Kamis, 30 Desember 2021

SHOLAT JAMAAH BAGI PEREMPUAN

 


OLeH: Ustadz H. Syahirul Alim

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌷SHALAT BERJAMAAH PEREMPUAN DI MASJID

Sesungguhnya melaksanakan shalat berjamaah merupakan bagian dari syi’ar Islam dan menjadi kebiasaan para Salafussalih serta ketetapan syara’ dalam ajaran Islam. Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, “وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ  “ (dan rukuk lah bersama orang-orang yang ruku’) dimana ayat ini berarti secara umum diartikan “shalat dalam kondisi berjamaah.” Dalam sebuah hadis sahih disebutkan,

 صَلَاةُ الجَمَاعَةُ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً 
 
"(Shalat jamaah lebih utama dari pada salat sendiri dengan perbandingan 27 tingkatan)." 

Nash-nash di atas tentu saja secara umum merupakan anjuran salat berjamaah baik bagi laki-laki dan perempuan, tanpa ada pengecualian. Nash di atas berlaku umum (muthlaq) dan tidak ditemukan pembatasan (muqayyad) tertentu soal keutamaan salat berjamaah, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Dalam beberapa riwayat hadis, juga disebutkan soal kebolehan wanita di imami oleh sesama wanita dalam suatu salat berjamaah. Riwayat yang disandarkan kepada Ibnu Abbas RA ini, dikutip dalam berbagai macam kitab fiqh dan hadis, diantaranya Sunan al-Kubra (Imam al-Baihaqi, terutama jilid 3 hal. 187); Ibnu Hazm dalam kitabnya, “al-Muhalla” menukil riwayat dari Ibnu Umar bahwa ia menyuruh keluarganya di rumah untuk shalat tarawih bermakmum kepada istrinya. Hal ini kemudian dibenarkan dalam mazhab ats-Tsauri, Atha’, al-Auza’i, Ishaq, dan Abi Tsur. Tetapi dalam Mazhab Syafi’i dan Hanbali tidak memfatwakan soal ini.

Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, “Asna al-Mathalib” (juz 1, hal. 209) menyatakan, “tidak diwajibkan shalat berjamaah bagi perempuan, tetapi hanya dianjurkan (mustahabbah).” Ia berpedoman kepada ayat, وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ (dan bagi laki-laki atas perempuan perbedaannya satu derajat, QS. al-Baqarah: 228). Al-Bouti al-Hanbali dalam kitabnya, “Syarh al-Muntaha al-Iradat” (juz 1, hal. 260) menyebutkan, bahwa disunnahkan bagi perempuan untuk berjamaah (bagi yang salat sendiri-sendiri) baik kepada laki-laki atau kepada sesama perempuan. Hal ini didasarkan pada sebuah hadis yang berasal dari Rithah al-Hanafiyyah, bahwa ia bermakmum kepada Aisyah RA bersama perempuan lainnya dalam salat-salat wajib (maktubah)." (HR. Baihaqi: Sunan al-Kubra).

Adapun, berbagai riwayat hadis yang dinukil oleh para ahli fiqh mengenai shalat jamaah perempuan di masjid, terdapat dalam riwayat Abu Daud, dimana Rasulullah ﷺ bersabda,

 صَلَاةُ المَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِن صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا 
 
"Shalat seorang perempuan di rumahnya lebih utama dari pada shalat di kamarnya dan shalatnya di ruang tertutup lebih utama dari pada shalat di rumahnya yang terbuka."

Dalam beberapa riwayat lain, bahwa “Alloh ﷻ lebih menyukai shalat seorang perempuan di tempat-tempat yang tersembunyi di rumahnya”, seperti di kamar atau di ruangan-ruangan tertentu untuk menjaga kehormatan seorang perempuan dan menghindarkan mereka dari berbagai fitnah, sebagaimana zaman dahulu bahwa wajah dan lekuk tubuh perempuan dapat mengundang fitnah atau bencana.

Dari berbagai riwayat hadis di atas jika dikompromikan, maka terdapat suatu kaidah umum, bahwa shalatnya perempuan ditempat-tempat tersembunyi di dalam rumah, jelas merupakan upaya dalam menutup aurat mereka agar terhindar dari fitnah. Hadis-hadis di atas tidaklah menunjukan suatu pertentangan (ta’arudl) antara satu dan lainnya dalam hal shalat sendiri maupun berjamaah. Jika mereka harus shalat di area “tersembunyi” berarti yang dimaksud adalah “menghindari diri mereka  atas segala hal yang dapat menimbulkan kesenangan karena keindahan yang dimilikinya (imti’ah al-nafiisah)”, atau shalat “dikamar lebih baik” berarti menunjukkan dimana shalat berjamaah minimal dilakukan oleh dua orang (imam-makmum) dan itu merupakan syarat berjamaah yang paling sedikit.

Adapun, ketika ada hadis lain yang diriwayatkan Imam Ahmad,

 “لا خَيْرَ فِي جَمَاعَةِ النِّسَاءِ إِلَّا فِي الـمَسْجِدِ أَوْ فِي جَنَازَةِ قَتِيلٍ 
 
"Tidak ada kebaikan dalam salat jamaahnya perempuan kecuali di dalam masjid atau berjamaah ketika mensalatkan jenazah." 

Hadis ini menunjukkan sebatas “ketiadaan kebaikan” yang secara lazim berarti “bukanlah suatu larangan” dan bukan pula argumentasi secara naql adanya “tuntutan keharusan” 
(al-mathlub) bagi perempuan keluar dari rumahnya berjamaah di masjid. Namun, hadis di atas secara kontekstual dapat berarti bahwa berjamaah nya perempuan di masjid tentu saja di imami oleh laki-laki dan itu yang menjadi “penekanan” dalam perihal shalat berjamaah, sedangkan ketika di rumah, boleh di imami oleh sesama perempuan dan bukan laki-laki, sebab salat berjamaah bagi laki-laki di masjid adalah “sunnah muakkad” (menurut Imam Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, “Syarh Fath al-Mu’in” Imam Zain al-Din al-Malibari).

Lalu, bagaimana seharusnya shalat jamaahnya perempuan? Di rumah atau di masjid? Persoalan ini tentu saja seolah menjadi polemik, terutama mereka yang cenderung mengacu kepada dzahir hadis (tekstual) dan mereka yang secara kontekstual membolehkannya. Para imam mazhab, Maliki (lihat kitab: Mawahib al-Jalil, Juz. 2, hal. 451, Hasiyyah al-Dasuqi, juz. 1, hal. 335, Hasiyah al-Shawi, juz. 5, hal 229, dan al-Istidzkar-nya Ibnu Abdil Barr, juz. 2, hal. 469) ; Syafi’i (al-Majmu’ karya an-Nawawi, juz. 4, hal. 199); Hanafi (al-Hidayah karya al-Murghinani, juz. 2, hal. 354, Bada’i as-shanai’ karya al-Kassani, juz. 1, hal. 275); dan Hanbali (Kassyaf al-Qana’ karya Imam al-Buhuti, juz. 1, hal. 465, dan al-Mughni karya Ibnu al-Qudamah, juz. 2, hal. 149) sepakat bahwa boleh perempuan keluar rumah untuk salat berjamaah di masjid. 

"Hal ini didasarkan atas suatu riwayat dari Ibnu Umar, لا تَمْنَعوا إماءَ اللهِ مساجدَ اللهِ (Tidak ada larangan bagi siapapun menjadi hamba-Nya di masjid-masjid Alloh ﷻ)." (HR. Bukhari dan Muslim). 

Sebuah riwayat hadis yang berasal dari Aisyah menyebutkan,

 إنْ كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ليُصلِّي الصبحَ فيَنصرِفُ النساءُ متلفِّعاتٍ بمُروطهنَّ، ما يُعرَفْنَ من الغَلَس 
 
"Jika Rasulullah ﷺ selesai melaksanakan salat Subuh, maka ia menutupi bagian jamaah perempuan dengan kain penutup, tidak ada yang melihatnya waktu itu karena keadaan gelap." (HR. Bukhari dan Muslim). 

Dan hadis lain,

 لا تَمنعوا نِساءَكم المساجدَ، وبيوتُهنَّ خيرٌ لهنَّ 
 
"Tidak ada larangan bagi perempuan untuk shalat berjamaah di masjid, tetapi shalat di rumahnya lebih baik baginya." (HR. Abu Daud, Ahmad, dan Ibnu Huzaimah).

Hanya saja, semua kondisi ini tentu saja memiliki syarat-syarat tertentu dalam hal kebolehan perempuan berjamaah di masjid, diantaranya bahwa salat jamaah bagi perempuan dinilai sunnah, tidak sunnah muakkad seperti laki-laki dan perempuan yang hendak ke masjid, harus memperoleh izin dari suami atau muhrim-nya. 

Wallahu a’lam bisshawab

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Atin ~ Pekalongan
Assalamu'alaikum Ustadz.

Benarkah jika perempuan berjamaah di masjid harus berangkat bersama muhrimnya. 

Bagaimana juga dengan perempuan yang suka berlama-lama di masjid untuk dzikir dan tilawah sedangkan dia sendiri dan di ruang depan laki-laki berkumpul?

🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Kita harus baca konteks sejarahnya, dulu zaman Rasulullah ﷺ, perempuan sangat berbahaya bepergian sendiri tanpa muhrim, sebab jarak masjid dengan rumah cukup jauh, belum lagi kondisi padang pasir yang berbahaya, sehingga perempuan tidak dianjurkan untuk sholat di masjid dan bahkan di rumah pun untuk menjaga fitnah bila perlu dikamar sehingga tidak terlihat dari luar bahwa ada perempuan di rumah sedangkan yang laki-laki sedang ke masjid. Suasana Jazirah Arab yang masih Jahiliyah sangat buruk masyarakatnya sehingga untuk menghindari hal-hal yang terjadi diupayakan agar perempuan tetap di rumah.

Sekarang, di Indonesia masjid dan mushola hampir berdekatan dengan rumah, bahkan tidak berbahaya bagi perempuan sekalipun berdzikir berlama-lama di masjid apalagi ada hijab yang menghalangi. Sholat jamaah pun sudah tidak berbahaya bagi perempuan karena tetangga saling mengenal dan mengetahui. Jadi di sinilah persoalannya, membaca hadis tentu harus diselaraskan dengan konteks historis dan sosialnya, sehingga dapat lebih dipahami.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Han ~ Gresik
Assalamu'alaikum,

1. Tadz, apa pendapat ulama tentang Qunut Shubuh? Apakah dalil hadits tentang adanya Qunut Shubuh?

2. Apakah ketika membaca Qunut mesti mengangkat tangan? Jika seseorang shalat di belakang imam yang membaca Qunut, apakah ia mesti mengikuti imamnya tadz?

🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

1. Dalil qunut subuh jika dihitung ada 12 hadis yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis, sedang dalil yang tidak qunut subuh hanya satu. Jadi jika dilihat lebih jauh, dalil qunut subuh lebih kuat (karena banyak dalam beragam redaksi) dibanding yang tidak qunut subuh. Lagi pula qunut hukumnya sunnah, jadi ya dikerjakan berpahala tidak juga tidak apa-apa, yang salah yang mengharamkan qunut subuh, padahal Nabi menurut kesaksian Anas bin Malik dalam kitab Shahih Bukhari melakukan qunut subuh sampai wafatnya beliau.

2. Membaca qunut jelas mengangkat tangan karena itu yang dilakukan Rasulullah ﷺ, baik qunut nazilah atau qunut subuh, bahkan Nabi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Jika ayat al-Quran-Nya "sholat lah dengan orang-orang yang sholat" maka makmum harus mengikuti imam, sebab jika imam tidak qunut makmum juga tidak, begitupun sebaliknya imam qunut angkat tangan maka makmum seharusnya ikut angkat tangan, karena makmum wajib mengikuti imam.

Wallahu a'lam

0️⃣3️⃣ Achi ~ Tangsel
Assalamu alaikum ustadz,

1. Saat menjadi makmum, mungkin bukan untuk akhwat, tapi ikhwan juga. 
Apakah saat menjadi makmum, wajib membaca iftitah?
Dan bacaan sholat apa yang dibaca oleh makmum?
Dan bagaimana jika kita tidak menyelesaikan bacaan sholat karena imam sudah ruku'?

2. Posisi seorang akhwat saat mengimami ikhwan (adik yang belum baligh), apakah di depan seperti imam di masjid pada umumnya, atau sejajar dengan makmum tapi agak maju sedikit?

3. Jadi jika adzan berkumandang (pas waktu sholat tiba), tidak apa-apa ya kalau seorang akhwat sholat di rumah atau di musholla kantor ustadz?

🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

1. Hukum membaca doa iftitah itu sunnah bukan wajib, sekalipun sholat sendiri apalagi berjamaah. Kalau melihat pada ayat Al-Qur'an "warka'uu ma'arraki'iin" 
(sholat lah bersama orang-orang sholat) berarti makmum mengikuti imam, kalau takbir ya takbir, baca fatihah ya fatihah, dan seluruh bacaan sholat dibaca oleh makmum sebagaimana dibaca oleh imam. Ada bacaan-bacaan yang sunnah dalam sholat bahkan gerakan sunnah dalam sholat, seperti takhiyat awal itu hukumnya sunnah dan menengok ke kiri pada saat salam juga sunnah yang wajib hanya ke kanan.

2. Untuk imam-makmum antara ibu dan anak laki-laki yang belum baligh tetap makmum di belakang, namanya juga imam (di depan). Imam itu berasal dari "amam" 
(didepan) dan dimana-mana imam di depan tidak ada yang sejajar, kecuali berdua agak maju sedikit, tetapi tetap tidak sejajar posisinya. Jika sejajar ya, tidak ada imam dan tidak ada makmum.

3. Sangat tidak apa-apa, bahkan pahalanya 27 baik bagi perempuan dan laki-laki tidak ada bedanya. Silahkan berjamaah karena masjid saat ini tempat yang paling aman untuk sholat berjamaah. IsyaAllah.

🌷Afwan ustad, berarti iftitah sunnah saat menjadi makmum dan imam dalam sholat berjamaah ya ustadz?

Untuk nomer 2, kalau misal mau mengimami akhwat (banyak orang) itu posisi imam (akhwat) bagaimana ustadz?

🔷Iya membaca doa iftitah itu sunnah hukumnya. Jika sholat tidak dibaca, juga tidak apa-apa. Hanya saja rugi jika kita dalam keadaan sholat normal, bukan solat jamak atau qashar. Sebab doa iftitah itu bagus dan memiliki makna yang dalam jika diartikan.

Posisi imam di depan, makmum dibelakang, tidak ada makmum imam sejajar. Karena imam itu depan, makmum mengikuti imam.

🌷Oh begitu ya ustadz, soalnya pernah dulu ditunjuk jadi imam, waktu SMA. Itu dikasih tahu teman sejajar tapi agak maju dikit. Berarti seharusnya memang di depan ya ustadz.

Afwan ustadz, sebagai akhwat yang menjadi imam, bagaimana dengan volume suaranya ya ustadz? Karena pernah diskusi dengan teman, pelan-pelan suaranya. Atau sebenarnya harus lantang?

🔷Kalau akhwat pelan yang penting yang belakang dengar. Kalau laki-laki harus lantang.

🌷Oh na'am ustad. Jazakumullah khayr atas jawabannya.

0️⃣4️⃣ Achi ~ Tangsel
Ustadz, afwan. 
Apakah sholat sunnah seperti tahajjud dan dhuha boleh dilakukan secara berjamaah?

🔷Jawab:
Sepanjang yang saya tahu, tidak ada dalil sholat sunnah berjamaah, kecuali solat id, khusuf, kusyuf (gerhana), istisqa, dan taraweh. Tahajjud itu sendiri dan dhuha itu sendiri. Itu yang saya pahami.

Namun kalaupun dilakukan jamaah ya tidak ada larangan juga. Jadi ya boleh sebatas itu sekadar ta'lim (pembelajaran) agar terbiasa sholat sunnah.

Wallahu a'lam bisshawab.

🌷Untuk mengajari orang yang baru belajar mungkin tidak apa ya ustadz? 

🔷Iya begitu maksudnya. Jika sudah terbiasa ya dilakukan sendiri. Karena ayat tahajud bahasanya "nafilatan laka" (sunah bagimu) kata ganti orang kedua tunggal, jadi ya sendiri bukan "kum" 
(kalian atau kata ganti kedua jamak).

وَ مِنَ الَّیۡلِ فَتَہَجَّدۡ بِہٖ نَافِلَۃً لَّکَ ٭ۖ عَسٰۤی اَنۡ یَّبۡعَثَکَ رَبُّکَ مَقَامًا مَّحۡمُوۡدًا

Waminallaili fatahajjad bihi naafilatan laka ‘asa an yab’atsaka rabbuka maqaaman mahmuudan;

Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat mu ke tempat yang terpuji.

Wallahu a'lam

0️⃣5️⃣ Han ~ Gresik
Assalamu'alaikum,

1. Ustadz, ketika sujud, manakah yang terlebih dahulu menyentuh lantai, telapak tangan atau lutut?

Apakah ketika bangun dari sujud itu langsung tegak berdiri atau duduk istirahat sejenak? 

2. Bagaimana ustadz (orang tua perempuan) posisi jika kita berjamaah di rumah dengan anak kecil lelaki yang masih belum bisa lengkap bacaan dan cara sholatnya? 

🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

1. Sujud itu ada anggota-anggotanya, diantaranya jidat atau kening, dua telapak tangan, 2 lutut, dan 2 ujung kaki (semuanya 7). Adapun soal mana yang didahulukan, tidak ada dalil yang sharih. Nabi ketika masih muda itu lutut dulu, namun ketika usianya 60 dan sakit-sakitan tangan dulu, harus dipahami perubahan Nabi dalam pola sujud mana yang lebih dulu itu karena faktor usia dan harus dipahami redaksi haditsnya.

Ada sahabat yang melihat Nabi muda dan ada sahabat yang melihat Nabi tidak muda lagi dan ini berbeda dalam redaksi haditsnya. Untuk bangun dari sujud juga bagi yang muda dan kuat boleh langsung. Bagi yang sepuh ya baiknya duduk dulu, kasihan nanti sakit pinggang kalau langsung berdiri. 

2. Posisi imam dan makmum tidak sejajar, boleh didekatkan karena perempuan hanya boleh dengan suara lirih ketika menjadi imam dalam sholat zahar.

Wallahu a'lam

0️⃣6️⃣ Aisya ~ Cikmpek 
Assalamualikum warahmatullahi

Saya tambahan mba han.
Bagaimanakah posisi  sebenarnya tangan seorang perempuan  ketika melakukan sujud tadz?

Di bawah dagu kah?
Atau boleh di kiri kanan pipi ustadz?

🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh

Untuk sujud perempuan, tangannya rapat dibawah dagu tidak melebar seperti laki-laki. Tangan perempuan berada di antara lambung dan dirapatkan. Artinya dibawah dagu.

Wallahu a'lam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Semoga dapat memberi manfaat dan insyaAllah menjadi pahala kebaikan bagi yang ikhlas dalam menuntut ilmu.

Mohon maaf atas segala khilaf dan kekurangan.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar