Kamis, 30 Desember 2021

QADHA SHOLAT

 


OLeH: Ustadz H. Farid Nu'man Hasan, S.S

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸QADHA SHOLAT

◾Qadha Shalat Karena Tertidur atau Lupa

Dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

Mereka menceritakan kepada Nabi ﷺ  bahwa tertidurnya mereka membuat lalai dari shalat. Maka Beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bukan termasuk lalai  karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).”
(HR. At Tirmidzi No. 177, katanya: hasan shahih.  juga diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 680, namun dengan lafaz agak berbeda).

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}

“Barang siapa yang lupa dari shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Alloh ﷻ berfirman: “dirikanlah shalat untuk mengingatKu”).” (HR. Bukhari no. 597)  

Untuk kasus mengqadha shalat karena tertidur, dari Qatadah  Radhiallahu ‘Anhu , katanya:

سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلَاةِ قَالَ بِلَالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلَالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلَالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

“Kami pernah berjalan bersama Nabi ﷺ  pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, “Wahai Rasulullah,  barangkali anda mau istirahat sebentar bersama kami?” Beliau menjawab: “Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.” Bilal berkata, “Aku akan membangunkan kalian.” Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi ﷺ  terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: “Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!” Bilal menjawab: “Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.” Beliau lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah ﷻ  memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!” kemudian beliau berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.”  (HR. Bukhari no. 595)

Untuk kasus mengqadha shalat karena lupa akibat kesibukan, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu katanya:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ

“Bahwa Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat ‘Ashar hingga matahari hampir terbenam!” Maka Nabi shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda: “Demi Allah, aku juga belum melaksanakannya.” Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudlu dan kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.” 
(HR. Bukhari no. 596) 

Karena hadits ini, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:

اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم

“Para ulama sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa dan  tertidur.” 
(Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)

Demikian dasar yang begitu kuat dalam mengqadha shalat bagi yang lupa atau tertidur, bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas:

1. Qadha itu terjadi jika luputnya shalat karena lupa dan tertidur.

2. Qadha dilakukan segera ketika sadar atau ingat.

3. Mengqadha shalat wajib adalah wajib, karena Nabi ﷺ   mengatakan: “tidak ada tebusan yang lain kecuali dengan itu.”

4. Nabi dan para sahabat pun pernah mengalaminya.

◾Shalat-shalat Masa Lalu Yang Ditinggalkan

Ini diperselisihkan ulama pula. Sebagian mengatakan cukup baginya bertobat, berbuat baik, dan memperbanyak shalat sunnah.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

شرع التطوع ليكون جبرا لما عسى أن يكون قد وقع في الفرائض من نقص، ولما في الصلاة من فضيلة ليست لسائر العبادات.

"Disyariatkannya shalat sunah adalah untuk jabran (menambal) kekurangan yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, lantaran pada shalat terdapat berbagai keutamaan yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah lainnya.”  (Fiqhus Sunnah, 1/181)

Dari Huraits bin Al Qabishah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ  bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti  yang pertama kali dihitung dari amal seorang hamba adalah shalatnya, jika bagus shalatnya maka dia telah beruntung dan selamat. Jika buruk maka dia telah merugi dan menyesal. Jika shalat wajibnya ada kekurangan maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunah? Hendaknya disempurnakan kekurangan shalat wajibnya itu dengannya.” Kemudian diperhitungkan semua amalnya dengan cara demikian.”  (HR. At Tirmidzi, shahih)

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah  mengatakan demikian:

تارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع

“Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyatriatkan untuk mengqadhanya dan tidak sah jika dia melaksanakannya, tetapi hendaknya dengan memperbanyak shalat sunah.”   (Fiqhus Sunnah, 1/274)

Syaikh Az Zurqani Rahimahullah mengutip dari Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan, bahwa shalat sunah tidak bisa menggantikan shalat wajib yang ditinggalkan sebab itu dosa besar, tetapi dengan bertobat sebenar-benarnya, berikut ini perkataan Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah ketika menerangkan hadits Huraits bin Al Qabishah:

 ومعنى ذلك عندي فيمن سها عن فريضة أو نسيها أما تركها عمدا فلا يكمل له من تطوع لأنه من الكبائر لا يكفرها إلا الإتيان بها وهي توبته 

“Makna hadits itu,  menurutku bagi siapa saja yang lalai dari shalat wajib atau lupa, adapun jika sengaja meninggalkannya maka tidak bisa disempurnakan dengan shalat sunah, karena itu adalah dosa besar yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan bertobat darinya.”  (Syarh Az Zurqani ‘Alal Muwaththa’,  1/502)

Imam Ibnu Abdil Bar berbeda dengan Imam Ibnu Taimiyah, menurutnya jika meninggalkan shalat dengan sengaja tidak bisa dihilangkan dengan shalat sunah, tetapi dengan bertobat. Namun, keduanya sepakat bukan dengan cara mengqadha shalat wajib itu. Adapun Imam Ibnu Hazm, Beliau berpendapat: hendaknya orang tersebut memperbanyak shalat sunah dan amal kebaikan, serta bertobat dan memohon ampun kepada Allah Ta’ala.

Berikut ini perkataan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وَأَمَّا مَنْ تَعَمَّدَ تَرْكَ الصَّلَاةِ حَتَّى خَرَجَ وَقْتُهَا فَهَذَا لَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا، فَلْيُكْثِرْ مِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَصَلَاةِ التَّطَوُّعِ؛ لِيُثْقِلَ مِيزَانَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؛ وَلْيَتُبْ وَلْيَسْتَغْفِرْ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ.

“Adapun orang yang sengaja meninggalkan shalat sampai habis  waktunya, maka hal itu selamanya tidak bisa disetarakan dengan mengqadhanya, tetapi hendaknya dia memperbanyak melakukan perbuatan baik dan shalat sunah, agar dapat memperberat timbangannya pada hari kiamat, dan hendaknya dia bertobat dan memohon ampunan kepada Allah ﷻ.” (Al Muhalla, 2/20)

Sebagian imam –dan ini masyhur dikalangan Syafi’iyah- mengatakan wajibnya qadha terhadap shalat yang pernah ditinggalkan pada masa-masa silam. Mereka mengatakan dilakukan dengan cara: 

1) Memperkirakan berapa jumalah shalat yang ditinggalkan hingga jumlah yang menenangkan hati mereka.

2) Di qadha pada waktu-waktu yang bebas kapanpun walaupun di waktu-waktu terlarang. Tentu pendapat ini  diberikan ruang dan tidak ada pengingkaran dalam masalah yang masih debatable para ulama.  
Adapun seseorang  meninggalkan shalat karena lupa dan tertidur, lalu dia teringat wajib baginya mengqadha  menurut ijma’. Sebagaimana yang Nabi dan para sahabat contohkan pada hadits-hadits di awal. 
Demikianlah masalah ini. Semoga bermanfaat.

Wallahul Muwafiq Ila Aqwamuth Thariq

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Yama ~ Bengkulu
Assalamu'alaikum,

Ustadz, dalam hal ibadah wajib seperti sholat, jika lupa atau keadaan tertidur dan ingat belum sholat maka harus segera melaksanakan sholat, melaksanakan bukan berarti mengganti (qadha). Kalau memang sholat bisa di qadha, berarti wanita haid wajib mengqadha sholatnya, itu bagaimana Ustadz? 

Sebelum dan sesudahnya terimakasih.

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.

Jika karena tertidur dan lupa, lalu baru ingat setelah waktunya habis itu namanya qadha. Seperti yang dijelaskan ulama. Qadha itu apa sih? Yaitu menjalankan kewajiban tidak pada waktunya karena uzur.  

Hal itu dilakukan karena ada contohnya dan perintahnya dalam sunnah. Bahkan itu kesepakatan 4 mazhab. Yang para ulama berbeda pendapat adalah qadha shalat di masa lalu, bukan karena lupa atau tertidur, tapi sengaja karena malas, zaman masih ABG misalnya. Ini sudah dibahas di bagian akhir. 

Adapun wanita haid TIDAK ADA QADHA SHALAT, karena memang ada dalilnya yang menegaskan. 

Aisyah Radhiallahu 'Anha berkata:

كُنَّا نَحِيضُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا يَأْمُرُنَا بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Kami haid di zaman Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, kami diperintahkan qadha puasa, Tapi tidak diperintahkan qadha shalat. (HR. Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, dan lain-lain)

Jadi, qadha shalat karena tertidur atau lupa berdasarkan dalil (bahkan banyak dalil). 

Tidak qadha shalat karena haid, juga berdasarkan dalil. Bahkan ini ijma', sepakat para ulama. Kecuali jika dia haid jam 2 siang tapi belum shalat dzuhur padahal itu sudah masuk dzuhur dari tadi, maka wajib bagi dia qadha zuhurnya segera saat sudah suci. 

Wallahu A’lam

0️⃣2️⃣ Afni ~ Garut
Assalamualaikum ustadz, 

Berdosakah kita menunda atau mengakhirkan shalat? Apakah masih diperbolehkan tetap shalat meski sudah habis waktu shalat? Dikarenakan sedang di pusat perbelanjaan atau di jalan menuju pulang.

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

★ Menunda itu ada 2 model:

✓ 1. Menunda tapi masih di waktu shalat. Misal zuhur jam 13:30 WIB. Jelas ini tidak awal waktu, tapi juga masih waktunya.

Ini tidak apa-apa, tapi dia kehilangan keutamaan awal waktu.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

"Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (QS. An-Nisa’: 103)

Sehingga selama shalat dilakukan di interval waktu shalat tersebut, belum masuk waktu shalat berikutnya, maka sah dan boleh.

Dalam hadits:

إن للصلاة أولا وآخرا، وإن أول وقت الظهر حين تزول الشمس، وإن آخر وقتها حين يدخل وقت العصر..

"Shalat itu ada awal waktunya dan akhirnya, awal waktu zhuhur adalah saat tergelincir matahari, waktu akhirnya adalah saat masuk waktu ashar." (HR. Ahmad no. 7172, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Ta’liq Musnad Ahmad, no. 7172)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

يجوز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها بلا خلاف، فقد دل الكتاب، والسنة، وأقوال أهل العلم على جواز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها، ولا أعلم أحداً قال بتحريم ذلك

"Dibolehkan menunda shalat sampai akhir waktunya tanpa adanya perselisihan, hal itu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Perkataan para ulama juga membolehkan menunda sampai akhir waktunya, tidak ada seorang ulama yang mengatakan haram hal itu." (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/58)

✓ 2. Menunda SAMPAI HABIS waktu shalat dan masuk waktu shalat berikutnya. Ini haram, kecuali ada uzur syar'i seperti safar, pekerjaan yang bahaya jika ditinggal, dan semisalnya. Adapun sekedar belanja di pasar, tidak termasuk uzur.

Itulah yang dikecam dalam firman-Nya:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

"Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang saahuun (lalai) terhadap shalatnya." (QS. Al-Ma’un, Ayat 4-5)

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:

عني بذلك أنهم يؤخرونها عن وقتها، فلا يصلونها إلا بعد خروج وقتها

"Maknanya, bahwa mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka tidaklah shalat kecuali setelah keluar dari waktunya." (Tafsir Ath Thabariy, 10/8786)

Dalam Al Mausu’ah:

اتفق الفقهاء على تحريم تأخير الصلاة حتى يخرج وقتها بلا عذر شرعي

"Para fuqaha sepakat haramnya menunda shalat sampai habis waktunya tanpa uzur syar’iy." (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/8)

Wallahu A’lam

0️⃣3️⃣ Fatimah ~ Bandung
Assalamualaikum ustadz,

Bila kita sholat di kendaraan kan serba terbatas, apakah harus di qodho lagi ya ustadz?

🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim ..
Shalat fardhu (wajib) di kendaraan tanpa alasan, tanpa 'udzur, memang tidak boleh, tapi jika ada alasan yang syar'iy tentu boleh, baik bagi shalat wajib dan sunnah. Hal ini jika memang tidak mungkin untuk turun atau singgah.

'Amr bin Rabi'ah Radhiallahu Anhu berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ

"Aku melihat Rasulullah ﷺ  di atas hewan tunggangannya bertasbih dengan memberi isyarat dengan kepala beliau kearah mana saja hewan tunggangannya menghadap. Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukan seperti ini untuk shalat-shalat wajib." (HR. Bukhari no. 1097)

Imam An Nawawi Rahimahullah menerangkan:

وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْمَكْتُوبَةَ لَا تَجُوزُ إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ وَلَا عَلَى الدَّابَّةِ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ إِلَّا فِي شِدَّةِ الْخَوْفِ

Di dalamnya terdapat dalil, tidak bolehnya shalat wajib tanpa menghadap kiblat dan tidak boleh pula shalat wajib di atas kendaraan, dan ini perkara yang telah disepakati, kecuali keadaan yang begitu mengkhawatirkan.
(Syarh Shahih Muslim, 5/211)

Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

قال أَصْحَابُنَا وَلَوْ حَضَرَتْ الصَّلَاةُ الْمَكْتُوبَةُ وَهُمْ سَائِرُونَ وَخَافَ لَوْ نَزَلَ لِيُصَلِّيَهَا عَلَى الْأَرْضِ إلَى الْقِبْلَةِ انْقِطَاعًا عَنْ رُفْقَتِهِ أَوْ خَافَ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ لَمْ يَجُزْ تَرْكُ الصَّلَاةِ وَإِخْرَاجُهَا عَنْ وَقْتِهَا بَلْ يُصَلِّيهَا عَلَى الدَّابَّةِ لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ وَتَجِبُ الْإِعَادَةُ لِأَنَّهُ عُذْرٌ نَادِرٌ هَكَذَا ذَكَر الْمَسْأَلَةَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ صَاحِبُ التَّهْذِيبِ وَالرَّافِعِيُّ وَقَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ يُصَلِّي عَلَى الدَّابَّةِ كَمَا ذَكَرْنَا قَالَ وَوُجُوبُ الْإِعَادَةِ يَحْتَمِلُ وَجْهَيْنِ أَحَدَهُمَا لَا تَجِبُ كَشِدَّةِ الْخَوْفِ وَالثَّانِي تَجِبُ لِأَنَّ هَذَا نَادِرٌ 

Para sahabat kami (Syafi'iyah) mengatakan: Jika masuk waktu shalat WAJIB, dan mereka dalam posisi perjalanan, dan khawatir jika shalatnya mereka menghadap kiblat membuat mereka terputus dari rombongan, atau khawatir atas keselamatan diri sendiri, atau hartanya, di sisi lain shalat tidak boleh ditinggalkan atau keluar dari waktunya, maka hendaknya dia shalat di atas kendaraannya untuk menghormati waktunya, dan wajib baginya nanti untuk mengulanginya karena itu adalah 'udzur yang langka.

Demikianlah bahasan masalah ini, seperti yang dikatakan segolongan ulama di antara mereka  pengarang At Tahdzib dan Ar Rafi'iy.

Al Qadhi Husein mengatakan tentang shalat di atas kendaraan seperti yang kami sebutkan, menurutnya kewajiban mengulangi itu ada dua makna: ✓Pertama. TIDAK WAJIB mengulangi karena sama dengan shalat dalam keadaan sangat khawatir atau khauf. ✓Kedua. WAJIB ulangi, sebab ini udzur yang langka.
(Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, 3/242)

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

ونقل عن بعضهم أنه لا تجب الإعادة، لأن فعل الفرض يطلب مرة واحدة، وهو الراجح، وإن كانت الإعادة أحوط. 

Dinukil dari sebagian ulama TIDAK WAJIBnya mengulangi shalatnya, karena melakukan shalat wajib itu hanya sekali di waktu yang sama, inilah pendapat yang lebih kuat, walau mengulangi itu adalah lebih hati-hati.

(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no.  14833)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

تصح الصلاة في السفينة والقاطرة والطائرة بدون كراهية حسبما تيسر للمصلي. فعن ابن عمر قال: سئل النبي صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في السفينة؟ قال: (صل فيها قائما إلا أن تخاف الغرق) رواه الدار قطني والحاكم على شرط الشيخين، وعن عبد الله بن أبي عتبة قال: صحبت جابر بن عبد الله وأبا سعيد الخدري وأبا هريرة في سفينة فصلوا قياما في جماعة، أمهم بعضهم وهم يقدرون على الجد، رواه سعيد بن منصور.

“Shalat di kapal laut, kereta, dan pesawat, adalah sah tanpa dimakruhkan sama sekali, jika memang itu yang mungkin dilakukan. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya tentang shalat di kapal laut. Dia menjawab: “Shalatlah di dalamnya dengan berdiri, kecuali jika engkau takut tenggelam.” Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Al Hakim sesuai syarat Bukhari-Muslim. Dan dari Abdullah bin Abi Utbah, dia berkata: “Aku pernah menemani Jabir bin Abdullah, Abu Said al Khudri, dan Abu Hurairah di dalam apal laut. Mereka shalat sambil berdiri secara berjamaah dengan diimami salah seorang dari mereka, padahal mereka masih ada peluang shalat dipantai.” (HR. Said bin Manshur).”   (Fiqhus Sunnah, 1/292)

Kebolehan shalat di kendaraan ini dipertegas lagi oleh perbuatan para salaf, baik kalangan sahabat dan murid-murid mereka, baik duduk atau berdiri, seperti yang dibuktikan dalam berbagai riwayat-nya Imam Ibnu Abi Syaibah sebagai berikut:

عن مجاهد قال كنا نغزو مع جنادة بن أبي أميه البحر فكنا نصلي في السفينة قعودا.

Dari Mujahid, dia berkata: “Kami perang bersama Junadah bin Abu Umayyah di lautan, maka kami shalat di kapal laut sambil duduk.”

أن ابن سيرين قال خرجت مع أنس إلى بني سيرين في سفينة عظيمة قال فأمنا فصلى بنا فيها جلوسا ركعتين ثم صلى بنا ركعتين أخراوين.

Bahwa Ibnu Sirin berkata: “Aku keluar bersama Anas menuju Bani Sirin dengan kapal besar, dia mengimami kami dan shalat dengan kami di dalamnya dengan cara duduk dua rakaat, kemudian shalat lagi dua raka’at lainnya.”

عن أبي قلابة أنه كان لا يرى بأسا بالصلاة في اسفينة جابسا. حدثنا وكيع عن أبي خزيمة وطاوس قال صل قاعدا.

Dari Abu Qilabah bahwa dia memandang tidak masalah shalat di kapal sambil duduk. Telah bercerita kepada kami Waki’, dari Abu Khuzaimah dan Thawus, dia berkata: Shalatlah dengan cara duduk!

عن ابن سيرين أنه قال في الصلاة في السفينة إن شئت قائما وأن شئت قاعدا والقيام أفضل.

Dari Ibnu Sirin, bahwa dia berkata tentang shalat di kapal laut: “Jika kau mau duduklah, namun berdiri lebih utama.” (Lihat semua dalam Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah, 2/266-267)

Shalatnya para sahabat dan tabi'in secara berjamaah di kendaraan, dan berulang-ulang,  menunjukkan mereka shalat wajib.

Demikian. Wallahu a'lam

Farid Nu'man Hasan
Join Channel: bit.ly/1Tu7OaC
️Fanpage:https://facebook.com/ustadzfaridnuman 
Kunjungi website resmi: alfahmu.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar