Sabtu, 31 Juli 2021

KELUARGA BERKUALITAS: HIKMAH NABI IBRAHIM 'ALAIHISSALAM DAN PUTRANYA

 


OLeH: Ustadz Farid Nu'man Hasan

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸KELUARGA BERKUALITAS: IBRAH DARI NABI IBRAHIM 'ALAIHISSALAM DAN PUTRANYA

Peristiwa penting yang mendasari hari raya qurban adalah apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dan puteranya, ketika Allah Ta’ala mewahyukan kepada Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam melalui mimpi untuk menyembelih puteranya, sebagai ujian keimanan baginya. 

Para ulama tafsir dan sejarawan berbeda pendapat tentang siapa putera Nabi Ibrahim tersebut? Umumnya pakar tafsir dari generasi  sahabat Nabi, dan tabi’in, mengatakan itu adalah Ishaq ‘Alaihissalam. Sebagian lain mengatakan itu adalah Ismail ‘Alaihissalam, dan inilah yang umumnya dipahami kaum muslimin di Indonesia, bahwa anak itu adalah Ismail ‘Alaihisalam.

Terlepas dari perbedaan pendapat itu, ada pelajaran penting -dan ini lebih esensi untuk dibahas- dari dialog mereka yang Allah Ta’ala abadikan dalam Al Quran, yaitu bagaimana dialog ayah dan anak ini menunjukkan kualitas keluarga mereka.

Nabi yang dijuluki Khalilullah -kekasih Allah  Ta’ala-  ini telah memberikan contoh yang bagus dalam menyentuh akal dan jiwa anaknya.  Khususnya saat-saat genting peristiwa penyembelihan sang anak tercinta, atas perintah Allah Ta’ala. Walau itu perintah Allah  Ta’ala yang mesti ditaati, namun dia tetap mengajak anaknya dialog. Sebab sang anak tidak lagi bocah kecil, tapi remaja yang sudah bisa diajak berdiskusi. Posisinya sebagai ayah, sekaligus sebagai Nabi dan rasul, tidak lantas mengedepankan jalur komando untuk anaknya dengan segala power bernama “ayah”. 

Hal ini Allah Ta’ala ceritakan:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي ٱلمَنَامِ أَنِّي أَذبَحُكَ فَٱنظُر مَاذَا تَرَىٰ قَالَ يَٰأَبَتِ ٱفعَل مَا تُؤمَرُۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّبِرِينَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Alloh ﷻ) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Para imam tafsir seperti Ibnu Abbas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubeir, ‘Atha al Khurasani,  Zaid bin Aslam, dan lainnya mengatakan tentang usia sang anak saat itu:

شَبَّ وَارْتَحَلَ وَأَطَاقَ مَا يَفْعَلُهُ أَبُوهُ مِنَ السَّعْيِ وَالْعَمَلِ 

Pemuda yang sudah mampu bepergian dan melakukan apa yang dikerjakan ayahnya.
(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. 7, hal. 27. Penerbit: Dar Thayyibah, 1999 M)

Berdialog kepada anak, apalagi dia sudah dikatakan “pemuda”, tentang apa yang akan mereka akan alami seperti pemilihan sekolah, jurusan kuliah, sampai masalah pernikahannya sangatlah penting, agar orang tua tahu apa yang ada dalam benak, keinginan, dan minat anaknya. Di sisi lain, hal itu dapat merekatkan hubungan anak dan orang tua, serta pendidikan bagi anak untuk terbiasa dialog dan diskusi, tidak sungkan dengan ayah dan ibunya sendiri. Di sisi orang tua, ini juga sarana latihan menerima pandangan anak secara jujur dan bebas, dan sejauh mana orang tua mau mendengar kejujuran anaknya tentang orang tuanya. Potensi otoriter pada kebanyakan orang tua bisa dipupus melalui dialog bersama anaknya.

Di masa sekarang, ketika ayah sibuk, ibu juga sibuk, akhirnya banyak anak kehilangan sosok orang tuanya, kehilangan sentuhan kasih sayang dan pendidikan asasi di rumahnya, yaitu keteladan. Orang tuanya ada tapi hakikatnya seperti tidak ada. Akhirnya, anak-anaknya lebih dekat dengan game, youtube, kawan-kawan di dunia maya, yang bebas nilai dan tanpa kontrol.  Banyak orang tua merasa sudah memberikan pendidikan, kasih sayang, dan berbuat baik, dengan menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah yang bagus, uang saku yang banyak, fasilitas bermain yang mudah, atau memberikan fasilitas belajar di rumah, privat, les, dan lainnya. Tapi, keterpautan hati, jiwa, keteladanan, tidak mereka berikan.  Akhirnya, anak-anak ini menjadi rapuh, kosong dari agama, dan lembek dalam menghadapi tantangan hidup.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي 

"Sebaik-baik kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya, dan aku yang terbaik di antara kamu terhadap keluargaku." (HR. At Tirmidzi No. 3895, dari ‘Aisyah. Imam At Tirmidzi berkata: hasan shahih)

Apa yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam kepada anaknya dengan “Ya Bunayya” (wahai anakku), merupakan pilihan diksi (kata) yang menunjukkan kasih sayang luar biasa, dan sopan santun yang tinggi orang tua kepada anak, walau dia akan menyampaikan berita yang begitu mengerikan. 

Adapun jawaban puteranya “Ya Abatiy” (wahai ayahku), juga merupakan diksi yang terbaik dipilih puteranya kepada ayahnya, yang juga menunjukkan kasih sayangnya kepada sang ayah. Dia tidak membalas ayahnya dengan kata-kata yang kasar atau keras, walau dia tahu akan terjadi hal yang menakutkan dalam kehidupannya. Begitulah dialog dua hamba Alloh ﷻ yang shalih, walau keshalihan itu bukan sesuatu yang diwariskan secara otomatis dari orang tua ke anak, tapi keshalihan orang tua memang bisa ditularkan kepada anaknya yaitu dengan usaha dan doa kedua orang tuanya.

🔸Penutup

Momen menjelang Idul Adha tahun ini, belumlah terlambat bagi kita semua memperbaiki kualitas keluarga kita di rumah, baik kualitas ibadah, kualitas kebersamaan, kualitas komunikasi, dan bagi orang tua tentunya kualitas keteladanan,   pepatah Arab menyebutkan: 

لِسَانُ الحَالِ أَفْصَحُ مِنْ لِسَانِ المَقَال

Keteladanan itu lebih tajam pengaruhnya dibanding ucapan.

Demikian. 
Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa' ala aalihi wa Shahbihi wa Sallam

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Atin ~ Pekalongan
Assalamu'alaikum, Ustadz.

Sungguh indah dan menyentuh qalbu dialog antara Nabi Ibrahim dan Putranya.
Dialog dengan santun tentang satu masalah jarang ditemui di zaman sekarang. Sekarang lebih banyak mengedepankan emosi dari pada etika.

Nah, bagaimana mendidik diri dan anak-anak sekarang agar bisa meneladani Nabi Ibrahim dan putranya?

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada pepatah Arab:

من شاب على شيء شاب عليه

Siapa yang dibentuk atau dididik dengan sesuatu maka dia akan seperti itu sampai dewasanya.

Maka, sejak dini mungkin ajarkan sopan santun, pilihan kata kata yang baik, saat berbicara.

Lalu, berikan contoh, di hadapan mereka. Saat ayah ibunya bicara, becanda, sampai dalam keadaan marah pun.

Perhatikan pula kawan kawannya atau interaksi sosialnya baik di sekolah, di rumah, atau media sosial. Karena mereka banyak mendapatkan "diksi" dan style dari luar juga. Adu kuat antara pendidikan keluarga dan potensi "racun" dari luar.

Jangan lupa doakan terus anak kita agar mereka menjadi anak-anak sholeh, kuat, dan cerdas.

Wallahu A’lam

0️⃣2️⃣ Resma ~ Sukabumi 
Assalamu'alaikum ustadz, 

Dikarenakan fakir ilmu agama, kami putuskan untuk memondokkan anak kami, berat sekali rasanya harus meninggalkannya tanpa pengawasan kita sehari-hari.

Rasanya kami akan kehilangan momen-momen berharga kumpul-kumpul keluarga kami. Bagaimana supaya kami ikhlas melepasnya menuntut ilmu agama di saat sulit seperti ini? 

Apakah kita selaku orang tua berdosa karena tidak bisa memberikan ilmu agama, ahlak perilaku kepada anak kami, lalu kami menitipkannya di pondok pesantren?

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam surat At Tahrim ayat 6, Allah Ta'ala memerintahkan para ayah untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka.

Menurut Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'Anhu, caranya adalah dengan addibuuhum wa 'allimuuhum (didiklah dengan adab dan didiklah dengan ilmu).

Artinya, orang tua khususnya ayah punya tanggung jawab mendidik bukan hanya membesarkan. Jika, ayah (dan ibu) pas-pasan dalam masalah agama, paling tidak mereka memberikan akses atau fasilitas untuk anak-anaknya mendapatkan pendidikan itu. Tentunya, pendidikan moral Islam adalah yang pertama mereka dapatkan melalui orang tuanya dulu di rumah.

Dimasukkan ke pondok pesantren atau sekolah Islam, adalah pilihan yang bisa ditempuh, sebagai lanjutan didikan di rumah. Rumah itulah yang pondasi.

Walau orang tua tidak bisa lagi mengawasi penuh lagi, tapi anak sudah diberikan dasar yang kuat di rumah sebelumnya, Insya Allah itu menjadi screening bagi anak tersebut jika ada keburukan di luar.

Wallahu A’lam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Keluarga itu harta yang mahal, apalagi jika keluarga Islami yang dilandasi iman dan berkualitas. Maka, dunia sukses dan di akhirat pun kembali bersama di surga-Nya.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar