Sabtu, 23 Juni 2018
SUNNAH-SUNNAH RAMADHAN
OLeh : Ustadz Farid Nu'man Hasan
💘M a T e R i💘
Assalamualaikum warahmatullah wa Barakatuh.
Materinya ini ya...
🌷Amalan Sunnah Selama Mengisi Ramadhan
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Berikut ini adalah amalan yang sesuai sunah Nabi, baik sunah qauliyah dan fi’liyah yang bisa kita lakukan selama bulan Ramadhan.
1. Bersahur
Dalilnya:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Bersahurlah kalian, karena pada santap sahur itu ada keberkahan.” (HR. Bukhari No. 1923, Muslim No. 1095)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
وقد أجمعت الامة على استحبابه، وأنه لا إثم على من تركه
"Umat telah ijma’ atas kesunahannya, dan tidak berdosa meninggalkannya." (Fiqhus Sunnah, 1/455)
Beliau menambahkan:
وسبب البركة: أنه يقوي الصائم، وينشطه، ويهون عليه الصيام.
Sebab keberkahannya adalah karena sahur dapat menguatkan orang yang berpuasa, menggiatkannya, dan membuatnya ringan menjalankannya. (Ibid, 1/456)
Keutamaannya:
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
السَّحُورُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلَا تَدَعُوهُ، وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Makan sahur adalah berkah, maka janganlah kalian meninggalkannya, walau kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan orang yang makan sahur. (HR. Ahmad No. 11086, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 11086)
Dari Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُور
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah pada makan sahur.” (HR. Muslim No. 1096)
Dari hadits dua ini ada beberapa faedah:
√ Anjurannya begitu kuat, sampai nabi meminta untuk jangan ditinggalkan.
√ Sahur sudah mencukupi walau dengan seteguk air minum.
√ Allah ‘Azza wa Jalla dan para malaikat mendoakan (bershalawat) kepada yang makan sahur.
√ Orang kafir Ahli Kitab juga berpuasa, tapi tanpa sahur.
√ Berpuasa tanpa sahur secara sengaja dan terus menerus adalah menyerupai Ahli kitab.
Disunnahkan menta’khirkan sahur:
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
"Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya." (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)
Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir." (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)
2. Tadarus Al Quran dan Mengkhatamkannya
Bulan Ramadhan adalah bulan yang amat erat hubungannya dengan Al Quran, karena saat itulah Al Quran diturunkan. Oleh karenanya aktifitas bertadarus (membaca sekaligus mengkaji) adalah hal yang sangat utama saat itu, dan telah menjadi aktifitas utama sejak masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan generasi terbaik.
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:
وَكَانَ جِبْرِيلُ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ
Jibril menemuinya pada tiap malam malam bulan Ramadhan, dan dia (Jibril) bertadarus Al Quran bersamanya. (HR. Bukhari No. 3220)
Faedah dalam hadits ini adalah:
√ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melakukan tadarus Al Quran bersama Malaikat Jibril
√ Beliau melakukannya setiap malam, dan dipilihnya malam karena waktu tersebut biasanya waktu kosong dari aktifitas keseharian, dan malam hari suasana lebih kondusif dan khusyu.’
Bukan hanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi ini juga perilaku para sahabat dan generasi setelah mereka.
Imam An Nawawi Rahimahullah menceritakan dalam kitab At Tibyan fi Aadab Hamalatil Quran, bahwa diriwayatlan oleh As Sayyid Al Jalil Ahmad Ad Dawraqi dengan sanadnya, dari Manshur bin Zaadaan, dari para ahli ibadah tabi’in – semoga Allah meridhainya- bahwasanya pada bulan Ramadhan dia mengkhatamkan Al Quran antara zhuhur dan ashar, dan juga mengkhatamkan antara maghrib dan isya, dan mereka mengakhirkan isya' hingga seperampat malam.
Imam Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Mujahid mengkhatamkan Al Quran antara maghrib dan isya. Dari Manshur, katanya bahwa Al Azdi mengkhatamkan Al Quran setiap malam antara maghrib dan isya pada bulan Ramadhan.
Ibrahim bin Sa’ad menceritakan: bahwa ayahku kuat menahan duduk dan sekaligus mengkhatamkan Al Quran dalam sekali duduk. Ada pun yang sekali khatam dalam satu rakaat shalat tidak terhitung jumlahnya karena banyak manusia yang melakukannya, seperti Utsman bin ‘Affan, At Tamim Ad Dari, Sa’id bin Jubeir –semoga Allah meridhai mereka- yang khatam satu rakaat ketika shalat di dalam Ka’bah.
Ada juga yang khatam dalam sepekan, seperti Utsman bin ‘Affan, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, dan segolongan tabi’in seperti Abdurrahman bin Yazid, Al Qamah, dan Ibrahim – semoga Allah merahmati mereka semua.
(Lingkapnya lihat Imam An Nawawi, At Tibyan, Hal. 60-61)
3. Bersedekah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai teladan kita telah mencontohkan akhlak yang luar biasa yaitu kedermawanan. Hal itu semakin menjadi-jadi ketika bulan Ramadhan.
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَأَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
"Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling dermawan, dan kedermawanannya semakin menjadi-jadi saat Ramadhan apalagi ketika Jibril menemuinya. Dan, Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan dia bertadarus Al Quran bersamanya. Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam benar-benar sangat dermawan dengan kebaikan laksana angin yang berhembus." (HR. Bukhari No. 3220)
4. Memberikan makanan atau minuman buat orang yang berbuka puasa
Dari Zaid bin Khalid Al Juhani Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
"Barang siapa yang memberikan makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa maka dia akan mendapatkan pahala sebagaimana orang tersebut, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang itu."
(HR. At Tirmidzi No. 807, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 21676, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 3332. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3952. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6415. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih. Lihat ta’liq Musnad Ahmad No. 21676, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3775)
Para ulama berbeda pendapat tentang batasan “memberikan makanan untuk berbuka”. Sebagian menilai itu adalah makanan yang mengenyangkan selayaknya makanan yang wajar. Sebagian lain mengatakan bahwa hal itu sudah cukup walau memberikan satu butir kurma dan seteguk air.
Pendapat yang lebih kuat adalah –Wallahu A’lam- pendapat yang kedua, bahwa apa yang tertulis dalam hadits ini sudah mencukupi walau sekedar memberikan seteguk air minum dan sebutir kurma, sebab hal itu sudah cukup bagi seseorang dikatakan telah ifthar (berbuka puasa).
5. Memperbanyak doa
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالْإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوم
Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak:
1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka,
2. Pemimpin yang adil,
3. Doa orang teraniaya. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)
Berdoa diwaktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berikut ini adalah doanya:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca: “Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7922, Ad Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An Nasa’i dalam As sunan Al Kubra No. 3329, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim." Al Bazzar No. 4395. Dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)
Sedangkan doa berbuka puasa: Allahumma laka shumtu ... dan seterusnya, dengan berbagai macam versinya telah didhaifkan para ulama, baik yang dari jalur Muadz bin Zuhrah secara mursal, juga jalur Anas bin Malik, dan Ibnu Abbas.
(Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/444-445. Imam An Nawawi, Al Adzkar, 1/62. Imam Abu Daud, Al Maraasiil, 1/124, Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 3/371. Syaikh Al Albani juga mendhaifkan dalam berbagai kitabnya)
Tapi, para ahli fiqih diberbagai madzhab membolehkan menggunakan doa ini sebab itu lingkup Fadhailul A'mal yang tidak mengapa dengan hadits dhaif selama tidak sampai palsu, isinya tidak bertentangan dengan Islam, dan tidak menyandarkan ke Rasulullah ﷺ.
6. Menyegerakan berbuka puasa
Dari ‘Amru bin Maimun Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم أعجل الناس إفطارا وأبطأهم سحورا
"Para sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling bersegera dalam berbuka puasa, dan paling akhir dalam sahurnya." (HR. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7916. Al Faryabi dalam Ash Shiyam No. 52. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 9025)
Imam An Nawawi mengatakan: “sanadnya shahih.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/362), begitu pula dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahkan menurutnya keshahihan hadits tentang bersegera buka puasa dan mengakhirkan sahur adalah mutawatir." (Lihat Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 17/9. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/199)
7. I’tikaf di - ‘asyrul awakhir
Dalilnya berdasarkan Al Quran, As Sunnah, dan Ijma’, yakni sebagai berikut:
- Al Quran
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Janganlah kalian mencampuri mereka (Istri), sedang kalian sedang I’tikaf di masjid." (QS. Al Baqarah : 187)
- As Sunnah
Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
"Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu." (HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
"Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari." (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228, Al Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843, Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)
- Ijma’
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang syariat I’tikaf:
وقد أجمع العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما.
"Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat." (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Hukumnya
Hukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar. Kesunahan ini juga berlaku bagi kaum wanita, dengan syarat aman dari fitnah, dan izin dari walinya, dan masjidnya kondusif.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وقد وقع الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد
"Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid." (Fathul Qadir, 1/245)
Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.
Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:
الاعتكاف ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا إلى الله، وطلبا لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر الاواخر من رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي لاعتكفن كذا.
وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: " من نذر أن يطيع الله فليطعه "
I’tikaf terbagi menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi (mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahalaNya dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal itu ditekankan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.
I’tikaf wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf sekian karena Allah. Atau karena nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ...
Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah, 1/475)
Wallahu A’lam
8. Qiyamur Ramadhan (Shalat Tarawih)
- Keutamaannya:
Shalat Tarawih memiliki keutamaan dan ganjaran yang besar, sebagaimana yang disebutkan oleh berbagai hadits shahih, yakni di antaranya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 37, Muslim No. 759)
Hadits lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِ
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dia bersabda: “Barangsiapa yang shalat malam ketika lailatul qadar karena iman dan mengharap ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 1901, Muslim No. 760, ini lafaz Bukhari)
Mengomentari hadits di atas, Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:
أَنْ يُقَال قِيَام رَمَضَان مِنْ غَيْر مُوَافَقَةِ لَيْلَة الْقَدْر وَمَعْرِفَتهَا سَبَب لِغُفْرَانِ الذُّنُوب ، وَقِيَام لَيْلَة الْقَدْر لِمَنْ وَافَقَهَا وَعَرَفَهَا سَبَب لِلْغُفْرَانِ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ غَيْرهَا
“Bahwa dikatakan, shalat malam pada bulan Ramadhan yang tidak bertepatan dengan lailatul qadar dan tidak mengetahuinya, merupakan sebab diampunya dosa-dosa. Begitu pula shalat malam pada bulan Ramadhan yang bertepatan dan mengetahui lailatul qadar, itu merupakan sebab diampuni dosa-dosa, walau pun dia tidak shalat malam pada malam-malam lainnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)
Imam Abu Thayyib Muhammad Syamsuddin Abadi Rahimahullah berkata dala kitabnya, ‘Aunul Ma’bud:
( إِيمَانًا ) : أَيْ مُؤْمِنًا بِاللَّهِ وَمُصَدِّقًا بِأَنَّهُ تَقَرُّب إِلَيْهِ ( وَاحْتِسَابًا ) : أَيْ مُحْتَسِبًا بِمَا فَعَلَهُ عِنْد اللَّه أَجْرًا لَمْ يَقْصِد بِهِ غَيْره
“(Dengan keimanan) maksudnya adalah dengan keimanan kepada Allah, dan meyakini bahwa hal itu merupakan taqarrub kepada Allah Ta’ala. (Ihtisab) maksudnya adalah mengharapkan bahwa apa yang dilakukannya akan mendapat pahala dari Allah, dan tidak mengharapkan yang lainnya.” (‘Aunul Ma’bud, 4/171)
Begitu pula yang dikatakan oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah:
وَالْمُرَاد بِالْإِيمَانِ الِاعْتِقَاد بِحَقِّ فَرْضِيَّةِ صَوْمِهِ ، وَبِالِاحْتِسَابِ طَلَب الثَّوَابِ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى
“Yang dimaksud ‘dengan keimanan’ adalah keyakinan dengan benar terhadap kewajiban puasanya, dan yang dimaksud dengan ‘ihtisab’ adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala.” (Fathul Bari, 4/115)
- Hukumnya
Hukum shalat tarawih adalah sunah bagi muslim dan muslimah, dan itu merupakan ijma’ (kesepakatan) para ulama sejak dahulu.
Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَاجْتَمَعَتْ الْأُمَّة أَنَّ قِيَام رَمَضَان لَيْسَ بِوَاجِبٍ بَلْ هُوَ مَنْدُوب
“Umat telah ijma’ bahwa qiyam ramadhan (tarawih) tidaklah wajib, melainkan sunah.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/40, Imam Abu Thayyib, ‘Aunul Ma’bud, 4/171)
Sunahnya tarawih, karena tak lain dan tak bukan adalah ia merupakan tahajudnya manusia pada bulan Ramadhan, oleh karena itu ia disebut Qiyam Ramadhan, dan istilah tarawih baru ada belakangan. Sedangkan tahajjud adalah sunah (mustahab/ mandub/ tathawwu’/nafilah).
Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah tahajjud sebagai nafilah (tambahan) bagimu.” (QS. Al Isra’ (17): 79)
Imam Qatadah Radhiallahu ‘Anhu berkata tentang maksud ayat “ nafilah bagimu”:
تطوّعا وفضيلة لك.
“Sunah dan keutamaan bagimu.” (Imam Abu Ja’far Ath Thabari, Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Quran, 17/526)
- Boleh dilakukan sendiri, tapi berjamaah lebih afdhal
Shalat terawih dapat dilakukan berjamaah atau sendiri, keduanya pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
قيام رمضان يجوز أن يصلى في جماعة كما يجوز أن يصلى على انفراد، ولكن صلاته جماعة في المسجد أفضل عند الجمهور.
“Qiyam Ramadhan boleh dilakukan secara berjamaah sebagaimana boleh pula dilakukan secara sendiri, tetapi dilakukan secara berjamaah adalah lebih utama menurut pandangan jumhur (mayoritas) ulama.” (Fiqhus Sunnah, 1/207)
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di masjid, lalu manusia mengikutinya, keesokannya shalat lagi dan manusia semakin banyak, lalu pada malam ketiga atau keempat mereka berkumpul namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak keluar bersama mereka, ketika pagi hari beliau bersabda:
قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
“Aku melihat apa yang kalian lakukan, dan tidak ada yang mencegahku keluar menuju kalian melainkan aku khawatir hal itu kalian anggap kewajiban. Itu terjadi pada bulan Ramadhan." (HR. Bukhari No. 1129, Muslim No. 761)
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
فَفِيهِ : جَوَاز النَّافِلَة جَمَاعَة ، وَلَكِنَّ الِاخْتِيَار فِيهَا الِانْفِرَاد إِلَّا فِي نَوَافِل مَخْصُوصَة وَهِيَ : الْعِيد وَالْكُسُوف وَالِاسْتِسْقَاء وَكَذَا التَّرَاوِيح عِنْد الْجُمْهُور كَمَا سَبَق
“Dalam hadits ini, menunjukkan bolehnya shalat nafilah dilakukan berjamaah, tetapi lebih diutamakan adalah sendiri, kecuali shalat-shalat nafilah tertentu (yang memang dilakukan berjamaah, pen) seperti: shalat ‘Ied, shalat gerhana, shalat minta hujan, demikian juga tarawih menurut pandangan jumhur, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/41)
Di dalam sejarah, sejak saat itu, manusia melakukan shalat tarawih sendiri-sendiri, hingga akhirnya pada zaman Umar Radhiallahu ‘Anhu, dia melihat manusia shalat tarawih sendiri-sendiri dan semrawut, akhirnya dia menunjuk Ubay bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu untuk menjadi imam shalat tarawih mereka, lalu Umar berkata:
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari No. 2010)
- Jumlah Rakaat
Masalah jumlah rakaat shalat tarawih sejak dahulu telah menjadi polemik hingga hari ini. Antara yang menganjurkan 8 rakaat dengan 3 rakaat witir, atau 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, bahkan ada yang lebih dari itu. Manakah yang sebaiknya kita jadikan pegangan? Ataukah semuanya benar, karena memang tak ada ketentuan baku walau pun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepanjang hidupnya hanya melaksanakan 11 rakaat? Dan apakah yang dilakukan oleh nabi tidak berarti wajib, melainkan hanya contoh saja?
Tarawih Pada Masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
“Bahwa Rasulullah tidak pernah menambah lebih dari sebelas rakaat shalat malam, baik pada bulan Ramadhan atau selainnya.” (HR. Bukhari No. 2013, 3569, Muslim No. 738)
Dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
جاء أبي بن كعب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إن كان مني الليلة شيء يعني في رمضان ، قال : « وما ذاك يا أبي ؟ » ، قال : نسوة في داري ، قلن : إنا لا نقرأ القرآن فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثمان ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ولم يقل شيئا
Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, semalam ada peristiwa pada diri saya (yaitu pada bulan Ramadhan).” Rasulullah bertanya: “Kejadian apa itu Ubay?”, Ubay menjawab: “Ada beberapa wanita di rumahku, mereka berkata: “Kami tidak membaca Al Quran, maka kami akan shalat bersamamu.” Lalu Ubay berkata: “Lalu aku shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, lalu aku witir,” lalu Ubay berkata: “Nampaknya nabi ridha dan dia tidak mengatakan apa-apa.” (HR. Abu Ya’la dalam Musnadnya No. 1801. Ibnu Hibban No. 2550, Imam Al Haitsami mengatakan: sanadnya hasan. Lihat Majma’ az Zawaid, Juz. 2, Hal. 74)
Dari keterangan dua hadits di atas, kita bisa mengetahui bahwa shalat tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup adalah delapan rakaat, dan ditambah witir, dan tidak sampai dua puluh rakaat. Oleh karena itu Syaikh Sayyid Sabiq berkomentar:
هذا هو المسنون الوارد عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يصح عنه شئ غير ذلك
“Inilah sunah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak ada sesuatu pun yang shahih selain ini.” (Fiqhus Sunnah, 1/206)
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata:
وَأَمَّا مَا رَوَاهُ اِبْنُ أَبِي شَيْبَةَ مِنْ حَدِيث اِبْن عَبَّاسٍ " كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَان عِشْرِينَ رَكْعَة وَالْوِتْرَ " فَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ ، وَقَدْ عَارَضَهُ حَدِيثُ عَائِشَة هَذَا الَّذِي فِي الصَّحِيحَيْن
“Dan ada pun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari hadits Ibnu Abbas, “Bahwa dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan ditambah witir” maka sanadnya dha’if, dan telah bertentangan dengan hadits dari ‘Aisyah yang terdapat dalam shahihain (Bukhari dan Muslim).” (Fathul Bari, 4/253) Imam Al Haitsami juga mengatakan: Dhaif. Lihat Majma’ Az Zawaid, 3/ 172)
Demikian keadaan shalat Tarawih pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masih hidup.
Tarawih Pada masa Sahabat Radhiallahu ‘Anhum dan generasi setelahnya
Pada masa sahabat, khususnya sejak masa khalifah Umar bin Al Khathab Radhilallahu ‘Anhu dan seterusnya, manusia saat itu melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat.
وصح أن الناس كانوا يصلون على عهد عمر وعثمان وعلي عشرين ركعة، وهو رأي جمهور الفقهاء من الحنفية والحنابلة وداود، قال الترمذي: وأكثر أهل العلم على ما روي عن عمر وعلي وغيرهما من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم عشرين ركعة، وهو قول الثوري وابن المبارك والشافعي، وقال: هكذا أدركت الناس بمكة يصلون عشرين ركعة
“Dan telah shah, bahwa manusia shalat pada masa Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan itulah pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih dari kalangan Hanafi, Hambali, dan Daud. Berkata At Tirmidzi: ‘Kebanyakan ulama berpendapat seperti yang diriwayatkan dari Umar dan Ali, dan selain keduanya dari kalangan sahabat nabi yakni sebanyak 20 rakaat. Itulah pendapat Ats Tsauri, Ibnul Mubarak. Berkata Asy Syafi’i: “Demikianlah, aku melihat manusia di Mekkah mereka shalat 20 rakaat.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206
Imam Ibnu Hajar menyebutkan:
وَعَنْ يَزِيد بْن رُومَانَ قَالَ " كَانَ النَّاس يَقُومُونَ فِي زَمَانِ عُمَر بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ " وَرَوَى مُحَمَّد بْن نَصْر مِنْ طَرِيق عَطَاء قَالَ " أَدْرَكْتهمْ فِي رَمَضَان يُصَلُّونَ عِشْرِينَ رَكْعَة وَثَلَاثَ رَكَعَاتِ الْوِتْر "
“Dari Yazid bin Ruman, dia berkata: “Dahulu manusia pada zaman Umar melakukan 23 rakaat.” Dan Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari Atha’, dia berkata: “Aku berjumpa dengan mereka pada bulan Ramadhan, mereka shalat 20 rakaat dan tiga rakaat witir.” (Fathul Bari, 4/253)
Beliau melanjutkan:
وَرَوَى مُحَمَّد اِبْن نَصْر مِنْ طَرِيق دَاوُدَ بْن قَيْس قَالَ " أَدْرَكْت النَّاس فِي إِمَارَة أَبَانَ بْن عُثْمَان وَعُمْر بْن عَبْد الْعَزِيز - يَعْنِي بِالْمَدِينَةِ - يَقُومُونَ بِسِتٍّ وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً وَيُوتِرُونَ بِثَلَاثٍ " وَقَالَ مَالِك هُوَ الْأَمْرُ الْقَدِيمُ عِنْدَنَا . وَعَنْ الزَّعْفَرَانِيِّ عَنْ الشَّافِعِيِّ " رَأَيْت النَّاس يَقُومُونَ بِالْمَدِينَةِ بِتِسْعٍ وَثَلَاثِينَ وَبِمَكَّة بِثَلَاثٍ وَعِشْرِينَ ، وَلَيْسَ فِي شَيْء مِنْ ذَلِكَ ضِيقٌ "
Muhammad bin Nashr meriwayatkan dari jalur Daud bin Qais, dia berkata: “Aku menjumpai manusia pada masa pemerintahan Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz –yakni di Madinah- mereka shalat 39 rakaat dan ditambah witir tiga rakaat.” Imam Malik berkata, ”Menurut saya itu adalah perkara yang sudah lama.” Dari Az Za’farani, dari Asy Syafi’i: “Aku melihat manusia shalat di Madinah 39 rakaat, dan 23 di Mekkah, dan ini adalah masalah yang lapang.” (Ibid)
Sementara itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengomentari tarawih-nya Ubay bin Ka’ab yang 20 rakaat, beliau berkata:
فَرَأَى كَثِيرٌ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ ؛ لِأَنَّهُ أَقَامَهُ بَيْن الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ . وَاسْتَحَبَّ آخَرُونَ : تِسْعَةً وَثَلَاثِينَ رَكْعَةً ؛ بِنَاءً عَلَى أَنَّهُ عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ الْقَدِيمِ .
“Kebanyakan ulama berpendapat bahwa itu adalah sunah, karena itu ditegakkan di antara kaum Muhajirin dan Anshar dan tidak ada yang mengingkarinya. Sedangkan ulama lainnya menyunnahkan 39 rakaat, lantaran itu adalah perbuatan penduduk Madinah yang telah lampau.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/112)
Lalu, yang lebih baik dari semua ini? Imam Ibnu Taimiyah berkata:
وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ جَمِيعَهُ حَسَنٌ كَمَا قَدْ نَصَّ عَلَى ذَلِكَ الْإِمَامُ أَحْمَد رَضِيَ اللَّهُ عَنْه
“Yang benar adalah bahwa itu semua adalah baik, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Imam Ahmad Radhiallahu ‘Anhu.” (Ibid). Semoga Allah merahmati Imam IbnuTaimiyah.
Telah masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat, demikian keterangannya:
وذهب مالك الى أن عددها ست وثلاثون ركعة غير الوتر.
قال الزرقاني: وذكر ابن حبان أن التراويح كانت أولا إحدى عشرة ركعة، وكانوا يطيلون القراءة فثقل عليهم فخففوا القراءة وزادوا في عدد الركعات فكانوا يصلون عشرين ركعة غير الشفع والوتر بقراءة متوسطة، ثم خففوا القراءة وجعلوا الركعات ستا وثلاثين غير الشفع والوتر، ومضى الامر على ذلك.
“Dan madzhab Imam Malik adalah 39 rakaat belum termasuk witir. Berkata Imam Az Zarqani: ‘Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih dahulunya adalah sebelas rakaat, mereka membaca surat yang panjang dan itu memberatkan bagi mereka, lalu mereka meringankan bacaan namun menambah rakaat, maka mereka shalat 20 rakaat belum termasuk witir dengan bacaan yang sedang-sedang, kemudian mereka meringankan lagi bacaannya dan rakaatnya menjadi 39 rakaat belum termasuk witir, dan perkara ini telah berlangsung sejak lama.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/206, cat kaki no. 2)
Jadi, para imam ini, tidak mempermasalahkan banyak sedikitnya rakaat. Namun mereka melihat pada esensinya yakni ketenangan dan kekhusyu’an. Jika mereka ingin membaca surat yang panjang, mereka menyedikitkan jumlah rakaat, jika mereka memendekkan bacaan, maka mereka memperbanyak jumlah rakaat.
Berkata Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu:
إِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ ، وَإِنْ أَكْثَرُوا السُّجُود وَأَخَفُّوا الْقِرَاءَةَ فَحَسَنٌ ، وَالْأَوَّل أَحَبُّ إِلَيَّ
“Sesungguhnya mereka memanjangkan berdiri dan menyedikitkan sujud maka itu baik, dan jika mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga baik, dan yang pertama lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 4/253)
Demikianlah pandangan bijak para imam kaum muslimin tentang perbedaan jumlah rakaat tarawih, mereka memandangnya bukan suatu hal yang saling bertentangan. Tetapi, semuanya benar dan baik, dan yang terpenting adalah mana yang paling dekat membawa kekhusyuan dan ketenangan bagi manusianya.
9. Umrah ketika Ramadhan adalah sebanding pahalanya seperti haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada seorang wanita Anshar bernama Ummu Sinan:
فَإِنَّ عُمْرَةً فِي رَمَضَانَ تَقْضِي حَجَّةً أَوْ حَجَّةً مَعِي
“Sesungguhnya Umrah ketika bulan Ramadhan sama dengan memunaikan haji atau haji bersamaku.” (HR. Bukhari No. 1863, Muslim No. 1256)
10. Menjauhi perbuatan yang merusak puasa
Perbuatan seperti menggunjing (ghibah), adu domba (namimah), menuruti syahwat (rafats), berjudi, dan berbagai perbuatan fasik lainnya, mesti dijauhi sejauh-jauhnya agar shaum kita tidak sia-sia.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ
"Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar saja." (HR. Ahmad No. 9685, Ibnu Majah No. 1690, Ad Darimi No. 2720)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 9685), Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: hadits ini shahih. (Sunan Ad Darimi No. 2720. Cet. 1, 1407H. Darul Kitab Al ‘Arabi, Beirut)
Sekian.
Wallahu A’lam
🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
💘TaNYa JaWaB💘
0⃣1⃣ Rustia
Ustadz, saya pernah membaca bahwa di bulan Ramadhan adzan shalat Isya’ diakhirkan setengah jam atau lebih dari waktu yang biasa. Jadi banyak yang menganggap waktu shalat Maghrib masih tersisa padahal sebenarnya waktu telah berakhir.
Benarkah demikian, ustadz?
🔷Jawab:
Tidak begitu, seharusnya adzan berlangsung seperti biasa saja.
Wallahu a'lam.
0⃣2⃣ Han
Bagaimana bila bersedekah itu kadang lebih kasihnya ke orang yang kurang mampu, yatim dan lain-lain daripada ke saudara sendiri yang kekurangan.
Bagaimana sebaiknya ustadz?
🔷Jawab:
Sedekah ke saudara sendiri yang tidak mampu lebih utama, sebab dia dapat dua Keutamaan: sedekah dan silaturrahim.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الصَّدَقَةُ عَلَى المِسكينِ صَدَقةٌ ، وعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ : صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Bersedekah kepada orang miskin adalah sedekah, bersedekah kepada orang yang punya hubungan persaudaraan ada dua macam keutamaan: bersedekah dan silaturrahim.
(HR. At Tirmidzi No. 657, katanya: hasan)
Dalam hadits lain:
دينار أنفقته في سبيل الله ودينار أنفقته في رقبة ودينار تصدقت به على مسكين ودينار أنفقته على أهلك أعظمها أجرا الذي أنفقته على أهلك
"Dinar yang kau infakkan fisabilillah, dinar yang kau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang kau pakai untuk bersedekah ke orang miskin, dan dinar yang kau infakkan untuk keluargamu, maka pahala yang paling besar adalah dinar yang kau nafkahkan untuk keluargamu."
(HR. Muslim No. 995)
Demikian, Wallahu a'lam.
0⃣3⃣ Erna
Ustadz tadi di jelaskan bahwa sholat tarawih sebaiknya di kerjakan berjamaah, bagaimana dengan wanita baiknya ke masjid atau hanya di rumah saja?
🔷Jawab:
Wanita Afdhalnya di rumah, apalagi kalau bisa berjamaah sama orang rumah.
🌷 Tarawih Bagi Muslimah; Di Masjid atau Rumah?
Assamualaikum ustadz,
1. Manakah yang lebih baik dilakukan wanita ikut sholat tarawih di mesjid atau sholat tarawih sendiri di rumah?
2. Apakah itikaf juga merupakan sunah bagi wanita?
^^^^^
🔷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah ..., Bismillah wal Hamdulillah ..
Ada dua pertanyaan ya..
PERTAMA
Tarawih Bagi Muslimah di Masjid atau di Rumah.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam betsabda:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah yang wanita terhadap masjid-masjid Allah." (HR. Al Bukhari No. 900, dari Ibnu Umar)
Dalam hadits lain:
وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها
"Sebaik-baiknya shaf bagi wanita adalah yang paling belakang dan yang terburuk adalah yang paling depan." (HR. Muslim No. 440, dari Abu Hurairah)
Maka, dua hadits ini menunjukkan bahwa wanita dibolehkan shalat di masjid. Selama tetap menjaga adab-adab Islam.
Tetapi, memang lebih utama di rumah, hal ini berlaku baik shalat wajib dan shalat sunnah.
Hal ini berdasarkan pada hadits berikut:
صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا
“Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di kamar rumahnya, dan shalat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di ruangan lain di rumahnya” (HR. Abu Dawud 570. Al Hakim, No. 757, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim)
Tetapi, jika sedang di Mekkah maka shalat di Masjidil Haram lebih utama di banding di rumahnya.
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu 'Anhu berkata:
مَا لِامْرَأَةٍ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا، إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
"Tidak ada yang lebih utama bagi shalat wanita dibanding di rumahnya, kecuali di masjidil haram." (Akhbar Makkah Lil Fakihi, 1204)
PERTANYAAN KEDUA, i'tikaf kaum muslimah
I'tikafnya kaum wanita di masjid saat 10 malam terakhir Ramadhan adalah sunah, sebagaimana kaum laki-laki, hanya saja terikat oleh syarat.
Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
"Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu."
(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)
Syaikh Al Albani Rahimahullah mengomentari hadits ini:
وفيه دليل على جواز اعتكاف النساء أيضا ولا شك أن ذلك مقيد بإذن أوليائهن بذلك وأمن الفتنة والخلوة مع الرجال للأدلة الكثيرة في ذلك والقاعدة الفقهية : درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
"Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya I’tikaf bagi wanita juga, dan tidak ragu bahwa kebolehan itu terikat dengan izin para walinya, atau aman dari fitnah, dan aman dari berduaan dengan laki-laki lantaran banyak dalil yang menunjukkan hal itu, juga kaidah fiqih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding mengambil maslahat." (Qiyamur Ramadhan, Hal. 35. Cet. 2. Maktabah Islamiyah, ‘Amman. Jordan).
Selain itu, hendaknya wanita I’tikaf di masjid yang memungkinkan dan kondusif bagi mereka.
Berkata Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
وإذا اعتكفت المرأة في المسجد، استحب لها أن تستتر بشيء؛ لأن أزواج النبي صلّى الله عليه وسلم لما أردن الاعتكاف أمرن بأبنيتهن، فضربن في المسجد، ولأن المسجد يحضره الرجال، وخير لهم وللنساء ألا يرونهن ولا يرينهم.
“Jika wanita I’tikaf di masjid, dianjurkan dia membuat penutup dengan sesuatu, karena para isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak i’tikaf, Beliau memerintahkan mereka untuk menjaga diri, lalu mereka mendirikan kemah di masjid, karena masjid dihadiri kaum laki-laki, dan itu lebih baik bagi mereka (kaum laki-laki) dan bagi wanita, sehingga kaum laki-laki tidak melihat mereka dan sebaliknya.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/125)
Jadi, ada beberapa rambu:
✔Izin kepada suami atau wali bagi yang masih gadis.
✔Kondisi masjid kondusif untuk bermalamnya wanita di masjid, aman dari fitnah, aman dari pandangan laki-laki, atau khalwat (bersepi-sepi) dan ikhtilat (campur baur) dengan laki-laki.
Demikian, Wallahu a'lam.
💎 Nah ini dia ustadz yang jadi masalah, suami seringnya di ajak jama'ah di rumah jawabnya enak jama'ah di masjid.
🔷Saya akui ada "energi" yang beda kalau kita berjamaah di masjid, apalagi jika imamnya bagus bacaannya. Kalau mau memang tidak apa-apa ke masjid, dan sesekali rayu suami jadi imam di rumah, walau sudah tarawih di masjid, suruh baca yang pendek-pendek saja tidak papa, yang penting rumah jadi hidup dengan ibadah bersama keluarga.
Wallahu a'lam.
0⃣4⃣ Erna
Ada pendapat yang mengatakan jika wanita hamil tidak bisa berpuasa (padahal bisa sih) alasan saja hehe, nah setelah Ramadhan berakhir dia hanya bayar hutang puasanya dengan Fidyah saja atau harus keduanya artinya bayar fidyah dan setelah itu bayar hutang puasanya ustadz?
🔷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Wanita Hamil dan Menyusui: Qadha atau Fidyah?
(Pertanyaan dari beberapa muslimah)
^^^^^
Masalah ini termasuk yang banyak intensitas pertanyaannya. Sebelumnya kita lihat dulu karena apa Qadha dan Fidyah itu.
Untuk Qadha dalilnya adalah firman Allah Taala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
(QS. Al Baqarah: 184)
Untuk Fidyah dalilnya adalah kalimat selanjutnya:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al Baqarah: 184)
Ibu hamil disetarakan dengan orang-orang yang berat melaksanakan puasa, sebagaimana diketahui Al Quran pun juga menyebut mereka dengan wahnan 'ala wahnin (lemah yang bertambah-tambah).
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma berkata kepada wanita yang sedang hamil dan menyusui:
انت بمنزلة الذى لا يطيقه
Kamu kedudukannya sama dengan orang yang tidak mampu puasa. (Tafsir Ath Thabariy, 2/899)
Ini juga dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma. (Ad Daruquthni dalam Sunannya, 2/206)
Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar, sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya.
Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit, dan tidak merinci bagaimanakah sakitnya. Sedangkan ayat tentang Fidyah, juga tidak dirinci.
Nah, Khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. (Tafsir Al Quran al Azhim, 1/215. Darul Kutub al Mishriyah) bahwa ada empat pandangan atau pendapat ulama:
◼Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan wajib qadha dan fidyah sekaligus.
Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i, jika Si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.
◼Kedua, kelompok ulama yang mewajjibkan fidyah saja, tanpa qadha.
Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi ﷺ, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma. Dari kalangan tabi'in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir, Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi'ut tabi'in (murid para tabiin) seperti Al Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakha'i.
Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil: Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha.
Nafi' bercerita bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa, maka dia menjawab: Hendaknya dia berbuka, dan sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum. (Riwayat Malik).
◼Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah.
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.
◼Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah.
Demikianlah berbagai perbedaan tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti?
Seorang ahli fiqih abad ini, Al Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus. Beliau berkata:
وهكذا كان كثير من النساء فى الأزمنة الماضية فمن الرحمة بمثل هذه المرأة ألا تكلف القضاء و تكتفى بالفدية، و فى هذا خير للمساكين وأهل الحاجة. أما المرأة التى تتباعد فترات حملها كما هو الشأن فى معظم نساء زمننا فى معظم المجتمعات الإسلامية و خصوصا فى المدن والتى قد لا تعانى الحمل والارضاع فى حياتها الا مرتين او ثلاثا، فالأرجح أن تقضى كما هو رأى الجمهور
"Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja, di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”
(Fiqhush Shiyam, Hal. 73-74)
Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena sering hamil dan selalu melalui bulan Ramadhan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja. Ada pun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam.
Demikian, Wallahu Alam.
0⃣5⃣ Mila
Assalamu'alaikum...
Ustadz, ketika itikaf, saya lebih sering tidak izin ke orang tua. Tapi saya pamit pada hari mau itikaf. Misal : "pak, mila mau itikaf ya"
Apakah berarti saya berdosa?
🔷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah ..
Jika orang tua jawab: "Iyaa .., hati-hati" itu sudah bermakna izin.
Kalau tidak mengizinkan mungkin jawabnya "tidak boleh, dirumah saja, bantu emak bikin ketupat!"
Wallahu a'lam.
🔷🔷🔷🌟🌟🌟🔷🔷🔷
💘CLoSSiNG STaTeMeNT💘
Jalan-Jalan ke Pasar Minggu,
Jangan lupa beli Melon,
Apalagi yang ditunggu...
Yuk kita siap-siap jihad di Ramadhon...
Wassalamu'alaikum wr.wb.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar