Senin, 22 Oktober 2018

ADAB-ADAB DI TUBUH KITA



Oleh : Ustadz Farid Nu'man Hasan

           💎M a T e R i💎

🌷Di Rambut Kita ada Adab-Adab

◼Batasan Panjang Rambut Laki-Laki

Ada pun laki-laki, tidak boleh pula menyerupai wanita dalam hal model dan ukuran panjang rambut. Paling panjang laki-laki dibolehkan sampai atas bahu dan sebagian telinga, sebagaimana dicontohkan nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan para sahabat ada yang disebut dengan  jummiyyun  yaitu para sahabat nabi yang rambutnya gondrong-gondrong sampai menyentuh bahu bagian atas. Selebih dari itu tidak boleh karena menyerupai wanita.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ وَكَانَ لَهُ شَعْرٌ فَوْقَ الْجُمَّةِ ودون الوفرة

"Saya pernah mandi bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di satu bejana, rambut Beliau itu menjuntai sampai di atas bahu dan di bawah telinga." (HR. At Tirmidzi No. 1755, jugadalam Asy Syamail No. 22, katanya: hasan shahih. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3187)

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ شَعْرُ رَسُولِ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ إلى نصف أذنيه

"Rambut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu panjangnya sampai menutupi setengah telinganya." (HR. An Nasa’i No. 5234, At Tirmidzi, Asy Syamail, No. 21, Al Baghawi, Syarhus SunnahNo. 3638. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Mukhtashar Asy Syamail No. 21)

◼Memakai Minyak Rambut Bagi Laki-Laki

Dari Salman Al Farisi Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ  دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى

Tidaklah seorang laki-laki mandi pada hari Jumat, dia bersuci sebersih bersihnya, dia memakai minyak rambut, atau memakai minyak wangi yang ada di rumahnya, lalu dia keluar menuju masjid tanpa membelah barisan di antara dua orang, kemudian dia shalat sebagaimana dia diperintahkan, lalu dia diam ketika imam berkhutbah, melainkan  akan diampuni sejauh hari itu dan Jumat yang lainnya. 1)

Banyak riwayat yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminyaki rambutnya, bahkan janggutnya. Rabi’ah bin Abdurrahman  Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

فَرَأَيْتُ شَعَرًا مِنْ شَعَرِهِ، فَإِذَا هُوَ أَحْمَرُ فَسَأَلْتُ فَقِيلَ احْمَرَّ مِنَ الطِّيبِ

Aku melihat rambut di antara rambut-rambut nabi, jika warnanya menjadi merah aku bertanya maka dijawab: merah karena minyak wangi. 2)

Jabir bin Samurah Radhiallahu ‘Anhu bercerita:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ شَمِطَ مُقَدَّمُ رَأْسِهِ وَلِحْيَتِهِ، وَكَانَ إِذَا ادَّهَنَ لَمْ يَتَبَيَّنْ، وَإِذَا شَعِثَ رَأْسُهُ تَبَيَّنَ، وَكَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mulai memutih rambut bagian depan kepalanya dan jenggotnya, jika dia melumasi dengan minyak  ubannya tidak terlihat jelas, jika sudah mengering rambutnya  ubannya terlihat, dan  Beliau memiliki jenggot yang lebat. 3)

Simak bercerita, bahwa   Jabir bin Samurah ditanya tentang uban Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :

كَانَ إِذَا ادَّهَنَ رَأْسَهُ لَمْ يُرَ مِنْهُ، وَإِذَا لَمْ يُدَّهَنْ رُئِيَ مِنْهُ

Dahulu jika Beliau melumasi dengan minyak ubannya tidak terlihat, dan jika tidak memakai minyak ubannya terlihat. 4)

Bahkan saking banyaknya minyak rambut nabi sampai membasahi pakaiannya (penutup kepalanya), namun riwayat tersebut dhaif.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ دَهْنَ رَأْسِهِ، وَتَسْرِيحَ لِحْيَتَهُ، وَيُكْثِرُ الْقِنَاعَ  كَأَنَّ ثَوْبَهُ ثَوْبُ زَيَّاتٍ

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam banyak meminyaki rambutnya, menyisir jenggotnya,  dan memanjangkan kain penutup kepalanya. Penutup kepalanya begitu berminyak seakan penutup kepalanya  tukang minyak. 5)

Maka, anjuran memakai minyak rambut merupakan sunah, baik secara fi’iliyah danqauliyah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

[1] HR. Bukhari No. 883
[2] HR. Bukhari No. 3547
[3] HR. Muslim No. 2344
[4] HR. Muslim No. 2344, An Nasa’i No. 5114       
[5] HR. At Tirmidzi, Asy Syamail No. 26, Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3164. Al Mizzi dalam Tuhfatul Asyraf, No. 1679. Didhaifkan oleh Syaikh Al Albani dalam Mukhtashar Asy Syamail No. 26

◼Tarajjul (Menyisir Rambut)

Ini adalah salah satu cara memuliakan rambut. Bukan karena ganjen, tapi mengikuti perilaku Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كُنْتُ أُرَجِّلُ رَأْسَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وأنا حائض
 
Aku menyisir kepala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan saat itu aku sedang haid. 1)

Dalam kesempatan lain, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga bercerita:

إِذَا اعْتَكَفَ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

Jika beliau i’tikaf, Beliau mencondongkan kepalanya kepadaku lalu aku menyisirnya, dan Beliau tidaklah masuk ke rumah (ketika i’tikaf) kecuali jika ada kebutuhan manusiawi. 2)

Inilah sunah fi’liyah yang nabi lakukan, yaitu menyisir dan menata rambut. Tetapi, NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah melakukannya sering-sering seperti wanita pesolek.

Oleh karena itu, dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نَهَى رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ عنِ التَّرَجُّلِ إِلَّا غِبًّا

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melarang menyisir kecuali jarang-jarang. 3)

Menyisir disunahkan dari kanan. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Beliau melakukan semua  kebaikan memulainya dari kanan (at tayammun) . Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ

Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyukai memulai sesuatu dari kanan: memakai sendal, menyisir, bersuci, dan semua perbuatan lainnya. 4)

Al Hafizh Ibnu Hajar Radhiallahu ‘Anhu menjelaskan:

وترجله أي ترجيل شعره وهو تسريحه ودهنه

Tarajjulihi  yaitu merapikan rambutnya, dengan menata dan meminyakinya. 5)

[1] HR. At Tirmidzi, Asy Syamail, No. 25. Syaikh Al Albani mengatakan Shahih. Lihat Mukhtashar Asy  Syamail No. 25
[2] HR. Muslim No. 297
[3] HR. Abu Daud No. 4159, At Tirmidzi No. 1756, juga  Asy Syamail, No. 29, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 16793. Syaikh Syu’Aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat Ta’liq Musnad AhmadNo. 16793
[4] HR. Bukhari No. 168
[5] Fathul Bari, 1/269

◼Larangan Keras Menyambung Rambut (Wig, Konde, dan Semisanya)

Dari Asma binti Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ لِي ابْنَةً عُرَيِّسًا أَصَابَتْهَا حَصْبَةٌ فَتَمَرَّقَ شَعْرُهَا أَفَأَصِلُهُ، فَقَالَ: «لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ»

Datang seorang wanita ke Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya anak putri yang akan menikah, dia kena penyakit campak sehingga rambutnya rontok, saya hendak menyambung rambutnya.” Nabi bersabda, “Allah melaknat wanita penyambung rambut dan yang disambung rambutnya.” 1)

Menurut Imam An-Nawawi, hadits ini menunjukkan menyambung rambut adalah haram. Hadits ini Beliau muat dalam kitab Shahihnya, dengan judul Bab Tahrim fi’lil Waashilah wal Mustawshilah …. "Bab diharamkannya perbuatan Penyambung Rambut dan yang Disambung Rambutnya."

🔖Menyambung rambut seperti memakai wig dan konde adalah haram secara mutlak. Hal ini ditegaskan pula oleh Al-‘Allamah Asy-Syaukani Rahimahullah berikut ini:

والوصل حرام لأن اللعن لا يكون على أمر غير محرم

“Menyambung rambut adalah haram, karena laknat tidaklah terjadi untuk perkara yang tidak diharamkan.” 2)

🔖Bahkan Al Qadhi ‘Iyadh menyebutkan hal itu sebagai maksiat dan dosa besar, lantaran adanya laknat bagi pelakunya. Termasuk juga orang yang ikut serta dalam perbuatan ini, maka dia juga mendapatkan dosanya, sebagaimana orang yang ikut serta dalam kebaikan, maksa dia juga dapat pahalanya. 3)

🔖Begitu pula yang difatwakan oleh Imam An-Nawawi Rahimahullah:

وهذه الأحاديث صريحة في تحريم الوصل ولعن الواصلة والمستوصلة مطلقا وهذا هو الظاهر المختار وقد فصله أصحابنا فقالوا إن وصلت شعرها بشعر آدمي فهو حرام بلاخلاف سواء كان شعر رجل أو امرأة وسواء شعر المحرم والزوج وغيرهما بلاخلاف لعموم الأحاديث ولأنه يحرم الانتفاع بشعر الآدمي وسائرأجزائه لكرامته بل يدفن شعره وظفره وسائر أجزائه وإن وصلته بشعر غير آدمي فإن كان شعرانجسا وهو شعر الميتة وشعر ما لا يؤكل إذا انفصل في حياته فهو حرام أيضا للحديث ولانه حمل نجاسة في صلاته وغيرها عمدا وسواء فى هذين النوعين المزوجةوغيرها من النساء والرجال وأما الشعر الطاهر من غير الآدمي فإن لم يكن لها زوج ولاسيد فهو حرام أيضا وإن كان فثلاثة أوجه أحدها لايجوز لظاهر الأحاديث والثانى لايحرم وأصحها عندهم إن فعلته بإذن الزوج أو السيد جاز وإلا فهو حرام

Hadits-hadits ini begitu lugas dalam mengharamkan menyambung rambut. Secara mutlak telah dilaknat wanita penyambung rambut dan wanita yang disambung rambutnya. Inilah pendapat yang benar dan dipilih. Sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan jika rambutnya disambung dengan rambut manusia maka itu diharamkan tanpa perdebatan lagi. Sama saja baik rambut laki-laki atau wanita, rambut mahram dan suaminya dan selain keduanya tanpa perdebatan lagi sesuai keumuman hadits-hadits yang ada. Karena diharamkan memanfaatkan rambut manusia dan seluruh bagian-bagiannya karena rambut memiliki kehormatan, justru seharusnya dikuburkan; rambut, kuku, dan semua bagian tubuh manusia. Seandainya dia menyambung rambutnya dengan bukan rambut manusia, jika itu rambut yang najis seperti rambut dari bangkai, rambut dari hewan yang tidak bisa dimakan, jika rontok pada saat hidupnya, maka itu haram juga menurut hadits, sebab dengan demikian secara sengaja dia membawa najis dalam shalat dan di luar shalat. Sama saja dua jenis ini, baik untuk dipakai pada orang yang sudah kawin atau belum, baik laki-laki atau wanita. Ada pun rambut suci selain rambut manusia, jika dia (pelakunya) belum nikah dan tidak punya tuan, maka haram juga. Jika dia sudah nikah atau punya tuan, maka ada tiga pendapat: Pertama, tetap tidak boleh juga, sesuai zahir hadits tersebut. Kedua, tidak haram. Dan yang shahih menurut mereka –syafi’iyah- adalah jika melakukannya dengan izin dari suaminya atau tuannya, maka boleh. Ketiga, jika tidak diizinkan maka haram. 4)

Demikian rincian yang dipaparkan Imam An-Nawawi. Namun, jika kita merujuk hadits yang ada maka rambut apa pun, dan dari siapa pun adalah haram. Sebab, tak ada perincian ini dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka larangannya berlaku umum.

🔹Menyambung Rambut Bukan Dengan Rambut

Bagaimana jika menyambung rambut dengan selain rambut seperti dengan benang sutera, wol, atau yang semisalnya? Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa, Imam Malik, Imam Ath Thabari, dan kebanyakan yang lainnya mengatakan, tidak boleh menyambung rambut dengan apa pun juga, sama saja baik dengan rambut, wol, atau kain perca. Mereka berdalil dengan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan peringatan bagi seorang wanita yang telah menyambung rambutnya dengan sesuatu.

Sementara Imam Laits bin Sa’ad, dan Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari banyak fuqaha, mengatakan bahwa larangan tersebut hanyalah khusus untuk menyambung dengan rambut. Tidak mengapa menyambung dengan wol, secarik kain perca, dan semisalnya. Sebagian mereka mengatakan: semua hal itu boleh, sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah. Tetapi itu tidak shahih dari Aisyah, bahkan sebaliknya, diriwayatkan darinya sebagaimana pendapat mayoritas (yaitu terlarang). 5)

Syaikh Sayyid Sabiq juga menyebutkan bahwa jika menyambung rambut dengan selain rambut manusia seperti benang sutera, wol, dan yang sejenisnya, maka Said bin Jubeir, Ahmad dan Laits bin Sa’ad membolehkannya. 6)

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat mayoritas ulama, yang menyatakan keharamannya. Karena dua hal, pertama, kaidah fiqih: Al-umuru bi maqashidiha (permasalahan dinilai berdasarkan maksudnya). Walau tidak menggunakan rambut, tetapi pemakaian wol, kain perca, dan sejenisnya diniatkan oleh pemakainya sebagai sambungan bagi rambutnya, maka hal itu termasuk bagian dari Al-Washl – menyambung rambut. Kedua, keumuman makna hadits tersebut menunjukkan segala aktifitas menyambungkan rambut tidak terbatas pada jenis rambutnya, baik asli atau palsu, sama saja.

Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan, adapun mengikatkan benang sutera berwarna warni di rambut, dan apa saja yang tidak menyerupai rambut, itu tidak termasuk kategori menyambung rambut yang terlarang. Hal itu sama sekali tidak ada maksud untuk menyambung rambut, melainkan untuk menambah kecantikan dan keindahan, sama halnya dengan melilitkannya pada pinggang, leher, atau tangan dan kaki. 7)

Apa yang dikatakan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh ini, untuk makna zaman sekarang adalah seperti seorang wanita yang mengikatkan pita rambut, bandana, bando, atau syal. Ini memang bukan termasuk menyambung rambut –berbeda dengan wig dan konde- dan tentu saja boleh. Tetapi, pembolehan ini hanyalah di depan suami atau mahramnya seperti kakek, ayah, paman, kakak, adik, keponakan, anak, dan mahram lainnya. Sedangkan di depan non mahram, maka hukumnya sama dengan hukum menutup aurat bagi wanita di depan non mahram, yakni tidak boleh terlihat seluruh tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangan, sebagaimana pendapat jumhur.

[1] HR. Muslim No. 2122
[2] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 6/191. Maktabah Ad-Da’wah Al-Islamiyah
[3] Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/236. Mawqi’ Ruh Al-Islam. Al-Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al-Misykah
[4] Ibid
[5] Ibid. Lihat juga Tuhfah Al-Ahwadzi, 8/66
[6] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, 3/496. Darul Kitab Al-‘Arabi
[7] Al Qadhi ‘Iyadh, Ikmalul Mu’allim, 6/328. Maktabah Al Misykat

*◼Menyemir Rambut

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن اليهود والنصارى لايصبغون فخالفوهم

“Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (rambut), maka berbedalah dengan mereka.” (HR. Abu Daud No. 4203, An Nasa’i No. 5069, Ibnu Majah No.3621. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)

Hadits ini menunjukkan; Pertama, anjuran berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dengan cara menyemir rambut, dan ini sunah. Kedua, secara mutlak dibolehkan menyemir rambut dengan warna apa saja, karena hadits ini tidak mengkhususkan warna tertentu.

Tetapi dalam riwayat Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya menyebut dua warna:

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على مشيخة من الأنصار بيض لحاهم فقال: يا معشر الأنصار حمروا وصفروا وخالفوا أهل الكتاب

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersama seorang tua dari Anshar yang rambutnya putih merata. Maka dia bersabda: “Wahai orang Anshar, warnailah dengan merah dan kuning, dan berbedalah dengan ahli kitab.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari 10/354)

Bahkan, dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara khusus melarang warna hitam. Ketika datang Abu Quhafah (ayah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu) pada hari Fathul Makkah, yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

"غيروا هذا بشىءٍ، واجتنبوا السواد".

“Rubahlah rambutnya ini dengan sesuatu, dan jauhilah warna hitam.” (HR. Abu Daud No. 4204, An Nasa’i No. 5076, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4204)

Dari hadits ini merupakan petunjuk yang jelas bolehnya menyemir rambut beruban dengan berbagai warna, tetapi   haram  menyemir dengan hitam sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah. Ada pun hadits sebelumnya masih bersifat umum (muthlaq), sedangkan hadits ini adalah muqayyad (spesisifik). Oleh karena itu, sesuai kaidah Hamlul Muthlaq Ilal Muqayyad, yang mutlak (umum) harus dibawa atau dibatasi (taqyid) kepada yang muqayyad. Hadits ini menjadi pengecualian atas hadits sebelumnya. Ringkasnya, kita katakan: semua warna boleh kecuali hitam. Wallahu A’lam

Selanjutnya, apakah larangan ini menunjukkan makna haram –sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah dan sebagian Hambaliyah kontemporer, seperti Syaikh  ‘Utsaimin?

Jika kita lihat manath (objek hukum), maka kita paham bahwa larangan warna hitam itu berlaku buat kasus Abu Quhafah saja, lantaran usianya yang sudah sangat tua, sehingga tidak pantas lagi memiliki rambut berwarna hitam. Oleh karena itu pelarangan ini lebih tepat hanya sampai makruh, sebab kita menemukan data lain yang juga shahih bahwa para sahabat dan tabi’in menyemir dengan hitam. 

Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

ولهذا اختار النووي أن الصبغ بالسواد يكره كراهية تحريم. وعن الحليمي أن الكراهة خاصة بالرجال دون النساء فيجوز ذلك للمرأة لأجل زوجها. وقال مالك: الحناء والكتم واسع، والصبغ بغير السواد أحب إلي.

“Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh An Nawawi adalah bahwa menyemir dengan warna hitam adalah makruh, dengan makruh tahrim(mendekati haram). Dari Al Halimi, bahwa kemakruhannya khusus bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, hal itu boleh bagi wanita demi membahagiakan suaminya. Malik berkata: diberikan keluasan bagi Inai dan Al Katam, dan menyemir dengan selain hitam lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 6/499. Darul Fikr)

Keterangan ini menunjukkan, bahwa dalam madzhab Syafi’i warna hitam adalah haram, paling tidak makruh tahrim (makruh mendekati haram), ini  bagi kaum laki-laki dan wanita. Tetapi, bagi Al Halimi wanita bersuami boleh memakai hitam untuk menyenangkan suaminya. Ada pun bagi Imam Malik, semua warna baginya tidak ada masalah, lapang-lapang saja, tetapi selain hitam dia lebih menyukainya.

Apa yang dikatakan oleh Al Halimi, bahwa makruh warna hitam hanya bagi laki-laki dan tidak bagi wanita demi membahagiakan suaminya, tentu membutuhkan dalil, dan masih bisa didiskusikan lagi. Sebab kita tidak temukan dalil itu melainkan bahwa larangan itu bersifat umum bagi laki-laki dan wanita. Ada pun selain warna hitam, maka kebolehannya berlaku umum bagi semuanya.

Sebagian Sahabat dan Tabi’in Ada yang Menyemir dan Ada Yang Tidak

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma menyemir rambutnya dengan inai. (HR. Muslim No. 2341)

Berkata Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah:

اختلف السلف من الصحابة والتابعين في الخضاب وفي جنسه فقال بعضهم ترك الخضاب أفضل وروى حديثًا عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم في النهي عن تغيير الشيب ولأنه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لم يغير شيبه روي هذا عن عمر وعلي وأبي بكر وآخرين .

وقال آخرون الخضاب أفضل وخضب جماعة من الصحابة والتابعين ومن بعدهم للأحاديث الواردة في ذلك ثم اختلف هؤلاء فكان أكثرهم يخضب بالصفرة منهم ابن عمر وأبو هريرة وآخرون وروي ذلك عن علي .
وخضب جماعة منهم بالحناء والكتم وبعضهم بالزعفران وخضب جماعة بالسواد روي ذلك عن عثمان والحسن والحسين ابني علي وعقبة بن عامر وابن سيرين وأبي بردة وآخرين .

“Para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat tentang menyemir itu sendiri. Sebagian mereka mengatakan bahwa meninggalkannya adalah lebih utama. Dan diriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang larangannya   merubah uban, dan lantaran Beliau juga tidak merubah ubannya. Ini diriwayatkan dari Umar, Ali,  Abu Bakar, dan lainnya.

Ada pun yang lainnya mengatakan, menyemir adalah lebih utama. Segolongan sahabat dan tabi’in dan orang setelah mereka telah  melakukannya, lantaran adanya hadits-hadits tentang hal itu. Kemudian, mereka berbeda pula, kebanyakan mereka menyemir dengan warna kuning,  diantaranya Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan lainnya, dan juga diriwayatkan Ali melakukannya.

Di antara segolongan mereka ada yang menyemir dengan inai dan Al Katam (sejenis tumbuhan), dan sebagian lagi dengan za’faran, dan segolongan ada yang menggunakan warna hitam dan diriwayatkan hal itu dari Utsman, Al Hasan, Al Husein, Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abi Burdah, dan lainnya.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 1/118)

Maka, apa yang dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in ini; mereka menggunakan warna hitam, lalu dikompromikan (taufiq) dengan dalil larangan menggunakan warna hitam, menunjukkan bahwa ia lebih tepat dihukum makruh.  Seandainya itu haram, pastilah sahabat nabi menjadi generasi yang paling sigap menghindarinya apalagi cucu nabi seperti Al Hasan dan Al Husein juga menyemir dengan hitam.

🔹Kesimpulan

 Ada pernyataan bagus  yang disampaikan Imam Ibnu Jarir Ath Thabari, yang dikutip oleh  Imam Asy Syaukani, yaitu pembolehannya mesti dilihat dulu kondisi orangnya. Imam Asy Syaukani mengutip dari Imam Ath Thabari Rahimahullah, katanya:

الصواب أن الأحاديث الواردة عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم بتغيير الشيب وبالنهي عنه كلها صحيحة وليس فيها تناقض بل الأمر بالتغيير لمن شيبه كشيب أبي قحافة والنهي لمن له شمط فقط 

“Yang benar adalah hadits-hadits yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perintah untuk merubah uban dan berupa larangannya, semuanya adalah shahih, satu sama lain tidak saling menganulir. Tetapi perintah merubah uban adalah bagi siapa yang ubannya sudah seperti Abu Qahafah dan larangannya bagi siapa yang ubannya masih bercampur.”  (Nailul Authar, 1/118)

Namun, pembedaan yang dikatakan oleh Imam Ath Thabari ini bahwa penyemiran uban baru boleh jika sudah seperti Abu Quhafah yang rambutnya memutih semua, tentu tidak sesuai fakta sejarah para sahabat nabi. Faktanya tidak sedikit para sahabat yang menyemir  rambutnya, walau mereka belum sampai seperti Abu Qahafah. Kesimpulannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili berikut:

والصواب جواز تغيير الشيب وجواز تركه، وجواز الخضاب بأي لون كان، مع كراهة الخضاب بالسواد.

“Yang benar adalah boleh merubah uban dan boleh juga membiarkannya, dan dibolehkan menyemirnya dengan warna apa saja, namun makruh menggunakan warna hitam.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/228. Maktabah Al Misykah)

Inilah pendapat yang lebih memadukan semua dalil yang ada, baik bagi laki-laki dan wanita untuk menyenangkan suaminya. Ada pun bagi wanita yang belum bersuami, terlarang secara mutlak, dan itu sia-sia, buat menyenangkan siapa dia?  Wallahu A’lam

Catatan:
Saat ini menyemir rambut dengan berbagai warna telah dilakukan oleh anak-anak muda ‘gaul’, mereka melakukannya bukan karena menghidupkan sunah tetapi untuk gaya-gayaan dan mengikuti mode tren  penyanyi kafir. Maka, untuk saat ini, mewarnai rambut menjadi merah atau lainnya bagi aktifis Islam, bisa membawa masalah tersendiri lantaran pandangan masyarakat telah berubah, walau niat mereka adalah untuk menghidupkan sunah. Oleh karena itu dituntut kearifan dan kejelian mereka ketika berniat untuk melakukannya.

Wallahu A'lam

◼Larangan Mencabut Uban

Beruban? Jangan dicabut!! Karena .....

1. Spesial bagi seorang muslim, dia cahaya baginya, bukan bagi non muslim.

Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نتف الشيب، وقال ((هو نور المؤمن)).

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mencabut uban,” dan katanya: “Itu adalah cahaya bagi seorang mu’min.” (HR. Ibnu Majah No. 3721, Syaikh Al Albani mengatakan Hasan Shahih, dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3721)

Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:

"أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نتف الشيب وقال إنه نور المسلم". هذا حديث حسن وقد رواه عبد الرحمن بن الحارث وغير واحد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mencabut uban, dan bersabda: bahwa itu adalah cahaya bagi seorang muslim.” (HR. At Tirmidzi No. 2975, katanya: Hadits ini hasan. Abdurrahman bin Al Harits dan  selain dari satu orang telah meriwayatkannya dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 14604. Syaikh Al Albani mengatakan Shahih, dalamShahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2821)

2. Beruban itu bisa mendatangkan pahala dan Menghapus dosa.

Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya: Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

"لاتنتفوا الشيب ما من مسلمٍ يشيب شيبةً في الإِسلام" قال عن سفيان "إلاَّ كانت له نوراً يوم القيامة" وقال في حديث يحيى "إلا كتب اللّه [تعالى وجل] له بها حسنةً وحطَّ عنه بها خطيئةً".

“Janganlah kalian mencabut uban, tidaklah seorang muslim beruban  satu saja di dalam Islam.” (Beliau berkata, dari Sufyan): “Melainkan baginya cahaya di hari kiamat nanti.” (Dia bersabda dalam hadits Yahya): “melainkan Allah Ta’ala catat baginya satu kebaikan dan menghapuskan untuknya satu kesalahan.” (HR. Abu Daud No. 4202, Syaikh Al Albani mengatakan Hasan Shahih, dalamShahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4202. Lihat juga Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 14605)

3. Uban Itu Kewibawaan

Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi mengatakan:

إنَّما كان لأنه وقارٌ ، كما قد روى مالك : (( أن أوَّل من رأى الشيب إبراهيم ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فقال : يا رب ! ما هذا ؟ فقال : وقار . قال : يا رب زدني وقارًا )) ، أو لأنه نورٌ يوم القيامة

Sesungguhnya  uban adalah kewibawaan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Malik: Bahwa yang pertama kali melihat uban adalah Ibrahim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: Ya Rabb, apa ini?! Tuhan menjawab: Waqar (kewibawaan/mahkota),” Dia berkata: “Ya Rabb, tambahkan untukku kewibawaan.” Atau juga karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. (lalu Imam Abul Abbas menyebut hadits tentang itu). (Lihat Al Mufhim, 19/56. Maktabah Misykah)

6. Mencabutnya terlarang

Hadits-hadits di atas secara zahir menunjukkan larangan mencabut uban, dan hukum dasar dari larangan  menunjukkanharam. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

فهذا يدل على منع أو تحريم نتف الشيب

“Maka, ini menunjukkan larangan atau keharaman mencabut uban.” (Syarh Sunan Abi Daud No. 472. Maktabah Al Miyskah)

Tetapi, tertulis dalam  berbagai kitab tentang  riwayat dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:

عن عبد الله بن مسعود أن نبي الله صلى الله عليه وسلم كان يكره الصفرة يعني الخلوق وتغيير الشيب يعني نتف الشيب وجر الإزار والتختم بالذهب…

Dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan shafrah yakni wangi-wangian, merubah uban yakni mencabutnya, menjulurkan kain, dan memakai cincin emas …” (HR. Abu Daud No. 4222, An Nasa’i No. 5088, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 15464)

Keterangan dari Ibnu Mas’ud ini menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ‘hanya’ memakruhkan mencabut uban. Tetapi hadits ini memiliki redaksi yang musykil sebab menyebutkan bahwa memakai cincin emas (buat laki-laki) adalah makruh, padahal telah ijma’ (konsensus) bahwa cincin emas adalah haram untuk laki-laki, bukan makruh. Dan, secara sanad hadits ini pun  munkar (Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 4222), oleh karena itu menurut para ulama, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah kemakruhannya. Maka, mesti kembali kepada hukum asal larangan yaitu haram.

Namun, ada riwayat lain yang dijadikan alasankemakruhannya, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

يكره أن ينتف الرجل الشعرة البيضاء من رأسه ولحيته.

“Dimakruhkan bagi seorang laki-laki mencabut rambut kepalanya yang memutih dan juga janggutnya.” (HR. Muslim No. 2341,  Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 14593)

Apa yang dikatakan Anas bin Malik ini menjadi penjelas, sekaligus dalil yang kuat makruhnya mencabut uban baik di kepala atau di janggut. Dan, ini menjadi pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki bahwa mencabut uban adalah makruh, tidak haram.  Inilah pandangan yang lebih kuat. Wallahu A’lam

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

قَالَ أَصْحَابنَا وَأَصْحَاب مَالِك : يُكْرَه وَلَا يَحْرُم .

“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) dan sahabat-sahabat Malik (Malikiyah) mengatakan: dimakruhkan, dan tidak diharamkan.” (Al Minhaj Syah Shahih Muslim, 8/59. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Beliau juga menambahkan bahwa kemakruhan ini bukan hanya bagi rambut di kepala, tapi juga lainnya. Katanya:

ولا فرق بين نتفه من اللحية والرأس والشارب والحاجب والعذار من الرجل والمرأة.

“Tidak ada perbedaan antara mencabut rambut janggut, kepala, kumis, alis, dan pipi, baik pada laki-laki dan wanita.” (Lihat Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/227)

Imam Abul Abbas Al Qurthubi Rahimahullah juga mengatakan:

وكراهته ـ صلى الله عليه وسلم ـ نَتْف الشيب إنَّما كان لأنه وقارٌ ، كما قد روى مالك : (( أن7 أوَّل من رأى الشيب إبراهيم ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فقال : يا رب ! ما هذا ؟ فقال : وقار . قال : يا رب زدني وقارًا )) ، أو لأنه نورٌ يوم القيامة

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan mencabut uban, karena dia adalah kewibawaan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Malik: Bahwa yang pertama kali melihat uban adalah Ibrahim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: Ya Rabb, apa ini?! Tuhan menjawab: Waqar (kewibawaan/mahkota),” Dia berkata: “Ya Rabb, tambahkan untukku kewibawaan.” Atau juga karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti." (lalu Imam Abul Abbas menyebut hadits tentang itu). (Lihat Al Mufhim, 19/56. Maktabah Misykah)

Maka lebih tepat dikatakan bahwa larangan tersebut adalah makruh, sebagaimana langsung  dikatakan oleh salah seorang Sahabat Nabi, dan pernah menjadi pelayan di rumahnya, yakni Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu. Ada pula sebagian ulama yang mengatakan boleh mencabut uban, tetapi berbagai riwayat shahih di atas, dan juga fatwa sahabat ini sudah cukup mengoreksi pendapat mereka.

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbhi Ajma’in.

◼Menutupi Rambut bagi wanita karena itu adalah salah satu aurat

Berikut ini adalah ayat yang memerintahkan kaum wanita menutup aurat:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur: 31)

Ayat ini tegas mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya, kecuali yang biasa tampak. Tegas pula disebutkan bahwa hendaknya memanjangkan jilbabnya hingga menutup dadanya. Tidak satu pun kata lugas yang menyebut perintah menutup wajah. Ditambah lagi, sebelumnya Allah Ta’ala memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya. Tentunya  perintah tersebut menjadi tidak relevan jika wajah wanita ditutup, mau nunduk dari apa, sementara tidak nunduk saja sudah tidak terlihat apa-apa.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang surat An nuur ayat 31 di atas:

بدن المرأة كله عورة يجب عليها ستره، ما عدا الوجه والكفين قال الله تعالى (ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها)، أي ولا يظهرن مواضع الزينة، إلا الوجه والكفين، كما جاء ذلك صحيحا عن ابن عباس وابن عمر وعائشة

“Seluruh tubuh wanita adalah aurat, wajib atasnya untuk menutupnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, Allah Ta’ala berfirman: “Janganlah para wanita menampakkan  perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya.”, yaitu jangan menampakkan tempat-tempat perhiasannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana yang diriwayatkan hal itu secara shahih dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Aisyah.”  (Fiqhus Sunnah, 1/127)

Mayoritas para ulama mengatakan wajah dan kedua telapak tangan bukan aurat. Sebagaimana tertera dalam tafsir Ibnu katsir berikut, ketika menafsirkan makna “Kecuali yang biasa nampak darinya”:

 ويحتمل أن ابن عباس ومن تابعه أرادوا تفسير ما ظهر منها بالوجه والكفين، وهذا هو المشهور عند الجمهور

“Ibnu Abbas dan orang-orang yang mengikutinya memaknai maksud “Maa zhahara minha (apa-apa yang biasa nampak darinya)” adalah wajah dan kedua telapak tangan, inilah yang masyhur menurut mayoritas ulama.“ Ini juga pendapat Ibnu Umar, Atha’, Ikrimah, Adh Dhahak, Abu Sya’tsa’, Said bin Jubeir, dan lain-lain. Sementara Az Zuhri mengatakan: cincin dan gelang kaki.  (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/45)

Ada pun untuk masalah cadar silahkan buka ...

Bagi yang ingin mengetahui tentang cadar.

http://kumpulanartikelsyariah.blogspot.co.id/2014/02/hukum-cadar_4490.html

Wallahu A'lam

🌷Farid Nu'man Hasan


🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
        💎TaNYa JaWaB💎

0⃣1⃣ Olif
Assalamualaikum ustadz.
Berkaitan dengan menyemir rambut, menyemir adalah sunnah. Bahkan bisa dibilang dianjurkan agar tidak sama dengan nasrani. Nah, tapi ada yang bilang kalau uban akan jadi cahaya ketika di akhirat kelak. Jadi sebaiknya gimana ustadz? Disemir atau dibiarkan kelihatan ubannya?

🌸 Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh ..

Menyemir uban juga sunnah, uban tidak hilang dengan disemir, dia masih ada tapi tersembunyi.

Yang terlarang adalah mencabutnya, bukan menyemirnya.

Wallahu a'lam

0⃣2⃣ Ranie
Ustadz, Al Qadhi menyebutkan bahwa 'orang yang ikut serta dalam menyambung rambut akan dilaknat'.
Saya pernah melihat, ada orang yang habis potong rambut disalon, yang punya salon ngumpulin rambut-rambutnya, katanya mau di bersihin, terus dijadikan wig (kalau dari rambut asli lebih bagus katanya).

Dengan kondisi bgitu, bagaimana hukumnya untuk pemilik rambut Ustadz? (Pemiliknya tidak tahu rambutnya dimanfaatkan).

🌸Jawab:
Pemilik rambut tidak tahu menahu kalau rambut dia dijadikan wig oleh pemilik salon, dia tidak bersalah, karena tidak tahu.

Kullu nafsim bima kasabat rahiinah - setiap jiwa bertanggungjawab atas berbuatannya masing-masing.

Wallahu a'lam

0⃣3⃣ Erika
Pertanyaan saya mengenai poin terakhir, yaitu adab menutupi rambut bagi wanita.
Saya pernah mendiskusikan dengan beberapa teman mengenai hukum berbusana yang bermotif, berenda, dan di hadapan non mahram dimana ada yang membolehkan dan tidak.
Nah yang membolehkan berhujjah hendaknya berpakaian sesuai 'urf atau tidak menyelisihi' urf setempat.
Sedangkan yang melarang dengan hujjah anjuran tidak berhias, salah satunya seperti dalam QS. Al Ahzab: 33.

Menurut Ustadz, bagaimana penjelasan mengenai 'urf dalam masalah pakaian wanita ini? Syukron.

🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim ..

Pakaian wanita itu, minimal ada dua syarat:
1. Menutup semua auratnya secara sempurna.
2. Longgar dan tebal tidak menampakkan lekuk tubuh.

Ada pun masalah warna, adanya renda, tidak ada dalil khusus yang shariih (lugas dan jelas) yang melarangnya. Justru yang ada malah BOLEHNYA memakai pakaian warna warni, dan bercorak.

Selengkapnya ini...

Muslimah Berpakaian Warna-Warni

Sebagian orang menganggap bahwa wanita muslimah hanya boleh memakai pakaian hitam atau gelap saja. Kadang mereka merendahkan para muslimah yang memakai pakaian berwarna selain gelap, betapa pun jilbabnya dan baju kurungnya begitu lebar dan panjang sempurna, dan mereka tetap menjaga diri dan kehormatannya.  Seolah wanita-wanita ini kurang shalihah dan ‘iffah hanya karena masalah warna pakaiannya.

Sikap tersebut adalah ghuluw (berlebihan) dan tidak benar, serta bertentangan dengan fakta sejarah yang dilalui wanita-wanita terbaik umat ini pada masa awal Islam. Muslimah berpakaian warna hitam dan gelap, memang umum dipakai oleh wanita pada masa dulu, dan masa kini disebagian negara, tentunya ini memiliki keutamaan, tetapi mereka tidak terlarang memakai pakaian berwarna selain hitam dan gelap, seperti hijau, kuning, dan bermotif.

Sebelum kami sampaikan dalil-dalil, akan kami sampaikan sebuah ulasan bagus dari seorang ulama, yakni Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah, katanya:

“Sesungguhnya pembuat syariat tidaklah membatasi warna tertentu bagi pakaian laki-laki dan pakaian wanita. Kadar perhiasan yang serasi pada pakaian tunduk pada tradisi kaum muslimin pada setiap negara. Dapat dimaklumi dan disaksikan pasa sekarang ini, dan di semua masa, bahwa hiasan atau warna yang berlaku di antara wanita mukmin pada umumnya dapat diterima oleh ulama mereka di suatu tempat, mungkin terasa aneh bagi kaum muslimin di tempat lain, dan mungkin mereka malah mengingkarinya. Sebagaimana warna dan model berbeda dari satu masa ke masa lain di satu daerah. Benarlah kata Imam Ath Thabari yang mengatakan, “... Sesungguhnya menjaga model zaman termasuk muru’ah (harga diri) selama tidak mengandung dosa dan menyelisihi model serupa dalam rangka mencari ketenaran.”  (Fathul Bari, 12/424)

Berikut ini akan kami sampaikan beberapa atsar yang tsaabit (kuat) tentang para shahabiyah yang memakai pakaian dengan beragam warna.

Riwayat pertama: Warna Merah

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، أَنَّهُ كَانَ يَدْخُلُ مَعَ عَلْقَمَةَ، وَالْأَسْوَدِ عَلَى أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَيَرَاهُنَّ فِي اللُّحُفِ الْحُمْرِ»، قَالَ: وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ لَا يَرَى بِالْمُعَصْفَرِ بَأْسًا

Berkata kepada kami Abu Bakar, katanya: berkata kepada kami ‘Abbad bin Al ‘Awwam, dari Sa’id, dari Abu Ma’syar, dari Ibrahim (An Nakha’i, pen), bahwa dia bersama ‘Alqamah dan  Al Aswad menemui istri-istri Nabi ﷺ:  mereka berdua melihat istri-istri nabi memakai mantel berwarna merah.  Ibrahim An Nakha’i berpendapat tidak apa-apa pula memakai celupan ‘ushfur (warnanya merah, pen).  (Imam Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 24739)

Mujahid berkata:

أَنَّهُمْ كَانُوا لَا يَرَوْنَ بَأْسًا بِالْحُمْرَةِ لِلنِّسَاءِ

Mereka (para sahabat nabi) tidak mempermasalahkan wanita memakai warna merah. (Ibid, No. 24740)

Ibnu Abi Malikah berkata:

رَأَيْتُ عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ دِرْعًا، وَمِلْحَفَةً مُصَبَّغَتَيْنِ بِالْعُصْفُرِ

Aku melihat Ummu Salamah (Istri nabi) memakai baju pelindung dan mantel yang keduanya dicelup dengan ‘ushfur (warnanya merah). (Ibid No. 24741)

Al Qasim (cucu Abu Bakar Ash Shiddiq) berkata:

أَنَّ عَائِشَةَ، كَانَتْ تَلْبَسُ الثِّيَابَ الْمُعَصْفَرَةَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ

Bahwasanya, Aisyah dahulu memakai pakaian hasil celupan ‘ushfur dan saat itu dia sedang ihram.  (Ibid, No. 24742. Juga oleh Imam Al Bukhari dalam Shahihnya secara mu’allaq, 2/137. Al Hafizh mengatakan: sanadnya shahih. Fathul Bari, 3/405. Juga Al Qasthalani dalam Irsyad As Sari, 3/111)

Fathimah binti Mundzir berkata:

أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ، وَهِيَ مُحْرِمَةٌ

Bahwa Asma (putri Abu Bakar) dahulu memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur dan dia sedang ihram.  (Ibid, No. 24745)

Sa’id bin Jubair bercerita:

أَنَّهُ رَأَى بَعْضَ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ مُعَصْفَرَةٌ     

Dia melihat sebagian istri Nabiﷺ thawaf di ka’bah sambil memakai pakaian yang tercelup ‘ushfur.    (Ibid, No. 24748)

Perlu diketahui, bahwa pakaian jika dicelup oleh pewarna ‘ushfur (sejenis tanaman) maka biasanya dominannya adalah merah. Berkata Al Hafizh Ibnu hajar:

فَإِنَّ غَالِب مَا يُصْبَغ بِالْعُصْفُرِ يَكُون أَحْمَر

Sesungguhnya apa saja yang dicelupkan ke dalam ‘ushfur maka dominasi warnanya adalah menjadi merah.   (Fathul Bari, 10/305. Darul Ma’rifah, Beirut). Seperti ini juga dikatakan oleh Imam Asy Syaukani.  (Nailul Authar, 2/110)

Riwayat-riwayat di atas menunjukkan kebolehan memakai warna merah bagi wanita muslimah. Bahkan itu dipakai juga oleh istri-istri Nabi ﷺ seperti Ummu Salamah dan ‘AisyahRadhiallahu ‘Anhuma, dan ketahui oleh laki-laki yang bukan mahram mereka, bahkan ‘Aisyah dan  Asma Radhiallahu ‘Anhuma memakainya ketika di luar rumah yakni ketika ihram.

Riwayat kedua: Warna Hijau

Dari ‘Ikrimah:

  أَنَّ رِفَاعَةَ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ، فَتَزَوَّجَهَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الزَّبِيرِ القُرَظِيُّ، قَالَتْ عَائِشَةُ: وَعَلَيْهَا خِمَارٌ أَخْضَرُ، فَشَكَتْ إِلَيْهَا وَأَرَتْهَا خُضْرَةً بِجِلْدِهَا، فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالنِّسَاءُ يَنْصُرُ بَعْضُهُنَّ بَعْضًا، قَالَتْ عَائِشَةُ: مَا رَأَيْتُ مِثْلَ مَا يَلْقَى المُؤْمِنَاتُ؟ لَجِلْدُهَا أَشَدُّ خُضْرَةً مِنْ ثَوْبِهَا.

Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, lalu mantan istrinya itu dinikahi oleh Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi. ‘Aisyah berkata: “Dia memakai kerudung berwarna hijau,” dia mengadu kepada ‘Aisyah dan  terlihat warna hijau pada kulitnya. Ketika datang Rasulullah ﷺ saat itu kaum wanita sedang saling membantu di antara mereka. ‘Aisyah berkata: “Aku tidak pernah melihat seperti apa yang dialami para kaum mu’minah, sungguh kulitnya lebih hijau (karena luntur, pen) dibanding pakaian yang dipakainya.”  (HR. Bukhari No. 5825)

Kisah shahih ini menunjukkan kebolehan memakai warna hijau, dan ini pun juga diketahui oleh Nabi ﷺ.

Riwayat ketiga: kombinasi hitam dan merah

Sakinah berkata:

دَخَلْتُ مَعَ أَبِي عَلَى عَائِشَةَ فَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا أَحْمَرَ، وَخِمَارًا أَسْوَدَ     

Aku dan ayahku menjumpai ‘Aisyah, aku melihat ‘Aisyah memakai baju pelindung berwarna merah, dan kerudungnya berwarna hitam._  (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf , No. 24748)

Riwayat keempat: motif warna warni

عَنْ أُمِّ خَالِدٍ بِنْتِ خَالِدٍ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ، فَقَالَ: «مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ» فَسَكَتَ القَوْمُ، قَالَ: «ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ» فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ، فَأَخَذَ الخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا، وَقَالَ: «أَبْلِي وَأَخْلِقِي» وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ

Dari Ummu Khalid binti Khalid: didatangkan ke Nabi ﷺ pakaian yang terdapat motif  berwarna hitam kecil-kecil. Nabi bersabda: “Menurut kalian siapa yang pantas memakai pakaian ini?” Mereka terdiam. Beliau bersabda: “Panggilkan kepadaku Ummu Khalid.” Lalu didatangkan Ummu Khalid dan dia dibopong. Lalu Nabi ﷺ mengambil  pakaian itu dengan tangannya sendiri dan memakaikan ke Ummu Khalid, lalu bersabda: “Pakailah ini sampai rusak.” Dan, pakaian tesebut juga terdapat corak berwarna hijau dan kuning. (HR. Bukhari No. 5823)

Kisah ini begitu jelas bolehnya muslimah memakai pakaian kombinasi beberapa warna  atau bermotif warna warni, di sebutkan beragam warna motif, hitam, hijau, dan kuning. Bahkan Nabiﷺ sendiri yang memakaikannya kepada Ummu Khalid. Jika ini terlarang pastilah Nabi ﷺ akan mencegahnya tapi justru Beliau yang memakaikannya sendiri. Wallahu A’lam

Berkata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah Rahimahullah:

Sesungguhnya keserasian dalam perhiasan yang menghiasi pakaian, tidaklah menarik perhatian laki-laki, dan tidak disifati dengan tabarruj, karena tabarruj adalah apabila wanita mempertontonkan kecantikan dan keindahan dirinya sehingga dapat membangkitkan syahwat laki-laki. Ada pun jika pakaian memiliki pakaian yang indah tetapi tidak mencolok, dan dalam model yang indah tapi tidak menarik perhatian, maka model dan warna seperti ini dikenal dan dominan di kalangan muslimah. Semua itu tidak membangkitkan syahwat laki-laki, baik dari niat si wanita maupun dari pengaruh yang disebabkan oleh warna dan model pakaian-pakaian yang beraneka ragam. Ini merupakan perkara yang dapat disaksikan di beberapa negara Islam. Satu model dengan banyak warna tampak pada mala’ah Sudan dan pada pakaian wanita di perkampungan  Siria. Sedangkan macam-macam warna dengan beragam model, tampak pada pakaian para mahasiswi yang sopan di kampus-kampus Mesir dan Kuwait. Kebanyakan mereka memakai pakaian dengan bermacam warna dan model, tetapi tetap terjaga oleh kesucian dan pemeliharaan diri, sehingga mereka dihormati dan dihargai. (Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jilid 4, Hal. 352. GIP, Jakarta)

Wallahu A’lam

0⃣4⃣ Berlian
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Begini tadz... Rambut saya rontok, maka saya berfikiran untuk memotongnya sependek mungkin karena jarang-jarang juga saya potong rambut, selain agar rambut tidak cepat panjang dan rontok juga agar lebih ringan karena saya memakai kerudung di dalam maupun diluar rmh. Apakah gaya rambut saya nanti yang menyerupai laki-laki diharamkan?
Demikian ustadz atas jawabannya jazakallahu khayran

🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tertutupnya rambut wanita dengan jilbabnya, bukan berarti dia bebas seenaknya membuat model rambutnya.

Jika modelnya tidak mengidentifikan Laki-laki, tidak menyerupai gaya wanita kafir, atau fasik, maka boleh saja memotong rambut. Umumnya gaya rambut itu universal, yang penting jangan sampai saat mahram melihatnya mereka terasosiasi dengan gaya rambut wanita-wanita tidak baik.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar