Selasa, 30 April 2019

FAQ RAMADHAN



OLeH: Ustadz Farid Nu'man Hasan

           💎M a T e R i💎

🌸FAQ RAMADHAN (Bag. 1-14)

0⃣1⃣ APAKAH MAKNA SHAUM?

✔Jawab:
Secara bahasa artinya Al Kaffu:  menahan diri.

Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy Rahimahullah berkata:

وَمَعْنَى الصِّيَامِ: الْكَفُّ عَمَّا أَمَرَ اللَّهُ بِالْكَفِّ عَنْهُ

Makna Ash Shiyam yaitu menahan diri dari apa-apa yang Allah perintahkan untuk ditahan.
(Tafsir Ath Thabariy, 3/152).

Sementara, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

الصيام، يطلق على الامساك.
قال الله تعالى: (إني نذرت للرحمن صوما) أي إمساكا عن الكلام.

Ash Shiyam, secara mutlak artinya Al Imsaak (menahan diri). Allah Ta'ala berfirman: Aku (Maryam) bernadzar akan shaum, yaitu menahan diri dari berbicara.
(Fiqhus Sunnah, 1/431).

Makna secara syariat, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata:

وَهُوَ الْإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ
وَالْوِقَاعِ، بِنِيَّةٍ خَالِصَةٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri, dengan niat ikhlas karena Allah 'Azza wa Jalla semata.
(Tafsir Ibnu Katsir, 1/364).

Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية

Menahan diri dari yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari yang diberangi dengan niat.
(Fiqhus Sunnah, 1/431).

0⃣2⃣ APA MAKNA RAMADHAN?

✔Jawab:
Ramadhan, jamaknya adalah Ramadhanaat, atau armidhah, atau ramadhanun. Dinamakan demikian karena mereka mengambil nama-nama bulan dari bahasa kuno (Al Qadimah), mereka menamakannya dengan waktu realita yang terjadi saat itu, yang melelahkan, panas, dan membakar (Ar ramadh).  Atau juga diambil dari  ramadha ash shaaimu: sangat panas rongga perutnya, atau karena hal itu membakar dosa-dosa.
(Lihat Al Qamus Al Muhith, 2/190)

Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah mengatakan:

وَكَانَ شَهْرُ رَمَضَانَ يُسَمَّى فِي الْجَاهِلِيَّةِ ناتِقٌ  ، فَسُمِّيَ فِي الْإِسْلَامِ رَمَضَانَ مَأْخُوذٌ مِنَ الرَّمْضَاءِ ، وَهُوَ شِدَّةُ الْحَرِّ : لِأَنَّهُ حِينَ فُرِضَ وَافَقَ شِدَّةَ الْحَرِّ وَقَدْ رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ : إِنَّمَا سُمِّيَ رَمَضَانُ : لِأَنَّهُ يَرْمِضُ الذُّنُوبَ أَيْ : يَحْرِقُهَا وَيَذْهَبُ بِهَا .

 “Adalah bulan Ramadhan pada zaman jahiliyah dinamakan dengan ‘kelelahan’, lalu pada zaman Islam dinamakan dengan Ramadhan yang diambil dari kata Ar Ramdha yaitu panas yang sangat. Karena ketika diwajibkan puasa bertepatan dengan keadaan yang sangat panas. Anas bin Malik telah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: sesungguhnya dinamakan Ramadhan karena dia memanaskan dosa-dosa, yaitu membakarnya dan menghapuskannya. 
(Al Hawi Al Kabir, 3/854. Darul Fikr).

0⃣3⃣ HUKUM DAN KEDUDUKANNYA?

✔Jawab:
Hukumnya wajib, termasuk rukun Islam. Kewajibannya berdasarkan Al Qur'an (QS. Al Baqarah: 183), As Sunnah (Hadits: Buniyal Islam 'Ala Khamsin - Islam dibangun di atas lima perkara), serta ijma' (konsensus).

Imam Ibnu Rusyd Al Hafid Rahimahullah berkata:

لم ينقل إلينا خلاف عن أحد من الأئمة فى ذلك

Tidak ada nukilan yang sampai kepada kami dari seorang pun para imam tentang perbedaan pendapat dalam hal ini.
(Bidayatul Mujtahid wa Kifayatul Muqtashid, Hal. 265).

0⃣4⃣ BAGAIMANA HUKUM BAGI ORANG MENGINGKARI KEWAJIBANNYA?

✔Jawab:
Shaum Ramadhan adalah rukun Islam, dan  Al Ma'lum minad din bidh dhararurah (Kewajiban agama yang telah diketahui secara pasti). Mengingkari kewajibannya adalah kafir dan murtad, karena telah mengingkari salah satu rukun Islam.

Syaikh Abdullah Al Qadiriy Al Ahdal berkata:

أما الحكم على من أنكر ركنا من أركان الإيمان أومن أركان الإسلام، فليس بخاف على صغار طلبة العلم أنه يكون مرتدا، إذا كان من المسلمين،بل إن من أنكر حكما من أحكام الإسلام معلوما من الدين بالضرورة، كتحريم الربا، أو الخمر، أو الزنى، فإنه يكون مرتدا، فكيف بمن أنكر ركنا من أركان الإيمان؟!

Hukum mengingkari salah satu rukun Iman atau rukun Islam maka tidak samar lagi bagi para penuntut ilmu bahwa itu adalah murtad jika dilakukan oleh kaum muslimin, bahkan jika  mengingkari hukum-hukum Islam yang telah pasti haramnya seperti khamr, riba, zina, maka itu murtad, maka bagaimana dengan yang  mengingkari rukun Iman?

0⃣5⃣ TIDAK PUASA TANPA ALASAN WALAU MASIH MENGAKUI KEWAJIBANNYA, APAKAH BERDOSA?

✔Jawab:
Ya, jika dia tidak berpuasa tanpa alasan yang dibenarkan.

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah berkata:

وعند المؤمنين مقرر أن من ترك صوم رمضان بلا مرض ولا عرض أنه شر المكاس والزاني ومدمن الخمر بل يشكون في إسلامه ويظنون به الزندقة والانحلال

Orang-orang beriman telah menetapkan bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit dan tidak ada alasan, maka dia lebih buruk dari perampok, pezina, peminum khamr, bahkan diragukan keislamannya, dan mereka menyangka orang tersebut adalah zindik dan telah copot keislamannya.
(Dikutip oleh Imam Al Munawiy, Faidhul Qadir, 4/211).

0⃣6⃣ KAPAN SHAUM RAMADHAN DIWAJIBKAN?

✔Jawab:
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah:

 وقد فرض الله الصيام في السنة الثانية إجماعاً، فصام النبي صلّى الله عليه وسلّم تسع رمضانات إجماعاً

Telah ijma' bahwa Allah   mewajibkan puasa pada tahun kedua,  dan ijma pula  bahwa puasanya Nabi ﷺ  adalah sembilan kali Ramadhan.
(Syarhul Mumti , 6/298. Mawqi Ruh Al Islam).

0⃣7⃣ KEPADA SIAPAKAH DIWAJIBKAN SHAUM RAMADHAN?

✔Jawab:
Shaum Ramadhan diwajibkan kepada: semua muslim dan muslimah, yang baligh, berakal, sehat, dan mukim (tidak safar), yang tidak haid dan nifas.

Tidak wajib bagi anak-anak, orang gila, pikun, pingsan, sakit berat, dan   safar.  Ada pun ibu hamil dan menyusui boleh baginya berpuasa jika dia kuat, dan boleh juga meninggalkannya jika khawatir atas dirinya dan bayinya, lalu diqadha di hari lain atau fidyah menurut pendapat yang lain.

0⃣8⃣ USIA BERAPAKAH YANG TEPAT MENGAJARKAN ANAK KECIL UNTUK SHAUM?

✔Jawab:
Tidak ada keterangan baku baik dalam Al Qur'an dan As Sunnah tentang itu. Jika mau, bisa dianalogikan dengan shalat yaitu di usia tujuh tahun.

Boleh saja lebih muda dari itu jika memang dia mampu, atau ajak dia berpuasa secara bertahap; setengah hari dulu, atau cara lain yang membuatnya terlatih dan tetap happy.

APAKAH ORANG TUA JUGA MENDAPAT PAHALA JIKA ANAKNYA BERPUASA?

✔Jawab:
Ya, jika orang tua mendidiknya seperti itu.

Syaikh Muhammad 'Ulaisy Al Malikiy Rahimahullah berkata:

المعتمد أن ثواب عمل الصبي له خاصة، ولوالديه ثواب التسبب فيه

Pendapat resmi, bahwa pahala amal anak-anak adalah untuknya secara khusus, ada pun kedua orang tuanya dapat pahala karena sebagai sebabnya.
(Fathul 'Aliy, 1/213).

0⃣9⃣ KALAU ANAK KECIL BERPUASA APAKAH BERPAHALA?

✔Jawab:
Amal Shalih anak kecil tetap berpahala. Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan dalam Al Fatawa Al Kubra:

وقال جمهور العلماء: وثواب عبادة الصبي له

Berkata jumhur ulama: pahala ibadah anak-anak adalah untuknya.
(Al Fatawa Al Kubra, 5/318).

Al 'Allamah Muhamnad Al Hathab Rahimahullah berkata, sebagaimana dikutip Imam An Nafrawiy Rahimahullah:

الصحيح أن أجر أعمال الصبي له ولا تكتب عليه السيئات

Yang benar, amal-amal baik anak-anak diberikan pahala, ada pun kejelekannya tidaklah dicatat sebagai dosa.
(Al Fawakih Ad Dawaniy,  1/180)

BOLEHKAH PUASA TIDAK BERNIAT?

✔Jawab:
Tidak boleh, dan tidak sah. Sebab niat adalah rukun puasa, sebagian mengatakan syarat sahnya puasa.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

الامساك عن المفطرات، من طلوع الفجر إلى غروب الشمس، مع النية

Menahan diri dari yang membatalkan dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari yang dibarengi dengan niat.
(Fiqhus Sunnah, 1/431).

1⃣0⃣ APAKAH NIAT ITU DILAFAZKAN?

✔Jawab:
Semua ulama sepakat bahwa tempatnya niat adalah dihati. Tapi mereka berbeda pendapat bolehkah melisankan niat dengan tujuan memperkokoh apa yang ada di hati? Mayoritas ulama mengatakan sunah, sebagian lain mengatakan tidak boleh.

Imam Muhammad bin Hasan Al Hanafi mengatakan:

النِّيَّةُ بِالْقَلْبِ فَرْضٌ ، وَذِكْرُهَا بِاللِّسَانِ سُنَّةٌ ، وَالْجَمْعُ بَيْنَهُمَا أَفْضَل

  “Niat di hati adalah wajib, menyebutnya di lisan adalah sunah, dan menggabungkan keduanya adalah lebih utama.” 
(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 42/100).

Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

( وَيَنْدُبُ النُّطْقُ ) بِالْمَنْوِيِّ ( قُبَيْلَ التَّكْبِيرِ ) لِيُسَاعِدَ اللِّسَانُ الْقَلْبَ وَخُرُوجًا مِنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَإِنْ شَذَّ وَقِيَاسًا عَلَى مَا يَأْتِي فِي الْحَجِّ

 "(Disunahkan mengucapkan) dengan apa yang diniatkan (sesaat sebelum takbir) agar lisan  membantu hati dan keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) dengan kalangan yang mewajibkan, walaupun yang mewajibkan ini adalah pendapat yang syadz (janggal), sunnahnya ini  diqiyaskan dengan apa yang ada pada haji (yakni pengucapan kalimat talbiyah).” 
(Tuhfah Al Muhtaj, 5/285).

Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:

ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب ولأنه أبعد عن الوسواس وللخروج من خلاف من أوجبه

“Dianjurkan mengucapkan apa yang diniatkan sesaat sebelum takbir untuk membantu hati, karena hal itu dapat menjauhkan was-was dan untuk keluar dari perselisihan pendapat dengan pihak yang mewajibkannya.” 
(Nihayatul Muhtaj, 1/457. Darul Fikr).

Imam Al Buhuti Al Hambali  Rahimahullah  mengatakan:

وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ وُجُوبًا وَاللِّسَانُ اسْتِحْبَابًا

  “Tempatnya niat  adalah  di hati sebagai hal yang wajib, dan disukai (sunah) diucapkan lisan ..”
(Kasysyaf Al Qina’, 2/442. Mawqi’ Islam).

Sementara ulama lain, seperti Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وهي عمل قلبي محض لا دخل للسان فيه،والتلفظ بها غير مشروع

“Niat adalah murni perbuatan hati, bukan termasuk amalan lisan, dan melafazkan niat merupakan amalan yang tidak disyariatkan.”
(Fiqhus Sunnah, 1/43. Darul Kitab Al ‘Arabi).

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah berkata:

التلفظ بالنية بدعة ، والجهر بذلك أشد في الإثم ، وإنما السنة النية بالقلب ؛ لأن الله سبحانه يعلم السر وأخفى ، وهو القائل عز وجل { قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ } . ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولا عن أحد من أصحابه ، ولا عن الأئمة المتبوعين التلفظ بالنية ، فعُلم بذلك أنه غير مشروع ، بل من البِدَع المحدثة . والله ولي التوفيق .

“Melafazkan niat adalah bid’ah, dan mengeraskannya lebih berat lagi dosanya. Sunahnya adalah niat itu di hati, karena Allah Ta’ala Mengetahui rahasia dan yang tersembunyi.  Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Katakanlah apakah kalian hendak mengajarkan Allah tentang agama kalian? Dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yang di langit dan apa-apa yang di bumi.”

Dan, tidak ada yang shahih dari Nabi ﷺ, tidak pula dari seorang pun sahabatnya, dan tidak pula dari para imam panutan tentang pelafazan niat. Maka, telah diketahui bahwa hal itu tidaklah disyariatkan, bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan. Wallahu Waliyut Taufiq.” 
(Fatawa Islamiyah, 1/478. ).

Demikianlah perbedaan pendapat dalam hal ini. Hendaknya kita lapang dada, silahkan ambil sikap tapi jangan ingkari yang berbeda.

1⃣1⃣ BOLEHKAH NIAT PUASA RAMADHAN SETELAH SUBUH?

✔Jawab:
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini:

√ Imam Malik: Niat itu mesti SEBELUM subuh, baik puasa wajib atau puasa Sunnah.

√ Imam Asy Syafi'iy: Niat itu SEBELUM subuh jika puasa wajib, dan tetap sah jika setelah subuh bagi puasa Sunnah.

√ Imam Abu Hanifah: Setelah Subuh tetap sah baik puasa wajib atau Sunnah.
(Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Hal. 266).

Dalam Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

وَفَرَّقَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالنَّفَل، فَاشْتَرَطُوا لِلْفَرْضِ التَّبْيِيتَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَمْ يُجَمِّعِ الصِّيَامَ قَبْل الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ  وَأَمَّا النَّفَل فَاتَّفَقُوا عَلَى صِحَّةِ صَوْمِهِ بِنِيَّةٍ قَبْل الزَّوَال، لِحَدِيثِ عَائِشَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال لِعَائِشَةَ يَوْمًا: هَل عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟ قَالَتْ: لاَ. قَال: فَإِنِّي إِذَنْ أَصُومُ

Syafi'iyyah dan Hambaliyah membedakan antara wajib dan sunah, mereka mensyaratkan untuk shaum wajib adalah masih kisaran malam hari. Hal ini berdasarkan hadits: Barangsiapa yang belum meniatkan puasa di malam hari maka tidak ada puasa baginya.

Untuk shaum Sunnah mereka sepakat  boleh sampai sebelum zawwal  (zhuhur). Berdasarkan hadits Aisyah, bahwa Nabi ﷺ bertanya kepada Aisyah dipagi hari: "Apakah kamu ada makanan?" Aisyah menjawab: "Tidak." Nabi ﷺ menjawab: "Kalau gitu saya Berpuasa." 
(Al Mausu'ah, 10/15).

1⃣2⃣ APAKAH NIAT WAJIB TIAP MALAM? ATAU CUKUP SEKALI DI AWAL RAMADHAN?

✔Jawab:
Mayoritas ulama mengatakan wajib TIAP MALAM:

ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى تَجْدِيدِ النِّيَّةِ فِي كُل يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ ...

Madzhab Mayoritas ulama adalah niat itu harus diperbarui setiap hari puasa di Ramadhan...

وَلأِنَّ كُل يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ ، لاَ يَرْتَبِطُ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ ، وَلاَ يَفْسُدُ بِفَسَادِ بَعْضٍ .......

Karena masing-masing hari adalah ibadah yang tersendiri, satu sama lain tidak saling terkait, dan tidaklah batal yang satu membuat batal yang lain ...

وَذَهَبَ زُفَرُ وَمَالِكٌ - وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ - أَنَّهُ تَكْفِي نِيَّةٌ وَاحِدَةٌ عَنِ الشَّهْرِ كُلِّهِ فِي أَوَّلِهِ ، كَالصَّلاَةِ . وَكَذَلِكَ فِي كُل صَوْمٍ مُتَتَابِعٍ ، كَكَفَّارَةِ الصَّوْمِ وَالظِّهَارِ .....

Ada pun Zufar, Malik, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, bahwa niat cukup sekali untuk satu bulan yaitu di awal malam Ramadhan, sebagaimana shalat. Demikian pula puasa dua bulan berturut-turut baik karena kafarat atau zhihar...
(Al Mausu’ah Al Fiqhyah Al Kuwaitiyah, 28/26).

Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

ولابد أن تكون قبل الفجر، من كل ليلة من ليالي شهر رمضان

Harus berniat sebelum subuh, setiap malamnya di antara malam-malam bulan Ramadhan.
(Fiqhus Sunnah, 1/437).

Demikian. Wallahu a'lam

1⃣3⃣ LAGI SAHUR TAHU-TAHUNYA MASUK AZAN SUBUH, BAGAIMANA?

✔Jawab:
 Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:

ويباح للصائم، أن يأكل، ويشرب، ويجامع، حتى يطلع الفجر، فإذا طلع الفجر، وفي فمه طعام، وجب عليه أن يلفظه، أو كان مجامعا وجب عليه أن ينزع.
فإن لفظ أو نزع، صح صومه، وإن ابتلع ما في فمه من طعام، مختارا، أو استدام الجماع، أفطر.

Dibolehkan bagi orang yang berpuasa untuk makan, minum, dan  jima', sampai terbitnya fajar.

Jika fajar sudah terbit dan dimulutnya ada makanan, maka wajib baginya membuangnya, atau dia sedang jima' wajib baginya mencabutnya. Maka, jika sudah dibuang atau dicabut maka sah puasanya. Tapi, jika makanan tersebut ditekan juga atau jima'nya diteruskan maka puasanya batal.
(Fiqhus Sunnah, 1/464).

Dalilnya adalah:

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَنَّ بِلَالًا كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha bahwa Bilal biasa melakukan adzan (pertama) di malam hari, maka Rasulullah ﷺ    berkata:  "Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummu Maktum melakukan adzan, karena dia tidak melakukan adzan kecuali sudah terbit fajar".
(HR. Bukhari no. 1918)

1⃣4⃣ BANGUN SUBUH KESIANGAN, DALAM KEADAAN JUNUB PULA, BAGAIMANA PUASANYA?

✔Jawab:
Silahkan lanjutkan puasanya, tidak masalah. Jangan lupa mandi janabah dulu, lalu shalat subuh dan lanjutkan puasanya.

 ‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

“Adalah Rasulullah ﷺ  memasuki fajar dalam keadaan junub karena berhubungan dengan isterinya, lalu dia mandi dan berpuasa.”
(HR. Bukhari No. 1925, Muslim No. 1109).

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

قَالَ الْقُرْطُبِيّ : فِي هَذَا فَائِدَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُجَامِع فِي رَمَضَان وَيُؤَخِّر الْغُسْل إِلَى بَعْد طُلُوع الْفَجْر بَيَانًا لِلْجَوَازِ . الثَّانِي أَنَّ ذَلِكَ كَانَ مِنْ جِمَاع لَا مِنْ اِحْتِلَام لِأَنَّهُ كَانَ لَا يَحْتَلِم إِذْ الِاحْتِلَام مِنْ الشَّيْطَان وَهُوَ مَعْصُوم مِنْهُ .

“Berkata Al Qurthubi: “Hadits ini ada dua faidah. Pertama, bahwa beliau berjima’ pada Ramadhan (malamnya) dan mengakhirkan mandi hingga setelah terbitnya fajar, merupakan penjelasan bolehnya hal itu. Kedua, hal itu (junub) dikarenakan jima’ bukan karena mimpi basah, karena beliau tidaklah mimpi basah, mengingat bahwa mimpi basah adalah dari syetan, dan beliau ma’shum dari hal itu.”
(Fathul Bari, 4/144).

1⃣5⃣ TAKUT TIDAK BISA BANGUN SAHUR AKHIRNYA MAKAN SAHURNYA JAM 22-23, APAKAH INI BOLEH?

✔Jawab:
Tentu makan jam 22-23 tidak ada larangannya. Tapi, apakah itu dinamakan makan sahur? Tentu bukan. Sebab makan sahur itu adalah makan di waktu sahur.

Sahur adalah nama penggalan waktu, yaitu disepertiga malam terakhir.

Pertanyaan ini, mirip pertanyaan apakah makan jam 7 pagi disebut makan siang? Tentu bukan, itu sarapan namanya. Namun, bagi yang melakukannya puasanya tetap sah walau dia tidak dihitung bersahur.

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وقت السحور بين نصف الليل وطلوع الفجر

Waktu sahur adalah antara tengah malam dan terbitnya fajar.
(Al Majmu' Syarh Al Muhadzdzab, 6/360).

Imam Ad Dasuqi Rahimahullah mengatakan:

ويدخل وقت السحور بنصف الليل الأخير وكلما تأخر كان أفضل

Masuknya waktu sahur itu adalah pada tengah malam akhir, dan jika di akhirkan maka itulah yang lebih utama.
(Hasyiyah Ad Dasuqi, 1/515).

Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:

فإذا كان ما قمت به من أكل ونحوه قد حصل بعد منتصف الليل فهو سحور، وإن كان قبل ذلك فلا يعتبر سحوراً شرعاً، والصيام صحيح مع ترك السحور أصلاً

Maka, jika makan dan semisalnya setelah tengah malam maka itulah sahur, jika sebelumnya maka itu tidak dinamakan sahur secara syar'iy. Tapi, pada dasarnya puasanya tetap sah walau dia tidak sahur.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 108993).

1⃣6⃣ PUASA TAPI TIDAK SAHUR, BAGAIMANA?

✔Jawab:
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

وقد أجمعت الامة على استحبابه، وأنه لا إثم على من تركه

Umat telah ijma’ atas kesunahannya, dan tidak berdosa meninggalkannya.
(Fiqhus Sunnah, 1/455).

Tapi, janganlah hal itu dijadikan kebiasaan, sebab khawatir menyerupai puasanya orang kafir.

Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ  bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور

“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) adalah pada makan sahur.”
(HR. Muslim No. 1096).

1⃣7⃣ MENCICIPI MAKANAN SAAT PUASA BOLEHKAH?

✔Jawab:
Mencicipi saja dilidah, lalu dibuang, sekedar untuk mengetahui rasa atau suatu hajat, bukan untuk menikmatinya adalah tidak apa-apa.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

 وقال ابن عباس: لا بأس أن يذوق الطعام الخل، والشئ يريد شراءه. وكان الحسن يمضغ الجوز لابن ابنه وهو صائم، ورخص فيه إبراهيم.

“Berkata Ibnu Abbas: ‘Tidak mengapa mencicipi asamnya makanan, atau sesuatu yang hendak dibelinya.’ Al Hasan pernah mengunyah-ngunyah kelapa untuk cucunya, padahal dia sedang puasa, dan Ibrahim memberikan keringanan dalam hal ini.”
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462).

Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan:

فلا خلاف بين الفقهاء في أن ذوق الصائم للطعام لا يبطل صومه ما لم يصل شيء من ذلك إلى جوفه. وهو جائز من غير كراهة إذا دعت إليه الحاجة

Tidak ada perbedaan pendapat diantara fuqaha, tentang mencicipi makanan bagi seorang yang berpuasa bahwa itu tidak membatalkan puasanya selama tidak sampai ke rongga perutnya. Hal itu dibolehkan dan tidak makruh jika memang disebabkan adanya keperluan untuk itu.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no.  6363).

Tapi, jika tidak ada perlunya, hanya iseng saja, tentu jangan sebab itu perbuatan yang sia-sia.

1⃣8⃣ MENCIUM AROMA YANG SEDAP BOLEHKAH?

✔Jawab:
Tidak apa-apa, itu bukan materi. Ini sama seperti aroma masakan saat seorang wanita masak dan dia sedang puasa.

Syaikh Sulaiman bin Manshur Al Jamal Rahimahullah berkata:

لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْنًا وَيُؤْخَذُ مِنْ هَذَا أَنَّ وُصُولَ الدُّخَانِ الَّذِي فِيهِ رَائِحَةُ الْبَخُورِ أَوْ غَيْرُهُ إلَى جَوْفِهِ لَا يَضُرُّ وَإِنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ

.. karena itu bukan materi. Dari sinilah bahwasanya sampainya asap wewangian bukhur (dupa) atau lainnya sampai ke rongga perut tidaklah masalah, walau dia sengaja melakukannya.
(Hasyiyah Al Jamal, 2/318).

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:

وَشَمُّ الرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لِلصَّائِمِ

“Mencium harum-haruman adalah tidak mengapa bagi orang berpuasa.”
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Fatawa Al Kubra, 5/376).

1⃣9⃣ BOLEHKAH MENIKAH SAAT RAMADHAN?

✔Jawab:
Tidak ada larangan nikah di bulan Ramadhan, atau di bulan apa pun.

Hanya saja..., nikah di bulan Ramadhan bagaimana dengan pesta walimahnya? Sebab ketika siang tamu umumnya berpuasa, kalau malam mereka juga terawih. Kecuali jika ingin akadnya saja di malam hari.

Lalu kuatkah menahan diri? Biasanya penganten baru itu maunya berduaan terus, khawatir tidak kuasa nahan diri, akhirnya mereka merusak puasanya disiang hari.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid Hafizhahullah mengatakan:

ليس في الشريعة أي نهي عن الزواج في رمضان لذات رمضان ، ولا في غيره من الأشهر ، بل الزواج جائز في أي يوم من أيام السنة .

Dalam syariat tidak ada larangan menikah di bulan Ramadhan semata-mata Ramadhannya. Begitu pula tidak ada larangan dibulan lainnya. Tetapi, nikah boleh dilakukan waktu kapan pun dihari-hari sepanjang tahun.

لكن الصائم في رمضان يمتنع عن الطعام والشراب والجماع من الفجر إلى غروب الشمس ، فإن كان يملك نفسه , ولا يخشى أن يفعل ما يفسد صيامه , فلا حرج عليه من الزواج في رمضان .

Tetapi orang yang sedang berpuasa terlarang untuk makan, minum, dan jima' sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Jika dia mampu menguasai diri, dan tidak khawatir akan melakukan hal yang bisa merusak puasa, maka tidak apa-apa baginya nikah di bulan Ramadhan.

والظاهر أن الذي يريد أن يبدأ حياته الزوجية في رمضان ، - غالباً - لا يستطيع الصبر عن زوجته الجديدة طوال النهار ، فيُخشى عليه من الوقوع في المحظور ، وانتهاك حرمة هذا الشهر الفضيل ، فيقع في الإثم الكبير ، مع وجوب القضاء والكفارة المغلظة ، وهي عتق رقبة ، فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين ، فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينًا ، وإذا تكرر الجماع في عدة أيام تكررت معه الكفارة بعدد الأيام .

Kenyataannya, orang yang akan menilai kehidupan suami istri dibulan Ramadhan -biasanya- tidak mampu bersabar atas istrinya disepanjang siang.1 Khawatirnya dia melakukan hal terlarang di siang hari. Dengan itu dia merusak kehormatan bukan Ramadhan, dosa besar,  dan wajib baginya qadha, juga kafarat, yaitu dengan membebaskan budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin. Jika ini terjadi berulang-ulang, maka sebanyak itu pula kafarat yang dia lakukan.
(Al Islam Su'aal wa Jawaab no. 65736).

2⃣0⃣ BOLEHKAH MENCIUM ISTRI SAAT PUASA?

✔Jawab:
Boleh, selama bisa menahan diri. Jika tidak bisa menahan diri maka makruh.

Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:

عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ

 Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium istri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah ﷺ, saya berkata: Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa. Rasulullah ﷺ  bersabda: Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?, Saya (Umar) menjawab: Tidak mengapa. Maka Rasulullah ﷺ  bersabda: Lalu, kenapa masih ditanya?
(HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 138).

Dalam hadits lain,  dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

كان يباشر و هو صائم ، ثم يجعل بينه و بينها ثوبا . يعني الفرج

"Rasulullah bermubasyarah padahal sedang puasa, lalu dia membuat tabir dengan kain antara dirinya dengan kemaluan (‘Aisyah).”
(HR. Ahmad No. 24314, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24314).

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berikut:

قال ابن المنذر رخص في القبلة عمر وابن عباس وأبو هريرة وعائشة، وعطاء، والشعبي، والحسن، وأحمد، وإسحاق. ومذهب الاحناف والشافعية: أنها تكره على من حركت شهوته، ولا تكره لغيره، لكن الاولى تركها. ولا فرق بين الشيخ والشاب في ذلك، والاعتبار بتحريك الشهوة، وخوف الانزال، فإن حركت شهوة شاب، أو شيخ قوي، كرهت. وإن لم تحركها لشيخ أو شاب ضعيف، لم تكره، والاولى تركها. وسواء قبل الخد أو الفم أو غيرهما. وهكذا المباشرة باليد والمعانقة لهما حكم القبلة.

 Berkata Ibnul Mundzir: Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah,  Aisyah, Atha’, Asy Sya’bi, Ahmad dan Ishaq, mereka memberikan rukhshah (keringanan) dalam hal mencium (isteri).

 Madzhab Hanafi dn Asy Syaf’i: Mencium itu makruh jika melahirkan syahwat, dan tidak makruh jika tidak bersyahwat, tetapi lebih utama meninggalkannya.

 Dalam hal ini, tak ada perbedaan antara anak muda dan orang tua, yang menjadi pelajaran adalah munculnya syahwat (rangsangan) itu, dan kekhawatiran terjadinya inzal (keluarnya mani). Maka, munculnya syahwat, baik anak muda dan orang tua yang masih punya kekuatan, adalah makruh. Namun, jika tidak menimbulkan syahwat, baik untuk orang tua atau anak muda yang lemah, maka tidak makruh, dan lebih utama adalah meninggalkannya. Sama saja, baik mencium pipi, atau mulut, atau lainnya. Begitu pula mubasyarah (hubungan-cumbu) dengan tangan atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium.
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah , 1/461).

2⃣1⃣ BOLEHKAH MENGHIRUP OBAT FLU ATAU MENYEMPROT OBAT ASMA?

✔Jawab:
Tidak apa-apa, selama tidak sampai ke perut. Demikian yang difatwakan ulama kontemporer.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah mengatakan:

وبخاخ الربو لا يفطّر لأنه غاز مضغوط يذهب إلى الرئة وليس بطعام ، وهو محتاج إليه دائما في رمضان وغيره

Semprotan asma tidak membatalkan puasa karena itu adalah gas yang ditekan kearah paru-paru dan bukan makanan, dan dia selalu membutuhkannya baik di Ramadhan atau lainnya.
(Fatawa Ad Da'wah no. 997).

Berkata Syaikh Utsaimin Rahimahullah:

هذا البخاخ يتبخر ولا يصل إلى المعدة ، فحينئذٍ نقول : لا بأس أن تستعمل هذا البخاخ وأنت صائم ، ولا تفطر بذلك

Semprotan ini menguap dan tidak sampai ke perut, maka saat itu kami katakan tidak apa-apa menggunakan semprotan ini disaat Anda  puasa dan anda tidak batal karenanya.
(Fatawa Arkanul Islam no. 475).

2⃣2⃣ OBAT TETES MATA, BOLEHKAH?

✔Jawab:
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الاكتحال: والقطرة ونحوهما مما يدخل العين، سواء أوجد طعمه في حلقه أم لم يجده، لان العين ليست بمنفذ إلى الجوف. وعن أنس: " أنه كان يكتحل وهو صائم ". وإلى هذا ذهبت الشافعية، وحكاه ابن المنذر، عن عطاء، والحسن، والنخعي، والاوزاعي، وأبي حنيفة، وأبي ثور. وروي عن ابن عمر، وأنس وابن أبي
أوفى من الصحابة. وهو مذهب داود. ولم يصح في هذا الباب شئ عن النبي صلى الله عليه وسلم، كما قال الترمذي.

 “Bercelak dan meneteskan obat atau lain-lain ke dalam mata, semuanya adalah sama. Walau pun terasa dalam keronkongan atau tidak, karena mata bukanlah bukanlah jalan menuju rongga perut.  Dari Anas: “Bahwa beliau bercelak padahal sedang berpuasa. Inilah madzhab Syafi'iyyah, dan menurut cerita Ibnul Mundzir, ini juga pendapat Atha, Al Hasan, An Nakhai, Al Auzai, Abu Hanifah dan Abu Tsaur. Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Anas, dan Ibnu Abi Aufa dari golongan sahabat. Ini juga madzhab Daud, dalam masalah ini tak ada satu pun yang shahih dari Nabi ﷺ  (yang menunjukkan larangan) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam At Tirmidzi. 
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 460).

2⃣3⃣ OBAT TETES TELINGA, APAKAH JUGA BOLEH?

✔Jawab:
Tidak apa-apa untuk pengobatan yang dengannya dapat menghilangkan sakit yang dialaminya. Tapi, jika bukan untuk pengobatan sebaiknya jangan dilakukan.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Rahimahullah menjelaskan:

ابتلى بوجع فى أذنه لا يحتمل معه السكون الا بوضع دواء يستعمل فى دهن أو قطن و تحقق التخفيف أو زوال الألم به بأن عرف نفسه أو  أخبره طبيب جاز ذلك و صح صومه للضرورة

Seseorang tertimpa rasa sakit ditelinganya dan itu membuatnya tidak nyaman kecuali dengan meletakkan obat yang digunakan pada minyak atau kapas, yang dengannya dia menjadi lebih ringan atau hilang sakitnya, hal ini telah dia ketahui dan memberitahukannya ke seorang dokter maka itu boleh  dan puasanya tetap sah karena darurat.
(Bughiyah Al Mustarsyidin, Hal. 182).

2⃣4⃣ GOSOK GIGI BOLEHKAH?

✔Jawab:
Tidak apa-apa, bahkan Sunnah, selama dia bisa menjaga jangan sampai tertelan airnya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

ويستحب للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي: " ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا ". وكان النبي صلى الله عليه وسلم يتسوك، وهو صائم.

Disunahkan bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi:  Imam Asy Syafi'i menganggap tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya. Dan Nabi ﷺ bersiwak, padahal dia sedang puasa.
(Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,Hal. 459).

Beliau menambahkan:

والصائم والمفطر في استعماله أول النهار وآخره سواء، لحديث عامر بن ربيعة رضي الله عنه

Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak, untuk bersiwak baik di awal siang atau di akhirnya, sama saja.

Diriwayatkan dari Amir bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu:

وَيُذْكَرُ عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ وَهُوَ صَائِمٌ مَا لَا أُحْصِي أَوْ أَعُدّ

Disebutkan dari Amir bin Rabi’ah, dia berkata: “Aku melihat Nabi ﷺ  bersiwak, dan dia sedang puasa, dan tidak terhitung jumlahnya.” (HR. Bukhari,  Bab  Siwak Ar Rathbi wal Yaabis Lish Shaa-im)

Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:

بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ

“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang Berpuasa”

Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:

وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ

“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan  kayu  basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya'bi, dan telah dikemukakan sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin, bahwa bersiwak dengan yang basah itu sama halnya seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen). 
(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158).

Sebagian ulama, ada yang membolehkan di pagi hari, tapi memakruhkan di sore hari. Alasannya, hal itu "menghilangkan" jejak ibadah, yaitu bau mulut. Padahal bau mulut orang berpuasa lebih Allah Ta'ala cintai dibanding Kesturi.

2⃣5⃣ BERBEKAM, AMBIL DARAH BUAT LAB, CABUT GIGI, BOLEHKAH?

✔Jawab:
Tidak apa-apa jika tidak sampai melemahkan badan, dan tidak pula darah itu tertelan bagi yang cabut gigi. Madzhab Hambaliy tidak membolehkan tapi dalil yang lebih kuat adalah boleh.

Dalilnya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ

"Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ  berbekam dan beliau sedang ihram, dan pernah berbekam padahal sedang berpuasa.”  (HR. Bukhari No. 1938)

Dari Tsabit Al Bunani:

سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ

“Anas bin Malik ditanya: “Apakah Anda memakruhkan berbekam bagi orang puasa?” beliau menjawab: “Tidak, selama tidak membuat lemah.” (HR. Bukhari No. 1940)

 Imam Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:

قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ وَغَيْره : فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ حَدِيث " أَفْطَرَ الْحَاجِم وَالْمَحْجُوم " مَنْسُوخ لِأَنَّهُ جَاءَ فِي بَعْض طُرُقه أَنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاع

 “Berkata Ibnu Abdil Bar dan lainnya: “Hadits ini merupakan dalil, bahwa hadits yang berbunyi “Orang yang membekam dan yang dibekam, hendaknya berbuka", telah mansukh (dihapus) karena telah ada beberapa riwayat lain bahwa hal itu (berbekam ketika ihram) terjadi pada haji wada' (perpisahan).
(Fathul Bari, 4/178. Darul Marifah)

Dari keterangan ini maka jelaslah kebolehkan berbekam, kecuali jika melemahkan, maka ia makruh sebagaimana yang dikatakan Anas bin Malik Radhiallahu Anhu. Hal ini sama dengan orang yang mendonorkan darahnya, tidak apa-apa jika tidak melemahkannya. Inilah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini.

2⃣6⃣ KUMUR-KUMUR DAN MENGHIRUP AIR LEWAT HIDUNG, APA BOLEH JUGA?

✔Jawab:
Dari Laqith bin Shabrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
 
 أَسْبِغْ الْوُضُوءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

“Bersungguh-sungguhlah berwudhu’ dan gosok-gosoklah antara jari jemari kalian, dan bersungguhlah dalam menghirup air, kecuali jika kalian puasa.”
(HR. Abu Daud No. 2366, At Tirmidzi No. 788, katanya: hasan shahih).

Hadits ini menunjukkan bolehnya menghirup air ke rongga hidung, namun makruh jika berlebihan, oleh karena itu Imam At Tirmidzi memberi judul Bab Ma Jaa Fi Karahiyah Mubalaghah  Al Istinsyaq Li Shaim (Apa-apa saja yang dimakruhkan, berupa menghirup air bagi orang berpuasa secara berlebihan atau mubalaghah).

Apakah batasan berlebihan? Berkata Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri ketika mengomentari hadits di atas:

فَلَا تُبَالِغْ لِئَلَّا يَصِلَ إِلَى بَاطِنِهِ فَيُبْطِلَ الصَّوْمَ .

“Maka janganlah berlebihan, yakni hingga sampainya (air) ke rongga perutnya, sehingga batal-lah puasa.”
(Tuhfah Al Ahwadzi, 3/418. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah).

Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:

عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ

Suatu hari bangkitlah syahwat saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang kepada Rasulullah ﷺ, saya berkata: Hari ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang puasa. Rasulullah ﷺ  bersabda: Apa pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?, Saya (Umar) menjawab: Tidak mengapa. Maka Rasulullah ﷺ  bersabda: Lalu, kenapa masih ditanya? 
(HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Ta'liq Musnad Ahmad No. 138).

Hadits ini menunjukkan bahwa berkumur-kumur tidaklah mengapa, dan disamakan dengan mencium isteri, selama tidak sampai berlebihan.

Wallahu A’lam

2⃣7⃣ MANDI SIANG-SIANG, BAGAIMANA?

✔Jawab:
Boleh, dan Nabi ﷺ melakukannya, asalkan bisa yakin menjaga jangan sampai tertelan airnya.

Abu Bakar berkata, telah ada yang bercerita kepadaku seseorang:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْعَرْجِ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَر

“Aku telah melihat Rasulullah ﷺ  mengguyurkan air ke kepalanya, lantaran rasa haus dan panas.”
(HR. Malik, Al Muwaththa, No. 561, riwayat Yahya Al Laits. Ahmad No. 16602. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 16602).

Disebutkan dalam Imam Abu Sulaiman  Walid Al Baji Rahimahullah mengatakan:

وَقَدْ بَلَغَ بِهِ شِدَّةُ الْعَطَشِ أَوْ الْحَرِّ أَنْ صَبَّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ لِيَتَقَوَّى بِذَلِكَ عَلَى صَوْمِهِ وَلِيُخَفِّفْ عَنْ نَفْسِهِ بَعْضَ أَلَمِ الْحَرِّ أَوْ الْعَطَشِ وَهَذَا أَصْلٌ فِي اسْتِعْمَالِ مَا يَتَقَوَّى بِهِ الصَّائِمُ عَلَى صَوْمِهِ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ مِنْ التَّبَرُّدِ بِالْمَاءِ وَالْمَضْمَضَةِ بِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى الصَّوْمِ وَلَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ ؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا فِي فَمِهِ مِنْ الْمَاءِ وَيَصْرِفُهُ عَلَى اخْتِيَارِهِ

“Beliau  mengalami  haus  atau panas yang sangat, sehingga beliau mengguyurkan air ke kepalanya untuk menguatkan puasanya, dan meringankan sebagian rasa sakit yang dialami dirinya lantaran panas atau haus. Ini adalah hukum dasar dalam memakai apa saja yang bisa menguatkan orang berpuasa, yakni tidaklah membatalkan puasa, baik berupa menyejukkan diri dengan air dan berkumur-kumur dengannya. Karena hal itu bisa membantunya dalam puasa dan tidaklah membatalkan puasanya, karena dia mampu menjaga mulutnya dari air dan bisa mengatur air.
(Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam).

Tentang hadits di atas,  berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْسِرَ الْحَرَّ بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَعْضِ بَدَنِهِ أَوْ كُلِّهِ ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ الْجُمْهُورُ ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْأَغْسَالِ الْوَاجِبَةِ وَالْمَسْنُونَةِ وَالْمُبَاحَةِ .
وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ : إنَّهُ يُكْرَهُ الِاغْتِسَالُ لِلصَّائِمِ ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ مِنْ النَّهْيِ عَنْ دُخُولِ الصَّائِمِ الْحَمَّامَ 

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya bagi orang puasa mengurangi rasa panas dengan mengguyurkan air ke sebagian badannya atau seluruhnya (seperti mandi, pen), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas ulama), dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunah, dan mubah (semuanya hukumnya sama).

Kalangan Hanafiyah berkata: Sesungguhnya mandi adalah makruh bagi orang berpuasa, mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ali, berupa larangan bagi orang puasa untuk memasuki kamar mandi. 
(Nailul Authar, 4/585. Lihat Aunul Mabud, 6/352).

Tetapi riwayat larangan tersebut adalah dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Ibid)

2⃣8⃣ BERENANG ATAU BERENDAM SAAT PUASA BAGAIMANA?

✔Jawab:
Imam Abul Walid Al Baji Rahimahullah mengatakan:

وَيُكْرَهُ لَهُ الِانْغِمَاسُ فِي الْمَاءِ لِئَلَّا يَغْلِبَهُ الْمَاءُ مَعَ ضِيقِ نَفَسِهِ فَيَفْسُدَ صَوْمُهُ فَإِنْ فَعَلَ فَسَلِمَ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ .

Dan dimakruhkan berendam dalam air karena air telah menguasai (menutupi) dirinya dan membuatnya disempitkan dengan air tersebut, sehingga  puasanya bisa dirusak olehnya. Tetapi jika dia melakukan itu, dan selamat dari hal itu, maka tidak apa-apa.” 
(Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz. 2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam).

🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Deswita ~ Bekasi
Saya punya orang tua yang daya ingatnya sudah menurun alias sering lupa.
Mengobrolpun sering diulang pertanyaan yang serupa berkali-kali.
Harus selalu didampingi untuk  aktivitas sehari-hari karena bisa mandi dan sholat berkali-kali.
Minum obatpun harus diawasi karena setiap ditanya pasti lupa.
Apakah wajib bagi beliau puasa ramadhan?

🌸Jawab :
Sudah Pikun, Bagaimana Shalatnya?

Bagaimana hukum sholat orang tua lansia 84 tahun yang sudah lupa waktu sholat dan bacaan sholat. Sekarang dalam keadaan sakit dan kemarin sempat masuk rumah sakit. Bagaimana kami sebagai putra-putrinya? Apakah sholatnya kami gantikan atau bagaimana?

Bismillah wal Hamdulillah wash shalatu wa salamu 'ala rasulillah wa ba'd:

Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ

Pena diangkat dari 3 golongan:

1. Orang tidur sampai dia bangun.
2. Anak kecil sampai dia mimpi basah (baligh).
3. Orang gila sampai dia berakal.
(HR. Abu Daud no. 4403 At Tirmidzi no. 1423. Shahih)

Semua golongan dalam hadits ini punya kesamaan yaitu sama-sama tidak berfungsinya akal. Maka, orang pikun juga mengalaminya, sehingga pikun yang dominan dalam kehidupan seseorang membuatnya terangkat kewajiban baginya, alias ketentuan syariat tidak dibebankan kepadanya.

Bahkan bisa jadi pikun ini lebih berat, sebab: anak-anak akan dewasa, orang tidur akan bangun, orang gila bisa disembuhkan. Berbeda dengan orang pikun yang biasanya dialami sampai wafat.

Oleh karena itu Imam As Subki mengatakan seperti yang dikutip Imam Abu Thayyib Syamsul 'Azhim:

وَالْمُرَادُ بِهِ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ الَّذِي زَالَ عَقْلُهُ مِنْ كِبَرٍ فَإِنَّ الشَّيْخَ الْكَبِيرَ قَدْ يَعْرِضُ لَهُ اخْتِلَاطُ عَقْلٍ يَمْنَعُهُ مِنَ التَّمْيِيزِ وَيُخْرِجُهُ عَنْ أَهْلِيَّةِ التَّكْلِيفِ وَلَا يُسَمَّى جُنُونًا لِأَنَّ الْجُنُونَ يَعْرِضُ مِنْ أَمْرَاضٍ سَوْدَاوِيَّةٍ وَيَقْبَلُ الْعِلَاجَ وَالْخَرَفُ بِخِلَافِ ذَلِكَ

Yang dimaksud dengan pikun adalah orang jompo yang akalnya hilang karena ketuaannya. Orang jompo yang mengalami kekacauan dalam akalnya sehingga tidak bisa lagi mampu membedakan apa-apa dan mengeluarkannya dari lingkup kepantasan menerima beban syariat (mukallaf).

Ini tidak dinamakan gila, sebab gila itu salah satu jenis penyakit dan masih bisa diobati, hal itu berbeda dengan pikun.
('Aunul Ma'bud, 12/52)

Jadi, sudah tidak wajib shalat dimasa-masa pikunnya.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

والحاصل أن من وصل إلى مرحلة الخرف ، وأصبح لا يدرك الوقت ، ولا يميز بين الصلوات ، فهذا لا تجب عليه الصلاة .

Kesimpulannya, orang yang sudah sampai taraf pikun, yang membuatnya tidak mengerti waktu, tidak mampu membedakan waktu-waktu shalat, maka ini tidak wajib shalat.
(Al Islam Su'aal wa Jawaab no. 90189)

Demikian.
Wallahu A'lam

0⃣2⃣ Lisa ~ Malang
Afwan ustadz,
Tentang melakukan bekam dan Ruqyah sebelum Puasa tiba, apakah manfaatnya hanya dari segi fisik agar badan sehat atau bagian dari yang biasa Rasulullah lakukan?
Afwan atas pertanyaannya dari saya yang fakir ilmu ini.

🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim ..

Itu kategori sunnah mubahah, kebiasaan nabi yang boleh diikuti dan tidak masalah jika tidak diikuti. Kembali ke kondisi kekuatan fisik orangnya. Bekam ya, bukan ruqyah sebelum Ramadhan.

Wallahu a'lam

0⃣3⃣ Lila ~ Medan
Ustazd, bagaimana dengan hukumnya ziarah ke kubur sebelum ramadhan dan bermaaf-maafan menjelang ramadhan?

🌸Jawab :
Ziarah kubur menjelang masuknya Ramadhan.

Ini adalah tradisi yang sudah turun temurun di negeri ini, dan juga beberapa negeri muslim lainnya, khususnya pada rumpun melayu.

Secara umum, berziarah kubur adalah ibadah sunah, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:

عن بُرَيْدَة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها )) رواه مسلم . وفي رواية : (( فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ ))

Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Dahulu saya melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.” (HR. Muslim). Riwayat lain: “maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur maka berziarahlah, karena hal itu bisa mengingatkan akhirat.”

Hadits ini dikeluarkan oleh:

–  Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1977

–  Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5162

–  Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 1571

–  Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 9289

–  Imam Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 7879, 7882

–  Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 1235, 4319, 13512, 13640, 23053

–  Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 312, 11928, 11935

–  Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4373, 4465, 7366

–  Imam Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 604, 2442, dalam Al Ausath No. 6394

–  Imam Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4130

–  Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 2708

Maka, kesunahan berziarah kubur adalah perkara yang tidak diragukan lagi bagi kaum muslimin, khususnya kaum laki-laki. Ada pun berziarah kubur bagi kaum wanita telah diperselisihkan ulama, namun pendapat yang rajih adalah boleh pula bagi kaum wanita untuk berziarah kubur. (Lihat di http://www.ustadzfarid.com/2011/09/wanita-berziarah-kubur.html)

Kemudian, ziarah kubur pada dasarnya adalah ibadah muthlaq yaitu ibadah yang tak terikat oleh waktu, peristiwa, dan sebab tertentu. Kapan pun kita mau dan ada kesempatan, maka ziarah kubur adalah masyru’ (disyariatkan). Maka, boleh saja berziarah kubur di waktu yang kita lapang baik hari ini dan itu, bulan ini dan itu, menjelang Ramadhan, pas Ramadhan, atau setelah Ramadhan, dzul qa’dah, dzul hijjah, dan lainnya. Semua ini boleh saja.

Ada pun mengkhususkan dan mengikatkan ziarah kubur dengan waktu tertentu, seperti mengikatkannya dengan menjelang Ramadhan saja, atau awal Syawal, lalu melakukannya menjadi rutinitas yang baku, maka tradisi ini tidak memiliki dasar dalam syariat.

Tidak pada Al Quran, tidak pula pada As Sunnah, juga tidak pula pada sahabat, tabi’in, dan imam empat madzhab. Karena ini adalah ibadah muthlaq, maka sebaiknya dilakukan sesuai kemutlakannya itu, kadang kita ziarah kubur menjelang Ramadhan, kadang kita melakukan di awal Syawal, kadang kita lakukan di beberapa bulan lainnya, agar dia berjalan sesuai kemutlakannya itu.

Namun, masalah ini adalah perkara sensitif di masyarakat. Seorang muslim mesti mau memahami dan memaklumi kenapa sebagian masyarakat muslim dengan didukung para ulamanya melakukan ini. Ini adalah meminjam istilah ahli ushul  Al ‘Urf (tradisi). Dan, tradisi bagi para pakar ada dua: Al ‘Urf Ash Shahih (tradisi yang benar) dan Al ‘Urf Al Fasad (tradisi yang rusak).

Al ‘Urf Ash Shahih adalah tradisi yang benar lagi baik, yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, baik secara umum atau terperinci. Ada pun mentradisikan ziarah kubur menjelang Ramadhan dan awal Syawal mereka masukkan ke dalam kelompok ini; tradisi yang baik, karena pada dasarnya memang berziarah kubur adalah sunnah dan baik.

Al ‘Urf Al Fasad adalah tradisi yang merusak, yang bertentangan dengan syariat Islam, baik secara umum atau khusus. Seperti tradisi sebagian nelayan yang melakukan lempar sesajen ke pantai laut selatan setelah mereka mendapatkan hasil ikan yang banyak.

Demikianlah. Keluar dari khilafiyah adalah lebih utama, yakni dengan menempatkan ziarah kubur sebagaimana porsinya sebagai ibadah mutlak. Lalu tetaplah menjaga ukhuwah terhadap sesama muslim.

0⃣4⃣ Wita ~ Bandung
Bismillah
Masih seputar persiapan menjelang ramadhan tahun ini, apabila masih ada hutang puasa ditahun lalu yang belum lunas karena kondisi hamil ngidam parah mau di bayar fidyah, apakah cukup dengan fidyah saja atau harus double dengan qodho puasa?
Terima kasih

🌸Jawab :
Wanita Hamil dan Menyusui: Qadha atau Fidyah?
(Pertanyaan dari beberapa muslimah)

Masalah ini termasuk yang banyak intensitas pertanyaannya. Sebelumnya kita lihat dulu karena apa Qadha dan Fidyah itu.

Untuk  Qadha dalilnya adalah firman Allah Taala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.

(QS. Al Baqarah: 184)

Untuk  Fidyah dalilnya adalah kalimat selanjutnya: 

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ 

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al Baqarah: 184)

Ibu hamil disetarakan dengan orang-orang yang berat melaksanakan puasa,  sebagaimana diketahui Al Quran pun juga menyebut mereka dengan wahnan 'ala wahnin (lemah yang bertambah-tambah).

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma berkata kepada wanita yang sedang hamil dan menyusui:

انت بمنزلة الذى لا يطيقه

Kamu kedudukannya sama dengan orang yang tidak mampu puasa. (Tafsir Ath Thabariy, 2/899)

Ini juga dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma. (Ad Daruquthni dalam Sunannya, 2/206)

Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar, sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya.

Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit, dan tidak merinci bagaimanakah sakitnya. Sedangkan ayat tentang Fidyah, juga tidak dirinci.

Nah, Khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. (Tafsir Al Quran al Azhim,  1/215. Darul Kutub al Mishriyah) bahwa ada empat pandangan atau pendapat ulama:

🔹PERTAMA, Kelompok Ulama Yang Mewajibkan Wajib Qadha Dan Fidyah Sekaligus.

Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i, jika Si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.

🔹KEDUA, Kelompok Ulama Yang Mewajjibkan Fidyah Saja, Tanpa Qadha.

Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi ﷺ, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma. Dari kalangan tabi'in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir,   Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi'ut tabi'in (murid para tabiin) seperti Al Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakha'i. 
Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil: Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha.

Nafi' bercerita bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa, maka dia menjawab: Hendaknya dia berbuka, dan sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum. (Riwayat Malik)

🔹KETIGA, Kelompok Ulama Yang Mewajibkan Qadha Saja, Ketiga Tanpa Fidyah.

Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.

🔹KEEMPAT, Kelompok Ulama Yang Mengatakan Tidak Qadha, Tidak Pula Fidyah.

Demikianlah berbagai perbedaan tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti?

Seorang ahli fiqih abad ini, Al Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus. Beliau berkata:

وهكذا كان كثير من النساء فى الأزمنة الماضية فمن الرحمة بمثل هذه المرأة ألا تكلف القضاء و تكتفى بالفدية، و فى هذا خير للمساكين وأهل الحاجة. أما المرأة التى تتباعد فترات حملها كما هو الشأن فى معظم نساء زمننا فى معظم المجتمعات الإسلامية و خصوصا فى المدن والتى قد لا تعانى الحمل والارضاع فى حياتها الا مرتين او ثلاثا، فالأرجح أن تقضى كما هو رأى الجمهور

"Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja, di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”
(Fiqhush Shiyam, Hal. 73-74)

Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena sering  hamil dan selalu melalui bulan Ramadhan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja. Ada pun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam.

Demikian.
Wallahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar