OLeh : Bunda Lara Fridani
Beyond Logic and Rationality
( https://denisrahadian.wordpress.com/2013/06/)
Oleh: Lara Fridani
Seorang ibu lansia merasa gelisah mendengar penuturan anak laki -laki semata wayangnya yang dulu menjadi kebanggaannya. Sejak kecil segala upaya dikerahkan dan biaya dikeluarkan untuk mendidik anaknya agar menjadi cerdas, kritis, teguh pendirian dan memiliki berbagai ketrampilan. Tak heran, jika kini anaknya tumbuh menjadi pria dewasa yang sangat percaya diri, terpandang, dan punya karir yang membanggakan.
Yang disesalkan sang ibu adalah ‘kelebihan’ yang dimiliki anaknya itu ternyata tidak seiring dengan meningkatnya keimanannya sebagai seorang muslim. Di usia menjelang 60 tahun barulah sang ibu tersadar untuk segera mendekatkan diri pada agama. Namun ternyata tidak mudah baginya untuk bisa berbagi ‘spirit’ ini bersama anaknya. Nasehat agama yang diberikan berkali- kali oleh sang ibu agar anaknya menunaikan kewajiban sholat, berhaji dan sebagainya, direspon hanya dengan logikanya saja.
πΈπ·πΈ
“Begini ya ma, coba mama lihat…. berapa banyak orang yang rajin sembayang dan rajin mengaji, tapi kelakuannya tidak berubah kan?
Mereka cuma rajin ke masjid untuk kepentingan diri sendiri, tapi mana manfaatnya untuk orang lain?”
“Begini ya ma , mama pernah dengar sendiri kan cerita teman mama saat naik haji, ternyata banyak orang di sana yang egois, berebutan dan sikut menyikut saat beribadah. Belum lagi aturannya yang tak masuk di akal ma. Itu lho ma, yang katanya saat ihram, kita tak boleh pakai pakaian berjahit- lah, gak boleh pakai wewangian- lah. Ini alasannya apa, kita kan tak bisa terima perintah begitu saja ma.”
“Pokoknya begini ya ma, yang pentingkan hati kita ini baik. Hidup kita gak macam- macamlah, kita kan juga kasih sedekah sama orang miskin. ” demikian petuah sang anak panjang lebar.
Sang ibu terdiam, tak punya ketrampilan untuk bisa menepis pernyataan anaknya, beliau hanya mengungkapkan ketidaksetujuan di dalam hati, sebagai bentuk selemah-lemahnya iman. Beliau pun tak punya ide, darimana harus menjelaskan pada anaknya agar mau berlapang dada menerima perintah agama. Beliau hanya bisa berdoa agar anaknya tidak termasuk golongan orang-orang yang hatinya berpenyakit.
Ketika kecerdasan dan ketrampilan hidup yang distimulasi orang tua sejak awal pada anaknya tidak didasarkan pada syariat dan terlepas dari konsep akhlak sebagai muslim, maka tidak mengherankan jika seorang anak ‘tidak hidup’ hatinya, kecuali jika ada hidayah dari Allah SWT. Batasan kecerdasan versi barat dan Islam memang berbeda. Pandangan Islam tentang kecerdasan, lebih mengutamakan sudut pandang ruhiyah di samping lahiriyah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Orang yang cerdas adalah mereka yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk masa sesudah mati, sedang orang yang lemah ialah mereka yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah.” (HR. Ahmad).
Kecerdasan dalam pandangan islam bukanlah sekedar kemampuan berpikir rasional dengan logika, namun merupakan keterpaduan antara pikiran dan dzikirnya, suatu bentuk kerjasama antara otak dan hati. Ajaran Islam lebih cenderung menggarap hati agar menjadi baik. Aturan sholat, puasa, zakat, haji dan sebagainya adalah sarana untuk melembutkan kualitas hati ini. Dengan demikian kecerdasan dalam pandangan Islam selalu melibatkan kerendahatian dan pikiran positif terhadap aturan dari sang Pencipta.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang menjadikan pikiran-pikirannya menjadi satu pikiran yaitu pikiran akhirat, Allah cukupkan masalah dunianya. Dan barang siapa yang pikirannya bercabang-cabang di urusan dunia, Allah tidak perduli di lembah dunia mana dia akan binasa.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim)
Memang sulit bagi seseorang untuk menerima apalagi menjalankan sebuah perintah agama yang kadang tidak masuk dalam logika, jika dia terbiasa dan terlatih dengan nilai-nilai yang mengedepankan akal saja, kecuali jika Allah SWT berkehendak memberi hidayah padanya.
πΈπ·πΈ
Guru saya pernah menjelaskan bahwa akal atau logika jika digunakan secara tepat, maka bisa meluruskan pikiran seseorang untuk mencapai kebenaran. Peran pendidik termasuk orang tua dalam hal ini sangat besar dalam menjelaskan dan memberi contoh keterbatasan akal dan panca indera manusia dalam memahami sesuatu, baik ditinjau dari segi pengetahuan sains maupun dari sudut pandang agama. Penanaman nilai-nilai keimanan juga harus dilatih sejak dini sehingga anak memiliki kesadaran atas keterbatasan dirinya sebagai hamba Allah, sehingga memudahkannya untuk mendahulukan kepatuhan dan keikhlasan dalam menjalankan perintahNya. Kecerdasan yang tunduk pada keimanan semacam inilah yang bisa membawa ketenangan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Iman bukanlah sekedar dari sikap menerima dan setuju, tetapi lebih kepada cinta yang kuat yang terhubung erat dengan kepatuhan. Ketika iman didahulukan, tak akan ada bantahan dan alasan untuk menghindar dari perintah Allah SWT. Iman yang stabil akan melembutkan hati, sedangkan iman yang labil akan mendorong logika dan hawa nafsu. Wallahualam.
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. 2 : 74)
Menjadikan anak bersifat tawadhu ternyata lebih sulit daripada sekedar menjadikan mereka pintar dan kritis dalam berpikir.
πΈπΈπΈππππΈπΈπΈ
πTaNYa JaWaBπ
0⃣1⃣ Olif
Penanaman nilai itu akan lebih mudah ditanamkan pada anak-anak. Tapi sebagai pendidik, peserta didik saya bisa dibilang sudah hampir dewasa. Sudah mampu menalar dan merasionalkan sesuatu. Sedangkan usia saya tidak jauh dari mereka.
Jadi ketika saya berbicara tentang tauhid atau nilai-nilai agama mereka menganggapnya becanda.. Lalu apa yang harus saya lakukan bunda?
Karena menurut saya anak Zaman sekarang itu kurang peka.
π· Jawab :
Subhanallah.
Iya bu olif, seseorang sekalipun sudah dewasa dari segi usia, bukan menjadi jaminan bisa menerima ajaran agama. Kemampuan menalar atau merasionalkan sesuatu atau berpikir kritis dan sejenisnya, tidak menjadi jaminan bahwa dia bisa ridho menerima kebenaran. Kecuali jika seseorang berniat dan berikhtiar kuat untuk mencari kebenaran. In shaa Allah hidayah dan taufik akan datang.
Tugas kita hanyalah memberi nasehat dengan cara baik dan bijak. Kita juga bisa menggunakan berbagai cara yang sifatnya tidak menggurui agar mereka tidak tersinggung atau bahkan menjadikan nasehat kita sebagai bahan olokan. Berbagi cerita atau artikel atau pengalaman terkait nilai-nilai islam terkadang bisa lebih efektif dibandingkan langsung memberikan dogma.
Wallahualam
Ini tugas kita bersama untuk mengenalkan kembali pendidikan tauhid dan pengenalan aqidah yang lurus dengan cara yang bijak disertai contoh-contoh nyata di lingkungan.
0⃣2⃣ iNdika
Bagaimana cara menyeimbangkan pendidikan akal (logis) dengan pendidikan agama?
π· Jawab :
Saran saya, kita tanamkan dulu pendidikan agama.
Karena dalam pendidikan agama, ada banyak hal yang logis yang sesuai dengan ajaran islam. Sehingga logika yang diajarkan dalam pendidikan agama bersifat aman, sesuai syariat. Berbeda dengan jika kita mengenalkan logika dari kebanyakan pandangan barat, karena tanda basis agama.
0⃣3⃣ Adha
Bagaimana tips-tips untuk mengajak anak-anak didik usia remaja yang sudah baligh untuk rutin sholat 5 waktu dan tilawah, sebagaimana mereka sudah paham akan perintah Allah untuk sholat fardhu tapi banyak yang masih sering meninggalkannya,??? sedih rasanya!!
π· Jawab :
Ya bu, ini tantangan kita sebagai orang tua maupun guru ataupun bagian dari keluarga. Lingkungan sangat besar pengaruhnya untuk anak termasuk remaja. Di sini para orang tua perlu berupaya merangkul mereka terutama yang laki-laki agar mencintai masjid. Remaja juga perlu difasilitasi untuk mendapatkan teman-teman yang hanif, yang mau menuju kebaikan.
Dengan adanya teman sebaya, biasanya mereka bisa lebih semangat dan bisa diarahkan untuk melaksanakan kewajiban.
Selain ikhtiar kita, tentu saja doa orang tua sangat diperlukan agar anak-anak remajanya mendapat hidayah dan taufik dari Allah.
Variasi metode untuk mengajak mereka belajar Al Qur'an maupun tilawah juga penting agar mereka tidak jenuh. Selain membaca Al Qur'an, perlu juga diselingi dengan berbagai kajian terkait dengan pengalaman mereka sehari-hari.
0⃣4⃣ Devdat
Bagaimana cara menyelaraskan imtaq dan iptek yang terkadang banyak nalar?
π· Jawab :
Jawabannya mirip dengan jawaban pertanyaan nomor 2.
Jika penanaman nilai-nilai agama diberikan secara mantap sejak dini, in shaa Allah ilmu pengetahuan dan teknologi yang dipelajarinya akan "diseleksi" sesuai dengan pemahaman tauhid dan aqidah anak.
0⃣5⃣ Aniek
1. Ustadzah apakah predator anak bisa mengetahui bakal calon mangsanya dari mata anak calon korbannya?
Sebagai orang tua. Apa yang bisa kami lakukan untuk mencegah?
2. Apakah ustadzah ada refrensi psikolog praktek untuk hypnoterapi anak di jakarta?
Jazakillah khayrran
π· Jawab :
Maaf bu, saya kurang tahu tentang kemungkinan mengetahui sesuatu oleh predator dari mata seorang anak.
Tentang pencegahan: tentu saja doa orang tua, pengawasan orang tua atau guru atau masyarakat terkait keamanan lingkungan ; pemahaman pada anak agar tidak berinteraksi dengam orang asing.
Tentang praktek hipnoterapi, saya pribadi termasuk yang masih ragu untuk menganjurkan; berhubung ada jenis hipnoterapi tertentu yang pernah saya sedikit pelajari, sepertinya kurang sesuai dengan ajaran islam.
Wallahualam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar