Minggu, 29 Desember 2019
SERTIFIKASI PRA NIKAH
OLeH: Bunda Rizki Ika Sahana
💘M a T e R i💘
Bismillahirrahmaanirrahiim..
Berkaitan dengan tema kita malam ini, yakni wacana sertifikasi pra nikah, ada beberapa catatan yang perlu kita ketahui bersama..
▪1. Wacana sertifikasi pra nikah dilandingkan oleh Kementrian Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).
▪2. Tujuannya adalah membangun SDM melalui ketahanan keluarga. Ini diaampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang PMK, Muhadjir Effendy. Muhajir mengatakan persoalan SDM Indonesia dimulai dari keluarga.
▪3. Sementara itu, kualitas sebuah keluarga, baik-buruknya, kuat-lemahnya, dimulai dari pernikahan. Sehingga sebelum menikah harus lulus seleksi.
Itu gambaran umumnya ya, ukhti-ukhti shalihah.
▪4. Tujuan sertifikasi pra nikah yang lainnya adalah memutus lingkaran kemiskinan dan turunannya, seperti problem stunting yang sudah booming.
Nahhh...
Sebenarnya saya ingin mengajak teman-teman semua untuk menganalisa, benarkah sertifikasi pra nikah ini bisa menyelesaikan masalah ketahanan keluarga, kemiskinan, stunting atau gizi, meredakan angka perceraian yang tinggi yang berimbas pada kualitas generasi???
🌸Belum tentu juga, dan tidak menjamin juga bund.
🔷Jawaban yang cerdas.
Kenapa ukh, kok tidak menjamin?
Boleh berbagi yaa...
🌸Karena begini bun di adakan sertifikat seperti begini atau pra nikah selama 3 bulan bakal mempererat rumah tangga dan lain-lain tidak bakal terjadi perceraian dan sebaginya kan kita tidak tahu kehidupan kedepannya seperti apa dan masalah apa yang kita hadapi nanti apa kita sama-sama bisa menyesaikannya atau tidak namanya manusia kan apalagi masalah rumah tangga yang tidak mungkin bakal manis terus.
🔷Ashiaaappp...
Jadi ceritanya pemerintah sebenarnya sedang melakukan upaya untuk meminimalisir problem-problem yang muncul dari pernikahan yang tidak dipersiapkan dengan baik akan nekad.
Namun, wacana yang akan diberlakukan mulai 2020 ini mendapat reapon pro dan kontra dari berbagai elemen.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, misalnya, tidak sepakat dengan aturan tersebut, karena menganggap pernikahan urusan privat yang tidak perlu ditangani negara. Dia juga mempertanyakan fungsi sertifikat nikah. Jika sudah dapat sertifikat nikah, kemudian ternyata bercerai juga, apakah yang bersangkutan akan mendapatkan sanksi oleh negara?
Saya tidak akan membahas persoalan-persoalan teknis yang akan banyak bermunculan dari aturan baru tersebut ya, ukhti-ukhti shalihah...
Termasuk misalnya, yang sudah terlanjur hamil karena pergaulan bebas, bisa saja nanti menyuap untuk mendapatkan sertifikasi nikah dan mulus melangsungkan akad.
Saya akan membahas dari sisi sertifikasi nikah ini apakah benar-benar akan mengantarkan pada tujuannya seperti yang dijanjikan dan dirumuskan.
Faktanya, banyak calon pengantin yang Sudah Memahami relasi yang baik dalam pernikahan (antara suami-istri), hukum-hukum seputar rumah tangga, gizi yang seharusnya diberikan sebagai asupan terbaik, juga bagaimana menerapkan prioritas dalam mengelola keuangan keluarga. Namun tetap saja pada praktiknya, mereka tidak bisa mulus menjalankan idealisme yang mereka pahami karena terkendala banyak hal.
Kendala-kendala tersebut seringkali justru berasal dari luar keluarga. Seperti cost pendidikan, kesehatan, juga biaya hidup sehari-hari yang tinggi, bahkan meski sudah mengatur dan mengelola dengan sebaiknya, tetap saja banyak keluarga tidak memiliki daya beli dan ketahanan finansial yang layak, sehingga tidak mampu memberikan gizi untuk anak-anak (sehingga stunting mengancam), tidak mampu memberikan kualitas pendidikan dan kesehatan terbaik. Sementara lapangan pekerjaan juga sengat terbatas.
Tapi, diantara ribuan bahkan jutaan pencari kerja, lapangan pekerjaan yang tersedia sangat sedikit, tidak sebanding.
Liberalisasi juga luar biasa tumbuh subur, bahkan dipropagandakan melalui media, sehingga fenomena PIL atau WIL, 'jajan' di luar, sudah mengemuka.
Ini menjadi salah satu pintu yang melahirkan potensi besar perceraian..
Termasuk bagaimana gerakan emansipasi (yang menuntut keadilan gender) mendorong para perempuan mengejar karir dibanding menjadi pendidik generasi, sehingga konflik dl rumah tangga tak terhindarkan karena terjadi kerancuan atau ketimpangan dlm pembagian peran.
Ini juga memicu perceraian.
Terbukti perceraian terbanyak justru kasus gugat cerai, yakni tuntutan perceraian oleh perempuan.
Karenanya, hanya mengandalkan calon pengantin, untuk menyelesaikan problem ketahanan keluarga, kemiskinan, stunting, perceraian, sungguh absurd.
Karena justru sumber masalah terbesar berasal dari luar keluarga.
Sehingga seharusnya, melibatkan kebijakan negara di berbagai lini untuk mengcover problem ini.
Tentunya kebijakan yang komprehensif, yang saling terkait, tidak terkotak-kotak dan berjalan sendiri-sendiri. Kebijakan yang padu.
Mungkin itu dulu yang bisa saya sampaikan.
Silahkan jika ada pertanyaan teman-teman.
🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
💘TaNYa JaWaB💘
0⃣1⃣ Fildzah ~ Tangerang
Bunda jadi yang harus di persiapkan para jofisa apa bunda untuk mempersiapkan pernikahan?
Orang tua saya kan bercerai saya pernah berpikir apa nanti pernikahan saya kata orang tua saya apa saya salah bunda?
🔷Jawab:
Bismillah...
Jazakillah khairan pertanyaan perdananya.
Persiapan paling utama adalah ilmu. Terutama ilmu bagaimana menghadapi kehidupan yang baru, yang jelas status kita berubah, yaa. Jadi nyonya, jadi istri, jadi ibu.
Apa hak dan kewajiban istri, bagaimana relasi suami-istri yang dibenarkan syariat, sejauh mana ketaatan istri kepada suami, urgensitas pengasuhan dan pendidikan anak, bagaimana mendidik dengan konsep Islam, soal perwalian, persusuan, hubungan silaturrahim dengan kerabat, mahram-non mahram, dan banyak lagi.
Termasuk soalan pengelolaan harta suami, Financial Intelligence dalam mengatur keuangan rumah tangga, karena memang akan diminta tanggung jawab pula oleh Allah.
Orang tua bercerai bukan penghalang anak menikah. Anak tetap bisa menikah dengan wali ayah kandungnya.
Begitu ya, Ukhti shalihah. Semoga selalu bersemangat mempersiapkannya mulai dari sekarang.
0⃣2⃣ Safitri ~ Banten
Assalamualikum bunda,
Kalau kita sudah punya tekad dan niat sudah mantap untuk menikah dan sudah tahu resiko apa saja yang bakal terjadi kedepanya kenapa mereka-mereka yang sudah menikah dan memilih berpisah karena alasan yang sepele itu terjadi kenapa bun?
Apa mereka melupakann prinsip mereka menikah atau memang mereka tidak mau menyelesaikan masalahnya?
🔷Jawab:
Wa'alaikumussalam warahmatullah...
Ukhti Safitri yang disayang Allah.
Banyak sekali motif orang bercerai dan ingin mengakhiri rumah tangganya, seperti kekerasan yang dialami, adanya pelalaian terhadap hak dan kewajiban suami atau istri, komunikasi yang buruk sehingga melahirkan konflik berkepanjangan, perzinahan, dan seterusnya.
Yang miris, di zaman ini, bahkan tanpa masalah pun bisa bercerai, dengan alasan boring, ingin ganti suasana.
Ini semua terjad karena Lemahnya Pemahaman Agama umat ditambah Serangan Liberalisasi yang diimpor dari Barat.
Institusi pernikahan tidak lagi dianggap sakral, suci, harus dijaga dan dipertahankan. Institusi pernikahan justru dianggap mengekang dan memenjara perempuan dengan berbagai peran yang tidak menghasilkan uang atau materi. Bakat perempuan jadi sia-sia, potensinya tidak tergali kemudian lenyap, ditelan berbagai rutinitas domestik rumah tangga yang dipandang hina.
Selain itu, karena pengaruh liberalisasi, suami atau istri mengedepankan tuntutan hak-haknya dalam rumah tangga berdasarkan sudut pandang individu, yakni sudut pandang dirinya, bukan dari sudut pandang syariah. Akhirnya masing-masing tidak mau mengalah dan merasa paling benar.
Padahal, hak dan kewajiban suami itu mestinya syariah yang menentukan, agar istri, suami, anak-anak, juga masyarakat, mendapatkan kebaikan dengan sempurna.
Demikian Ukhti, banyak problem yang memicu perceraian. Yang jelas, penyebab utamanya bisa dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar tadi, pemahaman agama yang lemah, dan arus liberalisasi yang massif.
🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
💘CLoSSiNG STaTeMeNT💘
Jadi begini, sertifikan nikah itu sebenarnya bukan solusi bagi masalah-masalah tadi (kemiskinan, perceraian, stunting, ketahanan keluarga), justru bisa menimbulkan problem-problem baru.
Misalnya secara tidak langsung mendorong pacaran (gaul bebas) karena menikah bagi para pemuda jadi ribet banyak persyaratan seperti harus mapan dulu, dan seterusnya.
Pemerintah seharusnya fokus menyelesaikan problem-problem masyarakat melalui kebijakannya yang padu dan terintegrasi, dengan political will yang kuat, sekaligus mempermudah para pemuda untuk menikah yang dengannya ibadah tertunaikan, terhindar dari fitnah, sekaligus mendorong, mensupport dan memfasilitasi keluarga-keluarga ini untuk melahirkan generasi yang handal.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar