Minggu, 26 November 2017
Terkurung Ambisi
OLeh : Ustadz Abu Rasheed Al-AsLamy
Assalamu'alaikum wa rohmatullahi wa baarakaatuh
Bagaimana kabarnya temen-temen sekalian ?
Perkenalkan saya Abu Rasheed Al-Aslamy Asal Surabaya tinggal di Sidoarjo.
Sengaja profil tidak begitu detail, agar bisa menjaga niat dan keikhlasan kita bersama.
Jika ada keinginan untuk belajar, apapun badai angin yang menerpa, kita akan tetap bertahan
Seperti mutiara diantara pasir yang lain menutupinya.
🌸🌷🌸
Dunia memang menggiurkan, maka tak mengherankan bila (kebanyakan) manusia teramat berambisi mengumpulkan dan menumpuk-numpuk harta. Berbagai macam cara mereka lakukan, dari yang haram sampai cara-cara yang penuh kesyirikan. Lihatlah saat mereka mendatangi dukun-dukun, paranormal dan sejenisnya, karena mengharapkan jampi-jampi, jimat-jimat dari sang dukun agar usahanya dapat sukses. Bagi pedagang, mereka datang ke dukun agar dagangannya laris dan lancar; bagi pengusaha agar bisnisnya lancar dan banyak; bagi pejabat agar jabatannya tetap dan naik terus; bagi para artis minta dipasangkan susuk agar tetap cantik dan menarik. Begitulah seterusnya yang semuanya berujung pada penumpukan materi dan penyembahan harta. Jika sudah seperti ini, harta tak lagi menjadi rahmat, namun menjadi celah turunnya siksa.
Kondisi serba berkecukupan, dan kaya tak jarang membuat seseorang lupa daratan, melampaui batas dan sombong, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an tentang seorang yang bernama Qorun, seorang kaya raya dari Bani Israil (anak paman Nabi Musa -alaihis salam-) yang telah melampaui batas lagi sombong.
Allah berfirman,
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآَتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ (76) وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77) قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَن اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ (78) فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (79) وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ (80)
“Sesungguhnya Qorun adalah termasuk kaum Musa. Maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya Berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qorun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar”. (QS. Al-Qoshash :73-80)
Al-Imam Al-Qurtubiy -rahimahullah- berkata, “Allah menerangkan (dalam ayat-ayat tersebut) bahwa Qorun telah diberi perbendaharaan harta yang amat banyak hingga ia lupa diri. Semua yang dimilikinya itu tidak mampu menyelamatkannya dari azab Allah -Ta’ala- sebagaimana pula yang telah dialami oleh Fir’aun”. [Lihat Al-Jami li Ahkam Al-Qur’an (13/321), cet. Darul Hadits]
Manusia sendiri merupakan makhluk Allah - سبحانه وتعالى - yang berjati diri amat zhalim dan amat bodoh. Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman,
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا [الأحزاب/72]
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS.Al-Ahzab :72)
Bukti kejahilan dan kebodohan itu, tatkala harta datang kepadanya, ketertarikan hati pun sangat kuat terhadap harta. Sedang harta sering membuat manusia rakus sehingga ia menempuh segala macam cara dalam meraihnya, tanpa peduli halal-haramnya. Semua itu mereka lakukan karena kerakusan dan kecintaan yang mendalam terhadap harta duniawi.
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا [الفجر/20]
“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (QS.Al-Fajr : 20)
Perumpamaan bagi orang-orang yang dilanda penyakit cinta dunia, laksana orang yang diberi air di tengah gurun pasir yang tandus. Jika ia diberi setenguk, maka ia ingin selanjutnya sampai perutnya kembung.
Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Andai anak cucu Adam memiliki sebuah lembah emas, maka ia menginginkan agar ia memiliki dua lembah emas. Tak ada yang bisa memenuhi (menutupi) mulutnya, kecuali tanah (kuburan). Allah akan memberikan tobat kepada orang yang bertobat”. [HR. Al-Bukhoriy dalamAr-Riqoq (no. 6439), dan At-Tirmidziy dalam Az-Zuhd (2337)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata usai membawakan beberapa hadits yang semakna dengan hadits di atas dari sahabat yang berbeda,
“Di dalam hadits-hadits yang ada dalam bab ini terdapat celaan terhadap sikap rakus dan serakah pada harta. Dari sinilah mayoritas salaf lebih mengutamakan untuk mengambil sedikit (seadanya) dari dunia, merasa cukup dengan harta yang sedikit, dan ridho terhadap sesuatu ala kadarnya”. [Lihat Fathul Bari (11/310), oleh Ibnu Hajar, cet. Darus Salam]
Kecintaan kepada dunia akan membuat pelakunya akan semakin haus terhadap dunia. Detik-detik hidupnya hanyalah memikirkan keindahan dunia yang ingin raih. Hanya saja ia lupa bahwa kerakusan itu akan membuatkan tersiksa batin akibat ia meraih dunia dari sesuatu yang haram, dengan cara yang haram dan untuk tujuan hina, bukan untuk mencapai pahala dan ridho Tuhannya di akhirat.
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata,
قال بعض السلف : من أحب الدنيا فليوطن نفسه على تحمل المصائب ومحب الدنيا لا ينفك من ثلاث : هم لازم وتعب دائم وحسرة لا تنقضي وذلك أن محبها لا ينال منها شيئا إلا طمحت نفسه إلى ما فوقه
“Sebagian Salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia, maka hendaknya ia mempersiapkan dirinya untuk menanggung musibah-musibah. Pencinta dunia tak akan lepas dari tiga perkara: kegalauan yang terus-menerus, rasa penat yang berkelanjutan dan penyesalan yang pernah putus. Demikian itu karena pencinta dunia, tidak meraih sesuatu apapun dari dunia, kecuali jiwanya akan memandang (dengan penuh harap) kepada sesuatu yang lebih dari itu”. [Lihat Ighotsah Al-Lahfan (1/37) oleh Ibnul Qoyyim Az-Zar’iy, dengan tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi, cet. Dar Al-Ma’rifah, 1395 H]
Al-Imam Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata,
هي كالسم يأكله من لا يعرفه وهو حتفه فكن فيها كالمداوي لجراحته يحتمي قليلا مخافة ما يكره طويلا ويصبر على شدة الأذى مخافة طول البلاء واحذر هذه الدار الغرارة التي قد زينت بخدعها وتحلت بآمالها وتشوقت لخطابها وفتنت بغرورها فأصبحت كالعروس المحلاة العيون إليها ناظرة والقلوب إليها والهة والنفوس لها عاشقة وهي لأزواجها كلهم
“Dunia ibarat racun yang dimakan oleh orang yang tak mengenal racun. Padahal racun itu akan membunuhnya. Jadilah engkau di dunia ini laksana orang yang mengobati lukanya, ia berpantang (menghindar) sementara dari sesuatu yang ia benci dalam waktu lama serta bersabar di atas kerasnya rasa sakit, karena khawatir terhadap lamanya bala’. Waspadailah kampung yang menipu ini, kampung yang terhiasi dengan tipuan-tipuannya, berhias dengan angan-angan dunia dan menampakkan kerinduan kepada para peminangnya serta ia (dunia) menggoda dengan segala kepalsuannya. Jadilah dunia laksana pengantin yang terhiasi, mata-mata memandang kepadanya, hati rindu kepadanya, dan jiwa amat cinta kepadanya. Sedang ia (dunia) memang untuk semua suaminya (yakni, pencintanya)”. [HR. Abu Nu’aim dalam Hilyah Al-Awliyaa’ (6/313), Al-Ajurriy dalam Akhbar Abi Hafsh Umar bin Abdil Aziz (hal. 79), Ibnu Abid Dun-ya dalam Az-Zuhd (no. 50)-Syamilah]
Dunia memang berbahaya di saat seseorang terlena dengan keindahan dan kelembutannya. Sebab dunia akan menguasai hati kita dan membuat kita lupa dari tujuan hakiki, yaitu kampung akhirat.
Abu Syuja’ -rahimahullah- berkata,
كَتَبَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ إِلَى سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ: ” وَأَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّمَا مَثَلُ الدُّنْيَا مَثَلُ الْحَيَّةِ لَيِّنٌ مَسُّهَا يَقْتُلُ سُمُّهَا، فَأَعْرِضْ عَمَّا يُعْجِبُكَ مِنْهَا لِقِلَّةِ مَا يَصْحَبُكَ مِنْهَا، وَضَعْ عَنْكَ هُمُومَهَا لِمَا أَيْقَنْتَ مِنْ فِرَاقَهَا، وَلَكِنَّ أَشَرَّ مَا يَكُونُ لَهَا، فَإِنَّ صَاحِبَهَا قَلَّمَا اطْمَأَنَّ فِيهَا إِلَى سُرُورٍ أَشْخَصَهُ عَنْهُ مَكْرُوهٌ وَالسَّلَامُ ” .
“Ali bin Abi Tholib pernah menulis surat kepada Salman Al-Farisiy, “Adapun selanjutnya, maka hanyalah perumpaan dunia laksana ular, yang lembut bila disentuh, namun racunnya membunuh. Karenanya, berpalinglah dari sesuatu yang menakjubkanmu dari dunia tersebut, karena sedikitnya sesuatu dari dunia yang akan menemanimu. Buanglah dari dirimu kerisauan-kerisauan dunia, karena kamu yakin akan meninggalkannya. Akan tetapi, sesuatu yang terburuk adalah sesuatu untuk dunia. Karena, pemilik (pencinta) dunia, jarang sekali merasa condong di dalamnya kepada kebahagiaan. Dia hanya disambut oleh sesuatu yang ia benci. Wassalam”. [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (13/179)]
Dunia laksana penyihir yang mampu merusak hubungan di antara manusia. Bahkan dunia lebih kuat pengaruhnya dibandingkan tukang sihir tersebut. Sebab, dunia mampu memutuskan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Alngkah banyaknya orang-orang yang dulu taat dan berbakti kepada Allah. Namun dengan pengaruh dunia ia pun memutuskan segala ketaatannya kepada Allah. Walaupun lisannya dan hatinya yang sudah terborgol dunia akan berkilah, “Kami meraih dunia dengan berbagai rupanya demi mencapai ridhonya”. Sungguh ini adalah kedustaan yang membinasakan pemiliknya, sehingga tak heran bila orang yang berkilah seperti ini semakin hari semakin jauh dari kebaikan, ditimpa berbagai macam cobaan, diberi kesempitan hati –walaupun lahiriahnya memiliki kelapangan-. Namun hatinya sempit akibat ia dikuasai oleh dunia yang hina, dunia yang akan melalaikannya dari mengingat Tuhannya. [Lihat Tashliyah Ahlil Mushob (hal. 248) oleh Al-Manbajiy Al-Hanbaliy -rahimahullah-, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1986 M]
Kesempitan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang jauh dari Tuhannya, bukan hanya di dunia, bahkan akan berlanjut sampai ke akhirat.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (126) وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآَيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى (127) أَفَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِأُولِي النُّهَى (128) [طه/124-129]
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. Dan Demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya siksa di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”. (QS. Thohaa : 124-129)
Mohon maaf jika materi terlalu panjang, semoga bermanfaat
Kita bahas di pertemuan selanjutnya ya, mohon maaf, mengingat schedule yang akan saya lakukan lagi setelah ini.
Mohon pamit, semoga kita bisa dipertemukan di dunia hingga ke akhirat menggapai surgaNya
Selamat berjuang menjadi Bidadari Surga
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
💎TaNYa JaWaB💎
0⃣1⃣ Ridha
Ketika kita hidup di dunia.. otomatis tidak bisa lepas dengannya. Ada kebutuhan-kebutuhan disana. Pertanyaan saya:
1. Bagaimana caranya agar kebutuhan itu tidak jadi cinta atau berlebihan?
2. Saya antara dunia dan akhirat selalu bertolak belakang. Bagimana agar untung di dunia & akhirat ustazd? Contoh konkritnya juga.
🌷Jawab:
1. Cinta dunia akan menyebabkan seseorang kehilangan arah hidup, akan kehilangan tatanan hidup yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kita baca dalam sejarah hidupnya bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang Zuhud, tidak berlebihan terhadap dunia, bahkan pernah tidak ada gandum untuk dimasak.
Bagaimana cara agar kita juga mampu hidup zuhud?
~ Menempatkan Allah Sebagai Cinta Tertinggi
Tanamkanlah rasa cinta kepada Allah diatas segala segala, karna sebagai hamba CiptaanNya tiada yang pantas kita cintai dengan kadar cinta yang tertinggi selain Allah.
~ Kita harus menyadari bahwa hakikatnya kebahagiaan didunia ini hanyalah sementara saja, hanyalah sehelaan nafas, apaun yang ada didunia segera akan kita tinggalkan, dan tak akan memberi manfaat apa apa kecuali yang telah kita nafkahkan dijalan Allah Azza Wajalla.
Pahamilah peringatan Allah berikut ini :
"Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)." ( An Naazi’aat 37-39 )
2. Tidak menyia nyiaakan waktu yang telah Allah berikan, dengan mengisi dengan ibadah,
~ Mempunyai ilmu agama dan mengamalkan serta mengajarkannya.
~ Perbanyaklah saudara atau sahabat dengan menyambung silaturahmi. Karna saudara ( sahabat ) bisa menjadi syafa’at untuk diakhirat dan melapangkan hidup kita didunia.
Masih banyak lagi contoh yang lain.
wallahu a'lam
0⃣2⃣ Shoffia
1. Apakah kata ambisi itu hanya untuk hal negatif saja?
2. Kalau tidak, apa batasannya agar ambisi itu masih bisa disebut dalam hal yang positif?
3. Apa bedanya ambisi sama obsesi?
🌷Jawab:
1. Jawaban untuk no. 1 dan 2,
Ambisi tidak selalu negatif, lihat bagaimana kita dibolehkan iri kepada dua jenis orang
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya . Dari hadits tersebut jelaslah bahwa kita boleh cemburu, dalam artian jika kita iri tentunya kita berambisi untuk mengalahkannya?
Inilah ambisi yang positif, ambisi untuk berlomba lomba dalam kebaikkan dalam amal ibadah.
3. Ambisi adalah keinginan seseorang untuk mencapai kesuksesan , ketenaran, kekayaan dan berusaha dengan sebaik baiknya.
Semenatar obsesi adalah keinginan seseorang untuk mencapai sukses, namuan dibarengi dengan tindakan emosi yang kadang mengenyampingkan etika, ada rasa tertekan jika dia tidak mencapainya.
wallahu a'lam
0⃣3⃣ Rizky
Bagaimana jika ingin banyak harta agar bisa bermanfaat untuk orang banyak, apakah kelak akan susah menjaga niat ustadz?
Bolehkah mempunyai keinginan seperti tersebut? Ataukah baiknya berdoa begini saja ustadz dengan jalan yang Allah suka yang penting bisa bermanfaat untuk orang lain?
🌷Jawab:
Orang Islam itu sejatinya tidak boleh miskin, zuhud bukan berarti miskin, tapi zuhud adalah tidak mencintai harta, sebuah perjuangan dakwah akan sangat membutuhkan harta benda, dan dengan harta benda itulah orang orang kaya bisa membantu perjuangan Islam.
Namun itu tadi tadi kita harus zuhud terhadap dunia ini, jangan sampai harta ini yang melupakan kita kepada Allah.
Susah kah? Iya susah jika kita iman dihati kita kurang, ilmu agama kita juga tidak cukup baik. Namun jika kita kita mampu mencintai Allah dengan sebaik baiknya cinta , maka Insyaa Allah semua akan baik baik saja.
Wallahu a’lam
0⃣4⃣ Desty
Manusia sering terlena dengan harta, terkadang keadaan dan ambisi sering bertolak belakang, rela berhutang demi kepuasan bathin dan agar terlihat WAH oleh tetangga. Bagaimana menyikapi hal tersebut ??
🌷Jawab:
Lihat jawaban di nomor 0⃣1⃣
0⃣5⃣ Apri
Ustadz,
1. Bagaimana bila ada yang berpendapat kalau kita memiliki harta harus disedekahkan semua tanpa memikirkan diri sendiri dan keluarganya, alasannya karena harta yang disedekahkan itu yang akan menolong kita nanti pas kita mati, padahal dia seorang suami yang punya istri dan mengabaikan semua kewajiban-kewajibannya kepada istri dan lebih fokus kesedekah?
2. Bagaimana istri harus bersikap dengan pendapat suami itu ustadz?
🌷Jawab:
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ جُهْدُ الْمُقِلِّ وَ ابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ
“Sedekah yang paling utama adalah bersedekah dengan maksimal, dan mulailah bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu.” (HR. Abu Dawud dan Hakim, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1112)
Imam al-Baghawi menjelaskan hadits di atas dalam kitab Syarh al-Sunnah, _“Hendaknya seorang memilih untuk bersedekah dengan kelebihan hartanya, dan menyisakan secukupnya untuk dirinya karena khawatir terhadap fitnah fakir (kemiskinan). Sebab, boleh jadi dia akan menyesal atas apa yang dia lakukan (dengan berinfak seluruh atau melebihi separuh harta) sehingga merusak pahala.
Sedekah dan kecukupan hendaknya selalu eksis dalam diri manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari Abu Bakar yang keluar dengan seluruh hartanya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu persis kuatnya keyakinan Abu Bakar dan kebenaran tawakkalnya, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak khawatir fitnah itu menimpanya sebagaimana Beliau khawatir terhadap selain Abu Bakar._
Bersedekah dalam kondisi keluarga sangat butuh dan kekurangan, atau dalam keadaan menanggung banyak hutang bukanlah sesuatu yang dikehendaki dari sedekah itu. Karena membayar hutang dan memberi nafkah keluarga atau diri sendiri yang memang butuh adalah lebih utama. Kecuali jika memang dirinya sanggup untuk bersabar dan membiarkan dirinya mengalah meskipun sebenarnya membutuhkan sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar dan itsar (mendahulukan orang lain) yang dilakukan kaum Anshar terhadap kaum muhajirin.”
Oleh karena itu, para ulama mensyaratkan bolehnya bersedekah dengan semua harta apabila orang yang bersedekah itu kuat (sehat badannya), mampu bekerja, bersabar, tidak berutang dan tidak ada orang yang wajib ia nafkahi. Ketika syarat-syarat ini tidak ada, maka menyedekahkan seluruh harta menjadi makruh hukumnya.
Dan Rasulullah SAW pernah melarang sahabat untuk mensedekahkan semua hartanya sebagai ganti dia tidak ikut berperang. Dan hanya membolehkan sepertiga saja.
2. Berusahalah mengingatkan suami atau minta kepada pihak ketiga untuk mengingatkan akan hal itu, karena dengan berlebih lebihannya suami dalam bersedekah mungkin ada pihak yang terdzalimi haknya.
Wallahu a’lam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar