Senin, 31 Desember 2018

FIQH ADAB BERPAKAIAN



OLeH: Ustadzah Halimah

           💎M a T e R i💎 

Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh

Apa kabar sahabat Bidadari Surga yang di Rahmati Allah swt?

Barakallah wa alhamdulillah semoga semua sahabat Bidadari Surga senantiasa selalu dalam lindungan Allah swt, senantiasa selalu diberikan kesehatan, kebahagiaan, keberkahan dan inayah...

🌷Materi kita hari ini adalah tentang FIQH ADAB BERPAKAIAN

Ternyata berpakaian juga mempunyai adab, ya....

Apa saja adab berpakaian itu?
Siapa yang tahu...

Masalah pakaian termasuk dalam masalah yang tauqifiyah, yaitu harus sesuai dengan perintah syara’ tanpa ada illat (alasan ditetapkannya). Jadi mode pakaian seorang muslimah harus sesuai dengan hukum syara’ baik yang ada di dalam Al Qur’an maupun As Sunnah. Oleh karena itu, mode busana muslimah harus memerhatikan batasan aurat, batasan mahram serta batasan tempat dimana perempuan itu berada (kehidupan khusus di dalam rumah atau kehidupan umum).

Dalam kehidupan umum, mode busana muslimah yang tercantum dalam Al Qur’an adalah gabungan antara pakaian bahagian atas yaitu tudung (hijab) (QS. An Nuur: 31)

31

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung"

59

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al ahzab: 59).

‬Busana muslimah harus menutupi seluruh aurat wanita. Imam Abu Dawud meriwayatkan hadith yang bersumber dari penuturan Qatadah, bahwa Nabi saw bersabda: “Jika seorang anak perempuan telah mencapai balligh (sudah haidh), tidak patut terlihat dari dirinya selain wajah dan kedua telapak tangannya (sampai pergelangan tangannya).”

🔷BATASAN TUDUNG (Penutup Kepala)

1. Tidak Boleh Nipis.

Imam Malik meriwayatkan hadith dari Al Qomah dari ibunya yang berkata: “Hafshah binti Abdurrohman pernah datang kepada ‘Aisyah dengan mengenakan tudung yang nipis, maka ‘Aisyah mengoyaknya lalu menggantinya dengan tudung yang tebal”.

Bila nipis, maka harus diberi lapisan tebal dibawahnya. Diriwayatkan dari Dihya bin Khalifah lalu Al Kalbi ra yang berkata: Pernah Rasulullah saw diberi beberapa helai kain qibthi lalu beliau memberikan sehelai kepadaku. Beliau bersabda: “Koyaklah menjadi 2 lembar, lalu potong salah satu diantaranya menjadi baju. Bakinya berikan kepada isterimu untuk tudungnya”. Sewaktu Dihya pergi beliau saw bersabda: “Suruhlah isterimu membuat rangkapan kain tebal di bawah tudung itu agar tidak tampak warna kulitnya (kalau hanya kain qibthi yang tipis).

2. Menutupi Juyuub (Dada).

Batas minimal panjang tudung adalah menutupi juyuub. Juyuub bentuk jama’ dari jayb (kerah pakaian yang terlipat dan terbuka di sekitar leher dan di atas dada pada pakaian). Panjangnya kira-kira 3 lubang kancing baju, sehingga pakaian bisa dimasuki kepala perempuan ketika mengenakan pakaian itu.

Allah berfirman:
“….Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudungnya di atas juyuubnya…” (QS. An Nuur: 31)

Tudung harus menutupi kepala, rambut, 2 telinga, leher dan dada (juyuub). Karena perempuan yang telah mencapai balligh maka tidak boleh memperlihatkan seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya (sampai pergelangan tangannya). Beliau saw kemudian melilitkan kain tersebut dengan kedua tangannya kearah pelipis (kepalanya) hingga yang nampak hanya bagian wajahnya.”

🔷BATASAN JILBAB (Jubah)

Jilbab adalah pakaian muslimah untuk keluar rumah. Allah berfirman:

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

1. Jilbab Untuk Menutupi Pakaian Rumah (2 lapis).

Hadits dari Ummu ‘Athiyah yang berkata: “Rasulullah saw telah memerintahkan kepada kami untuk keluar (menuju lapangan) pada saat Hari Raya Idhul Fithri dan Idhul Adha, baik perempuan tua, yang sedang haid, maupun perawan. Perempuan yang sedang haid menjauh dari kerumunan orang yang solat, tetapi mereka menyaksikan kebaikan dan seruan yang ditujukan kepada kaum muslim. Aku lantas berkata: “Ya Rasulullah saw, salah seorang diantara kami tidak memiliki jilbab”. Beliau bersabda: “Hendaklah salah seorang saudaranya meminjamkan jilbabnya.”

Ketika Ummu Athiyah bertanya tentang seseorang yang tidak punya jilbab, tentu perempuan itu bukan dalam keadaan telanjang, melainkan dalam keadaan memakai pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah (mihnah), yang tidak boleh dipakai untuk keluar rumah. Lapisan diluar ialah jilbab itu sendiri, manakala lapisan dalam ialah pakaian harian di rumah.

Terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menyatakan bahwa jilbab adalah kain luar yang berfungsi untuk menutupi pakaian keseharian (di dalam rumah), yang menutupi seluruh tubuh wanita dari atas sampai bawah (leher sampai kaki yaitu jubah).

2. Berbentuk Satu Potong Terusan (bukan 2 potong).

Dalam bahasa harian, ada yang memanggilnya jubah. Allah SWT berfirman:

“…Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka).” (QS. Al Ahzab: 59).

Menurut Ali Manshur Nashif dalam kitab At Taaj Al Jaami’ Lil Ushulil fii Ahadits Ar Rasul, “jalaabibihinna” (dalam QS Al Ahzab: 59) adalah bentuk jamak dari jilbab yang artinya pakaian perempuan yang dipakai di luar kerudung atau baju gamis yang berfungsi menutupi seluruh tubuh. Menurut kamus Munawir dan Al Ma’louf, jilbab diartikan jubah.

3. Berukuran Luas Atau Lebar.

Al Jawhari dari kamus Ash Shahhab menyatakan: “Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah). Kamus Al Muhith menyatakan: “Jilbab itu laksana terowongan (sirdab) atau lorong (sinmar), yakni pakaian yang longgar bagi perempuan yang dapat menutupi pakaian keseharian (pakaian rumah).”

4. Tidak Boleh Transparan, Menutupi Warna Kulit Dan Menyembunyikan Bentuk Tubuh.

Usamah telah memberikan kain qibthiyah (jenis kain yang tipis) untuk pakaian isterinya. Rasulullah saw bersabda: “Suruhlah isterimu untuk mengenakan kain pelapis (puring) lagi di bagian dalamnya, karena sesungguhnya aku khawatir kalau sampai lekuk tubuhnya tampak (terlihat warna kulitnya).”

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Perempuan yang mengenakan pakaian yang transparan, yang menyimpang dari hak dan mendorong suaminya menyimpang dari kebenaran, tidak akan masuk syurga, bahkan tidak dapat mencium baunya, sedang bau surga itu dapat ditemui dari jarak lima ratus tahun.”

5. Tidak Boleh Menjolok Mata Atau Menarik Perhatian.

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpakaian untuk berbangga-bangga (pamer), maka di hari akhir Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan, kemudian membakarnya bersamanya.”

6. Tidak Menyerupai Pakaian Orang Kafir.

Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa meniru atau menyerupai cara hidup suatu kaum, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka”. “Barangsiapa yang meniru cara hidup orang musyrik hingga matinya, maka dia akan dibangkitkan di hari akhir bersama-sama mereka.”

7. Tidak Menyerupai Pakaian Lelaki.

"Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw melaknat laki-laki yang memakai pakaian perempuan dan perempuan yang memakai pakaian laki-laki.”

8. Diulurkan Ke Bawah Sampai Menutupi Kedua Kakinya (irkha’).

Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbab atas diri mereka.” (QS. Al Ahzab: 59). Ibnu Umar menuturkan: “Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat”. Ummu Salamah bertanya: “Apa yang harus dilakukan perempuan terhadap ujung bawah pakaiannya?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah diulurkan sejengkal”. Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau sudah begitu kedua kakinya masih tampak?”. Rasulullah menjawab: “Hendaklah diulurkan sehasta dan jangan ditambah.” Riwayat Imam Turmudzi dan Imam Thabrani mengatakan: “Sesungguhnya Nabi saw pernah mengukur satu jengkal buat Siti Fathimah dimulai dari kedua mata kakinya, kemudian beliau bersabda: “Inilah ujung kain seorang perempuan.”_

🔷TUJUAN BERPAKAIAN

Adapun tujuan berpakaian menurut Islam adalah:

a. Menutup aurat.
b. Melindungi diri dari cuaca panas.
c. Sebagai sarana ibadah.
d. Untuk menghindari dari godaan setan.
e. Sebagai identitas muslim.
f. Memperoleh ridha Allah SWT.
g. Memperindah penampilan.

🔷BOLEHKAH WANITA MEMAKAI PAKAIAN BERWARNA-WARNI?

Farid Nu'man Hasan dalam rubrik Fiqih Ahkam Pada 16/06/15 | 20:05

Ilustrasi. (kawanimut)
dakwatuna.com –

Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya. Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya. Sikap tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal Islam. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini di sebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, dan bermotif.

Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:

“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan pada sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “… Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.” (Fathul Bari, 12/424)

‬Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.

◼Riwayat pertama: Warna merah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا

Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ: mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah. Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah).  (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)

Mujahid berkata:

أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاءِ

Mereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai warna merah. (Ibid, No. 24740)

Ibnu Abi Malikah berkata:

رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُرِ

Aku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid No. 24741)

‬◼Riwayat kedua: Warna hijau

Dari ‘Ikrimah:

أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.

Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.” (HR. Bukhari No. 5825)

◼Riwayat ketiga: kombinasi hitam dan merah

Sakinah berkata:

دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ

Aku dan ayahku menjumpai ‘Aisyah, aku melihat ‘Aisyah memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudungnya berwarna hitam. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 24748)

◼Riwayat keempat: motif warna warni

عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ

Dari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning." (HR. Bukhari No. 5823)

Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi beberapa warna atau bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabi ﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri.

Wallahu A’lam


🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Yayi
Apakah kulot atau celana lebar yang bawahnya dikerut sejenis dengan pakaian laki-laki yang haram dikenakan?

🌸Jawab:
‬Hendaknya seorang tidak terlena dengan berbagai mode pakaian yang diimpor ke sini. Banyak dari mode pakaian itu yang tidak sesuai dengan pakaian Islam, baik karena bentuknya yang pendek, sempit sekali atau tipis. Termasuk di sini adalah jas, di mana ia menampakkan bentuk tubuh laki-laki maupun wanita. Bahkan perut, dada, payudara dan sebagainya. Maka wanita yang mengenakannya akan tergolong dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya: Ada dua golongan ahli neraka dari umatku, saya tidak melihat mereka sebelumnya, suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuki manusia dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang, sesat dan menyesatkan, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan mencium baunya, sesungguhnya bau surga tercium dari jarak sekian dan sekian.”

Maka nasehat saya bagi para isteri lelaki yang beriman dan suami wanita yang beriman, hendaklah mereka takut kepada Allah dan senantiasa berusaha mengenakan pakaian yang Islami, yang menutupi tubuh dan tidak menyia-nyiakan hartanya untuk membeli pakaian sejenis ini. Wallahul muwaffiq.

(Wahai Syaikh, alasan mereka bahwa pakaian tersebut lebar dan bisa menutup tubuh)

Syaikh Ibnu Utsaimin : Bahkan seandainya pakaian tersebut lebar, karena ada sebagian yang tidak tertutup, juga dikhawatirkan akan menjadikan wanita itu menyerupai laki-laki, karena celana panjang adalah pakaian khusus laki-laki.

0⃣2⃣ Bund Sasi
Assalamualaikum ustadzah.

1. Kalau pakaian bermotif hewan atau kartun bentuk manusia hukumnya bagaimana?
Corak di gamis atau di daster.

2. Lalu batasan motif-motif yang tidak melanggar syariah itu seperti apa saja?

Jazakillah khoiron.

🌸Jawab:
Wa'alaikumsalam,

‬Hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

اسْتَأْذَنَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلام عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ادْخُلْ . فَقَالَ : كَيْفَ أَدْخُلُ وَفِي بَيْتِكَ سِتْرٌ فِيهِ تَصَاوِيرُ فَإِمَّا أَنْ تُقْطَعَ رُؤوسُهَا أَوْ تُجْعَلَ بِسَاطًا يُوطَأُ فَإِنَّا مَعْشَرَ الْمَلائِكَةِ لا نَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ تَصَاوِيرُ

“Jibril ‘alaihis salam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Jibril menjawab, “Bagaimana saya masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu potong bagian kepalanya atau kamu jadikan sebagai alas yang dipakai untuk berbaring, karena kami para malaikat tidak akan masuk rumah yang terdapat gambar-gambar.” (HR. Abu Dawud no. 4157 dan An-Nasai no. 216)

Makna shuroh dalam hadis di atas adalah gambar makhluk hidup yang memiliki wajah atau kepala. Ibnu Abbas menyatakan,

الصورة الرأس، فإذا قطع الرأس فليس بصورة

“shuroh (gambar) adalah kepala, bila kepala tersebut telah dipotong/dihilangkan maka hilanglah hakekat shuroh (gambar).” (Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi 7/270).

Imam Khottobi –rahimahumullah– berkata, “Pernyataan ini menunjukkan bahwa bila gambar telah diubah, yaitu dengan memangkas bagian kepalanya, atau memisahkan antara kepala dan badannya, hingga bentuknya tidak lagi seperti semula, maka hukumnya tidak mengapa memakainya.” (Ma’alim As-sunan 6/82).

Jumhur ulama menegaskan, hukumnya boleh mengenakan sarung kasur, bantal atau kursi atau sandaran yang bergambar makhluk bernyawa. Begitu pula pada benda-benda yang terhinakan, seperti keset, tikar dan lain sebagainya. Mereka berdalil dengan hadis ‘Aisyah radhiyallahu’anha,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ سَفَرٍ وَقَدْ سَتَرْتُ بِقِرَامٍ لِي عَلَى سَهْوَةٍ لِي فِيهَا تَمَاثِيلُ، فَلَمَّا رَآهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَتَكَهُ، وَقَالَ: ” أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُضَاهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ ” قَالَتْ: فَجَعَلْنَاهُ وِسَادَةً أَوْ وِسَادَتَيْنِ

“Pernah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika tiba dari perjalanan jauh. Ketika itu aku menutupkan rak kepunyaanku dengan sebuah tirai. Pada tirai itu terdapat gambar-gambar (makhluk bernyawa, pent). Saat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melihat tirai bergambar tersebut, beliau langsung mengambilnya seraya bersabda : “Manusia yang paling keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai (menandingi) ciptaan Allah”. ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata: “Maka tirai itu kami jadikan satu sampai dua bantal.” (HR. Bukhori no. 5954, Muslim no. 2107)

Dalam riwayat lain disebutkan, “Tirai itu aku jadikan menjadi dua bagian. Kemudian saya melihat Nabi shallallahu’alaihiwasallam, bersandar pada salah satu dari dua bagian tirai bergambar itu.” (Al-Musnad, 43/209)

Nah… berangkat dari hadits ini, bila memakai tirai yang ada lukisan atau bordiran makhluk bernyawanya saja terlarang, maka memakai baju atau kaos yang terdapat gambar makhluk bernyawa, tentu lebih terlarang lagi. Karena dalam pakaian yang bergambar, terdapat unsur pengagungan yang lebih terhadap gambar, daripada pada tirai yang bergambar. Yang dikecualikan oleh mayoritas ulama adalah, bila gambar bernyawa tersebut dikenakan pada benda-benda yang dihinakan. Oleh karenanya, hukum memakai kaos atau baju yang bergambar makhluk bernyawa adalah terlarang berdasarkan hadis yang telah disebutkan di atas. (lihat: Syarah Manzhumatul Z Adab.hal 440).

Wa'allahu a'lam


🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
 💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎

Pemakaian jilbab (jubah) adalah datangnya dari nas yang amat jelas yaitu Al Quran dan juga as sunnah. Ianya adalah mode pakaian orang-orang mukmin, pakaian sunnah ummul mukminin dan pakaian sunnah wanita-wanita di zaman Rasulullah SAW. Ianya bukan pakaian budaya Arab yang disangka oleh kebanyakan kita.

Andainya kita tidak mau memakai jubah, pakailah pakaian yang menurut panduan syariat seperti tidak nipis, menyembunyikan warna kulit dan bentuk tubuh, longgar dan memakai warna dan corak baju yang tidak menarik perhatian lelaki, juga tidak boleh menyerupai pakaian lelaki atau orang kafir.

Wassalamu'alaikum wr.wb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar