atau kemudian diberi kebebasan memilih. Jadi, tidak berkaitan dengan itu. 

Kemudian, pertanyaan lainnya, apakah manusia diberi pilihan ketika melakukan suatu pekerjaan atau meninggalkannya atau kemudian sama sekali tidak diberi hak untuk memilih. Jadi, tidak ada kaitan dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Jadi, apa yang harus kita lakukan, yang harus kita pahami dalam memahami terkait dengan qadha dan qadar ini adalah ketika mengamati seluruh perbuatan manusia maka kita akan menjumpai bahwasannya manusia itu hidup di dalam dua area. Kita pahami bersama, jadi manusia ada di dalam dua area. 

Area yang pertama apa, area yang pertama itu adalah area itu wilayahlah. Wilayah yang pertama itu adalah wilayah yang dia bisa kuasai atau area yang bisa dikuasainya. Area ini atau wilayah ini ada di bawah kekuasaan manusia dan seluruh perbuatan atau kejadian yang muncul berada di dalam lingkup pilihannya sendiri, artinya dia bisa menguasai, dia bisa memilih terkait itu. Sedangkan area atau wilayah yang kedua adalah area yang menguasainya, yaitu area yang memang menguasai manusia. Di area ini atau di wilayah ini, terjadi perbuatan atau kejadian-kejadian yang tidak ada campur tangan manusia itu sendiri atau tidak adalah campur tangan manusia itu sedikitpun, baik perbuatan atau kejadian itu berasal dari dirinya sendiri, atau memang bukan dari dirinya sendiri atau yang menimpa dia. Jadi, dia tidak punya kekuasaan terkait dengan itu ya, karena ada yang menguasai dia. 

Jadi, kalau kita perhatikan kembali perbuatan manusia yang terjadi pada area yang kedua ini, tidak ada andil kita sebagai manusia, tidak ada sedikitpun urusannya itu terkait dengan andilnya manusia, kejadian di dalam area yang kedua ini, itupun kita pahami dengan dua pemahaman ya. Yang pertama kejadian yang ditentukan oleh nizhamul wujud, artinya sunnatullah, sudah sunnatullah misalnya ya; yang kedua adalah kejadian yang tidak ditentukan oleh nizhamul wujud atau tidak ditentukan oleh sunnatullah namun tetap berada di luar kekuasaan manusia, artinya sekalipun bukan sunnatullah tetap manusia tetap tidak bisa, tidak bisa memberikan andilnya, terkait dengan apa yang terjadi pada manusia, jadi dia, manusia itu tidak mungkin bisa menghindari, tidak bisa menghindari dan dia terkait dengan nizhamul wujud itu atau dengan sunnatullah itu. 

Nah, kemudian kalau yang terkait dengan yang ditentukan oleh nizhamul wujud atau sunnatullah, maka hal ini sudah memaksa manusia untuk tunduk padanya karena memang sudah sunnatullah terjadi, manusia tidak bisa, kemudian memilih yang lain, sehingga pada akhirnya manusia harus tunduk dengan keputusan yang terjadi sesuai dengan sunnatullah. 

Manusia pada akhirnya berjalan sesuai dengan ketentuannya, sebab kenapa, sebab manusia berjalan bersama alam semesta dan kehidupan itu sesuai dengan mekanisme tertentu yang dia enggak kuasa untuk melanggarnya. Bahkan kalau kita perhatikan semua kejadian-kejadian yang ada di bagian yang memang manusia itu tidak bisa berpaling darinya, kemudian dari ketentuannya tidak bisa kejadian yang ada itu muncul, sesuai dengan apa yang manusia itu bisa mengikutkan andilnya, sehingga manusia itu memang terpaksa, diatur, tidak bisa memilih ya, misalnya nih manusia datang kemudian meninggalkan dunia ini tanpa kemauan dia, ya kan, ketika manusia lahir, manusia bisa tidak begitu, "Saya mah tidak mau dilahirkan" atau kemudian meninggal (wafat) ; "Aah Saya tidak mau dulu mati, jangan mati, Saya tidak mau mati, pokoknya enggak Saya tidak mau mati, pokoknya tidak boleh mati", tidak bisa. 

Kemudian, yang lainnya, manusia itu tidak bisa kan terbang di udara, emang bisa tanpa sayap. Sudah akhirnya terbang, bukan pakai pesawat terbang ya, kalau pakai pesawat terbang ya terbang, pakai pesawat terbang, kita tidak punya, sayap, kemudian kita bisa terbang, tidak bisa karena manusia memang tidak bisa terbang, itu wilayah yang manusia tidak bisa menguasai, wilayah yang kemudian manusia bisa menjadikan dirinya terbang. Kemudian ia tidak bisa berjalan di atas air, hanya dengan tubuhnya. Jadi, kalau misalnya, suka ada ya yang bisa berjalan di atas air, ya itu mungkin pakai kemampuan yang lainlah ya, tapi secara sunnatullahnya manusia ya enggak bisa berjalan di atas air. Kemudian tidak bisa menciptakan warna biji amili misalkan, kalau orang bule udah biru, kalau kita, misalnya coklat atau hitam terus kita tidak mau; "Saya maunya yang merah deh, saya maunya ini", kecuali sekarang pakai contact lens ya, kalau contact lens kan di luar, kalau misalnya nanti dicopot lagi kan sesuai lagi dengan aslinya, artinya manusia itu tidak bisa mewarnai biji matanya yang aslinya, tidak bisa, karena memang itu, sudah diatur seperti itu, sudah dibentuk seperti itu, dan manusia itu, manusia itu tidak bisa begitu ya menolak, ketika rambutnya, misal kepalanya, ada yang lonjong, ada yang bulat seterusnya, kemudian milih, saya tidak mau begini bentuknya, ya tidak bisa begitu ya, karena semua itu diciptakan oleh Alloh ﷻ, enggak ada pengaruh atau hubungan sedikitpun dari makhluknya, tidak bisa. 

Alloh ﷻ yang hanya bisa memunculkan dan memfungsikan semuanya itu karena Alloh ﷻ lah Pengatur alam ini dan alam itu diatur oleh Alloh ﷻ dan berjalan sesuai dengan ketentuan-Nya dan tidak ada yang bisa melanggarnya, kita manusia itu memang tidak bisa, tidak bisa untuk melanggar apa yang sudah ditentukan ya, oleh Alloh ﷻ dengan sunnatullah-Nya. 

Nah, akan kejadian, bagaimana kalau yang kejadian tidak ditentukan oleh nidzamul wujud atau sunnatullah, tapi manusia itu tetap tidak kuasa, itu bagaimana kalau yang begitu, kan tadi kan tataran manusia itu tidak bisa menguasai itu kan dua ya, terkait dengan yang namanya itu sudah sunnatullah dan manusia tidak bisa berkutik dengan itu, misalnya, tidak ditentukan dengan sunnatullah tapi manusia tetap enggak bisa juga. Nah, jadi bagaimana itu, jadi kalau yang seperti ini, maksudnya adalah bahwasannya kejadian atau perbuatan yang berasal dari manusia atau yang menimpanya, sama sekali tidak memiliki kemampuan manusia itu untuk menolaknya, misalnya, manusia itu jatuh, jatuh misalnya, ketika jatuh, misalnya jatuhnya itu dari, naudzubillah ya, ada seseorang jatuh, misalnya lagi bersihin kaca misalnya kaca gedung tinggi, terus tiba-tiba jatuh, eh di bawahnya ada orang, terus orangnya ketimpa terus mati. Nah itu kan, apa namanya, sesuatu yang manusia, bukan sunnatullah ya, artinya sesuatu yang terjadi dan dia jatuh, kemudian menimpa orang dan orangnya mati atau kemudian orang yang nembak burung, burungnya tuh dimana, ternyata tidak sengaja, si pelurunya itu nyasar misalnya, terus kena orang, orangnya mati. 

Kemudian, kecelakaan pesawat, misalnya, kecelakaan mobil dan seterusnya, maka hal-hal itu tidak bisa manusia itu menghindari dan itupun satu kejadian yang memang tidak bisa nolak, misalnya ketika dia mau tabrakan misalnya, "eitts, tidak tabrakan begitu ya", tidak bisa juga. 

Nah, jadi semua itu berasal dari manusia yang atau semua kejadian yang berasal dari manusia atau yang menimpanya saat ini walaupun di luar kemampuannya, itu kan memang tidak terikat dengan sunnatullah, artinya bisa jadi kan ketika dia kan nembak ya, yang nembak kan dia, berarti kan kejadian itu dari dirinya tapi ketika nembak menyebabkan orang mati, itu kan juga di luar kehendak dia. Dia kan bukan mau bunuh orang, nembak orang kan, dia kan maunya nembak burung. Tapi kan dia tidak bisa begitu loh, tiba-tiba akhirnya, kena orang dan itu tidak terikat dengan sunnatullah. Kalau sunnatullah tadi, hidungnya bentuknya seperti bagaimana, matanya warnanya seperti bagaimana, itu kan sudah sunnatullah, Alloh ﷻ sudah menciptakan seperti itu. Nah, kalau kejadian riil yang tadi, lagi nembak burung, orang lain ke tembak, itu kan sesuatu yang memang manusia tidak bisa, kemudian menghindar dari itu, tapi itu tidak terikat dengan nidzamul wujud. 

Nah, jadi, apa namanya, semua itu berarti kan, semua itu, kenapa kemudian yang kedua itu, dikatakan tidak terkait dengan sunnatullah, tapi manusia akhirnya tidak bisa berkuasa juga, tetapi yang digolongkan terkait ini, kenapa dimasukkan ke wilayah yang kedua, karena memang manusia bisa menguasainya. 

Nah, segala sesuatu yang terjadi pada area atau wilayah yang menguasai manusia ini, inilah yang dikatakan dengan qadha atau keputusan Alloh ﷻ. Jadi, kalau kita bilang: "Aduh, lagi nembak burung, terus eh orang ditembak, orangnya mati." Itu mah sudah qadha pada akhirnya, siapa sih yang mau kena, tapi kan bagaimana, akhirnya kena orang. 

Nah, wilayah yang seperti itulah yang kemudian itu yang namanya qadha. Sudah keputusan Alloh ﷻ. Kenapa, karena Alloh ﷻ lah yang memutuskannya bukan Alloh ﷻ jahat, Alloh ﷻ jahat sekali ya jadi akhirnya orang mati karenanya, tidak begitu mafhumnya ya. Nah, karena itu seorang hamba itu, ini kan terkait dengan perbuatan manusianya ya. Jadi, ketika hamba itu ya, terjadi seperti yang tadi ya, nah manusia tidak akan dimintai pertanggungjawabannya, jadi ketika dia tidak sengaja ya, Alloh ﷻ tidak akan apa, tidak akan meminta pertanggungjawaban karena kan itu di luar area manusia yang bisa menghindarkannya, kan tidak. 

Jadi, ketika tidak ada, apa tidak dimintai itu ya karena manusia tidak ikut andil, tidak tahu bagaimana kok jadi bisa seperti begini dan dia bahkan sama sekali, tidak punya kemampuan untuk menolaknya, dia tidak bisa nahan itu. Nah, jadi yang dilakukan adalah gimana dengan qadha ini. Jadi yang diwajibkan adalah manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadha, kenapa, karena qadha itu datangnya dari Alloh ﷻ. 

Jadi, ketika kemudian kita dihadapkan seperti itu, qadha Alloh ﷻ terjadi maka yang dilakukan oleh kita itu adalah mengimaninya, mengembalikan semua kepada Alloh ﷻ, karena kita tidak tahu keputusan Alloh ﷻ lah yang kemudian menjadikan itu seperti itu. 

Nah, kemudian, sedangkan di sini terkait dengan qadar, qadar itu yang bagaimana. Nah, kita pahami dulu begini ya, bahwasannya yang namanya semua perbuatan yang baik ya, perbuatan, bukan perbuatan yang baik, perbuatan itu ya, baik yang ada di area atau wilayah yang menguasai manusia ataupun yang dikuasai manusia, itu semuanya terjadi dari benda menimpa benda, benda kena benda. Nah, baik benda itu adalah unsur alam semesta ataukah kemudian manusia ataupun kehidupan. 

Jadi, itu yang harus dipahami dulu, bahwasannya yang namanya qadar itu adalah area yang menguasai manusia atau yang dikuasai oleh manusia dan yang terjadi itu adalah benda menimpa benda. Nah, di sini yang harus kita pahami bersama bahwasannya Alloh ﷻ telah menciptakan khasiat, khasiat itu apa, sifat ya, sifat dan ciri khas yang memang sifat dan ciri khas itu sudah tertentu pada benda-benda. Jadi, terkait dengan, apa namanya, memahami qadar, kita pahami dulu, bahwasannya Alloh ﷻ itu menciptakan khosiat, khosiat pada benda, misalnya apa, khosiat pada benda itu, api. Api itu diciptakan oleh Alloh ﷻ khasiatnya apa, membakar kan, api itu membakar kan ya. Nah, kemudian kayu, itu punya khasiatnya juga, kalau terkait dengan api, dia terbakar, nah, jadi yang membakar adalah api, yang terbakar adalah kayu. 

Kemudian, contoh lainnya ya, pisau, khasiatnya dari pisau apa, motong ya, pisau tuh motong, nah terus misalnya khasiat dari apa yang bisa dipotong, misalnya apa, benda yang lunaklah ya. Benda yang lunak khasiatnya bisa dipotong misalnya, begitu kan, nah itu khasiat benda dan seterusnya. 

Alloh ﷻ ya itu sudah menjadikan khasiat benda-benda itu bersifat baku sesuai dengan sunnatullahnya dan enggak bisa dilanggar lagi, api membakar, pisau memotong, itu sudah seperti itu. 

Nah, kalau suatu waktu khasiat ini melanggar sunnatullah maka Alloh ﷻ akan menarik khasiatnya. Jadi, kalau misalnya di luar, apa namanya, misalnya begitu ya, suatu waktu khasiat itu melanggar sunnatullahnya, Alloh ﷻ tarik khasiatnya, tapi hal ini adalah suatu yang berada di luar kebiasaan, dan hanya terjadi pada Nabi, itulah yang kemudian yang kita kenal dengan mukjizat, misal, kan api membakar tapi pada saat nabi Ibrahim itu kan apinya kan jadi tidak membakar padahal khasiatnya itu membakar kan. Nah, itu terjadi biasanya kalau saat-saat sekarang ini jarang sekali di luar kemampuan manusia untuk memahami kenapa bisa begitu, kalau dulu itu bisa terjadi pada masanya para nabi dan jadi mukjizat. 

Nah, seperti halnya pada benda-benda yang telah diciptakan khasiatnya maka diri manusia juga diciptakan itu berbagai ghorizah, jadi dalam diri manusia itu ada berbagai ghorizah. 

Ghorizah itu kalau bahasa Indonesia, naluri-lah ya. Nah, jadi, Alloh ﷻ itu menciptakan pada manusia adanya naluri atau ghorizah serta kebutuhan jasmani. Jadi, ada naluriah, kemudian ada kebutuhan jasmaniah. Nah, pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiatnya ya sebagaimana pada benda ya, misalnya ada naluri mempertahankan dan melestarikan keturunan, jadi ada naluri itu. 

Naluri ingin melestarikan, pengen nikah, pengen punya anak, itu yang kita kenal dengan ghorizah tunnau, nah, jadi biasanya seiring dengan diciptakan khasiat dorongan seksual. Nah, jadi ingin menikah, ingin berkasih sayang, ibu sayang sama anaknya ya, karena apa, adanya seorang ibu punya anak itu karena kan pasti dilalui dulu, dilalui dulu dengan si ibu itu punya keturunan kan dan seterusnya ya. 

Nah, kemudian terkait dengan kebutuhan jasmani, di dalam kebutuhan jasmani itu ada juga khasiat-khasiat, misalnya lapar, haus, nah itu juga, khasiat ya, khasiat atau ciri khas begitu, ciri khas yang terjadi di dalam jasmani manusia. Lapar haus itu kan ciri khas kebutuhan jasmani. 

Nah, semua khasiat-khasiat itu dijadikan oleh Alloh ﷻ bersifat baku dan itu sesuai dengan sunnatull wujud. Apa itu sunnatul wujud, sesuai dengan peraturan alam yang telah ditetapkan oleh Alloh ﷻ dan harus kita pahami bersama bahwasannya seluruh khasiat yang diciptakan oleh Alloh ﷻ baik itu terdapat pada benda maupun naluri serta kebutuhan jasmani pada manusia itulah yang dinamakan dengan qadar, jadi adalah ketetapan. Tadi kan keputusan Alloh ﷻ, ini ketetapan Alloh ﷻ ya, ketetapan dari Alloh ﷻ. Kenapa lapar, ya karena memang sudah ketetapan Alloh ﷻ ya, terjadi lapar kalau sel-selnya butuh makan dan seterusnya. Nah, kenapa, sebab Alloh ﷻ yang menciptakan bendanya, Alloh ﷻ yang menciptakan nalurinya, Alloh ﷻ yang menciptakan kebutuhan jasmani kemudian Alloh ﷻ tentukan juga khasiat-khasiat di dalamnya. 

Jadi, khasiat itu tidak datang dengan sendirinya, jadi tidak datang dengan sendiri dari unsur tersebut. Manusia sama sekali tidak memiliki andil untuk membentuk atau membuat itu. Nah, jadi, apa yang harus dilakukan oleh manusia, mengimani, mengimani bahwasannya yang menciptakan khasiat di dalam unsur-unsur atau benda-benda itu hanyalah Alloh ﷻ. 

Khasiat-khasiat ini dan harus dipahami juga ya, khasiat-khasiat ini memiliki qobliyah. Qobliyah itu apa, potensi. Potensi yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan. 

Jadi, bisa digunakan juga ya, selain kebaikan, juga bisa kejahatan. Jadi, khasiat qobliyah, khasiat akhirnya bisa dipenuhi dengan amal baik atau amal buruk dan perbuatan ini menjadi baik kalau sesuai dengan perintah Alloh ﷻ, kalau sesuai dengan, kalau dilarang sama Alloh ﷻ, ya tidak lakukan dan sebaliknya bisa jadi juga kejahatan dan juga akhirnya malah melanggar perintah dan larangan Alloh ﷻ. 

Nah, jadi, semua peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia itu dari Alloh ﷻ ya, apakah itu baik ataupun buruk. Begitu pula khasiat pada benda, naluri, serta kebutuhan jasmani, semua datang dari Alloh ﷻ. Baik, nanti menghasilkan keburukan ataupun kebaikan. Nah, sehingga wajib bagi seorang muslim itu beriman pada qadha, baik dan buruknya itu dari Alloh ﷻ ya. 

Nah, ketika kemudian terjadi sesuatu dan di luar kemampuan manusia maka yang harus dilakukan oleh manusia itu tawakal, beriman kepada Alloh ﷻ, itu mah sudah ketentuan Alloh ﷻ, berpasrah diri kalau itu sudah menjadi ketentuan Alloh ﷻ, kan begitu ya.

Jadi, baik buruk yang diterima juga pada akhirnya kita kembalikan kepada Alloh ﷻ ya. Jadi, kejadian yang berada di luar kekuasaan itu ya memang datangnya dari Alloh ﷻ. Nah kemudian terkait dengan qadar, sama, seorang muslim beriman kepada qadarnya Alloh ﷻ ya. Nah, jadi baik buruknya dan dari Alloh ﷻ. 

Nah, jadi, posisi manusia sebagai mahkluk itu enggak punya pengaruh apapun, dia tidak punya andil terkait itu, manusia tidak bisa menentukan ajal, menentukan rezeki ya, kemudian apa yang terjadi pada dirinya, semua itu dari Alloh ﷻ ya. 

Nah, jadi kalau kita kembali lagi ya kecenderungan tadi ya, kecenderungan seksual yang ada di dalam ghorizah tunnau maka kecenderungan sesuatu yang terdapat pada naluri ghorizatul baqa, jadi ada yang lain-lainnya, begitu kan, kalau tadi kan kecenderungan seksual itu ghorizatul tunnau, kecenderungan naluri untuk mempertahankan diri, bagaimana supaya dia bisa tetap hidup terkait dengan lapar, haus, dahaga kemudian kebutuhan jasmani itu memang semua datang dari Alloh ﷻ, kewajiban kita adalah mengimani ya, mengimani hal tersebut ya. 

Nah, jadi penjelasan yang semua itu adalah pembahasan yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang memang terjadi pada area yang menguasai manusia ya. 

Nah, baik, mohon maaf di sini adzan dulu, lagi adzan ya beberapa masjid, kita berhenti sebentar. 

Baik, kita lanjutkan lagi ya. 

Jadi, kembali lagi ya, bahwasannya ketika kita, memahami penjelasan-penjelasan tadi, bahwasannya yang namanya pembahasan yang terkait dengan kejadian pada wilayah yang menguasai manusia, yang ada pada khasiat seluruh benda maka itu tidak bisa manusia punya andil, karena apa, karena Alloh ﷻ lah yang mengatur semuanya. 

Lalu bagaimana area yang menang dikuasai oleh manusia, karena di sini, di wilayah ini, manusia bisa melakukan dan melakukan pilihan. Apakah kemudian dia sesuai dengan syariat atau tidak sesuai dengan syariat atau syariat lain, manusia memilih, itu manusia ada pilihan, jadi di dalam peristiwa dan perbuatan ini, di dalam wilayah manusia bisa, apa namanya, manusia itu bisa menguasainya artinya area itu dikuasai oleh manusia ya, itu berarti peristiwa dan perbuatan itu ya memang berasal dari manusia itu karena kehendaknya sendiri, misal dia berjalan, atau kita lagi jalan nih, "Aah Saya mau jalan aah", gitu. Ya jalan. " Aah Saya mau lari aah", larilah. "Aah Saya mau makan aah", terus makan. " Saya mau minum aah", minum. Artinya ini manusia ya bisa sesuka hati, mau jalan, mau jongkok, mau berdiri, mau loncat-loncat, mau makan, mau minum, mau ke kamar mandi dan terserah gpp, terserahlah begitu kan ya. Nah, maka itu sesuka hatinya, itu manusia bisa menguasai itu atau kemudian dia membakar sesuatu pakai api, memotong pakai pisau, begitu kan, kemudian dia juga memuaskan keinginan seksualnya, ya kemudian memiliki suatu barang, kemudian memenuhi perutnya, sesuai dengan kemampuannya. 

Dia bisa melakukan itu, sesuai kemauannya, gitu ya, karena apa, karena manusia itu ya tidak ada yang nahan untuk itu. Manusia mampu untuk menguasai. Nah, area yang seperti ini, dimana manusia itu bisa melakukan sesuai dengan pilihan-pilihannya, maka area ini akan ditanyai dan dimintai pertanggungjawabannya, jadi beda dengan yang tadi. Kalau tadi manusia tuh tidak punya kemampuan untuk menghindar, ada andil di dalamnya sehingga tidak dimintai pertanggungjawaban ya, kenapa mata kamu hijau, warna pupilnya, tidak akan dimintai pertanggungjawaban kan. Nah, kenapa kamu makan yang itu, itu kan haram, itu kan kenapa, itu kan diminta, karena sebetulnya manusia tidak, masih bisa memilih yang lain ya, enggak makan yang tadi yang diharamkan. 

Jadi, kalau manusia bisa melakukan sesuatu terhadap perbuatan tertentu dan dia sukarela, bisa memilihnya, maka dia akan dimintai pertanggungjawabannya. 

Nah, jadi, sekalipun khasiat yang ada pada benda mati atau naluri atau yang kebutuhan-kebutuhan jasmani yang telah ditakdirkan oleh Alloh ﷻ itu bersifat baku, kemudian pada akhirnya menghasilkan suatu perbuatan tetapi khasiat ini yang melakukan perbuatan itu adalah manusia yang kemudian manusia itu menggunakan khasiat-khasiat tersebut ya maka manusia akan dimintai pertanggungjawabannya, misal manusia pakai pisau, khasiatnya kan motong, eh dipakai buat bunuh. Jadi, manusia akan dimintai begitu ya terkait dengan khasiat pisau untuk memotong itu atas perbuatannya membunuh. 

Jadi, potensi apa namanya, potensi yang ada dari benda itu bisa dipengaruhi ya, hasilnya itu oleh perbuatan manusia dan itu akan dikenai pertanggungjawabannya. 

Nah, jadi dari pisau itu bisa menghasilkan, apa namanya, buruk atau baik, kalau motongnya adalah motong sesuatu yang memang motong sayuran untuk dimasak, orang bisa makan dengan itu ya berarti kan perbuatan baik, tapi kemudian, motong-motong, naudzubillah min dzalik, bisa untuk mutilasi, yang ada kan adalah dosa. Jadi, pada akhirnya bisa mengarahkan kepada perbuatan baik atau perbuatan yang buruk. 

Nah, dan manusia kenapa akhirnya dimintai pertanggungjawaban, karena manusia diberi akal oleh Alloh ﷻ dan di dalam tabiat akal itu diciptakan oleh Alloh ﷻ, kemampuan untuk memahami. Adanya akal itu kan untuk memahami, kemudian mempertimbangkan, ini boleh tidak sih, baik buruk tidak sih, kemudian apa sih maunya Alloh ﷻ dan seterusnya dan Alloh ﷻ juga sudah menunjukkan dua jalan, artinya aku tidak tahu ini jalan buruk, oh ini salah, kenapa, karena Alloh ﷻ kan sudah menyampaikan itu ya, seperti apa yang disampaikan oleh Alloh ﷻ di dalam surat Al Balad: 10.

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ

"Dan tidaklah Kami tunjukkan kepadanya ada dua jalan (dua jalan itu yang baik dan buruk)."

Jadi, ketika kemudian Alloh ﷻ berikan akal itu ada  kemampuan untuk menimbang mana yang baik, mana yang buruk, mana yang maksiat, mana yang baik, mana yang fujur, mana yang takwa. Jadi, ketika kemudian kita dipahamkan juga ya seperti halnya Alloh ﷻ telah memfirmankan dalam surat Asy Syams: 8, bagaimana Allah menyampaikan ini.

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ

"Maka Alloh ﷻ telah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan fujur dan kemudian juga jalan takwa."

Fujur itu apa, fasik, kefasikan. 

Nah, jadi ketika manusia itu memuaskan dorongan naluri dan kebutuhan jasmani sesuai perintah Alloh ﷻ, sesuai dengan apa yang dilarang oleh Alloh ﷻ itu bagaimana, berarti dia sudah melakukan kebaikan dan meraih jalan takwa. Tapi kalau kebalikannya, nah berarti dia telah melakukan perbuatan yang buruk di jalan maksiat. 

Nah, di dalam keadaan yang dua itu ya, maka manusialah yang menghasilkan perbuatannya. Jadi, baik dan buruknya manusia yang berbuat, dia sendiri yang kemudian melakukannya. Jadi, kalau kemudian melakukan sesuai perintah Alloh ﷻ maka dia berbuat baik, kalau dia melakukan melanggar perintah Alloh ﷻ dan kemudian malah melakukan larangan Alloh ﷻ maka dia berbuat buruk. 

Nah, dengan itulah kemudian manusia akan dimintai pertanggungjawabannya, setelah itu akan diberikan apa pahala atau siksa ya, tergantung dari perbuatan dia. Kalau perbuatan baik, dia akan diberi pahala, kalau kemudian perbuatannya buruk maka akan disiksa. Nah, itu harus kita pahami bersama ya. 
InsyaAllah
Laa Hawla wala quwwata illa billahil aliyyil adzim

Nah, jadi di sini yang harus kita pahami bahwasannya Alloh ﷻ itu telah menyediakan pahala. Pahala kalau masih berbuat baik, kenapa, karena akalnya memilih jalan mengerjakan perintah Alloh ﷻ, menjauhi larangan Alloh ﷻ. Tapi kalau kemudian dia berbuat buruk maka Alloh ﷻ pun akan beri siksa, kenapa, karena akalnya dipakai untuk melanggar, melanggar apa, perintah Alloh ﷻ ya, kemudian melanggar juga apa yang sudah dilarangnya. 

Jadi, ketika dia memenuhi tuntutan naluri dan juga kebutuhan jasmaninya, itu melenceng dari apa yang diperintahkan oleh Alloh ﷻ maka balasannya jelas ya, maka balasan yang haq begitu, adil itu akan diberikan kepada manusia, karena manusia enggak dipaksa, manusia mau milih jalan mana, silahkan. 

Nah, berarti kan, nah perkara ini tidak ada kaitannya dengan qadha dan qadar. Nah, yang difokuskan adalah tindakan si hamba sendiri dalam melakukan satu perbuatan itu yang tidak, apa nama istilahnya, tidak dipaksa, jadi, manusia akan dituntut  pertanggungjawabannya. 

Jadi, kalau terkait dengan apa yang akan diberikan oleh Alloh ﷻ kepada hambanya, pahala atau siksa, ya tergantung. Jadi kalau orang-orang yang beriman memahami bahwasannya keputusan Alloh ﷻ itu manusia tidak pernah bisa, menghindar darinya tapi kewajiban manusia tetap, bahwasannya dia harus beriman kepada apa yang telah ditentukan atau diputuskan oleh Alloh ﷻ, terkait dengan qadar pun, bahwasannya qadar itu kan ketetapan atau ketentuan Alloh ﷻ terhadap benda-benda ya. Nah, ketika kemudian kita, apa, menentukan perbuatan kita terkait dengan khasiat benda-benda itu akhirnya kita melakukan sesuatu yang menghasilkan kebaikan dengan khasiat benda itu ya dapat pahala. Kalau kita kemudian menggunakan khasiat-khasiat benda itu ya sesuai dengan kadar yang telah diberikan oleh Alloh ﷻ terhadap benda tersebut untuk melakukan sesuatu yang, apa namanya, buruk, maka ya dapat siksa. 

Jadi, kalau orang yang mengimani qadha dan qadar maka akan terbentuk, terbentuklah manusia untuk melakukan kebaikan, jadi kalau terkait dengan pembahasan ini, apa sih yang harusnya kita, intisarinya, ketika kita memahami terkait dengan qadha dan qadar. Jadi, ketika kita memahami terkait dengan adanya qadha dan qadar dari Alloh ﷻ ini mendorong manusia untuk selalu melakukan kebaikan dan selalu menjauhi keburukan dan dia harus selalu menyadari bahwasannya Alloh ﷻ itu mengawasi dia dan Alloh ﷻ akan memintai pertanggungjawabannya dan manusia akhirnya selalu menyadari bahwasannya Alloh ﷻ telah memberikan kepadanya kebebasan memilih, mau melakukan atau mau meninggalkannya. 

Jadi, kalau kemudian manusia tidak cerdas ya, menggunakan hak pilihnya, akhirnya apa, bisa terperosok ke neraka, neraka Jahannam. Nah, kalau misalnya dia apa, cerdas, mustanir, memilih sesuatu itu sesuai dengan bagaimana dia itu  memahami hakekat qadha dan qadar, hakikat dari nikmatnya akal, hakekat dari nikmatnya haq dari Alloh ﷻ untuk memilih sesuatu maka kita akan selalu ya, selalu  punya kewaspadaan, rasa takut kepada Alloh ﷻ yang pada akhirnya dia akan selalu berusaha melakukan atau melaksanakan seluruh perintah Alloh ﷻ dan dia akan jauhi larangan-larangan Alloh ﷻ, karena apa, karena takut nanti di adzab Alloh ﷻ, yang ada di dalam dirinya adalah merindukan surga dan ia menginginkan lebih dari itu, yaitu apa, keridhoan Alloh ﷻ. 

Nah, jadi pembahasan terkait dengan qadha dan qadar ini adalah menjadikan seorang manusia yang dia itu menyadari bahwasannya posisi dia sebagai makhluk Alloh ﷻ itu yang diberikan akal oleh Alloh ﷻ, dia akan senantiasa menanamkan ke dalam dirinya kewaspadaan, rasa takut untuk bermaksiat kepada Alloh ﷻ dan dia akan selalu berusaha melakukan segala sesuatunya itu atas keridhoan Allah Ta'ala Azza wa Jalla. 

MasyaAllah
Tabarakallah

Wallahu Allah bishowab

Mudah-mudahan pembahasan terkait dengan qadha dan qadar ini berpengaruh kepada diri kita semua, menjadikan kita menjadi seorang muslim mukmin yang bertakwa kepada Alloh ﷻ, yang dia senantiasa menjaga dirinya untuk tidak bermaksiat kepada Alloh ﷻ ya. 

Wallahu a'lam bishowab

Uusikum bi nafsiy bitaqwallah

Semoga bermanfaat untuk semua dan semoga akhwati fillah di room ini menjadi hamba-hamba yang dicintai oleh Alloh ﷻ karena ya tahu apa yang seharusnya dia lakukan sebagai mahluknya Alloh ﷻ. 

Baik, terima kasih untuk semuanya. Mudah-mudahan bisa disimak dan bisa, apa namanya, menjadikan diri kita lebih baik dari kemarin dan akan terus menjadi baik setelah ini. 

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Evi ~ Jakarta 
Assalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh umm,

Selama hidup pengalaman saya, saya melihat dan mengalami kejadian-kejadian aneh yang dialami salah satu anggota keluarga saya yaitu bisa melihat makhluk halus dan sering kemasukan (kesurupan) apa itu sudah jadi qadha qadar dari Alloh ﷻ karena semua yang dialami oleh kita sudah ditentukan oleh Alloh ﷻ sesuai apa yang disampaikan oleh ustadzah tadi. Saya minta penjelasannya bagaimana sikap kita melihat semua itu? Adakah amalan-amalan yang bisa dilakukan supaya kita terhindar dari gangguan-gangguan tersebut? 

Terima kasih.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh 

🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim...
Ukhtiiy fillaah ...
Saat pandangan kita melihat sesuatu yang tidak biasanya kita lihat, berarti ada yang keliru dalam penglihatan kita.
Lalu bagaimana kita meluruskan kembali agar itu tidak menjadikan kita teralihkan dalam mengimani Alloh ﷻ dan meningkatkan Takwa pada Alloh ﷻ.

Jika saat melihat sesuatu yang di luar hal yang biasa, maka berta'awudzlah, karena saat itu kita sedang dialihpandangkan pada sesuatu yang tak ladzim.
Maka memohonlah pada Alloh ﷻ agar yang dilihat dan dirasa itu tidak memalingkan kita dari yang seharusnya kita lihat dan kita rasa.
Fokus pada sesuatu yang membawa kita ke jalan yang lurus dan yakin bahwa yang Alloh ﷻ tetapkan pada kita adalah selalu hal-hal baik yang membawa kita kepada jalan menuju Surga.

Demikian ukhtiiy shalihah.

Wallaahu a'laam bisshawaab

0️⃣2️⃣ Bestiar ~ Pekanbaru 
Ustadzah, bagaimana cara supaya lebih ikhlas menerima takdir dari Alloh ﷻ? Afwan

🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim...
Ukhtiiy shalihah...
Caranya adalah ikhlaslah sampai kita untuk tidak ikhlas itu tidak mampu.
Artinya, setiap saat kita mengimani apapun ketentuan dan keputusan Alloh ﷻ itu pasti yang terbaik. Bersyukur saat diberi ni'mat tetap Tha'at saat diberi berbagai ujian dan masalah. Lihatlah ke bawah masih banyak yang lebih susah dibanding kita. Hingga pada akhirnya kita benar-benar menyerahkan apapun kepada-Nya dan tentunya dengan upaya kita agar kita selalu takwa,
firman Alloh ﷻ:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Alloh ﷻ mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Andai kita mau kembali melihat lembaran-lembaran sejarah di dalam Al-Qur’an, membuka mata tuk mengamati realita yang ada, niscaya kita akan menemukan pelajaran-pelajaran dan bukti yang sangat banyak. Bukti yang menunjukkan bahwa keputusan Alloh ﷻ adalah yang terbaik dan hamba-Nya yang shalih selalu menerima dengan keikhlasan dan kesabaran.

Demikian ukhtiiy shalihah.

Wallaahu a'laam bisshawaab.

0️⃣3️⃣ Fatimah ~ Bandung
Apakah jodoh termasuk qodho ustadzah? Dan 
bagaimana caranya agar kita ikhlas menerima  qodho tersebut?

🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim...

Ukhtiiy shalihah...
Dalam surat Arrum ayat 21...dijelaskan bahwa mengenai  jodoh sudah diatur oleh Alloh ﷻ,

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh ﷻ) bagi kaum yang berpikir."

Lafadz “jodoh” adalah kata yang dipakai dalam bahasa Indonesia untuk menunjuk makna tertentu. Lafadz ini berbeda dengan lafadz suami, istri, pasangan hidup atau yang semisal dengannya. Lafadz jodoh menurut kamus bahasa Indonesia adalah “pasangan yang cocok” baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Oleh karena itu lafadz jodoh memiliki makna yang lebih spesifik dari lafadz suami, istri, atau pasangan hidup, sebab di sana terdapat penjelasan sifat lebih khusus dari sekedar pasangan hidup. Dalam bahasa Arab, kata yang bermakna “jodoh” seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia tidak ditemukan.

Para Fuqaha’ ketika membahas hukum pernikahan hanya menyebut istilah ( زَوْجٌ ) atau( بَعْلٌ ) untuk suami, dan ( زَوْجَةٌ ) atau ( امْرَأَةٌ ) untuk istri, yakni istilah-istilah yang berkonotasi “netral” tanpa ada penekanan sifat tertentu sebagaimana kata suami, istri, atau pasangan hidup dalam bahasa Indonesia.

Adapun makna jodoh yang menjadi topik diskusi di sini adalah “orang atau individu tertentu yang akan menjadi pasangan hidup kita”, dengan titik diskusi: Apakah Alloh ﷻ telah menentukan dalam Lauhul Mahfudz, sebelum manusia dilahirkan bahwa ia akan dipasangkan dengan individu tertentu ataukah tidak? Artinya apakah Alloh ﷻ sudah mentakdirkan dalam Azal bahwa A akan dipasangkan dengan B, C dipasangkan dengan D, ataukah tidak?

Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu harus dilakukan studi yang mendalam terhadap nash-nash yang terkait dengan topik tersebut berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah atau dalil yang ditunjuk keduanya seraya mengesampingkan semua dasar yang tidak terkait dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah baik ia berupa adat, tradisi, pameo, peribahasa, dan sebagainya.

Hanya saja, pembahasan tentang jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan tidak boleh dicampur adukkan dengan pembahasan keimanan bahwa Alloh ﷻ adalah ( اْلمُدَبِّرُ ) (Maha Pengatur). Sebab, pembahasan “jodoh termasuk perkara Qadha’ atau bukan” adalah satu hal, sementara pembahasan tentang keimanan bahwa Alloh ﷻ bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) adalah hal yang lain.

Masing-masing adalah topik tersendiri yang harus dibahas berdasarkan nash-nash yang terkait dengan topik itu. Mencampuradukkan dua topik pembahasan ini adalah langkah keliru karena bertentangan dengan fakta pembahasan, sebagaimana bisa berakibat kekacauan terhadap pemahaman. Dengan demikian dua macam pembahasan itu harus dipisahkan.

Tinjauan sekilas terhadap persoalan jodoh menunjukkan bahwa persoalan ini adalah termasuk masalah akidah, sebab kepercayaan bahwa Alloh ﷻ mentakdirkan A berpasangan dengan B, C berpasangan dengan D, atau Alloh ﷻ tidak mentakdirkan itu adalah jenis keyakinan, bukan amal.

Efek pembahasan yang paling akhir adalah membentuk keyakinan tertentu seputar persoalan tersebut, bukan membahas apa yang harus dikerjakan oleh seorang mukallaf. Dengan demikian masalah jodoh adalah masalah akidah, bukan syariat dan dalam masalah ini pembahasan tersebut tidak ada bedanya dengan pembahasan tentang rezeki, ajal, Dajjal, siksa kubur, dan sebagainya.

Dalam persoalan akidah, seorang Muslim harus mendasarkan semua kepercayaannya atas dalil yang shohih. Tidak diperkenankan seorang Muslim memiliki keyakinan tanpa ada dalil, yakni sekedar menduga-duga atau mengikuti umumnya kata orang.

Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) (pasti), tidak boleh bersifat ( ظَنِّيٌّ ) (dugaan). Meskipun ada Qorinah (indikasi) yang menunjukkan pada keyakinan tertentu, selama dalil itu bersifat ( ظَنِّيٌّ ) tidak boleh seorang Muslim mengambilnya sebagai akidah. Alloh ﷻ telah mencela keras orang-orang kafir yang memiliki keyakinan bahwa para Malaikat itu berjenis kelamin wanita:

“Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan Malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An-Najm; 27-2). Artinya orang-orang kafir itu punya keyakinan bahwa Malaikat berjenis kelamin wanita tetapi mereka tidak memiliki bukti (dalil) atau argumentasi untuk menguatkan keyakinannya.

Keyakinan mereka hanya didasarkan pada dugaan ( ظَنٌّ ), padahal dzon itu sama sekali tidak ada nilainya untuk membuktikan ( الْحَقُّ ).

Dari sini bisa dipahami, bahwa langkah yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan jodoh adalah mencari dalil yang menunjukkan bahwa Alloh ﷻ telah menetapkan pasangan hidup manusia sebelum mereka diciptakan. Dalil itupun harus bersifat ( قَطْعِيٌّ ) baik ( قَطْعِيُّ الثُّبُوْتِ ) (pasti sumbernya) maupun ( قَطْعِيُّ الدَّلاَلَةِ ) (pasti penunjukan maknanya).

Setelah dilakukan kajian terhadap persoalan ini, nyatalah bahwa tidak ada nash baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah, juga Ijma’ sahabat dan Qiyas yang menunjukkan bahwa Alloh ﷻ menetapkan calon pasangan seseorang. Bahkan nash-nash yang ada menunjukkan bahwa persoalan ini adalah masalah mu’amalah biasa yang berada dalam area yang dikuasai manusia.

Artinya persoalan menentukan pasangan hidup adalah hal yang bersifat pilihan, yang manusia bertanggung jawab di dalamnya dan di hisab atasnya. Dalil yang menunjukkan bahwa menentukan pasangan hidup adalah pilihan manusia adalah: "Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat." (QS. An-Nisa;4).

Lafadz ( فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ ) begitu jelas menunjukkan bahwa setiap Muslim dipersilahkan memilih calon istrinya. Alasannya, ketika Alloh ﷻ memubahkan untuk menikahi wanita-wanita yang ( طَابَ ) (manis, enak, lezat, menyenangkan) bagi mereka, dan tidak mencela lelaki yang tidak mau menikahi wanita karena merasa kurang mantap, baik karena fisik maupun sifatnya, ini semua menunjukkan bahwa persoalan ini adalah persoalan pilihan ( اخْتِيَارِيٌّ ) bukan Qadha’.

Dalil lain yang mendukung adalah kenyataan bahwa syara’ memberikan hak menentukan calon suami sebagai hak penuh kaum wanita, yang tidak boleh ada intervensi dari siapapun meski itu ayah, ibu, paman, musyrif, atau khalifah sekalipun.

عن بن بريدة عن أبيه قال جاءت فتاة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت ثم إن أبي زوجني بن أخيه ليرفع بي خسيسته قال فجعل الأمر إليها فقالت قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن ليس إلى الآباء من الأمر شيء. (رواه ابن ماجه)

"Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya dia berkata: Seorang gadis datang kepada Nabi ﷺ. Kemudian ia berkata: Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan putra saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui aku. Maka Nabi pun menyerahkan keputusan itu pada gadis tersebut. Maka gadis itu berkata: Aku telah mengizinkan apa yang dilakukan ayahku, akan tetapi aku hanya ingin agar para wanita tahu bahwa para ayah tidak punya hak dalam urusan ini." (HR. Ibnu Majah dan An-Nasa’i).

Dalam hadis di atas, Nabi memberi kebebasan penuh pada gadis tersebut untuk memutuskan apakah melanjutkan pernikahannya ataukah membatalkannya. Ini menunjukkan bahwa menentukan calon suami adalah hak penuh bagi wanita dan merupakan pilihan dia semata-mata.

Dalil lain yang mendukung adalah adanya syari’at talak. Talak adalah pembubaran akad nikah. Syari’at talak memungkinkan seseorang yang menjadi pasangan hidup orang lain untuk berpisah pada satu waktu tertentu dengan sebab-sebab tertentu. Karena itu mustahil dikatakan bahwa seseorang sudah dipasangkan dengan orang tertentu jika ternyata syara’ memberikan suatu mekanisme untuk membubarkan akad nikah.

Lebih dari itu studi terhadap akad-akad yang diatur dalam syari’at Islam menunjukkan bahwa semua akad yang di sana terdapat Ijab dan Qabul adalah mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Dengan demikian jual-beli, Ijarah, Wakalah, Syirkah, dan semisalnya adalah termasuk perkara mu’amalah yang berada dalam area yang dikuasai manusia. Manusia akan dimintai pertanggung jawaban dalam aktivitas itu. Jika ia melakukan jual-beli, Ijarah, Wakalah, dan Syirkah, dengan cara yang syar’i maka ia bebas dari hukuman, tetapi jika ia melakukannya dengan cara batil maka ia akan dijatuhi hukuman. Demikian pula masalah menentukan pasangan hidup. Jika seorang wanita Muslimah memutuskan menikah dengan orang kafir maka ia akan dihukum, sebaliknya jika ia menikah dengan lelaki yang dihalalkan syara’ maka ia bebas dari hukuman.

Adapun ayat yang berbunyi: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri." (QS. Ar-Rum : 21)

"Dan Kami menciptakan kalian berpasang-pasangan." (QS. An-Naba’ : 8)

Juga termasuk ayat-ayat yang semisal dengannya, maka ayat ini sama sekali tidak terkait dengan masalah jodoh, dan tidak ada Qorinah apapun yang menunjukkan bahwa Alloh ﷻ menetapkan A menikah dengan B, C menikah dengan D, baik secara ( صَرَاحَةٌ ) (jelas) maupun ( دَلاَلَةٌ ) (penunjukan makna). Tidak hanya itu, secara Manthuq dan Mahfum ayat ini tidak bisa dipahami sebagai ayat jodoh, sebab Sighot (redaksional) ayat serta ( مَوْضُوْعٌ ) (topik pembahasan) memang tidak menunjuk ke arah sana. Maksud dari diciptakannya manusia berpasang-pasangan tidak lain adalah bahwa manusia terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan yang dengannya Alloh ﷻ memperkembangbiakkan spesies manusia di muka bumi, bukan ditetapkannya bahwa A akan menikah dengan B atau C akan menikah dengan D.

Adapun ayat yang berbunyi Khobitsat adalah untuk Khobitsun, dan Khobitsun adalah buat Khobitsat (pula), dan Thoyyibat adalah untuk Thoyyibun dan Thoyyibun adalah untuk Thoyyibat (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga) (QS. An-Nur; 26), maka ayat ini juga bukan ayat jodoh. Sebab As-babun Nuzul dari ayat ini adalah terkait dengan (حَدِيْثُ اْلإِفْكِ ) yakni peristiwa tuduhan atas Aisyah yang diisukan berbuat serong dengan seorang sahabat yang bernama Shofwan bin Mu’ath-thol.

Karena itulah para mufassirin ketika menafsirkan ayat ini, mereka menukil penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang dimaksud ( الْخَبِيْثَات ) dalam ayat ini adalah ucapan-ucapan yang buruk. Artinya ucapan-ucapan yang buruk (diantaranya adalah memfitnah wanita baik-baik berbuat zina) hanya akan muncul dari orang-orang yang buruk, yakni orang-orang munafik atau orang-orang yang hatinya ada penyakit. Bukannya orang shalih pasti akan menikah dengan wanita shalih dan lelaki shalih akan menikah dengan wanita shalihah.

Karena itu wajar jika diceritakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi Luth a.s beristri wanita yang tidak shalihah sebagaimana istri Fir’aun yang shalihah bersuami Fir’aun yang kafir. Hal ini dikarenakan urusan pernikahan adalah mu’amalah biasa bukan sesuatu yang telah ditetapkan sebagai mana rezeki dan ajal. Jadi ayat ini tidak sah digunakan sebagai dalil bahwa persoalan jodoh adalah sesuatu yang ditakdirkan, atau Alloh ﷻ telah menentukan “kaidah umum” dalam pengaturan jodoh seseorang.

Demikian pula dalam persoalan pasangan hidup. Memilih siapapun yang akan menjadi pasangan hidup semuanya adalah perkara (اخْتِيَارِيٌّ), akan tetapi terkait dengan kesepakatan, ini adalah masalah lain. Seorang dalam memutuskan sesuatu boleh jadi Alloh ﷻ mencondongkan pada suatu keputusan tertentu, boleh jadi membiarkannya. Sebab Alloh ﷻ adalah Dzat yang kuasa membolak-balikkan hati manusia.

Karena itu keimanan yang harus dimiliki adalah keimanan bahwa Alloh ﷻ bersifat ( اْلمُدَبِّرُ ) secara mutlak, baik pada area yang dikuasai manusia maupun yang tidak dikuasai manusia, bukan keimanan bahwa Alloh ﷻ telah menetapkan dalam Lauhul Mahfudz bahwa A dipasangkan dengan B atau C dipasangkan dengan D.
Demikian ukhtiiy shalihah.

Wallaahu a'laam bisshawaab

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Bismillahirrahmanirrahim...

Akhawatiiy fillaah....
Saat kita diciptakan Alloh ﷻ, satu-satunya yang Alloh ﷻ kehendaki adalah bahwa Allah Ta’ala,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku (saja).” (QS. Adz-Dzaariyaat: 56).

Demikian pula saat Alloh ﷻ turunlah Qodo dan Qodar-Nya, maka hamba-Nya hanyalah seseorang yang senantiasa meng Imani Nya apapun keputusan dan ketentuan-Nya...

Laa haulaa walaa quwwata illaa billaah...

Semoga kita senantiasa hidup dalam berkah ketha'atan kepada-Nya.

Uusiikum wa nafsiiy bitaqwallaah...

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar