OLeH: Ustadz Tri Satya Hadi
🌀M a T e R i🌀
Assalamu'alaikum wr. wb.
🌸SYAFI'I MEMBAWA APA?
Suatu saat ketika Imam Syafi’i berusia 20 tahun, salah satu gurunya di makkah menyuruh beliau berangkat ke madinah dan Iraq untuk menimba ilmu kepada imam-imam besar di sana, penyebabnya gurunya di Makkah merasa ilmunya sudah habis untuk diberikan kepada Imam Syafi’i. Berangkatlah Imam Syafi’i kesana dengan terlebih dulu meminta ijin kepada ibundanya. Ibunya berkata, " Nak pergilah menuntut ilmu untuk jihad di jalan Alloh ﷻ, kelak kita bertemu di akhirat saja ".
Lebih dari 10 tahun Imam Syafi’i menimba ilmu dan menjadi ulama besar jauh diluar kampung halamannya, tentulah sebagai seorang anak yang berbakti muncul kerinduan untuk bertemu ibunya di mekkah, namun beliau tidak berani pulang karena setiap muncul keinginan tersebut, beliau teringat pesan ibunda beliau tersebut, "kelak kita bertemu di akhirat saja." Karenanya sebelum ada ijin dari Ibunya, beliau tidak berani menginjakan kaki di rumah ibunya.
Suatu saat Ibunya Imam Syafi'i pergi untuk berhaji, ada halaqoh besar di Masjidil Harom, seorang ulama besar dari Iraq dalam haloqoh tersebut sering menyebut Muhammad Bin Idris Asy-syafii. Kemudian Ibunya Imam Syafi'i mendatangi imam itu dan bertanya, "Ya Syaikh, siapakah Muhammad bin Idris Asy-syafi'i itu?"
Kemudian Syaikh tersebut menjawab dengan penuh kebanggaan, "Dia adalah guruku, seorang yang 'alim berada di Iraq yang asalnya dari Makkah sini." Lantas Ibu Imam Syafi'i berkata, "ketahuilah Syaikh, Muhammad Bin Idris Asy-syafii itu adalah anak-ku, pesanku kepada Syafi'i, jikalau dia sekarang ingin pulang, aku mengizinkannya untuk pulang.”
Setelah mendapat informasi dari muridnya, Imam Syafi'i tidak mengulur-ngulur waktu, beliau pun bersiap menuju Makkah. Namun sebelumnya Imam Syafi'i berpamitan kepada warga Iraq setempat. Karena kealiman dan kemasyhuran beliau di Iraq, masyarakat yang mencintai dan mengagumi beliau, merasa bersimpati kepada Imam Syafi'i dengan memberi apa yang mereka punya dari kekayaan mereka, ada yang memberi unta, dinar dan lainnya. Subhanallah, Imam Syafi'i pun pulang dengan membawa ratusan unta beserta isinya dan di kawal oleh beberapa murid beliau.
Sesampai di perbatasan kota Mekkah, Imam Syafi'i mengutus seorang muridnya agar mengabarkan kepada Ibundanya bahwa saat ini beliau sudah di perbatasan kota mekkah. Sesampainya murid Imam Sayf’i di sana, dia ditanya ibunda beliau, " Syafi'i Membawa apa ?" Dengan bangga murid Imam Syafi'i menjawab, "Imam Syafi'i pulang dengan membawa ratusan unta dan harta lainnya". Mendengar hal tersebut ibunda Imam Syafi'i menutup pintunya sambil berkata, "aku menyuruh Syafi'i ke Iraq bukan untuk mencari dunia…!, katakan kepada Syafi'i bahwa Syafi’i tidak boleh pulang!"
Sekembalinya, murid Imam Syafi'i gemetar dan berkata kepada Imam Syafi'i, "wahai Imam, ibunda anda marah, dan menyuruh anda tidak boleh pulang ke rumah”. Lalu Imam Syafi'i berkata, "mengapa bisa demikian?" Diceritakan lah dengan detail kejadian tadi, seketika Imam Syafi’i berkata "Sungguh kesalahan besar dirimu, jika engkau menganggap ibundaku akan bahagia dengan harta yang ku bawa ini. Baiklah, sekarang kumpulkan orang Makkah dan bagikan semua unta dan kekayaan lainya pada penduduk Makkah, dan sisakan kitab-ku, setelah itu kabarkan lagi kepada Ibuku.”
Setelah Imam Syafi'i telah membagikan semua untanya dan harta yang lainnya, yang beliau bawa hanya kitab maka beliau diperbolehkan pulang dan bertemu ibunda tercinta.*
🌀🌷🌀
Ada beberapa hikmah yang kita bisa petik sekelumit kisah ke’aliman dan keshalihan Imam Syafi’i rahimahumullah.
Pertama, keshalihan seorang hamba dimata Allah subhanahu wataala dan manusia di awali dengan ilmu agama (dienul Islam). Menuntut ilmu agama yang juga merupakan ilmu jiwa adalah kewajiban yang utama (fardhu ‘ain) setiap muslim. Tidak ada batasan umur dalam menuntut ilmu, namun usia emas seorang hamba dalam menimba ilmu adalah dalam usia muda. Bukti keshalehan Imam Syafi’i dimulai dengan luasnya keilmuan beliau di usia belia. Pada saat umur 7 tahun beliau sudah hafal Al Qur’an dan diusia 12 tahun beliau sudah membaca dan menghapal kitab Al-Muwaththa’ yang berisi 1.720 hadits pilihan karya Imam Malik padahal beliau belum berjumpa dengan Imam Malik. Subhanallah.
Beberapa abad kemudian, ilmu merupakan awal kesalehan di perkuat oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya 'Ulumuddin yang menjelaskan bahwa ilmu jiwa (ilm-alnafs) mengarahkan pada tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni:
1) Kekuatan fikir, membuka manusia meraih hikmah. Karena hikmah, manusia tidak lagi mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara perkataan yang benar dan dusta, dan seterusnya.
2) Kekuatan syahwat, mengarahkan ke kesederhanaan jiwa ('iffah). Karena 'Iffah akan membentengi manusia dari perbuatan maksiat dan senantiasa mendorongnya untuk mendahulukan perilaku yang terpuji.
3) Dan kekuatan amarah, diarahkan untuk mengendalikan kekuatan amarah hingga tercapainya kesabaran (hilm) dan keberanian (syaja'ah).
Jika ketiga kekuatan tersebut terarah dan terbina dengan baik maka keshalehan seorang hamba akan terwujud. Nabiullah Ibrahim alaisalam pun berdoa:
"Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku Hikmah dan masukkan lah aku ke dalam golongan orang-orang yang shaleh.” (QS. Asy-Syu'araa': 83)
🌀🌷🌀
Hikmah yang kedua, Alloh ﷻ akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan meneguhkan kedudukan di dunia dan di akhirat. Imam Syafi’i dalam usia 15 tahun telah duduk di kursi mufti kota Makkah. Saat dewasa beliau menjelma jadi ‘ulama yang masyhur yang begitu dimuliakan oleh para murid-muridnya dan masyarakat , dihormati khalifah (penguasa) saat itu serta dikagumi oleh guru-guru dan imam-imam lainnya.
Dan ketika kemasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab, maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah. Setelah beliau wafat pun diusia ke yang 54, Imam Ar-Rabi seorang ahli hadits dan fikih teman beliau menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Alloh ﷻ kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau menjawab, “Alloh ﷻ mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.” Subhanallah...
Firman Alloh ﷻ:
“Alloh ﷻ mengangkat orang beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Alloh ﷻ mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. Mujadilah: 11)
“(Alloh ﷻ menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Alloh ﷻ)).” ( QS. Al-Baqarah: 269)
🌀🌷🌀
Hikmah yang ketiga adalah peran orang tua dalam pendidikan anak. Perintah, dorongan, doa orang tua terutama ibu merupakan hal yang harus diciptakan bahkan harus dipaksakan tentunya tetap dalam koridor syar’i. Perkataan Ibunda Syafi’i kepada anaknya, “kelak kita akan bertemu di akhirat”, merupakan doa sekaligus motivasi bahwa menuntut ilmu agama ataupun ilmu dunia disertai keikhlasan semata karena Alloh ﷻ subhanahu wataala merupakan jalan menuju akhirat yang indah. Sabda Rasulullah ﷺ:
”Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Alloh ﷻ memudahkan baginya jalan ke surga. Dan sesungguhnya malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa yang diperbuatnya, dan bahwasanya penghuni langit dan bumi sampai ikan yang ada di lautan itu senantiasa memintakan ampun kepada orang yang pandai. Kelebihan si alim terhadap si ‘abid adalah bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi dan bahwasanya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham (kekayaan duniawi) tetapi para Nabi mewariskan ilmu pengetahuan, maka barangsiapa yang mengambil (menuntut ilmu maka ia telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Daud dan At Turmudzi)
Namun tentunya ibunda Syafi’i adalah yang ibu cerdas dan berilmu serta paham betul siapa Imam Syafi’i, beliau tidak mungkin melepas Syafi’i muda jauh keluar kota tanpa bekal keilmuan dan keimanan yang kuat. Ataupun belajar ilmu yang tidak jelas. Sehingga ibunya yakin Syafi’i muda tidak akan terperosok kedalam kemaksiatan dan kenistaan dalam menimba ilmu nan jauh di sana.
Berbeda dengan orang tua sekarang, ada beberapa orang tua menyekolahkan anak jauh diluar kota bahkan diluar negeri, tidak dibekali pondasi keimanan yang kuat, tujuan sekolahpun cenderung menuruti kemauan si anak yang bisa jadi hanya ikut-ikutan teman atau prestige. Atau memaksakan kemauan orang tua ke anak untuk belajar di sekolah tertentu dengan tujuan duniawi semata. Walhasil, tidak sedikit anak-anak tersebut yang gagal, putus asa, dan mungkin bisa terjerumus pergaulan bebas, dan kemaksiatan lainnya. Kalaupun ada yang berhasil, ilmunya tidak membuat si anak bisa mendekat kepada Alloh ﷻ.
"Bekal keimanan di usia belia ini menjadi tugas orang tua yang sangat penting untuk membentuk karakter, pola pikir, dan keimanan anak. Karena semakin ke depan semakin banyak godaan yang ber”mutasi” pada kesenangan yang menipu." (QS. Al- Hadid: 20).
Tidak hanya anak yang kita haruskan belajar, orang tua pun harus belajar bagaimana mendidik anak, apalagi di masa pandemi yang penuh ujian. Orang tua harus berpikir cerdas agar anak-anak bisa menyesuaikan dengan pembelajaran online, bisa menjaga pengaruh-pengaruh dari informasi-informasi yang berterbangan di dunia maya dengan gadget yang hampir setiap waktu dipegang anak.
Orang tua mau berdiskusi dengan orang yang paham, banyak bertanya kepada ulama yang faqih, membaca buku parenting, bisa juga mencontoh pada orang tua yang “berhasil”. Orang tua harus cerdas dalam membekali anak terutama dalam ilmu agama. Alhamdulillah, belakangan ini sudah banyak orang tua yang “melek” akan hal ini. Bahwa ilmu agama yang merupakan ilmu jiwa sangat berperan dalam membentuk hati yang bersih. Hati yang bersih berperan dalam pola pikir anak, berperan pembentukan budi pekerti dan akhlakul karimah anak.
Sekolah-sekolah Islam terpadu, pesantren-pesantren modern bermunculan bak jamur di musim hujan. Seiring dengan berkembangnya pemahaman para orang tua yang merasa belum mampu mendidik ilmu agama di rumah, menitipkan anak-anaknya di lembaga tersebut. Walaupun tidak semua anak berhasil dengan berbagai alasan, namun memberikan secercah harapan bahwa Islam adalah satu-satu jalan yang dapat menyelesaikan problematika umat sekarang ini. Wallahu ‘alam.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh ﷻ telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Alloh ﷻ membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. Alloh ﷻ meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Alloh ﷻ menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 24-27)
Wallahu a'lam
https://pijarpunbenderang.blogspot.com/2015/01/syafii-membawa-apa.html
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
🌀TaNYa JaWaB🌀
0⃣1⃣ Anjar ~ Sidoarjo
Ustadz, ada rasa kawatir jika hendak mengirim anak menimba ilmu di pesantren. Khawatir jika pesantren tersebut disusupi ajaran ajaran yang merusak akidah.
Adakah kiat-kiatnya agar hati bisa mantap melepas anak menimba ilmu di pesantren?
🌀Jawab:
Berdasarkan pengalaman pribadi dan sesuai dengan beberapa pengalaman orang tua yang sukses:
1) Perbaiki niat dan mantapkan tujuan kita menyekolahkan ke pesantren. Diskusi dua arah dengan anak.
2) Pelajari detail profil pesantren, visi, penanggung jawab, pengasuh, dan alumninya kemana saja. Diskusi dengan ustadz atau ulama yang mengenal pesantren tersebut.
3) Ajak langsung anak meninjau lokasi, berdiskusi langsung dengan pengurus pesantren. Tanyakan detail kurikulumnya.
4) Setelah itu boleh dikuatkan dengan sholat istikharah dan doa.
Wallahu a'lam
0⃣2⃣ Yulia ~ Bekasi
Assalamualaikum ustadz,
Bagaimana jika kedua orang tua bekerja sehingga anak di titipkan ke pesantren sejak dini usia 5 tahun, secara mental anak usia tersebut masih di bilang membutuhkan kasih sayang orang tua, ada teman kerja saya menceritakan anaknya sampai seminggu nangis terus di pesantren.
Ideal di usia berapa anak bisa di titipkan di pesantren?
🌀Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh
Berbeda-beda, ada yang dari usia SD, ada yang SMP atau SMU, dengan latar belakang masing masing, intinya memang proses dari sejak dini untuk mengenalkan, dan membangun kejiwaan si anak agar siap.
Terkadang kematangan jiwa bisa melalui proses panjang, kadang perlu dipaksakan. Suasana hati orang tua juga menentukan, karena jangan sampai ketika anaknya siap, orang tuanya tidak siap, atau sebaliknya. Anak saya yang pertama sejak SMP, namun yang kedua semangat masuk pesantren diusia SMP, tapi gagal hanya kuat 3 bulan anaknya nangis terus.
Balik ke SMP biasa, ketika mau SMA anaknya mau mencoba lagi. Akhirnya berhasil. Alhamdulillah bahkan sudah hafidz 30 juz.
Aspek lingkungan keluarga, kejiwaan, dan pembentukan pola pikir menjadi pondasi anak itu siap atau tidak. Ujungnya kita tawakal dengan banyak berdoa.
Wallahu a'lam
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
🌀CLoSSiNG STaTeMeNT🌀
Sabda Rasulullah ﷺ:
”Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Alloh ﷻ memudahkan baginya jalan ke surga. Dan sesungguhnya malaikat membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena puas dengan apa yang diperbuatnya, dan bahwasanya penghuni langit dan bumi sampai ikan yang ada di lautan itu senantiasa memintakan ampun kepada orang yang pandai. Kelebihan si alim terhadap si ‘abid adalah bagaikan kelebihan bulan purnama terhadap bintang-bintang yang lain. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi dan bahwasanya para Nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham (kekayaan duniawi) tetapi para Nabi mewariskan ilmu pengetahuan, maka barangsiapa yang mengambil (menuntut ilmu maka ia telah mengambil bagian yang sempurna.” (HR. Abu Daud dan At Turmudzi)
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar