Senin, 31 Desember 2018

FIQH JUAL BELI



OLeH: Ustadz Abdurrahman Wahid,Lc.,MA

           💘M a T e R i💘

Assalamu'alaikum wr. wb.

🌷FIQH JUAL BELI

Bagian 1

1. PENGERTIAN, HUKUM DAN KEUTAMAAN

◼Pengertian Jual Beli:
Yaitu pertukaran harta dengan harta atas dasar saling rela. Perpindahan kepemilikan dengan timbal balik yang sesuai atau diperbolehkan.  (Sayyid Sabiq: Fiqh sunnah)

◼Hukum asal Jual Beli:
Dari Al Qur'an: "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS: Al Baqoroh: 275).

Dari sunnah: Rosulullah SAW bersabda "Sebaik-baik penghasilan adalah kerja seorang laki-laki dengan tangannya, dan setiap perdagangan yang baik."

◼Hikmah Jual Beli:
Disyariatkannya (kebolehan) jual beli adalah kemudahan dan keluasan syariah, karena setiap orang mempunyai keterbatasan untuk mengadakan sendiri pakaian, makanan, dan kebutuhan dirinya pribadi.
Dengan adanya jual beli yang merupakan sarana pertukaran barang yang dibutuhkan, maka setiap orang mampu mengatasi dan memenuhi kebutuhannya.

◾Keutamaan Jual Beli:

"...maka sesungguhnya rizki itu memiliki dua puluh pintu, sembilan belas pintu milik pedagang dan satu pintu milik pengrajin (orang yang berkarya dengan tangannya)."

"Pedagang yang jujur lagi terpercaya bersama para syuhada pada hari kiamat." (HR. Imam Ad-Daraquthny)

2. RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI

Rukun jual beli:

a. Al Aqidain (penjual dan pembeli)

Syarat penjual dan pembeli: berakal, tamyiiz (bernalar), tidak sah dari orang gila, mabuk dan anak kecil yang belum mumayyiz.

Anak kecil yang sudah bernalar (mumayyiz) sah aqadnya tapi bergantung pada ijin walinya.

b. Al Mabi atau Al Mutsamman (barang yang dijual).

Syarat:

1) Bukan barang najis.
2) Bisa dimanfaatkan.
3) Kepemilikan sah dari pembeli.
4) Dapat diserahterimakan.
5) Diketahui keadaannya dengan jelas.

c. Shigotul Aqd (akar transaksi atau ijab qabul)

Syarat:

1) Ijab dan qabul dalam satu majlis saling berhubungan langsung satu sama lain.

2) Antara ijab dan qabul harus bersesuaian makna yang dimaksud.

3) Menggunakan lafadz madhy (past) atau mudhori' (present).

Untuk barang yang kecil boleh hanya cukup dengan isyarat sesuai adat (mu'athooh).

◾Syarat Shohih dalam Jual Beli

Syarat shohih yaitu setiap syarat dalam jual beli yang tidak menyalahi tujuan akad dan syarat seperti ini wajib dilaksanakan. Dan ini ada dua macam:

Pertama: Syarat untuk kemaslahatan akad dan dapat menguatkan akad dimana kemaslahatannya kembali kepada yang meminta syarat.
Contohnya meminta syarat agar ditulis di noktah atau sifat tertentu dari barang.

Kedua: Syarat untuk menggunakan yang mubah dari barang yang dijual, contohnya sebuah riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW menjual seekor unta kepada seseorang dan meminta syarat agar bisa mengendarainya sampai madinah (muttafaq 'alaih).

◾Syarat Batil dalam Jual Beli

Syarat batil yaitu setiap syarat dalam jual beli yang menyalahi tujuan akad.

Pertama: Syarat fasid yang membatalkan akad. Yaitu syarat yang merusak tujuan akad atau melanggar salah satu syaratnya seperti syarat berbunga karena ia adalah riba, juga seperti syarat agar barangnya tidak boleh dilihat oleh pembeli dan lain-lain.

Kedua: Syarat yang rusak tapi tidak membatalkan jual beli. Seperti syarat agar supaya barang yang dijual tersebut tidak boleh dijual kembali oleh sipembeli, maka syaratnya tidak sah akan tetapi jual belinya sah.

3. RAGAM JUAL BELI TERLARANG

Keridho'an dalam jual beli tidak selalu menghalalkan.

"Hai orang - orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An Nissa' 4: 29)

1) Haram karena kondisi (waktu dan tempat):

a. Larangan jual beli di masjid.

b. Larangan jual beli saat Sholat Jum'at.

c. Larangan menjual mushaf kepada orang kafir.

d. Larangan menjual senjata di zaman fitnah.

e. Larangan menjual anggur pada mereka yang membuat arak atau miras.

2) Jaram karena Ghoror (ketidakjelasan) dan jahalah:

a. Munabadzah (saling melempar).

b. Mulamasah (saling memegang).

c. Jual beli hashot (lempar kerikil).

d. Habalul habalah (menjual janinnya janin) juga madlomin (menjual janin yang ada dalam perut induknya).

e. Malaqih (menjual yang masih ada di punggung pejantan).

f. Mukholodloroh dan mu'awamah (menjual buah sebelum matang).

g. Menjual barang yang tidak kita miliki dikecualikan darinya jual beli salam atau salaf (uang dulu barangnya nanti).

3) Haram karena Madhorot:

a. Menjual atas penjualan saudaranya.

b. An najasy (jual beli lelang muslihat).

c. Talaqqi al jalab atau arrukhban (mencegat pedagang dari desa).

d. Jual beli al hadlir lilbbadi.

e. Al ihtikar.

f. Jual beli dengan cara menipu.

g. Talji'ah (paksaan).

4) Haram karena Unsur Riba:

Beliau Shallallahu 'Ailaihi Wa sallam bersabda:
"Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan  atau secara kontan." (HR. Muslim: 2970)

Contoh Aplikasinya:

a. Riba Al Fadl: jual beli barang riba dengan yang semisal disertai adanya tambahan pada satuannya.
Contoh: membeli satu gram emas 24 karat dengan dua gram emas 18 karat.

b. Riba an nasi'ah: jual beli barang riba yang satu jenis atau satu illat dengan tempo.
Contoh membeli 2 gram emas 22 karat dengan 3 gram emas 18 karat dengan tempo, atau membeli kurma satu kilo dengan 4 kilo garam dengan tempo.

c. Riba dalam hutang piutang, setiap hutang piutang yang menghasilkan keuntungan adalah riba.

d. Bai'ul Innah

4. JUAL BELI YANG DIPERSELISIHKAN

a. Jual beli dengan Uang Muka (DP).

Jumhur Ulama mengharamkan karena hadits pengharaman dan kemungkinan kezaliman.

Imam Ahmad memperbolehkan karena menilai hadits pengharamanlah dan mendasarkan pada hadits lain.

b. Jual Beli dengan Tawarruq.

Masalah attawarruq yaitu seseorang yang tidak mempunyai uang membeli barang secara tempo seharga 1 juta misalnya, kemudian ia jual kepada orang lain (bukan penjualnya) dengan harga 800 rb secara cash.

Jika dijual kepada orang yang sama (penjual awal) maka hukumnya harom, masuk kategori bai' iinah.

Perbedaan seputarnya:

A.  Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jual beli semacam ini adalah harom, alasannya bahwa maksud ia membeli barang tersebut adalah untuk mendapatkan uang, seakan-akan ia mengambil uang sebanyak 800 ribu dengan membayar sebanyak 1 juta secara tempo. Dan ini jelas hilah menuju riba.

B. Syeikh Ibnu 'Utsaimin membolehkan dengan syarat:

a. Pertama: tidak mungkin mendapat pinjaman secara mubah tidak pula salam.

b. Kedua: ia benar-benar membutuhkannya.

c. Ketiga: barangnya masih ada pada penjual.

5. RAGAM JUAL BELI MODERN

a. Jual beli kredit atau pembayaran jatuh tempo.
b. Jual beli saham atau surat berharga.
c. Jual beli online.
d. Jual beli lelang.
e. Jual beli MLM.


🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
         💘TaNYa JaWaB💘

0⃣1⃣ Bund Sasi
Assalamulaikum ustadz.

Maksud dari larangan jual beli di masjid itu adalah jual beli di dalam bangunan masjidnya atau melingkupi semua bagian masjid?

Afwan, ustadz karena sering melihat kalau sedang ada acara, banyak yang berjualan di teras dan halaman masjid.

Syukron.

🔷Jawab:
Wa'alaikumsalam,

Batasan masjid bisa tanya ke DKM,, jika pelataran termasuk masjid maka tidak boleh.

Makanya batasan masjid DKM atau pengurus yang tahu.

0⃣2⃣ Jenni
Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz...
Sekarang jamannya belanja dan jajan online. Jika barang yang kita terima tidak sesuai dengan yang diiklankannya, bagaimana ustadz?
Seperti baju misalnya ukurannya kecil, cukupnya untuk anak SD, di iklannya untuk kita orang dewasa.

Syukron.

🔷 Jawab:
Wa'alaikumsalam,

Dikembalikan lagi saja jika tidak sesuai.

🌷Tidak bisa di kembalikan lagi ustadz, jadi saya tidak mau lagi beli online.

0⃣3⃣ iRna
Ada jual beli dengan akad membeli kembali,  kalau di Minang dikenal dengan pagang gadai.  Jadi, seluas tanah dijual dengan harga yang telah disepakati bersama pihak pertama dan pihak kedua, kemudian akan dibeli lagi seharga semula setelah beberapa waktu. Dan hasil dari tanah tersebut dimanfaatkan oleh sipembeli atau pihak ke dua. 

Pertanyaannya:
1. Apa hukumnya jual beli seperti itu? 

2. Jika yang melakukan akad, pihak pertama dan pihak kedua sudah sama sama meninggal sementara tanah yang diperjualbelikan tersebut belum sempat dibeli kembali dari pihak kedua, apa yang harus dilakukan oleh ahli waris masing-masing pihak? 

Syukran jazakallah khair Ustadz.

🔷 Jawab:
Saya tidak tahu yang ini. Tidak faham.

0⃣4⃣ Fitri
Assalamualaikum ustadz,

Untuk hukum jual beli yang terdapat pada slide terakhir itu bagaimana?

🔷 Jawab:
Wa'alaikumsalam,

Jual beli yang disebutkan dalam masalah kontemporer, merujuk ke syarat-syarat yang jual beli di atas..
Jika bertentangan dengan syarat-syarat di atas menjadi tidak boleh.

0⃣5⃣ Bund Sasi
Ustadz, saya masih bingung dengan hukum dropship. Ada ustadz yang mengatakan ini jual beli yang cacat akadnya sehingga tidak boleh.

Namun ada ustadz yang memperbolehkan.

Jadi, yang betul lagi benar sesuai syariah itu bagaimana, ustadz?

🔷 Jawab:
Dalam hukum jual-beli, tidak ada syarat yang melarang seseorang menjual barang milik orang lain. Juga tidak ada keharusan seseorang harus punya barang terlebih dahulu, baru boleh dia jual. Jadi prinsipnya, seorang boleh menjual barang milik orang lain, asalkan seizin dari yang punya. Dan seseorang boleh menjual 'spek' yang barangnya belum dimilikinya.

◾Cara Pertama: Simsarah

Cara ini disebut simsarah, yaitu seseorang menjualkan barang milik orang lain dan dia mendapat fee atas jasa menjualkannya. Akad yang pertama ini disepakati kehalalnya oleh seluruh ulama.

Bukankah si penjaga toko biasanya bukan pemilik barang? Barang-barang yang ada di toko itu bukan milik penjaga. Status penjaga cuma karyawan saja, bukan pemilik toko dan juga bukan pemilik barang. Bolehkah penjaga toko menjual barang yang bukan miliknya? Jawabannya tentu 100% boleh. Justru tugas utama si penjual di toko adalah bagaimana menjualkan barang yang bukan miliknya.

Kalau penjaga toko menjual barang miliknya sendiri di toko tempat dia bekerja, itu namanya pelanggaran dan dia bisa dipecat oleh bosnya.

Dan lebih jauh, ternyata barang yang ada di toko itu pun belum tentu milik bosnya. Karena barang-barang itu ternyata cuma konsinyasi saja. Kalau barang itu laku, uangnya disetorkan, kalau tidak laku, barangnya dikembalikan. Jadi dalam hal ini status toko bukan sebagai pemilik barang, status toko hanya menjualkan barang milik orang lain.

Lalu bagaimana dengan hadits berikut ini yang melarang kita menjual sesuatu yang tidak ada pada diri kita?

لاَ تَبِعْ مَالَيْسَ عِنْدَكَ

"Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki." (HR. Tirmizy, Ahmad, An-Nasai, Ibnu Majah, Abu Daud)

Hadits ini melarang seseorang menjual barang yang bukan miliknya, maksudnya seseorang menjual barang yang memang dia tidak bisa mengadakannya atau menghadirkannya. Misalnya, jual ikan tertentu yang masih ada di tengah lautan lepas. Tentu tidak sah, karena tidak ada kepastian bisa didapat atau tidak. Atau jual mobil yang bisa terbang dengan tenaga surya. Untuk saat ini masih mustahil sehingga hukumnya haram.

Selain itu para ulama juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ini adalah seseorang menjual barang milik orang lain tanpa SE-IJIN dari yang empunya. Perbuatan itu namanya pencurian alias nyolong.

Tapi kalau yang punya barang malah minta dijualkan, tentu saja hukumnya halal. Dan yang menjualkan berhak untuk mendapatkan fee atas jasa menjualkan.

Kesimpulannya: Tidak ada larangan menjual barang milik orang lain, asalkan se-ijin dari yang punya barang.

◾Cara Kedua: Akad Salam (Salaf)

Cara kedua disebut dengan jual-beli salam, atau akad salam. Terkadang juga disebut dengan akad salaf. Keduanya bermakna sama. Bentuknya merupakan kebalikan dari jual-beli hutang atau kredit. Dalam jual-beli secara hutang atau kredit, barangnya diberikan duluan tetapi uangnya masih dihutang, alias dicicil.

Contohnya jual-beli sepeda motor secara kredit. Bila kita beli motor secara kredit, motor langsung kita bawa pulang, padahal uangnya masih ngutang selama tiga tahun. Status motor sudah 100% milik kita, meski pembayarannya masih berjangka.

Nah, akad salam adalah kebalikan dari akad kredit di atas. Yang dibayarkan tunai adalah uangnya, sementara barang atau jasanya dihutang. Hukumnya boleh dan sah dalam hukum syariah. Dan sebenarnya setiap hari kita sudah mempraktekkan.

Contohnya ketika kita beli tiket pesawat atau kereta api. Menjelang musim mudik, biasanya kita sudah beli tiket sejak sebulan sebelumnya, dan itu berarti kita sudah bayar secara tunai. Tetapi barang atau jasa yang menjadi hak kita baru akan kita nikmati bulan depan, sesuai dengan jadwal perjalanan kita.

Contoh lain adalah tukang jualan komputer. Modalnya cuma brosur dan spek (baca: spesifikasi) yang ditawar-tawarkan kepada calon pembeli. Lalu begitu ada yang tertarik, pembeli harus bayar lunas, tetapi komputernya akan dikirim 2-3 hari lagi. Ternyata di tukang komputer itu belum punya komputer, maka dengan uang pembayaran itulah dia berangkat ke Glodok atau Mangga Dua untuk 'belanja' komputer rakitan. Selesai dirakit, maka komputer itu kemudian diantarkan ke pihak pembeli.

Contoh lainnya lagi adalah ibadah haji dan umrah. Semua calon jamaah haji dan umrah harus sudah melunasi ONH atau biaya perjalanan umrah beberapa bulan sebelumnya. Padahal berangkatnya ke tanah suci masih beberapa waktu lagi.

Semua contoh di atas adalah akad salam, dimana uangnya tunai diserahkan, sementara barang atau jasanya tidak secara tunai diberikan. Dan praktek akad salam ini telah berlangsung di masa Nabi SAW dan mendapat pembenaran.

Para shahabat dahulu terbiasa menjual kurma yang belum ada alias pohonnya belum berbuah. Namun buah yang rencananya akan ada itu sudah ditetapkan secara detail dengan jenis tertentu, kualitas tertentu, berat tertentu, dan juga ditetapkan kapan akan diserahkannya.

Tentu kurma dengan spek seperti itu bukan hal yang mustahil untuk didapat atau diwujudkan, apalagi buat pedagang kurma di Madinah. Mereka toh sudah punya pohonnya, tiap tahun pasti berbuah. Maka oleh karena itu hukumnya halal. Dan akad ini disebut akad salam. Meski kurmanya belum berbuah, tetapi sudah boleh dijual duluan, asalkan speknya jelas dan pasti.

Dasarnya adalah hadits-hadits berikut ini:

عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ ص اَلْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

Ibnu Abbas RA berkata bahwa ketika Nabi SAW baru tiba di Madinah, orang-orang madinah biasa menjual buah kurma dengan cara salaf  satu tahun dan dua tahun. Maka Nabi SAW bersabda, "Siapa menjual buah kurma dengan cara salaf, maka lakukanlah salaf itu dengan timbangan yang tertentu, berat tertentu dan sampai pada masa yang tertentu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالا: كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَِسَلَّمَ وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ؟ قَالا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ - رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Auf RA keduanya mengatakan, "Kami biasa mendapat ghanimah bersama Rasulullah SAW. Datang orang-orang dari negeri syam. Lalu kami melakukan akad salaf kepada mereka untuk dibayar gandum atau sya’ir atau kismis dan minyak sampai kepada masa yang telah tertentu. Ketika ditanyakan kepada kami." "Apakah mereka itu mempunyai tanaman?”. Jawab kedua sahabat ini, "Tidak kami tanyakan kepada mereka tentang itu.” (HR.  Bukhari dan Muslim)

قال ابن عباس : أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى قد أحل الله في كتابه وأذن فيه ثم قرأ هذه الآية (أخرجه الشافعي في مسنده)

Ibnu Al-Abbas berkata, "Aku bersaksi bahwa akad salaf (salam) yang ditanggung hingga waktu yang ditentukan telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya dan Dia telah mengizinkannya. Kemudian beliau membaca ayat ini." (HR Asy-Syafi'i dalam musnadnya)


DROPSHIP HALAL

Dari dua cara akad di atas, maka jual beli dropship ini tidak melanggar ketentuan syariah. Meski kita sebagai penjual belum punya barangnya, dan modal kita cuma spek saja, tetapi syariat Islam membolehkan akad seperti ini. Akadnya bisa saja sebagai simsarah, atau broker. Mungkin yang agak mendekati adalah resaller. Berarti kita tidak membeli barang atau jasa, kita hanya membantu menjualkan barang atau jasa orang lain. Lalu kita mendapat fee dari tiap penjualan.

Atau akadnya bisa juga pakai akad kedua, yaitu akad salam. Pembeli membayar dulu kepada kita atas suatu barang atau jasa yang belum kita serahkan, bahkan belum kita miliki. Lalu uang pembayarannya itu baru kita belikan barang yang dimaksud, dan kita jualkan kepada si pembeli, dimana kita mendapatkan selisih harganya.

Kalau barang itu mau diatas-namakan milik kita juga boleh, karena kita memang benar-benar membeli dari sumbernya dan kita menjual kembali. Bahwa barang itu tidak sempat mampir ke tangan kita, tidak menjadi masalah.

Toh, minyak kelapa sawit yang ada di hutan Kalimantan itu dijual ke berbagai negara lain (ekspor), tanpa harus mampir ke rumah pemiliknya. Siapa pemiliknya? Ya, wong londho yang ada di Belanda sana. Mereka cuma tahu bahwa rekening mereka tiap hari bertambah terus, tanpa pernah melihat sendiri kayak apa minyak kelapa sawit yang mereka perjual-belikan.

Hanya saja dalam akad salam ini, harus dipenuhi beberapa syarat dan ketentuan, antara lain:

◾Syarat Pada Barang:

1. Bukan Ain-nya Tapi Spesifikasinya.

Dalam akad salam, penjual tidak menjual ain suatu barang tertentu yang sudah ditetapkan, melainkan yang dijual adalah barang dengan spesifikasi tertentu.

Sebagai contoh, seorang pedagang material bangunan menjual secara salam 10 kantung semen dengan merek tertentu dan berat tertentu kepada seorang pelanggan. Kesepakatannya pembayaran dilakukan saat ini juga, namun penyerahan semennya baru 2 bulan kemudian, terhitung sejak akad itu disepakati.

Walaupun saat itu mungkin saja si pedagang punya 10 kantung semen yang dimaksud di gudangnya, namun dalam akad salam, bukan berarti yang harus diserahkan adalah 10 kantung itu. Pedagang itu boleh saja dia menjual ke-10 kantung itu saat ini ke pembeli lain, asalkan nanti pada saat jatuh tempo 2 bulan kemudian, dia sanggup menyerahkan 10 kantung semen sesuai kesepakatan.

Sebab yang dijual bukan ke-10 kantung yang tersedia di gudang, tapi yang dijual adalah 10 kantung yang lain, yang mana saja, asalkan sesuai spesifikasi.

2. Barang Jelas Spesifikasinya.

Barang yang dipesan harus dijelaskan spesifikasinya, baik kualitas mau pun juga kuantitas. Termasuk misalnya jenis, macam, warna, ukuran, dan spesifikasi lain.

Pendeknya, setiap kriteria yang diinginkan harus ditetapkan dan dipahami oleh kedua-belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada di hadapan mereka berdua.

Dengan demikian, ketika penyerahan barang itu dijamin 100% tidak terjadi komplain dari kedua belah pihak.

Sedangkan barang yang tidak ditentukan kriterianya, tidak boleh diperjual-belikan dengan cara salam, karena akad itu termasuk akad gharar (untung-untungan) yang nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut:

أنَّ النبي ص نهى عن بيع الغرر- رواه مسلم

"Nabi SAW jual-beli untung-untungan." (HR.  Muslim)

3. Barang Tidak Diserahkan Saat Akad.

Apabila barang itu diserahkan tunai, maka tujuan utama dari salam malah tidak tercapai, yaitu untuk memberikan keleluasan kepada penjual untuk bekerja mendapatkan barang itu dalam tempo waktu tertentu.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه

"Siapa yang meminjamkan buah kurma maka harus meminjamkan dengan timbangan yang tertentu dan sampai pada masa yang tertentu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Qadhi Ibnu Abdil Wahhab mengatakan bahwa salam itu adalah salaf, dimana akad itu memang sejak awal ditetapkan untuk pembayaran di awal dengan penyerahan barang belakangan.

4. Batas Minimal Penyerahan Barang.

Al-Karkhi dari Al-Hanafiyah menyebutkan minimal jatuh tempo yang disepakati adalah setengah hari dan tidak boleh kurang dari itu.

Ibnu Abil Hakam mengatakan tidak mengapa bila jaraknya 1 hari.

Ibnu Wahab meriwayatkan dari Malik bahwa minimali jarak penyerahan barang adalah 2 atau 3 hari sejak akad dilakukan.

Ulama lain menyebutkan minimal batasnya adalah 3 hari, sebagai qiyas dari hukum khiyar syarat.

5. Jelas Waktu Penyerahannya.

Harus ditetapkan di saat akad dilakukan tentang waktu (jatuh tempo) penyerahan barang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

"Hingga waktu (jatuh tempo) yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula." (Muttafaqun 'alaih)

Para fuqaha sepakat bila dalam suatu akad salam tidak ditetapkan waktu jatuh temponya, maka akad itu batal dan tidak sah. Dan ketidakjelasan kapan jatuh tempo penyerahan barang itu akan membawa kedua-belah pihak ke dalam pertengkaran dan penzaliman atas sesama.

Jatuh tempo bisa ditetapkan dengan tanggal, bulan, atau tahun tertentu, atau dengan jumlah hari atau minggu atau bulan terhitung sejak disepakatinya akad salam itu.

6. Dimungkinkan Untuk Diserahkan Pada Saatnya.

Pada saat menjalankan akad salam, kedua belah pihak diwajibkan untuk memperhitungkan ketersediaan barang pada saat jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek tipu-menipu dan untung-untungan, yang keduanya nyata-nyata diharamkan dalam syari'at Islam.

Misalnya seseorang memesan buah musiman seperti durian atau mangga dengan perjanjian: "Barang harus diadakan pada selain waktu musim buah durian dan mangga", maka pemesanan seperti ini tidak dibenarkan. Selain mengandung unsur gharar (untung-untungan), akad semacam ini juga akan menyusahkan salah satu pihak. Padahal diantara prinsip dasar perniagaan dalam islam ialah "memudahkan", sebagaimana disebutkan pada hadits berikut:

لا ضَرَرَ ولا ضِرَار

"Tidak ada kemadharatan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan." (HR. Ahmad)

Ditambah lagi pengabaian syarat tersedianya barang di pasaran pada saat jatuh tempo akan memancing terjadinya percekcokan dan perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.

7. Jelas Tempat Penyerahannya.

Yang dimaksud dengan barang yang terjamin adalah barang yang dipesan tidak ditentukan selain kriterianya. Adapun pengadaannya, maka diserahkan sepenuhnya kepada pengusaha, sehingga ia memiliki kebebasan dalam hal tersebut. Pengusaha berhak untuk mendatangkan barang dari ladang atau persedian yang telah ada, atau dengan membelinya dari orang lain.

Persyaratan ini bertujuan untuk menghindarkan akad salam dari unsur gharar (untung-untungan), sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, pengusaha -dikarenakan suatu hal- tidak bisa mendatangkan barang dari ladangnya, atau dari perusahaannya.

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar