Senin, 28 November 2022

AGAR KDRT TIDAK TUMBUH SUBUR

 


OLeH:Bunda Rizki Ika Sahana

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸AGAR KDRT TIDAK TUMBUH SUBUR

Wasalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah senang sekali berada di tengah teman-teman semua. Semoga teman-teman dalam keadaan sehat yaa.

Baik, langsung saja yaa ibu-ibu shalihah dan teman-teman yang disayang Alloh ﷻ...

Allahumma amiin...

Tema malam ini menyoal KDRT yang belakangan jadi isu hot, terutama di kalangan perempuan.

Isu yang diduga menimpa artis pendatang baru yang sedang naik daun di tanah air ini menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat.

Meski sudah banyak yang mengulasnya, kita coba melihat dan membahas kasus KDRT ini dari perspektif yang berbeda, yakni perspektif Islam.

Tidak tahu pasti ya, kenapa-kenapanya, tapi yang jelas memang banyak dari kalangan perempuan yang kecewa karena artis tersebut mencabut laporannya.

Nah, malam ini kita tidak ngulik case artis tersebut secara khusus yaa, tapi kita akan membahas problem KDRT-nya. Khawatir yaa, nanti jatuhnya ghibah.

Jadi, kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami penyanyi dangdut dengan inisial LK beberapa waktu lalu menambah deretan kasus kekerasan terhadap perempuan di tanah air semakin panjang. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode 1 Januari 2022 hingga 21 Februari 2022 tercatat sebanyak 1.411 kasus. Sementara, sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban mencapai 10.368 orang. (polri.go.id, 01/10/2022).

Subhanallah...

Menanggapi kasus KDRT tersebut, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengajak masyarakat berani angkat bicara (speak-up) apabila menjadi korban atau sebagai saksi kasus kekerasan pada perempuan dan anak. 

Menurut Bintang, akan menjadi penting jika tidak hanya korban kekerasan yang melaporkan, tetapi yang mendengar dan melihat juga harus melaporkan. Bintang mengajak kepada masyarakat agar berani angkat bicara untuk memberikan keadilan terhadap korban dan efek jera bagi pelaku kekerasan. (kompas.com, 25/9/2022)

Memang benar, speak-up atau berani bicara atas kasus kekerasan adalah satu keharusan. Namun, speak-up saja belum cukup untuk menuntaskan masalah KDRT.

Mirisnya lagi, dari segi regulasi, sebenarnya sudah banyak regulasi perlindungan perempuan dan anak dari kekerasan yang disahkan di negeri ini, namun tidak membawa pengaruh signifikan pada menurunnya angka KDRT.

Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, S.H., M.H misalnya, beliau mengatakan bahwa regulasi perlindungan perempuan dari kekerasan di Indonesia sebenarnya sudah cukup banyak jika dibandingkan perlindungan terhadap laki-laki, seperti UU KDRT, UU Perlindungan Perempuan dan Anak (UU PPA), UU TP-KS, termasuk peraturan internasional yang sudah diratifikasi (misalnya, CEDAW –red). Namun, semua regulasi dalam masyarakat sekuler ini tidak bisa melindungi perempuan secara keseluruhan. (muslimahnews.net, 25/04/2022). 

Regulasi-regulasi yang ada tersebut tidak berdaya melindungi kaum perempuan karena cenderung memberi solusi yang tambal-sulam, tidak menyentuh langsung akar permasalahan, termasuk maraknya KDRT.

Semua orang setuju yaa jika KDRT adalah tindakan yang salah. Dari sisi kemanusiaan, tindakan tersebut jelas tidak manusiawi. Dari sisi agama Islam, tentu sikap tersebut bukanlah seperti yang dicontohkan oleh Nabi. 

Memang, selayaknya setiap orang yang mengetahui tindakan itu perlu speak-up. Namun, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, speak-up saja tidak cukup. Selama faktor penyebab KDRT masih ada, KDRT pasti tetap terpelihara dan justru semakin subur.

Nah, jika kita amati, faktor penyebab KDRT dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu individu, masyarakat, dan negara.

🔸Pertama, Dari Segi Individu

Individu tidak memiliki akidah Islam yang kuat akibat diterapkan sekulerisme (ide yang memisahkan agama dari kehidupan). Jika akan menikah misalnya, umumnya calon pengantin belum memiliki bekal yang cukup dalam masalah ilmu berumah tangga yang sejalan ajaran agama. Individu (suami atau istri) menjadikan kebahagiaan sebagai sesuatu yang semata didapat dari materi (harta, uang), sehingga menyebabkan pernikahan dinilai hanya dari materi. Jika materi tidak didapatkan, akhirnya menimbulkan konflik yang berakhir dengan kekerasan. 

🔸Kedua, Dari Segi Masyarakat

Permasalahan ekonomi masyarakat yang enggak kunjung membaik menjadi momok. Harga kebutuhan pokok yang tinggi serta sempitnya lapangan pekerjaan menyebabkan pasangan-pasangan yang menikah stress dan cenderung melampiaskan lewat kekerasan. Ditambah, lingkungan kehidupan yang campur baur lagi bebas memberi ruang bagi perselingkuhan semakin marak.

🔸Ketiga, Dari Segi Negara

Tidak ada upaya dari negara untuk memberikan dukungan sistem kehidupan yang mendorong terbentuknya keluarga sakinah mawadah warahmah. Negara tidak membuka lapangan kerja seluas-luasnya, cenderung lebih suka menghapus subsidi dan menaikkan harga-harga, lebih mengutamakan kepentingan-kepentingan kaum oligarki atau kapitalis daripada kepentingan rakyat, hingga cenderung abai terhadap kasus KDRT yang selalu meningkat tiap tahunnya. 

Jika muncul kasus kekerasan, regulasi yang dibuat tidak menyentuh akar permasalahan dan tidak memberi efek jera bagi para pelaku.

Hal ini mengakibatkan semakin menjamurnya kasus KDRT di Indonesia. 

Islam turun ke bumi sebagai solusi bagi seluruh permasalahan manusia, termasuk dalam hal berumah tangga. Islam mewajibkan individu untuk mempelajari Islam kaffah, termasuk sistem pergaulan dalam Islam. 

Islam menentukan kehidupan suami-istri adalah layaknya sepasang sahabat, bukan seperti atasan dan bawahan. Baik suami maupun istri, keduanya harus mengerti sekaligus menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing. 

Alloh ﷻ berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf.” (QS. Al-Baqarah: 228). 

Islam juga menentukan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga. 

Alloh ﷻ berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisa: 34).

Jika terjadi persengketaan antara suami dan istri, Islam memerintahkan agar ada pihak ketiga (dari keluarga pasutri) yang membantu menyelesaikan. 

Alloh ﷻ berfirman, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Alloh ﷻ memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Alloh ﷻ Maha Mengetahui lagi Alloh ﷻ Mengenal." (QS. An Nisa : 35)

Jika persengketaan tidak dapat diselesaikan, boleh bagi keduanya untuk berpisah. 

Alloh ﷻ berfirman, “Jika keduanya bercerai, maka Alloh ﷻ akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Alloh ﷻ Maha Luas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana.” (QS. An-Nisâ’: 130) 

Selain terwujudnya taqwa dalam diri individu, sehingga menyelesaikan masalah rumah tangga dengan syariat Islam, sebagaimana Islam juga mendorong bahkan mengharuskan masyarakat berjalan di atas asas amar ma’ruf nahi munkar, mengajak kepada yang ma’ruf, menghindar dari yang munkar.

Sementara itu, negara akan memberikan dukungan sistem kehidupan yang mendorong terbentuknya keluarga sakinah mawadah warahmah. Negara mendorong setiap individu untuk menuntut ilmu dan mempelajari Islam secara keseluruhan, termasuk bagaimana Islam mengatur pergaulan dan kehidupan rumah tangga, sehingga baik laki-laki maupun perempuan mengerti hak dan kewajibannya dalam rumah tangga. 

Negara juga akan melarang adanya ikhtilat (campur baur antara laki dan perempuan yang bukan mahram), kecuali dalam sektor yang diperbolehkan adanya ikhtilat oleh syara’ agar meminimalisir terjadi perselingkuhan. 

Negara juga akan membentuk iklim ekonomi yang ramah rakyat, meliputi lapangan pekerjaan yang melimpah, pengelolaan SDA yang hasilnya untuk kepentingan rakyat, akses pendidikan dan kesehatan yang gratis dan mudah dijangkau, sehingga beban yang ditanggung oleh kepala keluarga tidak terlalu berat. 

Namun, semua solusi di atas hanya akan terwujud jika sistem kehidupan yang tegak adalah yang bersumber dari Alloh ﷻ yakni sistem kehidupan dalam bingkai institusi khilafah.

Demikian materi yang bisa saya sampaikan, semoga bisa dipahami. InsyaAllah bisa dilanjut di forum diskusi.

Wallahu a’lam bishawab

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Dewi ~ Jakarta
Bagaimana cara mengatasi KDRT yang dilakukan secara verbal, kalau KDRT secara fisik bisa diobati lukanya tetapi kalau secara verbal, bagaimana mengobatinya.

🌸 Jawab:
Baik Mb Dewi, saya coba menjawab yaa...

Perkataan yang menyakitkan, bullying suami atau istri kepada pasangannya memang adalah hal yang sangat menyakitkan. Jangankan menyakiti fisik, menyakiti perasaan pun diharamkan oleh Islam.

Banyak sekali perintah Islam untuk menjaga lisan, agar berkata benar dan berkata ma'ruf, sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain, termasuk kepada suami atau istri.

Misalnya hadist dari Abu Hurairah yang menyebutkan, "Siapa yang beriman kepada Alloh ﷻ dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau lebih baik diam (jika tidak mampu berkata baik)." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Bahkan menjaga lisan termasuk perkara yang akan menentukan kehidupan pelakunya kelak di akhirat, apakah selamat atau celaka.

Dalam riwayat Muslim misalnya, disebutkan:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، يَنْزِلُ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

"Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikirkan terlebih dahulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat." (HR. Muslim no. 2988).

Rasulullah ﷺ juga bersabda:

سلامة الإنسان في حفظ اللسان

"Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya  menjaga lisan." (HR. al-Bukhari).

Alloh ﷻ pun kelak akan meminta pertanggungjawaban lisan kita di hari penghisaban.

Allah Ta'ala berfirman,

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf: 18).

Maka Ukhti, jika mendapati kekerasan verbal, berupa ucapan-ucapan yang kasar, merendahkan, menyakitkan, maka pertama sekali kita harus berani menyatakan bahwa kita tidak suka terhadap perkataan demikian, dan berupaya mengingatkan yan bersangkutan bahwa segala perkataannya akan Alloh ﷻ hisab.

Jika perkataan-perkataan buruk tersebut terus berulang walaupun kita sudah mengingatkan dan berupaya memahamkan, sementara kita merasa sangat tidak nyaman, maka kita bisa memilih di antara dua opsi:

a) Bertahan dan bersabar seraya tetap mendakwahkan kebaikan kepada pasangan.

b) Meminta berpisah karena kita menginginkan kehidupan mental yang lebih sehat misalnya, menginginkan kehidupan yang lebih bahagia. Dan Islam membolehkan hal ini jika memang sikap buruk pasangan (dalam hal ini secara verbal) sudah sangat mengganggu dan menyebabkan keguncangan dalam rumah tangga.

Kalau soal mengobati luka batin yang tercipta akibat ucapan-ucapan menyakitkan, maka kita kembali kepada bagaimana Islam mengajarkan bahkan mendorong setiap muslim untuk memaafkan, untuk mengikhlaskan, segala hal buruk yang pernah menimpa kita (baik pengalaman kdrt verbal atau fisik atau pengalaman tidak menyenangkan yang lainnya). Kita berusaha menyadari semua itu sebagai bagian dari ujian Alloh ﷻ atas diri hamba-Nya sehingga bisa "naik kelas." Kita tawakkal saja, menyerahkan semuanya kepada Alloh ﷻ. Karena toh, setiap perbuatan (lisan maupun fisik) ada hisabnya, sekecil apapun itu.

Semoga membantu ya, Ukhti.

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣2️⃣ iiN ~ Boyolali
Bunda, mungkin masih banyak pasutri yang belum begitu paham tentang agama sebelum mereka menikah, mungkin banyak faktor mengenai itu. Karena mungkin menganggap itu kurang penting. 

Bila dalam pernikahan, pihak perempuan yang lebih paham agama, nanti pasti tetap menurut suami, dan tidak bisa mengubah suami ya, Bunda?

Mohon pencerahannya

🌸 Jawab:
Mb Iin yang disayang Alloh ﷻ. 

Dalam rumah tangga, kepemimpinan memang ada di pihak suami, tapi bukan berarti tidak ada ruang diskusi bagi suami-istri di mana istri harus patuh kepada suami tanpa kecuali.

Jadi ketaatan kepada manusia siapapun itu (selain Rasulullah ﷺ) termasuk ketaatan kepada suami, tidak bersifat mutlak dalam segala perkara dan setiap keadaan. Ketaatan yang mutlak hanya kepada Alloh ﷻ dan Rasul-Nya. Ketaatan kepada orang lain hanya dalam perkara yang ma’ruf. 

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam  bersabda:

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).

Sehingga jika suami melarang istrinya menutup aurat, misalnya, maka di sana ada ladang dakwah bagi si istri untuk memahamkan suaminya. Dan insyaAllah ada pahala besar jika istri bersabar mengupayakan untuk memberi pemahaman yang benar kepada suami.

Begitu, Ukhti

Wallahu a’lam bishawab

0️⃣3️⃣ Han ~ Gresik
Assalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh

1. Bund, Orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam rumah tangga disebut sebagai korban. Bagaimana bund hak-hak korban yang dilindungi oleh undang-undang? Dan bagaimana jika tidak melaporkan, apakah hanya berdiam diri saja sebagai kaum yang lemah.

2. Jika pelaku KDRT itu adalah anaknya, apakah anak tersebut dapat dipidanakan, Bund?

Jazakillah Khairan

🌸 Jawab:
Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakaatuh..

Saya coba menjawab ya, Bunda Han

1. Terkait rinci UU, saya tidak begitu paham isinya, Bund. Tapi secara umum, hukum positif di negeri ini biasanya mengcover HAM korban, seperti hak untuk hidup (yakni dihargai kehidupannya untuk memperoleh ketenangan, kebahagiaan, misalnya), hak untuk berbicara (yakni untuk speak up, seperti yang saya sampaikan di materi, sehingga korban harus didengar perasaannya, pendapatnya, dan seterusnya). Jika tidak melaporkan, memang akan sulit untuk mengetahui apakah ada dugaan KDRT atau tidak, apalagi tidak ada saksi misalnya, akan bertambah sulit lagi. Dan banyak kasus tidak melaporkan karena masih punya ketergantungan secara finansial kepada pasangan, atau khawatir kesaksiannya sebagai korban tidak diakui oleh pengadilan, karena khawatir anak-anak kesulitan secara administratif dalam urusan sekolah dan seterusnya jika harus berpisah dengan suami, dan seterusnya. Ketakutan-ketakutan tersebut berpangkal pada tidak adanya jaminan bagi perempuan dan anak pasca perceraian setelah melaporkan kasus KDRT. Secara finansial, tidak ada yang menanggung mereka. Pengadilan pun bisa saja memenangkan pelaku karena faktor "pelicin" misalnya. Karenanya kita tidak bisa berharap pada hukum positif hari ini yang menangani kasus KDRT secara setengah-setengah, tidak menuntaskan dari akarnya. Kalau KDRT akarnya adalah masalah ekonomi, masalah liberalisme (kebebasan dalam pergaulan yang terus diumbar sehingga memunculkan perselingkuhan, dan seterusnya), maka dalam hal ini negara harus turun tangan membenahi ekonomi masyarakat sekaligus mencampakkan ide liberalisme-sekularisme yang membuat kehidupan pernikahan gonjang-ganjing. Jadi negara harus mengevaluasi kebijakan ekonomi makro seperti menyiapkan lapangan kerja yang luas sehingga bapak-bapak bisa bekerja dengan pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehingga istri dan anak-anak tenang dan rumah tangga tenteram tidak dipusingkan masalah ekonomi misalnya, dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan ekonomi yang lainnya. Termasuk mengevaluasi penerapan sistem pergaulan yang berlandaskan liberalisme-sekularisme yang menghasilkan kerusakan.

2. Dalam Islam, jika anak belum baligh, maka tidak terkena sanksi. Tapi tidak pula dibiarkan begitu saja. Akan dilakukan upaya edukasi kepada anak juga kepada kedua orang tuanya sebagai penanggungjawab terhadap pendidikan anak, agar memberikan pendidikan terbaik, senantiasa membimbing anak dan seterusnya sehingga anak tidak melakukan KDRT. Sesungguhnya orang tua juga akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat atas pendidikan terhadap anak-anak mereka.

Begitu sependek yang saya pahami, Bund.

Wallahu a’lam bishawab

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

KDRT hanyalah satu dari banyaknya persoalan yang kita hadapi hari ini. Semua berpangkal pada tidak diadopsinya Islam sebagai solusi, juga tidak diterapkannya Islam dalam kancah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karenanya butuh upaya penyadaran yang terus-menerus agar umat memahami pentingnya kembali kepada aturan-aturan Islam agar kerusakan-kerusakan yang terjadi hari ini bisa dihentikan diganti dengan kehidupan yang penuh keberkahan.

Wallahu a’lam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar