Sabtu, 29 Mei 2021

TARAWIH DAN BID'AH YANG NIKMAT

 


OLeH: Ustadz Syahirul Alim

•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•

🌸SHOLAT TARAWIH DAN BID’AH YANG NIKMAT

Tidak pernah ada rasanya sholat tathowwu’ (suka rela) yang disebut sebagai perbuatan bid’ah yang nikmat selain sholat tarawih di malam bulan Ramadhan. Adalah sahabat Umar bin Khattab yang mempopulerkan istilah “sholat tarawih”, seraya menyebut bahwa inilah senikmat-nikmatnya bid’ah (ni’matil bid’atu hadzihi) dalam suatu ibadah sholat. Umar-lah yang berinisiatif mengumpulkan kelompok-kelompok jamaah dalam suatu masjid agar bersatu melaksanakan satu sholat, dengan satu bacaan dan satu imam di setiap malam di bulan Ramadhan.

Istilah “tarawih” yang terambil dari kata “irtiyaah” (kepuasaan, kelegaan) juga mengandung pengertian “istirohah” dimana ketika terjadi pergantian udara ada saat-saat dimana angin jeda beristirahat. Maka, umumnya sholat tarawih dilakukan dengan gembira, santai, dan banyak jeda istirahatnya. Namun, merujuk pada asal katanya “riih” yang berarti “angin”, ada saja yang mengartikan tarawih sebagai sholat cepat, ibarat angin bertiup kencang, wush!.
Perbedaan pemahaman soal istilah “tarawih” ini bukanlah sesuatu hal yang perlu diperdebatkan, karena apapun istilahnya, sholat tarawih merupakan bagian dari “qaama ramadlaana” yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad ﷺ.

Salah satu riwayat yang teramat populer agar menjalankan ibadah di malam-malam bulan Ramadhan:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa yang beribadah (sholat) pada malam bulan Ramadhan dengan keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi menjelaskan, "bahwa tidak ada yang dimaksud secara khusus dalam kata “qaama romadloona” kecuali sholat tarawih dan itu pula yang kemudian menjadi kesepakatan para ulama lainnya, bahwa salat tarawih adalah “qiyamu romadlona” (sholat di malam bulan Ramadhan). Ada prasyarat, dimana sholat tarawih dapat “menghapus” dosa-dosa seseorang yang telah dilakukannya dimasa lalu, yaitu pelaksanaannya harus didasari oleh keimanan dan keikhlasan. Kalimat “imaanan” yang dimaksud menurut an-Nawawi adalah “yakin dan membenarkan (tashdiiqan)”, sedangkan “ihtisaaban” adalah “hanya kehendak Alloh ﷻ yang tidak ada kaitannya dengan cara pandang manusia, sehingga tidak mungkin didalamnya bertentangan dengan keikhlasan.”

Menarik ketika para ulama berbeda pendapat soal dosa yang diampuni ketika seseorang menjalankan salat tarawih, apakah dosa masa lalu ataukah termasuk yang akan datang? Apakah hanya dosa-dosa kecil saja yang diampuni apakah termasuk juga dosa besar? Dalam riwayat An-Nasai ditambahkan kalimat “wa maa takhkhara” (dosa-dosa yang akan datang) setelah “ma taqaddama”. Ini artinya, bahwa hadis ini berbicara secara umum, dimana ampunan Alloh ﷻ akan berlaku baik bagi dosa yang telah lalu maupun yang akan datang. Hal ini dibantah oleh Ibnu al-Mundzir, bahwa yang dimaksud sebenarnya hanyalah dosa kecil tidak termasuk dosa besar. Imam Nawawi sendiri beranggapan bahwa para ahli fiqh sepakat bahwa ampunan, logikanya berlaku untuk dosa yang telah dilakukan, bukan dosa yang belum atau akan diperbuat.

Keistimewaan dan luasnya ampunan Alloh ﷻ yang ada dalam kegiatan sholat tarawih, dipertegas oleh serangkaian kebiasaan yang dijalankan Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Awal mula sholat tarawih dilakukan, terekam dalam sebuah hadis riwayat Aisyah RA:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ، ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ ، فَكَثُرَ النَّاسُ ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ : ( قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ)

"Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah  ﷺ melakukan sholat di masjid pada suatu malam di bulan Ramadhan, lalu orang-orang mengikutinya dan bertambah banyak yang mengikuti setelahnya. Lalu orang-orang berkumpul pada hari ketiga atau keempat, namun Rasulullah ﷺ tidak kunjung keluar menemui mereka di masjid. Rasulullah ﷺ kemudian datang ke masjid di waktu sholat Subuh dan bersabda: “saya menyaksikan apa yang kalian perbuat (pada malam itu), tetapi saya menahan diri untuk tidak keluar dan bergabung bersama kalian, karena saya khawatir ibadah ini (sholat tarawih) justru menjadi wajib bagi kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sholat tarawih sejak zaman Rasulullah ﷺ dilakukan di masjid dan berjamaah, hanya saja Rasulullah ﷺ pada hari keempat tidak kembali ke masjid dengan alasan khawatir bahwa salat tarawih justru dianggap “wajib” oleh umatnya, padahal ia hanyalah ibadah sunnah. Namun, bukan juga berarti bahwa Rasulullah ﷺ kemudian tidak pernah kembali ke masjid, karena dalam beberapa riwayat lainnya, Rasulullah ﷺ tetap menjalankan tarawih pada malam-malam tertentu sepanjang bulan Ramadhan. Dalam sebuah riwayat Ahmad disebutkan, bahwa Rasulullah ﷺ pernah berpesan kepada Aisyah agar di setiap malam di akhir waktu sholat Isya, mengetuk pintu mengingatkan bahwa Rasulullah ﷺ akan keluar ke masjid, melaksanakan salat tarawih berjamaah di sepertiga malam bersama masyarakat.

Namun demikian, terkadang jika Rasulullah ﷺ tidak hadir di masjid, jamaah sholat tarawih terpecah menjadi beberapa kelompok dengan bacaan dan imam tersendiri atau yang terbanyak setiap orang melakukan sholat tarawih sendiri-sendiri (munfarid). Hal ini terus berlangsung hingga masa Khalifah Abu Bakar dan mulai dikumpulkan dalam satu imam dan bacaan ketika masa kekhalifahan Umar. Salah satu atsar yang berasal dari riwayat Bukhari dan dimuat juga dalam kitab al-Muwatho:

عن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال خرجت مع عمر بن الخطاب في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط فقال عمر والله إني لأراني لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل فجمعهم على أبي بن كعب قال ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر نعمت البدعة هذه والتي تنامون عنها أفضل من التي تقومون يعني آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

"Dari Abdurrahman bin al-Qari, bahwa suatu malam di bulan Ramadhan, dirinya keluar bersama Umar bin Khattab menuju masjid. Maka, tampak setiap orang sibuk dengan diri dan kelompoknya, mereka terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang menjalankan sholat bahkan ada juga yang melakukannya secara sendiri-sendiri. Lalu Umar berkata, “saya membayangkan, seandainya saya kumpulkan mereka dalam satu bacaan (imam) yang sama. Umar kemudian menunjuk Ubay bin Ka’ab untuk menjadi imam bagi sholat mereka, lalu orang-orangpun berhimpun dalam satu jamaah salat tarawih dengan dipimpin satu orang imam. Umar kemudian berkata, “senikmat-nikmatnya bid’ah adalah hal ini (mengumpulkan orang-orang salat tarawih berjamaah dengan satu bacaan atau imam). Mereka yang tidur dahulu sebelum tarawih atau di akhir sepertiga malam lebih utama, walaupun kebanyakan melaksanakannya di awal malam (ba’da Isya)."

Inilah salah satu dari bid’ah hasanah, sebagaimana ungkapan Umar. Hal inipun sekaligus menepis anggapan bahwa bid’ah itu segala sesuatu yang bertentangan dengan syariat. Kalimat Umar yang menyatakan “ni’matil bid’atu hadzihi” 
(senikmat-nikmatnya bid’ah) dijelaskan oleh Asy-Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar, bahwa bid’ah pada asalnya dengan demikian merupakan “sesuatu hal yang baru yang tidak dicontohkan oleh generasi sebelumnya.” Lalu, secara umum syariat akan menjelaskan makna bid’ah sebagai hal yang bertentangan dengan sunnah sehingga wajar jika bid’ah  kemudian disebut hanya perkara buruk yang madzmumah atau  sayyiah, tidak ada yang  hasanah. Padahal—menurut asy-Syaukani—yang benar adalah ketika perbuatan itu secara umum baik atau dipandang secara syariat baik, maka ia menjadi hasanah tidak lagi bid’ah. Kecuali, jika secara syariat dipandang buruk atau bertentangan dengan sunnah, maka jelas itulah bid’ah yang dimaksud. Selama tidak bertentangan dengan akal dan syariah, maka segala sesuatu dihukumi “mubah” (boleh).

Sholat Tarawih merupakan sholat Tathawwu’ yang tidak ada patokan secara pasti berapa jumlah raka’at yang ditetapkan. Tarawih Umar menurut Imam Malik sebagaimana dikutip dalam al-Muwatho’ raka’atnya berjumlah 23 termasuk witir. Namun demikian, dalam kitab inipun dikutip berbagai jalur periwayatan yang berbeda-beda soal jumlah raka’at tarawih. Ada yang menyebut 11 raka’at (riwayat Muhammad Ibnu Yusuf bin dari Saib bin Yazid), ada juga yang menyebut 21 raka’at (riwayat Muhammad bin Nashr dari Muhammad bin Yusuf), ada juga yang 20 raka’at (riwayat Yazid bin Khashifah dari Saib bin Yazid). Riwayat paling masyhur sebagaimana dikutip Atha’ dari jalur Muhammad bin Nashr, bahwa raka’at tarawih adalah 23, termasuk tiga raka’at witir. Walaupun Ibnu Hajar tetap membolehkan menggabung diantara raka’at-raka’at tersebut dengan alasan, bahwa jika bacaannya panjang maka bisa dilakukan dengan rakaat yang pendek, namun sebaliknya jika bacaannya pendek, dapat dilakukan dengan sholat tarawih lebih banyak raka’atnya.

Wallahu a'lam

•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•

0️⃣1️⃣ Kiki ~ Dumai
Ustadz, jikalau saat sedang tarawih ada rasa sedikit berat dikarenakan kekenyangan, apakah itu termasuk tidak ikhlas kah ustadz?

🌸Jawab:
Wah, untuk menghindari kekenyangan, sebaiknya berbuka sekadarnya, nanti bisa dilanjut setelah tarawih. Urusan ikhlas dan tidak, biarlah Alloh ﷻ menilainya, selagi kita beribadah hanya karena mengharap ridha Alloh ﷻ, insya Alloh ﷻ ikhlas.

Wallahu a'lam

0️⃣2️⃣ Safitri ~ Banten 
1. Ustadz kalau selama bulan ramadhan tidak bisa ikut sholat tarawih karena tuntutan pekerjaan, mau sholat tarawih sendiri merasa kurang yakin ustadz, tidak bisa ikut sholat tarawih tapi insya allah malam sebelum sahur menjalankan tahhajud plus witir apa itu tidak apa-apa ustadz?

2. Ketika kita tidak bisa mengikuti sholat tarawih selama bulan ramadhan apa ibadah puasa kita kurang sempurna?

🌸Jawab:
1. Tarawih itu sama dengan qiyamullail bisa berfungsi menggantikan tahajud di hari-hari biasa, tetap harus diperhatikan tarawih itu sunah, sehingga ketika tidak dikerjakan ya tidak apa-apa tetapi kita rugi kehilangan pahala yang besar di bulan Ramadhan.

2) Ibadah puasa hanya Alloh ﷻ yang akan membalas, sejauh apa kualitas puasa kita, Alloh ﷻ langsung yang membalasnya. Ya bisa jadi tidak sempurna ibadah puasanya, karena dalam redaksi hadis tidak hanya "man shoma romadhona.. " tapi juga "man qaama romadhona" (mereka yang mendirikan sholat di malam ramadhan).

Wallahu a'lam

•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•

Ya selamat menjalankan ibadah puasa, hidupkan malamnya dengan sholat tarawih, sebab tarawih hanya ada di bulan Ramadhan.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar