OLeH: Ustadz Syahirul Alim
💘M a T e R i💘
💎SPIRIT ISRA' DAN MI’RAJ NABI MUHAMMAD ﷺ
Salah satu puncak spiritualitas manusia adalah bertemu langsung dengan Yang Menciptakannya, yaitu Tuhan. Pertemuan ini adalah entitas paling tinggi dari seluruh esensi kehidupan manusia dan hal inilah yang dicari oleh siapapun, termasuk yang paling tampak bagaimana para sufi atau mistikus mengelaborasi teori-teori tertentu yang menggambarkan realitas pertemuan dengan Tuhan. Teori emanasi atau monisme yang dibawa para sufi abad pertengahan, seperti al-Hallaj, Suhrawardi, atau Ibu Arabi jelas menunjukkan bagaimana mengolah aspek spiritual secara lebih tegas: penyatuan dengan alam raya dan pada puncaknya penyatuan dengan sang Maha Pencipta. Berbagai teori gnosis yang barangkali merefleksikan filsafat yang rasional-empirik dan tasawuf yang transendental-mistik mendapatkan momentumnya pada aras “penyatuan” dimensi kemanusiaan dan dimensi Ketuhanan. Sulit memang merasionalisasikan berbagai teori gnosis ini, namun bahwa ajaran-ajarannya yang unik dan spekulatif sangat menarik untuk didiskusikan. Saya tentu tidak mendiskusikan persoalan tersebut, karena dalam hal ini, saya ingin menyatakan bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ merupakan entry point yang dipergunakan oleh para mistikus Muslim mengelaborasi lebih jauh tentang teori-teori mistiknya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ jelas diabadikan dalam Al-Quran, bahkan diperkuat oleh beberapa hadis yang secara genealogi inetelektualnya menduduki status “terpercaya”. Kita tentu saja tak perlu mempertanyakan apakah peristiwa ini rasional atau tidak rasional, terlebih terdapat perdebatan apakah Nabi Muhammad ﷺ melakukannya dalam kesadarannya (ruh dan jasadnya) atau hanya peristiwa spiritual (hanya ruh saja) ketika Nabi ﷺ melakukan perjalanan hanya kurang dari satu malam, berjalan dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Ilia, Palestina. Kemudian disusul dengan “naiknya” beliau ke “Sidratul Muntaha”—suatu tempat tak berujung, sehingga seolah-olah inilah representasi “tempat terakhir” dari tempat apapun yang ada di dunia. Bagi saya, ini merupakan mukjizat Tuhan yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki, sehingga setiap mukjizat tidak membutuhkan rasio untuk mengukurnya kecuali keyakinan bahwa mukjizat diberikan kepada manusia tertentu yang memiliki kedekatan khusus dengan Tuhannya.
Isra' dan Mi’raj adalah peristiwa luar biasa, fakta dan bukan fiksi sebagaimana yang juga banyak dinilai oleh kalangan rasionalis. Faktual, sama seperti peristiwa lahirnya Isa AS tanpa ayah dari rahim Maryam RA atau Adam AS sebagai manusia pertama yang bahkan tidak “dilahirkan” tetapi langsung diciptakan oleh Tuhan dari sari pati tanah. Akal manusia tentu sangat terbatas, sehingga wajar ketika rasionalisasi lahir di Barat pada abad ke-16 tidak bertahan lama dan digantikan oleh cara pandang empirik yang tidak selalu positivistik. Empirisisme tidak selalu didasarkan oleh cara pandang rasional dengan ukuran-ukuran wajar, namun empiris juga merupakan bagian dari pengalaman individual yang justru lebih objektif karena mengalami langung setiap peristiwa tertentu lalu “diterjemahkannya” kedalam realitas-realitas empirik yang rasional. Etika, merupakan entitas lain yang mengontrol rasionalisme, sehingga ukuran-ukuran kebenaran dibaca melalui standar etika, setelah melalui penalaran rasional par excellence.
Membaca peristiwa Isra dan Mi’raj berarti membaca agama yang erat kaitannya dengan etika, bukan semata-mata peristiwa ilmiah yang diukur melalui standar rasio yang terbatas. Dalam tradisi ilmiah modern, terdapat sesuatu yang tak dapat dijangkau akal, yaitu “fenomena” dimana menurut persepsi Rudolf Otto bahwa peristiwa atau pengalaman keagamaan memuat sebuah “numena” (yang suci) yang harus ditetapkan sebagai suatu “sui generis”, meskipun tidak sesuai dengan kriteria rasional. Melalui pendekatan fenomenologis atas berbagai peristiwa keagamaan tertentu, maka kita dapat memberikan ukuran-ukurannya secara “objektif” dengan melibatkan kerangka “subjektivitas” dari orang-orang yang beriman.
Hampir dipastikan bahwa manusia pada dasarnya cenderung ke arah spiritual dibandingkan yang material, terlebih melihat tren sejarah manusia di abad ke-21 ini. Di hampir seluruh negara, tidak ada yang mengesampingkan aspek religius dalam pengertian formal, bahkan seluruh aturan negara, kebijakan pemerintah yang tertulis dalam undang-undang tetap menyebutkan agama atau “spirit” sebagai bagian dari kehidupan bernegara. Terutama sumpah presiden yang hampir di negara manapun selelu melibatkan nama Tuhan didalamnya dan simbol kitab suci yang dihadirkan, bukanlah pelengkap sumpah tetapi satu hal yang tak bisa ditawar-tawar. Tidak ada manusia yang benar-benar “atheis” atau “mengingkari adanya Tuhan”, paling tidak, sekalipun mereka bersikap agnostik, kita tidak pernah tahu dan mengukur sejauh mana “keingkaran” mereka terhadap seluruh keteraturan alam raya ini dan pada akhirnya meyakini dalam hati kecilnya, bahwa ada sebuah kekuatan yang tidak terlihat yang mengatur ritme dan harmonisasi denyut kehidupan alam semesta.
🔷🌷🔷
Sebagai Muslim, saya selalu diingatkan akan sebuah peristiwa luar biasa, peristiwa fenomenologis yang hanya dipahami oleh pendekatan iman, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj yang dialami pribadi agung Nabi Muhammad ﷺ merupakan hal yang juga dapat dialami oleh setiap manusia dengan cara atau bentuk yang berbeda-beda. Perjalanan Nabi dari Mekah ke Yerussalem, menunjukkan aspek spiritualitas dalam memuaskan kehidupan beragama, melihat bahwa Mekah dengan simbol “Ka’bah” yang menjadi kiblat umat Muslim di dunia, hendaknya tidak melupakan realitas agama Tuhan sebelumnya dimana simbol suci itu ditunjukkan melalui Baitul Maqdis di Palestina, sebuah entitas kesucian agama dalam tradisi Yahudi-Kristen yang juga bagian dari tradisi Islam. Majid al-Aqsha tentu saja pernah menjadi kiblat umat Muslim selama berabad-abad, sebelum kemudian pada kira-kira 623 M, Nabi Muhammad ﷺ mengubahnya ke arah Ka’bah sebagai kiblat baru umat Muslim. Melalui peristiwa Isra ini kita lebih diajak pada suasana spiritual keagamaan secara lebih toleran, dimana terdapat tradisi-tradisi atau agama-agama lain yang hidup secara berdampingan.
Puncak spiritualistas yang paling tinggi adalah pertemuan manusia dengan Tuhan dan ini merupakan bagian inheren dari seluruh ajaran agama manapun. Konsep “pertemuan” ini paling inti dalam ajaran Islam sebagaimana dielaborasi dalam konsep Tauhid, dimana konsep ini lebih sering berkonotasi “penyatuan” antara manusia dengan Tuhan, daripada sekadar “pengakuan” terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Tunggal. Sebagai manusia agung yang terpilih, Nabi Muhammad ﷺ diizinkan untuk melakukan “mi’raj” bertemu langsung dengan Tuhan dan ini merupakan esensi dari seluruh ajaran Tauhid yang dikembangkan dalam aspek teologi Islam.
Perjumpaan Nabi dengan Tuhan ini menghasilkan sebuah “kesepakatan” yaitu praktik ritual bagi setiap Muslim yang dikenal dengan “sholat” dimana dalam pengertian leksikalnya adalah “doa”. Shalat, merupakan sarana bagi setiap Muslim untuk “naik” (mi’raj) untuk bertemu secara spiritual dengan Tuhan dan hampir tidak ada ritual sejenis yang mampu meningkatkan spiritualitas seorang Muslim, kecuali ketika dia melaksanakan, memahami, bahkan mengaktualisasikan setiap shalatnya. Shalat merupakan entitas tertinggi dari puncak spiritualitas seorang Muslim, yang aktualisasi sebenarnya berupa nilai-nilai kemanusiaan yang paling hakiki: shalat akan mencegah perbuatan keji dan munkar. Ketika manusia mencapai puncak spiritualitasnya melalui kesempurnaan shalat, maka tidak akan ada keburukan diluar dirinya, sebab nilai spiritualitas senantiasa mengajaknya kepada kebaikan dan kemaslahatan.
Wallahu a'lam
🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
💘TaNYa JaWaB💘
0️⃣1️⃣ Riyanti ~ Yogja
1. Ada fenomena, kelompok umat muslim yang memaknai sholat itu ruhiyah only, tanpa perlu ada gerakan secara harfiah.Bagaimana menurut ustadz dengan fenomena ini?
2. Perjalanan isra' mi'roj Rasulullah ﷺ yang full mukjizat ini apakah bisa di tiru?
Sebagai contoh ada kyai yang bisa mengisi pengajian dalam waktu bersamaan di lebih dari satu tempat.
Syukron untuk pencerahannya.
🔷Jawab:
1. Sholat itu gerakan, bukan dimensi batin, dalam Al-Qur'an kata-kata yang mewajibkan sholat selalu didahului oleh "aqiimu" (dirikan, lakukan) kata "qama" itu fiil artinya perbuatan. Dan sholat itu gerakan-gerakannya langsung diajarkan malaikat Jibril kepada Nabi ﷺ bahkan seluruh Nabi sebelum Nabi Muhammad ﷺ gerakan sholatnya sama tidak ada yang berbeda. Apalagi ada kewajiban jika sholat tidak bisa berdiri sambil duduk, tidak bisa duduk, sambil berbaring, tidak bisa berbaring, dengan isyarat. Semuanya adalah gerakan bukan ruhiyah atau batiniyah, sholat ruhiyah itu mengada-ada, itu penafsiran sendiri. Sejak zaman Rasulullah ﷺ sampai sahabat, tabiin dan tabiittabiin semua sholat sama diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dan itu menunjukkan gerakan bukan sekadar batin.
2. Isra' dan Mi'raj hanya diberikan kepada Nabi Muhammad ﷺ, tidak pernah kepada Nabi lainnya, ini karena Nabi Muhammad ﷺ istimewa karena kesabaran dan perjuangannya yang melampaui batas manusia biasa. Isra' dan Mi'raj itu hadiah Alloh ﷻ kepada Nabi ﷺ setelah beliau ditinggal pamannya Abu Thalib wafat disusul wafatnya istri tercinta Khadijah RA. Kesabaran Nabi ﷺ dihadiahi Alloh ﷻ Isra' dan Mi'raj. Kalau fenomena ada seseorang yang diberi kelebihan seperti yang disebutkan ya bisa jadi ada dan itu adalah bagian dari karomah yang Alloh ﷻ anugerahkan karena ketaatan dan ketakwaan orang-orang yang dekat kepada Alloh ﷻ, tapi itu sebatas karomah jauh dari mu'jizat.
Wallahu a'lam
🌷Tadz, jika ada seorang muslim rajin sedekah, baik ke orang tua, tapi ninggalin sholat. Amal amalnya diterima Alloh ﷻ tidak ustadz?
🔷 Salah satu amal yang pertama kali ditanya di akhirat adalah sholat. Jika sholatnya baik maka pasti seluruh amaliahnya baik, sebaliknya jika sholatnya buruk maka seluruh amaliyah nya pasti buruk atau tidak bernilai. Sholat itu tiang agama. Bagaimana tiang itu tegak, sedangkan dia sendiri meruntuhkannya?
Tidak ada amal yang paling istimewa kecuali sholat, sebab dengan sholat yang benar, seluruh amaliyah nya juga ikut baik. Silahkan dibuktikan, jika sholat diawali dengan khusyuk sejak berwudlu lalu kita berpasrah dengan gerakan-gerakan sholat seraya merasakan Alloh ﷻ melihat kita. Maka nilai sholat menjadi baik dan berdampak pada hal pencegahan dari perbuatan buruk dan munkar. Sedekah yang sedemikian banyak tidak akan memberikan dampak apapun, jika ia tidak melaksanakan sholat, maka pembeda muslim dan non muslim adalah sholatnya, bukan sedekahnya.
Wallahu a'lam
0️⃣2️⃣ Safitri ~ Banten
Ustadz berarti Nabi Muhammad ﷺ itu manusia pertama yang menunuju langit ke tujuh hanya dia yang bisa dan mampu melakukan itu semua atas kehendak Alloh ﷻ dalam sehari semalam, kalau astronot itu menjelajah luar angkasa tapi mereka tidak sampai bisa menembus langit ke tujuh kan ustadz?
🔷Jawab:
Kita jangan berpikir dalam kerangka pikiran manusia, karena pikiran manusia itu ada batasnya. Bacalah peristiwa ini dari kerangka iman, karena apapun yang menjadi kehendak Alloh ﷻ yang tidak bisa kita pikirkan pasti terjadi. Nabi ﷺ diperjalankan (Isra') berarti ada keterlibatan Alloh ﷻ didalamnya sehingga segala hal yang melibatkan Alloh ﷻ didalamnya tidak bisa dihitung oleh hitungan akal manusia, sama halnya dengan barokah. Ketika dihubungkan dengan harta yang barokah, bukan kuantitasnya atau jumlahnya yang banyak, tetapi manfaat dan kebaikannya yang terasa. Jadi kira-kira begitu manghubungkan peristiwa isra' dan mi'raj dengan kehebatan para astronot yang menembus langit.
Wallahu a'lam
0️⃣3️⃣ Aretta ~ Jatim
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillh senang sarasa bisa ikut kajian online terutama materi ini. Yang ingin saya tanyakan:
1. Salah satu inti dari isro' dan mi'raj adalah penerimaan wahyu sholat. Di saat saya memberi materi isro' mi'raj dan sholat ada siswa masih SD yang bertanya "Kak sebenernya sholat itu kita menyembah siapa, Alloh ﷻ itu ada nggak sih seperti apa ya bentuknya. Bagaimana menjelaskan dengan bahasa dan kata-kata yang benar untuk anak kecil seusia SD agar mereka mudah memahami.
2. Dari isro' Mi'raj Alloh ﷻ menghibur Nabi Muhammad ﷺ yang sedang ditimpa duka dengan perjalanan ibadah. Disaat manusia biasa seperti saya atau suami terkadang sering kali down apabila ada masalah. Nah bagaimana kiat-kiat yang benar untuk memotivasi diri sendiri atau suami agar lekas move on, apakah dibenarkan jika mengambil sisi historis dari kisah perjalanan isro' Mi'raj.
Terima kasih
🔷Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh
1. Mudah menjelaskannya, beri analogi misal bahwa udara itu seperti apa? Ada apa tidak? Tetapi kita bisa merasakan udara itu kita hirup setiap hari dan kita hidup sangat bergantung kepada udara. Angin itu seperti apa? adakah bentuknya? tetapi ketika kita duduk di siang hari dibawah pohon tetapi ada hembusan angin kita merasakan nikmatnya angin tersebut. Tuhan itu tidak sama dengan manusia, karena manusia itu ciptaan dan Alloh ﷻ yang menciptakan. Kalau ada tukang kayu membikin meja, apakah tukang kayu itu sama dengan meja? Tentu tidak...
Untuk memberi jawaban kepada anak-anak harus menggunakan ilustrasi, analogi, atau perumpamaan sehingga daya imajinasi anak bisa terbawa dalam alam kebenaran.
2. Setiap orang pasti diuji oleh musibah dan juga kesenangan, keduanya ujian. Diuji yang nikmat kita bersyukur diuji yang kurang enak kita bersabar. Intinya bahwa segala kehendak Alloh ﷻ itu baik, sekalipun yang kita rasakan tidak baik. Jika kita pasrah atas apa yang dikehendaki Alloh ﷻ, maka Alloh ﷻ akan tambahkan nikmat kepada kita, sebaliknya jika kita malah tidak terima, maka ingat adzab Alloh ﷻ sangatlah pedih, begitu kira-kira pandangan orang-orang yang beriman.
Wallahu a' lam
🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
💘CLoSSiNG STaTeMeNT💘
Mungkin sepatah kata penyemangat:
Tetaplah belajar dan bertebaran lah dalam mencari kebenaran.
Menuntut ilmu itu wajib, tidak terbatas umur.
Tetaplah istiqomah dalam mencari ilmu.
Istiqamah dalam mencari kebenaran.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar