OLeH: Ibu Hj. Irnawati Syamsuir Koto
•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•
🌀 IKHLAS TENTUKAN HIDUPMU
بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Pada hakikatnya, manusia hidup di dunia adalah untuk beramal, baik itu amal individual atau ibadah ritual kepada Alloh ﷻ maupun ibadah sosial di antara sesama. Amal ibadah dapat mendekatkan diri kepada Alloh ﷻ sehingga mendapatkan cinta dan ridha-Nya. Sementara itu, amal sosial dapat mengeratkan dan mengakrabkan hubungan sosial sehingga pada gilirannya dapat membawa perubahan yang positif atau kemaslahatan bagi semua orang dan lingkungan. Namun, amal shaleh belum cukup tanpa diiringi keikhlasan.
Ikhlas adalah memurnikan hati dari selain Alloh ﷻ dalam amal. Maksudnya, segala amal dilakukan semata-mata karena-Nya, bukan karena yang lainnya, misalnya untuk pencitraan atau pamer (riya'). Dalam hadis, Nabi bersabda, "Sesungguhnya Alloh ﷻ tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukan maupun harta kekayaanmu, tetapi Dia memandang pada hatimu. Barang siapa memiliki hati yang baik, maka Alloh ﷻ menyukainya. Manusia yang paling dicintai Alloh ﷻ ialah yang paling bertakwa." (HR. Muslim dan ath-Thabrani).
Orang yang beramal karena selain Allah, maka amal itu tak ada nilainya di sisi-Nya karena amal itu tidak ditujukan kepada-Nya, tetapi kepada selain-Nya. Bagaimana mungkin Alloh ﷻ memberikan nilai kepada orang yang amalnya bukan ditujukan kepada-Nya?
Nabi mengatakan dalam hadis qudsi, "Alloh ﷻ berfirman, 'Aku adalah Tuhan yang paling tidak membutuhkan selain diri-Ku, maka barang siapa yang beramal diiringi dengan tujuan untuk selain-Ku maka Aku berlepas diri darinya, dan silakan ia minta balasannya kepada selain-Ku itu yang menjadi tujuan dari amalnya.'" (HR. Ibnu Majah).
Orang yang ikhlas beramal berarti ia mengorientasikan segala amal, kerja, dan aktivitasnya baik itu yang bersifat ukhrawi maupun duniawi, hanya karena Alloh ﷻ. Sehingga, mindset atau pola pikirnya untuk amal itu adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan juga untuk orang lain. Orang yang ikhlas akan dapat mengontrol amalnya. Ia akan berpikir lebih dulu sebelum berbuat, bukan berbuat dulu baru kemudian berpikir. Atau, berpikir dulu sebelum berbicara, bukan berbicara dulu baru berpikir. Orang yang ikhlas dapat menentukan amal apa yang baik untuk dilakukan atau amal yang buruk untuk ditinggalkan.
Orang yang ikhlas tidak akan memikirkan apa yang akan didapatkan dari manusia karena baginya apa yang didapat dari Alloh ﷻ sudah cukup bahkan lebih utama. Orang yang ikhlas berarti lebih menginginkan keridhaan Alloh ﷻ dibandingkan keridhaan manusia. Lebih baik tidak disukai manusia karena benar, daripada tidak disukai Alloh ﷻ karena salah. Nabi mengatakan, "Barang siapa membuat murka Alloh ﷻ demi mendapat keridhaan manusia maka Alloh ﷻ murka kepadanya dan membuat orang yang semula ridha kepadanya menjadi murka. Namun, barang siapa membuat Alloh ﷻ ridha meskipun manusia murka kepadanya, maka Alloh ﷻ akan meridhainya dan membuat orang yang tadinya murka menjadi rida." (HR. ath-Thabrani).
Orang yang ikhlas tidak perlu takut dengan tekanan manusia, selama ia benar berada di jalan Alloh ﷻ. Justru, orang yang tunduk pada tekanan manusia yang mengarahkannya kepada keburukan dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, itulah yang akan membuat Alloh ﷻ murka. Bahkan, orang yang tadinya setia kepadanya oleh Alloh ﷻ dibuat murka. Alloh ﷻ Maha Kuasa membolak-balikkan hati manusia karena Dia Maha Tahu apa yang tidak kita tahu.
Sepanjang seseorang beramal, bekerja, beraktivitas, atau bahkan membuat suatu kebijakan bagi publik didasarkan pada kebenaran dan keikhlasan karena Alloh ﷻ, orang-orang yang tadinya marah pun akan berubah menyukainya. Semua itu mudah bagi Alloh ﷻ. Ikhlas adalah penentu diterimanya amal. Tanpa keikhlasan, selain amal itu menjadi sia-sia tidak bernilai, alih-alih malah menimbulkan hal-hal buruk yang imbasnya membahayakan diri sendiri dan banyak orang.
Ikhlas adalah kewajiban terpenting. Meninggalkan keikhlasan merupakan bahaya yang besar, karena Alloh ﷻ tidak akan menerima amalan kecuali kebaikan yang diselimuti oleh keikhlasan. Jika suatu amalan telah dibalut oleh kesyirikan niscaya akan tertolak disisi Alloh ﷻ walaupun jumlahnya sangat banyak dan beragam, sebaliknya amalan yang dikerjakan dengan penuh keikhlasan akan diterima oleh Alloh ﷻ walaupun jumlahnya sedikit.
Dikisahkan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab Sunan-nya bahwa Syufayya Al-Ashbahi suatu ketika memasuki kota Madinah, ternyata ada seseorang yang dikerumuni orang-orang. Syufaiya bertanya: “Siapa dia?” Mereka menjawab: “Abu Hurairah.” Aku mendekatinya lalu aku duduk dihadapannya sementara ia tengah asyik menyampaikan wejangan dan nasihatnya. Saat diam dan selesai, aku berkata padanya: “Aku bersumpah atas nama Al-Haqq, sampaikanlah suatu hadits padaku yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang kau pahami dan yang kau ketahui.”
Abu Hurairah pun menjawab: “Baik, aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku yang aku pahami dan aku ketahui.” Abu Hurairah menangis terisak-isak sampai pingsan, setelah terdiam sejenak, kemudian beliau sadar dan bertutur: “Aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku di rumah ini, tidak ada orang lain bersama kami.”
Setelah itu Abu Hurairah menangis terisak-isak sampai pingsan lagi, kemudian beliau sadar dan mengusap wajahnya lalu berkata, “aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku di rumah ini, tidak ada orang lain bersama kami.”
"Kemudian beliau sadar dan mengusap wajahnya lalu berkata, aku akan menyampaikan kepadamu suatu hadits yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku di rumah ini, tidak ada orang lain bersama kami.”
Setelah itu Abu Hurairah menangis terisak-isak sangat keras sampai jatuh tersungkur pingsan lagi di atas wajahnya lalu aku menyandarkannya di badanku selang berapa lama. Setelah sadar beliau berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menceritakan kepadaku, bahwa Allah Tabaaraka wa Ta’ala pada hari kiamat akan turun kepada para hamba untuk memutuskan di antara mereka dan masing-masing umat berlutut.
Orang pertama yang dipanggil adalah orang hafal Al-Qur`an, orang yang berperang di jalan Alloh ﷻ dan orang yang banyak hartanya. Alloh ﷻ berfirman kepada penghafal Al-Qur`an: “Bukankah Aku telah mengajarimu sesuatu yang Aku turunkan pada rasul-Ku?” Ia menjawab: “Benar, wahai Rabb.” Alloh ﷻ bertanya: “Apa yang kau amalkan dari ilmu yang diajarkan padamu?” Ia menjawab: Dengannya, dulu aku shalat di malam dan siang hari.” Alloh ﷻ berfirman padanya: “Kau dusta.” Para malaikat pun berkata padanya: “Kau dusta.” Alloh ﷻ berfirman, “Tapi kau ingin memperoleh pujian bahwa si fulan ahli membaca Al-Qur`an dan memang telah kau peroleh ujian itu.”
Setelah itu pemilik harta didatangkan, lalu Alloh ﷻ bertanya kepadanya: “Bukankah Aku dulu melapangkan rezekimu hingga Aku tidak membiarkanmu memerlukan kepada siapapun?” Orang itu menjawab: “Benar, wahai Rabb.” Alloh ﷻ bertanya: “Lalu apa yang kau lakukan dengan apa yang Aku berikan padamu?” Ia menjawab: “Aku menyambung silaturrahim dan bersedekah.” Alloh ﷻ berfirman padanya: “Kau dusta.” Para malaikatpun berkata padanya: “Kau dusta.” Alloh ﷻ berfirman, “Tapi kau ingin peroleh gelar bahwa si fulan dermawan dan memang telah kau peroleh gelar itu.”
Kemudian orang yang terbunuh di jalan Alloh ﷻ didatangkan, Alloh ﷻ bertanya kepadanya: “Karena apa kau terbunuh?” Ia menjawab: “Aku diperintahkan berjihad di jalan-Mu lalu aku berperang hingga aku terbunuh.” Alloh ﷻ berfirman padanya: “Kau dusta.” Para malaikatpun berkata padanya: “Kau dusta.” Alloh ﷻ berfirman, “Tapi kau ingin dijuluki si fulan pemberani dan memang telah kau peroleh gelar itu.” Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memukul lututku dan bersabda, “Hai Abu Hurairah, ketiga orang itulah makhluk Alloh ﷻ pertama-tama yang neraka dinyalakan karena mereka pada hari kiamat.”
Sahabat-sahabatku...
Mari kita renungkan sejenak kisah tadi. Bagaimana seorang qari Al-Qur’an tidak mendapatkan syafa’at dari Al-Qur’an pada hari kiamat. Ini karena tidak ada keikhlasan saat membacanya. Bagaimana orang yang punya harta banyak, perbuatan baiknya kepada orang lain dan silaturahim yang telah dilakukan tidak bisa memberikan syafa’at padanya. Juga karena tidak ikhlas Demikian pula dengan seseorang yang berjuang di medan perang, terbunuh di medan perang ternyata tidak bisa menjadi pemberi syafa’at baginya pada hari kiamat. Sekali lagi, semua itu karena tidak ada keikhlasan.
Bagaimana dengan kita semua?
Betapa ruginya kita semua jika kita lalai dengan satu rukun yang mulia ini, yaitu ikhlas.
Demikian kajian kita malam ini. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bishawab
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
Sahabat Sholehah...
Ada banyak hal yang merusak keikhlasan, antara lain syirik akbar dan ashghar.
Syirik akbar, artinya meyakini keberadaan sekutu bagi Alloh ﷻ yang menjadi tujuan ibadah. Perbuatan ini mengeluarkan seseorang dari agama dan menyebabkan kekal di neraka. Hal ini bukan hanya bertolak belakang dengan keikhlasan tapi juga membatalkan semua amal.
Sedangkan syirik ashghar adalah semua perkataan dan perbuatan yang ditetapkan dalam syariat sebagai perbuatan syirik tapi tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Seperti riya’ (menginginkan amalnya dilihat oleh orang lain) atau sum’ah (memperdengarkan amalnya kepada orang lain) Ini semua merusak kesempurnaan tauhid dan menafikan keikhlasan. Membatalkan amal yang dikerjakan disertai dengan riya’ dan sum’ah tersebut.
Wallahu a’lam bishawab
Mohon maaf lahir dan batin.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar