Kamis, 22 November 2018

AKHLAK LUHUR PARA ULAMA TERHADAP PERBEDAAN FIQH



OLeH: Ustadz Farid Nu'man Hasan

           ๐Ÿ’ŽM a T e R i๐Ÿ’Ž

๐ŸŒธAkhlak Luhur Ulama Salaf Terhadap Perbedaan Yang Mereka Alami

Tema ini sering kami angkat bahkan sangat sering, baik lisan dan tulisan.
Karena kata Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, "Laa yazaal al khulfu bainan naas fi adyaanihim ..." (Tafsir Ibnu Katsir, 4/361), artinya manusia senantiasa berselisih pada urusan agama mereka...
Oleh karena itu kami tidak bosan dan tidak boleh lelah mengingatkan manusia tentang hal ini.

Banyak manusia semangat dalam mempelajari fiqih atau menanyakan fiqih, tapi lupa adab-adab dalam berfiqih. Fiqihnya ulama salaf itu penting, tapi mempelajari bagaimana adab mereka lebih penting.

Maka, kita dapati para salaf lebih mendahulukan belajar adab dibanding fiqih.
Kaku, keras, galak, bengis, dan memonopoli kebenaran, adalah potensi yang mungkin terjadi jika hanya belajar fiqih -apalagi jika hanya dari satu model pemikiran tanpa open mind terhadap yang lain - tanpa mempelajari adab dan menerepan fiqihnya di masyarakat.

Kadang sikap memaksakan kehendak juga dilakukan oleh oknum ustadz, sehingga muridnya pun mengikutinya. Hampir-hampir dia terjatuh pada sikap Iblis, "Ana khairu minhu - Aku lebih baik darinya."

Akhirnya, yang terjadi adalah fitnah dan keributan, bahkan khawatir sampai taraf "lakum diinukum waliyadin" terhadap saudaranya yang berbeda pendapat dengannya.

Sebagian orang ada yang standar ukhuwah Islamiyahnya dilihat dari kesamaan fiqih, sikap al Wala' wal Bara' dilihat dari kesamaan fiqih, menyikapi manhaj dilihat dari kesamaan fiqih.

Jika sama fiqihnya maka menjadi saudara, boleh menjadi ber-tawalli (dijadikan loyalitas), dan semanhaj. Jelas ini salah faham dan salah penerapan.

Berikut ini, akan kami tampilkan bagaimana mulianya para salafush shalih, terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, semoga kita semua bisa ambil pelajaran.

Selamat menikmati!

๐Ÿ”ทAbdullah bin Mas'ud Radhiallahu 'Anhu

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menceritakan:

ูุฑูˆู‰ ุฃุจูˆ ุฏุงูˆุฏ ( 1 / 307 ) ุฃู† ุนุซู…ุงู† ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ ุตู„ู‰ ุจู…ู†ู‰ ุฃุฑุจุนุง ุŒ ูู‚ุงู„ ุนุจุฏ ุงู„ู„ู‡ ุจู† ู…ุณุนูˆุฏ ู…ู†ูƒุฑุง ุนู„ูŠู‡ : ุตู„ูŠุช ู…ุน ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡
ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุฑูƒุนุชูŠู† ุŒ ูˆ ู…ุน ุฃุจูŠ ุจูƒุฑ ุฑูƒุนุชูŠู† ุŒ ูˆ ู…ุน ุนู…ุฑ ุฑูƒุนุชูŠู† ุŒ ูˆ ู…ุน ุนุซู…ุงู† ุตุฏุฑุง ู…ู† ุฅู…ุงุฑุชู‡ ุซู… ุฃุชู…ู‡ุง ุŒ ุซู… ุชูุฑู‚ุช ุจูƒู… ุงู„ุทุฑู‚ ูู„ูˆุฏุฏุช ุฃู† ู„ูŠ ู…ู† ุฃุฑุจุน ุฑูƒุนุงุช ุฑูƒุนุชูŠู† ู…ุชู‚ุจู„ุชูŠู† ุŒ ุซู… ุฅู† ุงุจู† ู…ุณุนูˆุฏ ุตู„ู‰ ุฃุฑุจุนุง ! ูู‚ูŠู„ ู„ู‡ : ุนุจุช ุนู„ู‰ ุนุซู…ุงู† ุซู… ุตู„ูŠุช ุฃุฑุจุนุง ุŸ ! ู‚ุงู„ : ุงู„ุฎู„ุงู ุดุฑ . ูˆ ุณู†ุฏู‡ ุตุญูŠุญ . ูˆ ุฑูˆู‰ ุฃุญู…ุฏ ( 5 / 155 ) ู†ุญูˆ ู‡ุฐุง ุนู†
ุฃุจูŠ ุฐุฑ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ู… ุฃุฌู…ุนูŠู† .

Diriwayatkan oleh  Imam Abu Daud (1/307), bahwasanya Khalifah โ€˜Utsman bin โ€˜Affan Radhiallahu โ€˜Anhu shalat di Mina 4 rakaat.

Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah bin Masโ€™ud Radhiallahu โ€˜Anhu mengingkarinya seraya berkata: โ€œAku dulu shalat bersama Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam, Abu Bakr, โ€˜Umar dan di awal pemerintahan โ€˜Utsman sebanyak 2 rakaat, dan setelah itu โ€˜Utsman shalat 4 rakaat. Kemudian terjadilah perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari 4 rakaat shalat itu yang diterima adalah yang 2 rakaat darinya.โ€

Namun ketika di Mina,  Abdullah bin Masโ€™ud justru juga shalat 4 rakaat. Maka dikatakanlah kepada beliau:

โ€œEngkau dulu telah mengingkari โ€˜Utsman atas shalatnya yang 4 rakaat, kemudian engkau shalat 4 rakaat pula?!โ€

Abdullah bin Masโ€™ud berkata: โ€œPerselisihan itu jelek.โ€ Sanadnya shahih. Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari shahabat Abu Dzar Radhiallahu โ€˜Anhum Ajmaโ€™in.
(As Silsilah Ash Shahihah, 1/389)

๐Ÿ”ท Imam Al Qasim bin Muhammad Rahimahullah

Beliau adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah di zaman tabi'in, dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu 'Anhu.

Beliau ditanya oleh seseorang:

ุณุฃู„ุช ุงู„ู‚ุงุณู… ุจู† ู…ุญู…ุฏ ุนู† ุงู„ู‚ุฑุงุกุฉ ุฎู„ู ุงู„ุฅู…ุงู… ููŠู…ุง ู„ู… ูŠุฌู‡ุฑ ููŠู‡, ูู‚ุงู„: ุฅู† ู‚ุฑุฃุช ูู„ูƒ ููŠ ุฑุฌุงู„ ู…ู† ุฃุตุญุงุจ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ุฃุณูˆุฉุŒ ูˆุฅุฐุง ู„ู… ุชู‚ุฑุฃ ูู„ูƒ ููŠ ุฑุฌุงู„ ู…ู† ุฃุตุญุงุจ ุฑุณูˆู„ ุงู„ู„ู‡ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ุฃุณูˆุฉ.

Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan bacaannya.

Beliau menjawab: "Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam."
(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

๐Ÿ”ท Imam Sufyan Ats Tsauri Rahimahullah

ุฅุฐุง ุฑุฃูŠุช ุงู„ุฑุฌู„ ูŠุนู…ู„ ุงู„ุนู…ู„ ุงู„ุฐูŠ ู‚ุฏ ุงุฎุชู„ู ููŠู‡ ูˆุฃู†ุช ุชุฑู‰ ุบูŠุฑู‡ ูู„ุง ุชู†ู‡ู‡.

โ€œJika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.โ€
(Imam Abu Nuโ€™aim Al Asbahany, Hilaytul Auliya, 3/133)

Tentang merutin Qunut Subuh, Imam At Tirmidzi berkata:

ู‚ูŽุงู„ูŽ ุณููู’ูŠูŽุงู†ู ุงู„ุซู‘ูŽูˆู’ุฑููŠู‘ู ุฅูู†ู’ ู‚ูŽู†ูŽุชูŽ ูููŠ ุงู„ู’ููŽุฌู’ุฑู ููŽุญูŽุณูŽู†ูŒ ูˆูŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽู‚ู’ู†ูุชู’ ููŽุญูŽุณูŽู†ูŒ
 
โ€œBerkata Sufyan Ats Tsauri: โ€œJika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.โ€
(Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

๐Ÿ”ท Imam Yahya bin Sa'id Al Qaththan Rahimahullah

Beliau berkata:

ู…ุง ุจุฑุญ ุฃูˆู„ูˆ ุงู„ูุชูˆู‰ ูŠูุชูˆู† ููŠุญู„ ู‡ุฐุง ูˆูŠุญุฑู… ู‡ุฐุง ูู„ุง ูŠุฑู‰ ุงู„ู…ุญุฑู… ุฃู† ุงู„ู…ุญู„ ู‡ู„ูƒ ู„ุชุญู„ูŠู„ู‡ ูˆู„ุง ูŠุฑู‰ ุงู„ู…ุญู„ ุฃู† ุงู„ู…ุญุฑู… ู‡ู„ูƒ ู„ุชุญุฑูŠู…ู‡.

Para ahli fatwa sering berbeda fatwanya, yang satu menghalalkan yang ini dan yang lain mengharamkannya. Tapi, mufti yang mengharamkan tidaklah menganggap yang menghalalkan itu binasa karena penghalalannya itu. Mufti yang menghalalkan pun tidak menganggap yang mengharamkan telah binasa karena fatwa pengharamannya itu.
(Imam Ibnu Abdil Bar, Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih, 2/161)

๐Ÿ”ท Imam Asy Syafi'i Rahimahullah

Imam Asy Syafi'i (juga Imam Malik) berpendapat sunnahnya Qunut Subuh. Berbeda dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada Qunut Subuh.

Diceritakan dalam Al Mausuโ€™ah sebagai berikut:

ุงู„ุดู‘ูŽุงููุนููŠู‘ู ุฑูŽุถููŠูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู†ู’ู‡ู ุชูŽุฑูŽูƒูŽ ุงู„ู’ู‚ูู†ููˆุชูŽ ูููŠ ุงู„ุตู‘ูุจู’ุญู ู„ูŽู…ู‘ูŽุง ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ู…ูŽุนูŽ ุฌูŽู…ูŽุงุนูŽุฉู ู…ูู†ูŽ ุงู„ู’ุญูŽู†ูŽูููŠู‘ูŽุฉู ูููŠ ู…ูŽุณู’ุฌูุฏูู‡ูู…ู’ ุจูุถูŽูˆูŽุงุญููŠ ุจูŽุบู’ุฏูŽุงุฏูŽ . ููŽู‚ูŽุงู„ ุงู„ู’ุญูŽู†ูŽูููŠู‘ูŽุฉู : ููŽุนูŽู„ ุฐูŽู„ููƒูŽ ุฃูŽุฏูŽุจู‹ุง ู…ูŽุนูŽ ุงู„ุฅู’ูู…ูŽุงู…ู ุŒ ูˆูŽู‚ูŽุงู„ ุงู„ุดู‘ูŽุงููุนููŠู‘ูŽุฉู ุจูŽู„ ุชูŽุบูŽูŠู‘ูŽุฑูŽ ุงุฌู’ุชูู‡ูŽุงุฏูู‡ู ูููŠ ุฐูŽู„ููƒูŽ ุงู„ู’ูˆูŽู‚ู’ุชู .

โ€œAsy Syafiโ€™i Radhiallahu โ€˜Anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika Beliau shalat bersama jamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: โ€œItu merupakan adab bersama imam.โ€ Berkata Asy Syafiโ€™iyyah (pengikut Asy Syafiโ€™i): โ€œBahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.โ€
(Al Mausuโ€™ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syuโ€™un Al Islamiyah)

๐Ÿ”ท Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah

Beliau mengomentari orang yang shalat dua rakaat setelah Ashar:

ู„ุง ู†ูุนู„ู‡ ูˆู„ุง ู†ุนูŠุจ ูุงุนู„ู‡

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya.
(Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Tentang Qunut Subuh,  diceritakan tentang Imam Ahmad Rahimahullah :

ูู‚ุฏ ูƒุงู† ุงู„ุฅู…ุงู… ุฃุญู…ุฏู ุฑุญู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ ูŠุฑู‰ ุฃู†ู‘ูŽ ุงู„ู‚ูู†ููˆุชูŽ ููŠ ุตู„ุงุฉ ุงู„ูุฌุฑ ุจูุฏู’ุนุฉุŒ ูˆูŠู‚ูˆู„: ุฅุฐุง ูƒู†ุช ุฎูŽู„ู’ููŽ ุฅู…ุงู… ูŠู‚ู†ุช ูุชุงุจุนู‡ ุนู„ู‰ ู‚ูู†ููˆุชูู‡ูุŒ ูˆุฃู…ู‘ูู†ู’ ุนู„ู‰ ุฏูุนุงุฆู‡ุŒ ูƒูู„ู‘ู ุฐู„ูƒ ู…ูู† ุฃุฌู„ ุงุชู‘ูุญุงุฏ ุงู„ูƒู„ู…ุฉุŒ ูˆุงุชู‘ููุงู‚ ุงู„ู‚ู„ูˆุจุŒ ูˆุนุฏู… ูƒุฑุงู‡ุฉ ุจุนุถู†ุง ู„ุจุนุถ.
 
โ€œImam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh) adalah bidโ€™ah. Dia mengatakan: โ€œJika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.โ€
(Syaikh Ibnu Al โ€˜Utsaimin, Syarhul Mumtiโ€™, 4/25. Mawqiโ€™ Ruh Al Islam)

Sebenarnya masih banyak lagi. Tapi, contoh-contoh sudah cukup mewakili betapa luas, luwes, dan lapang dada para imam generasi  awal terhadap perbedaan pendapat di antara mereka.

Mampukah kita meneladaninya?

Wallahu A'lam


๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ
        ๐Ÿ’ŽTaNYa JaWaB๐Ÿ’Ž

0โƒฃ1โƒฃ Yanti
Ustadz, jika kita biasa baca qunut, kemudian masbuk shalat shubuh di masjid yang tidak berqunut, apakah sebaiknya di rakaat yang ketinggalan kita baca qunut atau tidak?

๐ŸŒธ Jawab:
Ikuti kebiasaan yang Ibu yakini tidak apa-apa, bagus, apalagi jika jamaah masjid termasuk tipe yang tenggang rasa.

Beda jika shalat di masjid yang rada-rada kaku, yang mudah menuduh, kepada orang yang berbeda, mungkin Ibu bisa mengalah tidak berqunut untuk menghindari fitnah perpecahan.

Wallahu a'lam

0โƒฃ2โƒฃ Z. Ruslan
Ustadz, lantas sikap bagaimana yang seharusnya kita teladani ketika berada dilingkungan yang  beranggapan manhaj salaf adalah aliran keras?

Contoh: Yang bermanhaj salaf diminta untuk menjadi imam namun oleh pengurus masjid langsung diperingati agar setelah sholat tetap menjalankan zikir dan doa secara berjamaah.
Apakah sebaiknya dilakukan untuk menghindari perdebatan atau bagaimana?

๐ŸŒธ Jawab:
โ—ผ Jika dia tidak terbiasa mengeraskan zikir, sementara di situ kebiasaannya seperti itu maka dia boleh menolak secara halus.

โ—ผ Jika tidak bisa juga menolak, maka dia ada dua sikap:
~ Tetap berdizkir masing-masing JIKA jamaah masjid tidak mempermasalahkan, jamaahnya toleran walau mereka lebih biasa dikeraskan.

~ Atau jika tidak mungkin, maka dia berdzikir dikeraskan sesuai yang dia hapal, sebenarnya Berdzikir dikeraskan itu SUNNAH sebagaimana difatwakan Syaikh Utsaimin, Syaikh Bin Baaz. Berdasarkan hadits Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas, bahwa shalat telah diketahui selesai, ketika terdengar suara bising mereka berdzikir. Yang jadi masalah adalah berdzikir dikomando oleh satu orang.

Nah, inilah pertimbangan-pertimbangannya, khususnya saat kita berada di jamaah yang heterogen.

Wallahu a'lam

0โƒฃ3โƒฃ iDha
Mengenai sholat sunnah dhuhur, ada yang 2 sebelum dan 2 sesudah, ada yang saya lihat melakukan 4 rakaat sebelum tapi tidak mengerjakan 2 rakaat setelahnya.

Ada juga tidak mengerjakan 2 rakaat sebelum ashar. Apa ya hukum ke 2 nya?
Terima kasih Ustadz

๐ŸŒธJawab:
Shalat Sunnah Rawatib

Definisi:
Tertulis dalam Al mausuโ€™ah:

ูˆู‡ูŠ ุงู„ุณู†ู† ุงู„ุชุงุจุนุฉ ู„ู„ูุฑุงุฆุถ ุŒ ูˆูˆู‚ุชู‡ุง ูˆู‚ุช ุงู„ู…ูƒุชูˆุจุงุช ุงู„ุชูŠ ุชุชุจุนู‡ุง

Ini adalah shalat sunah yang mengiringi shalat-shalat wajib, dan waktunya adalah bersama shalat wajib yang diiringinya. (Al Mausuโ€™ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/44)

Macam-Macamnya:
Secara global ada dua macam:

1) Qabliyah, yaitu shalat sunah rawatib yang dilaksanakan sebelum shalat wajib.

2) Baโ€™diyah, yaitu shakat sunah rawatb yang dilaksanakan sesudah shalat wajib.

Perinciannya sebagai berikut:
1) Dua rakaat sebelum shubuh, atau nama lainnya shalat sunah fajar.

Dari Aisyah Radhiallahu โ€˜Anha, bahwa Nabi ๏ทบ bersabda:

ุฑูŽูƒู’ุนูŽุชูŽุง ุงู„ู’ููŽุฌู’ุฑู ุฎูŽูŠู’ุฑูŒ ู…ูู†ู’ ุงู„ุฏู‘ูู†ู’ูŠูŽุง ูˆูŽู…ูŽุง ูููŠู‡ูŽุง

"Dua rakaat (sebelum) fajar lebih baik dibanding dunia dan isinya." (HR. Muslim No. 725)

2) Rawatib zhuhur, ada tiga model:

โ–ชPertama. Dua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu โ€˜Anhuma, katanya:

ุญูุธุช ู…ู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนุดุฑ ุฑูƒุนุงุช: ุฑูƒุนุชูŠู† ู‚ุจู„ ุงู„ุธู‡ุฑุŒ ูˆุฑูƒุนุชูŠู† ุจุนุฏู‡ุง...........

Aku hapal dari Nabi ๏ทบ sepuluh rakaat (shalat sunah): โ€œDua rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya ........." (HR. Al Bukhari No. 1180)

โ–ชKedua. Empat Rakaat sebelum zhuhur dan dua rakaat setelahnya.
Dari Ali Radhiallahu โ€˜Anhu, katanya:

ูƒุงู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆ ุณู„ู… ูŠุตู„ูŠ ู‚ุจู„ ุงู„ุธู‡ุฑ ุฃุฑุจุนุง ูˆุจุนุฏู‡ุง ุฑูƒุนุชูŠู†

"Dahulu Nabi ๏ทบ shalat sebelum zhuhur empat rakaat dan dua rakaat setelahnya." (HR. At Tirmidzi No. 424, katanya: hasan. Ahmad No. 1375. Syaikh Syuโ€™aib Al Arnauth mengatakan: isanadnys kuat. Taโ€™liq Musnad Ahmad No. 1375. Syaikh Al Albani menshahihkan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 424)

โ–ชKetiga. Empat rakaat sebelum zhuhur dan empat rakaat setelahnya.
Dari Ummu Habibah Radhiallahu โ€˜Anha, bahwa Nabi ๏ทบbersabda:

ู…ู† ุตู„ู‰ ู‚ุจู„ ุงู„ุธู‡ุฑ ุฃุฑุจุนู‹ุง ูˆุจุนุฏู‡ุง ุฃุฑุจุนู‹ุง ุญุฑู…ู‡ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุงุฑ

Barang siapa yang shalat sebelum zhuhur empat rakaat dan setelahnya empat rakaat, maka Allah haramkan baginya neraka. (HR. At Tirmidzi no. 427, katanya: hasan. Ibnu majah No. 1160, An Nasaโ€™i No. 1814, Abu Daud No. 1269. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam banyak kitabnya)

3) Rawatib Ashar

โ–ชPertama. Empat rakaat sebelum ashar.  Dalilnya adalah:

ุนูŽู†ู ุงุจู’ู†ู ุนูู…ูŽุฑูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…-ุฑูŽุญูู…ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุงู…ู’ุฑูŽุฃู‹ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ู‚ูŽุจู’ู„ูŽ ุงู„ู’ุนูŽุตู’ุฑู ุฃูŽุฑู’ุจูŽุนู‹ุง

Dari Ibnu Umar Radhiallahu โ€˜Anhuma, dia berkata: Bersabda Rasulullah ๏ทบ : โ€œSemoga Allah meramati seseorang yang shalat  empat rakaat sebelum ashar." (HR. Abu Daud No. 1273, At Tirmidzi No. 430, katanya: hasan. Syaikh Al Albani juga menyatakan hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 430)

โ–ชKedua. Dua rakaat sebelum ashar. Dalilnya adalah:

ุนูŽู†ู’ ุนูŽู„ูู‰ู‘ู  ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุงู„ู†ู‘ูŽุจูู‰ู‘ูŽ -ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู…- ูƒูŽุงู†ูŽ ูŠูุตูŽู„ู‘ูู‰ ู‚ูŽุจู’ู„ูŽ ุงู„ู’ุนูŽุตู’ุฑู ุฑูŽูƒู’ุนูŽุชูŽูŠู’ู†ู.

"Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu โ€˜Anhu, bahwasanya Nabi ๏ทบdahulu shalat dua rakaat sebelum ashar." (HR. Abu Daud No. 1274. Imam An Nawawi mengatakan: shahih. Lihat Khulashah Al Ahkam No. 1821)

Sedangkan keberadaan dua rakaat setelah ashar telah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Insya Allah akan kami bahas nanti.

4) Rawatib Maghrib

โ–ชPertama. Dua rakaat sebelum maghrib, ini sunnah ghairu muakkadah (tidak ditekankan)

Dari Abdullah Al Muzani, bahwa Nabi ๏ทบ bersabda:

ุตูŽู„ู‘ููˆุง ู‚ูŽุจู’ู„ูŽ ุตูŽู„ูŽุงุฉู ุงู„ู’ู…ูŽุบู’ุฑูุจู ู‚ูŽุงู„ูŽ ูููŠ ุงู„ุซู‘ูŽุงู„ูุซูŽุฉู ู„ูู…ูŽู†ู’ ุดูŽุงุกูŽ ูƒูŽุฑูŽุงู‡ููŠูŽุฉูŽ ุฃูŽู†ู’ ูŠูŽุชู‘ูŽุฎูุฐูŽู‡ูŽุง ุงู„ู†ู‘ูŽุงุณู ุณูู†ู‘ูŽุฉู‹

Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, lalu nabi mengatakan lagi yang ketiga kalinya: โ€œBagi yang mau.โ€ Dia khawatir manusia menjadikannya sebagai sunah (kebiasaan). (HR. Al Bukhari No. 1183)

Ini menunjukkan bahwa qabliyah maghrib memang ada tetapi tidak sampai ditekankan (ghairu muakkadah), bagi yang mau saja. Wallahu Aโ€™lam

Abu Tamim Al Jaisyani pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib, ketika ia ditanya tentang shalat apa itu, ia menjawab, โ€œIni adalah shalat yang kami lakukan pada masa Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam.โ€   (HR. An Nasaโ€™i No. 578, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 475, dalam kitab ini juga disebutkan Uqbah bin โ€˜Amr Al Juhani shalat sebelum maghrib)

Dari โ€˜Ashim, bahwa Ubai bin Kaโ€™ab dan Abdurrahman bin โ€˜Auf ketika terbenam matahari mereka shalat doa rakaat sebelum maghrib. (HR. Ahmad No. 20355, Al Mushannaf Ibni Abi Syaibah No. 251, di kitab ini juga disebutkan Abdurrahman bin Abi Laila shalat dua rakaat sebelum maghrib)

Dalam riwayat Imam Ibnu Hibban , disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam juga pernah shalat dua rakaat sebelum maghrib.

Imam Muslim  meriwayatkan dari Abdullah bin โ€˜Abbas Radhiallahu โ€˜Anhu dia berkata: โ€œKami shalat dua rakaat sebelum maghrib dan Rasulullah melihat perbuatan kami itu, tetapi tidak menyuruh dan tidak pula melarang kami.โ€

โ–ชKedua. Dua rakaat setelah maghrib.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu โ€˜Anhuma:

ุญูุธุช ู…ู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนุดุฑ ุฑูƒุนุงุช : ....... ูˆุฑูƒุนุชูŠู† ุจุนุฏ ุงู„ู…ุบุฑุจ ููŠ ุจูŠุชู‡

Aku hapal dari Nabi ๏ทบ sepuluh rakaโ€™at (shalat sunah): ..... dan dua rakaat setelah maghrib di rumah ... (HR. Al Bukhari No. 1180)

5) Rawatib Isya

โ–ชPertama. Dua rakaat sebelum Isya, ini tidak ditekankan (sunnah ghairu muakkadah)

Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah memasukan ini dalam ghairu muakkadah, kata beliau:

"Empat rakaat sebelum Isya dan empat rakaat sesudahnya, dengan sekali salam, berdasarkan riwayat dari 'Aisyah Radhiallahu 'Anha bahwa Rasulullah ๏ทบ shalat sebelum Isya empat rakaat, lalu setelah Isya juga empat rakaat, kemudian dia berbaring." (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/227)

Dan, secara umum juga berdasarkan hadits ini:

ุจูŽูŠู’ู†ูŽ ูƒูู„ู‘ู ุฃูŽุฐูŽุงู†ูŽูŠู’ู†ู ุตูŽู„ูŽุงุฉูŒ ุซูŽู„ูŽุงุซู‹ุง ู„ูู…ูŽู†ู’ ุดูŽุงุกูŽ

Di antara setiap dua adzan ada shalatnya. (nabi ulang tiga kali), bagi yang mau. (HR. Al Bukhari No. 624)

Maksud di antara dua adzan adalah antara adzan dan iqamah. "Liman syaa'a-bagi yang mau" menunjukkan itu tidak ditekankan.

โ–ชKedua. Dua rakaat setelah Isya, ini termasuk yang sunah muakkadah.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu โ€˜Anhuma:

ุญูุธุช ู…ู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนุดุฑ ุฑูƒุนุงุช : .......  ูˆุฑูƒุนุชูŠู† ุจุนุฏ ุงู„ุนุดุงุก ููŠ ุจูŠุชู‡

Aku hapal dari Nabi ๏ทบ sepuluh rakaโ€™at (shalat sunah): ..... dan dua rakaat setelah Isya di rumah ... (HR. Al Bukhari No. 1180)

Demikianlah shalat sunah rawatib yang senantiasa ada tiap harinya mengiringi shalat wajib. Namun, dari sekian banyak itu tidak semua yang kategori muakkadah (ditekankan). Mayoritas ulama mengatakan sepuluh rakaat saja, sebagian ulama menyebut dua belas rakaat.

Tertulis dalam Al Mausuโ€™ah:

ุฐู‡ุจ ุฌู…ู‡ูˆุฑ ุงู„ุนู„ู…ุงุก ุฅู„ู‰ ุฃู† ุงู„ุฑูˆุงุชุจ ุงู„ู…ุคูƒุฏุฉ ุนุดุฑ ุฑูƒุนุงุช ุŒ ุฑูƒุนุชุงู† ู‚ุจู„ ุงู„ุตุจุญ ุŒ ูˆุฑูƒุนุชุงู† ู‚ุจู„ ุงู„ุธู‡ุฑ ุŒ ูˆุฑูƒุนุชุงู† ุจุนุฏู‡ุง ุŒ ูˆุฑูƒุนุชุงู† ุจุนุฏ ุงู„ู…ุบุฑุจ ุŒ ูˆุฑูƒุนุชุงู† ุจุนุฏ ุงู„ุนุดุงุก ุ› ู„ู…ุง ูˆุฑุฏ ุนู† ุงุจู† ุนู…ุฑ ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡ู…ุง ุฃู†ู‡ ู‚ุงู„ : ุญูุธุช ู…ู† ุงู„ู†ุจูŠ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู… ุนุดุฑ ุฑูƒุนุงุช : ุฑูƒุนุชูŠู† ู‚ุจู„ ุงู„ุธู‡ุฑ ุŒ ูˆุฑูƒุนุชูŠู† ุจุนุฏู‡ุง ุŒ ูˆุฑูƒุนุชูŠู† ุจุนุฏ ุงู„ู…ุบุฑุจ ููŠ ุจูŠุชู‡ ุŒ ูˆุฑูƒุนุชูŠู† ุจุนุฏ ุงู„ุนุดุงุก ููŠ ุจูŠุชู‡ ุŒ ูˆุฑูƒุนุชูŠู† ู‚ุจู„ ุงู„ุตุจุญ

Mayoritas ulama berpendapat bahwa rawatib yang muakkadah ada sepuluh rakaat, yaitu dua rakaat sebelum subuh, dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dan dua rakaat setelah Isya. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu โ€˜Anhuma, dia berkata: โ€œAku hapal dari Nabi ๏ทบsepuluh rakaat: dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib,  dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum subuh.โ€ (Al Mausuโ€™ah, 22/44)

Ada pun yang dua belas rakaat berdasarkan hadits berikut:

ู…ุง ู…ู† ุนุจุฏ ู…ุณู„ู… ูŠุตู„ูŠ ู„ู„ู‡ ูƒู„ ูŠูˆู… ุซู†ุชูŠ ุนุดุฑุฉ ุฑูƒุนุฉ ุชุทูˆุนุง ุบูŠุฑ ูุฑูŠุถุฉ ุฅู„ุง ุจู†ู‰ ุงู„ู„ู‡ ู„ู‡ ุจูŠุชุง ููŠ ุงู„ุฌู†ุฉ

"Tidaklah seorang hamba muslim yang shalat karena Allah, sebanyak dua belas rakaat sunnah sehari semalam selain shalat wajibnya, melainkan Allah akan buatkan baginya rumah di surga." (HR. Muslim No. 728)

Dua belas rakaat ini di dapatkan dari sepuluh rakaat di atas (hadits Ibnu Umar), dengan dua rakaat sebelum zhuhur. Hal ini sebagaimana dikatakan Imam Al Baihaqi berikut:

ุจุงุจ ู…ูŽู†ู’ ู‚ูŽุงู„ูŽ ู‡ูู‰ูŽ ุซูู†ู’ุชูŽุง ุนูŽุดู’ุฑูŽุฉูŽ ุฑูŽูƒู’ุนูŽุฉู‹ ููŽุฌูŽุนูŽู„ูŽ ู‚ูŽุจู’ู„ูŽ ุงู„ุธู‘ูู‡ู’ุฑู ุฃูŽุฑู’ุจูŽุนู‹ุง

Bab Tentang Orang yang Mengatakan Dua Belas Rakaat Itu Dengan Menjadikan Sebelum Zhuhurnya Empat Rakaat. (As Sunan Al Kubra No. 2/48)

Wallahu Aโ€™lam

0โƒฃ4โƒฃ Rahmi
Tentang sholat witir. Jika sudah di kerjakan sebelum tidur karena takut malamnya tidak qiyamullail dan jika malam bisa bangun untuk qiyamullail. Apakah sholat witir lagi? Di sebabkan witir adalah penutup sholat.
Syukron ustadz jawabanya mohon maaf jika pertanyaanya tidak jelas karena faqirnya ilmu saya.

๐ŸŒธ Jawab:
 Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh

Tidak perlu ditutup witir lagi, sebab kata Nabi Shalallahu'Alaihi wa Sallam:

ู„ุง ูˆุชุฑุงู† ููŠ ู„ูŠู„ุฉ

"Tidak ada dua kali witir dalam satu malam" (HR. At Tirmidzi)

Wallahu a'lam

0โƒฃ5โƒฃ Rahmi
Bab puasa sunnah. Jika kita niat puasa untuk bayar hutang puasa wajib. Apakah adabnya sama ada waktu imsak? Soalnya jika kan puasa sunnah pernah dengar kata ustadz boleh makan  sampai batas adzan subuh!

๐ŸŒธ Jawab:
Bayar hutang puasa WAJIB itu bukan bab puasa sunnah, tapi Qadha itu wajib.

Adabnya sama dengan puasa lainnya. Hanya saja waktu imsak itu bukan terlarang makan minum, tapi itu waktu siap-siap untuk shalat subuh.

Larangan makan minum, itu terjadi jika sudah masuk awal fajar, yang ditandai dengan azan subuh.

Wallahu a'lam

0โƒฃ6โƒฃ Kiki
Ustadz farid,  saya pernah mendengar,  benarkah sholat sunnah rawatib yang kita lakukan menjadi pengganti atau qadha untuk sholat-shalat kita yang tertinggal di masa lalu ya ustadz?
Jazakallah ustadz

๐ŸŒธJawab:
Itu diperselisihkan ulama.

Sebagian ulama berpendapat seperti itu, seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Hazm, berdasarkan hadits riwayat Imam Abu Daud. Bahwa kekurangan pada shalat wajib, akan dilihat shalat sunnahnya.

Tapi pendapat ini dikritik oleh Imam Ibnu Abdil Bar, bahwa maksud hadits tersebut adalah bukan menutupi kekurangan shalat wajib masa lalu yang tidak dikerjakan, tapi menutupi kekurangan sempurnaannya, seperti kurang khusyunya, kurang bagusnya, bukan menutupi shalat yang ditinggalkan. Sebab, tidak mungkin ibadah sunnah mengganti ibadah wajib.

Demikian. Wallahu a'lam

0โƒฃ7โƒฃ Rahmi
Jika masa lalu pernah bolong sholat, apakah ada taubatnya ustadz? Dan apakah harus mengqodho juga sholat yang dulu pernah di tinggalkan itu?

๐ŸŒธJawab:
Mengqadha Shalat

I. Mukadimah
Shalat adalah ibadah pokok dalam Islam yang memiliki ketentuan waktu tesendiri, dan  hendaknya   dilakukan sesuai waktunya (adaโ€™an) itu, sebagaimana ayat:

ุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ุตู‘ูŽู„ุงูŽุฉูŽ ูƒูŽุงู†ูŽุชู’ ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู’ู…ูุคู’ู…ูู†ููŠู†ูŽ ูƒูุชูŽุงุจุงู‹ ู…ู‘ูŽูˆู’ู‚ููˆุชุงู‹

  Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An Nisa (4): 103)
Juga hadits Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam, dari Abdullah bin Masโ€™ud Radhiallahu โ€˜Anhu katanya:

ุณูŽุฃูŽู„ู’ุชู ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ูŽ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุฃูŽูŠู‘ู ุงู„ู’ุนูŽู…ูŽู„ู ุฃูŽุญูŽุจู‘ู ุฅูู„ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ู‚ูŽุงู„ูŽ ุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ุนูŽู„ูŽู‰ ูˆูŽู‚ู’ุชูู‡ูŽุง ู‚ูŽุงู„ูŽ ุซูู…ู‘ูŽ ุฃูŽูŠู‘ูŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุจูุฑู‘ู ุงู„ู’ูˆูŽุงู„ูุฏูŽูŠู’ู†ู ู‚ูŽุงู„ูŽ ุซูู…ู‘ูŽ ุฃูŽูŠู‘ูŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุงู„ู’ุฌูู‡ูŽุงุฏู ูููŠ ุณูŽุจููŠู„ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู

Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam: โ€œAmal apakah yang paling Allah cintai?โ€ Beliau bersabda: โ€œShalat pada waktunya.โ€ Lalu apa lagi? Beliau bersabda:  โ€œBerbakti kepada kedua orang tua.โ€ Lalu apa lagi? Beliau bersabda: โ€œJihad fisabilillah.โ€ (HR. Bukhari No. 527 dan Muslim No. 85)
Adapun menyengaja mengerjakan shalat tidak pada waktunya โ€“tanpa udzur syarโ€™i, apalagi meninggalkannya, telah dicela dalam ayat berikut:

ููŽูˆูŽูŠู’ู„ูŒ ู„ูู„ู’ู…ูุตูŽู„ู‘ููŠู†ูŽ  ุงู„ู‘ูŽุฐููŠู†ูŽ ู‡ูู…ู’ ุนูŽู†ู’ ุตูŽู„ูŽุงุชูู‡ูู…ู’ ุณูŽุงู‡ููˆู†ูŽ

Maka celakalah bagi orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai (saahuun) dari shalatnya. (QS. Al Maโ€™uun (107): 4-5)

II. Dasar Hukum Mengqadha Shalat
Ada beberapa hadits yang menjadi pijakan dalam masalah ini:
Dari Abu Qatadah Radhiallahu โ€˜Anhu, katanya:

ุฐูŽูƒูŽุฑููˆุง ู„ูู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ู†ูŽูˆู’ู…ูŽู‡ูู…ู’ ุนูŽู†ู’ ุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ ุฅูู†ู‘ูŽู‡ู ู„ูŽูŠู’ุณูŽ ูููŠ ุงู„ู†ู‘ูŽูˆู’ู…ู ุชูŽูู’ุฑููŠุทูŒ ุฅูู†ู‘ูŽู…ูŽุง ุงู„ุชู‘ูŽูู’ุฑููŠุทู ูููŠ ุงู„ู’ูŠูŽู‚ูŽุธูŽุฉู ููŽุฅูุฐูŽุง ู†ูŽุณููŠูŽ ุฃูŽุญูŽุฏููƒูู…ู’ ุตูŽู„ูŽุงุฉู‹ ุฃูŽูˆู’ ู†ูŽุงู…ูŽ ุนูŽู†ู’ู‡ูŽุง ููŽู„ู’ูŠูุตูŽู„ู‘ูู‡ูŽุง ุฅูุฐูŽุง ุฐูŽูƒูŽุฑูŽู‡ูŽุง

Mereka menceritakan kepada Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam bahwa tidurnya mereka membuat lalai dari shalat. Maka Beliau bersabda: โ€œSesungguhnya bukan termasuk lalai  karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).โ€ (HR. At Tirmidzi No. 177, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 437, Ibnu Majah No. 698, An Nasaโ€™i No. 615, Ad Daruquthni, 1/386, Ibnu Khuzaimah No. 989, Ahmad No. 22546. Dishahihkan oleh Syaikh Syuโ€™aib Al Arnauth (Taโ€™liq Musnad Ahmad No. 22546), Syaikh Al Albani (Shahihul Jamiโ€™ No. 2410), juga diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 680, namun dengan lafaz agak berbeda).
Karena hadits ini, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:

ุงุชูู‚ ุงู„ุนู„ู…ุงุก ุนู„ู‰ ุฃู† ู‚ุถุงุก ุงู„ุตู„ุงุฉ ูˆุงุฌุจ ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุงุณูŠ ูˆุงู„ู†ุงุฆู…

Para ulama sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa atau tertidur. (Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)
Yaitu wajib mengqadha bagi shalat wajib, sedangkan shalat sunah tidak wajib di qadha, melainkan sunah juga.
Dari Anas bin Malik Radhiallahu โ€˜Anhu, bahwa Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam bersabda:

ู…ูŽู†ู’ ู†ูŽุณููŠูŽ ุตูŽู„ูŽุงุฉู‹ ููŽู„ู’ูŠูุตูŽู„ู‘ู ุฅูุฐูŽุง ุฐูŽูƒูŽุฑูŽู‡ูŽุง ู„ูŽุง ูƒูŽูู‘ูŽุงุฑูŽุฉูŽ ู„ูŽู‡ูŽุง ุฅูู„ู‘ูŽุง ุฐูŽู„ููƒูŽ{ูˆูŽุฃูŽู‚ูู…ู’ ุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉูŽ ู„ูุฐููƒู’ุฑููŠ}

Barang siapa yang lupa dari by shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman: โ€œdirikanlah shalat untuk mengingatKuโ€). (HR. Bukhari No. 597)

Dari Qatadah  Radhiallahu โ€˜Anhu , katanya:

ุณูุฑู’ู†ูŽุง ู…ูŽุนูŽ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ู„ูŽูŠู’ู„ูŽุฉู‹ ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ ุจูŽุนู’ุถู ุงู„ู’ู‚ูŽูˆู’ู…ู ู„ูŽูˆู’ ุนูŽุฑู‘ูŽุณู’ุชูŽ ุจูู†ูŽุง ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ู‚ูŽุงู„ูŽ ุฃูŽุฎูŽุงูู ุฃูŽู†ู’ ุชูŽู†ูŽุงู…ููˆุง ุนูŽู†ู’ ุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ู‚ูŽุงู„ูŽ ุจูู„ูŽุงู„ูŒ ุฃูŽู†ูŽุง ุฃููˆู‚ูุธููƒูู…ู’ ููŽุงุถู’ุทูŽุฌูŽุนููˆุง ูˆูŽุฃูŽุณู’ู†ูŽุฏูŽ ุจูู„ูŽุงู„ูŒ ุธูŽู‡ู’ุฑูŽู‡ู ุฅูู„ูŽู‰ ุฑูŽุงุญูู„ูŽุชูู‡ู ููŽุบูŽู„ูŽุจูŽุชู’ู‡ู ุนูŽูŠู’ู†ูŽุงู‡ู ููŽู†ูŽุงู…ูŽ ููŽุงุณู’ุชูŽูŠู’ู‚ูŽุธูŽ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ูˆูŽู‚ูŽุฏู’ ุทูŽู„ูŽุนูŽ ุญูŽุงุฌูุจู ุงู„ุดู‘ูŽู…ู’ุณู ููŽู‚ูŽุงู„ูŽ ูŠูŽุง ุจูู„ูŽุงู„ู ุฃูŽูŠู’ู†ูŽ ู…ูŽุง ู‚ูู„ู’ุชูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ู…ูŽุง ุฃูู„ู’ู‚ููŠูŽุชู’ ุนูŽู„ูŽูŠู‘ูŽ ู†ูŽูˆู’ู…ูŽุฉูŒ ู…ูุซู’ู„ูู‡ูŽุง ู‚ูŽุทู‘ู ู‚ูŽุงู„ูŽ ุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ูŽ ู‚ูŽุจูŽุถูŽ ุฃูŽุฑู’ูˆูŽุงุญูŽูƒูู…ู’ ุญููŠู†ูŽ ุดูŽุงุกูŽ ูˆูŽุฑูŽุฏู‘ูŽู‡ูŽุง ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูู…ู’ ุญููŠู†ูŽ ุดูŽุงุกูŽ ูŠูŽุง ุจูู„ูŽุงู„ู ู‚ูู…ู’ ููŽุฃูŽุฐู‘ูู†ู’ ุจูุงู„ู†ู‘ูŽุงุณู ุจูุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ููŽุชูŽูˆูŽุถู‘ูŽุฃูŽ ููŽู„ูŽู…ู‘ูŽุง ุงุฑู’ุชูŽููŽุนูŽุชู’ ุงู„ุดู‘ูŽู…ู’ุณู ูˆูŽุงุจู’ูŠูŽุงุถู‘ูŽุชู’ ู‚ูŽุงู…ูŽ ููŽุตูŽู„ู‘ูŽู‰

โ€œKami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, โ€œWahai Rasulullah,  barangkali anda mau istirahat sebentar bersama kami?โ€ Beliau menjawab: โ€œAku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat.โ€ Bilal berkata, โ€œAku akan membangunkan kalian.โ€ Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu โ€˜alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: โ€œWahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan!โ€ Bilal menjawab: โ€œAku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya.โ€ Beliau lalu bersabda: โ€œSesungguhnya Allah โ€˜Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat!โ€ kemudian beliau berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat.โ€ (HR. Bukhari No. 595)

Demikian dasar yang begitu kuat dalam mengqadha shalat, bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas:

Qadha itu terjadi jika luputnya shalat karena lupa dan tertidur.
Qadha dilakukan segera ketika sadar atau ingat.
Mengqadha shalat wajib adalah wajib, karena Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam mengatakan: โ€œTidak ada tebusan yang lain kecuali dengan itu.โ€
Nabi dan para sahabat pun pernah mengalaminya.

Jika Selain Lupa dan Tidur, Wajib Qadha-kah?

Berkata para ulama:

ูˆุงุฎุชู„ููˆุง ููŠ ูˆุฌูˆุจ ุงู„ู‚ุถุงุก ุนู„ู‰ ุชุงุฑูƒ ุงู„ุตู„ุงุฉ ุนู…ุฏุง ุŒ ูˆุงู„ู…ุฑุชุฏ ุŒ ูˆุงู„ู…ุฌู†ูˆู† ุจุนุฏ ุงู„ุฅูุงู‚ุฉ ุŒ ูˆุงู„ู…ุบู…ู‰ ุนู„ูŠู‡ ุŒ ูˆุงู„ุตุจูŠ ุฅุฐุง ุจู„ุบ ููŠ ุงู„ูˆู‚ุช ุŒ ูˆู…ู† ุฃุณู„ู… ููŠ ุฏุงุฑ ุงู„ุญุฑุจ ุŒ ูˆูุงู‚ุฏ ุงู„ุทู‡ูˆุฑูŠู† .

Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban qadha shalat bagi yang sengaja meninggalkan shalat, murtad, gila setelah sadar, pingsan, anak-anak jika sudah sampai waktunya, masuk Islam di negeri kafir harbi, dan bagi orang yang ketiadaan untuk bersuci. (Al Mausuโ€™ah, 34/26)

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa wajib mengqadha shalat yang terlewatkan bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang jimaโ€™ di siang Ramadhan untuk mengqadha di hari lain dan juga melakukan kafaratnya, yaitu sebagai pengganti bagi puasanya yang batal gara-gara jimaโ€™, sebab jika karena lupa saja wajib qadha maka alasan karena  sengaja lebih layak lagi untuk mengqadhanya.

Fuqaha lain berpendapat tidak wajibnya qadha bagi yang sengaja tidak shalat, Al Qadhi โ€˜Iyadh mengatakan: โ€œTidak sah hal itu (mengqadha) kecuali menurut Daud dan Ibnu Abdirrahman Asy Syafiโ€™i.โ€

Ada pun orang murtad, bagi  kalangan Hanafiyah dan Malikiyah tidaklah wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan saat dia murtad, sebab keyakinan dia saat murtad memang mewajibkan untuk meninggalkannya. Sedangkan Syafiโ€™iyyah menyatakan wajib qadha setelah keislamannya lagi sebagai bentuk peringatan keras untuknya, sebab keterikatannya terhadap Islam tidaklah membuat gugur kewajibannya itu sebagaimana terhadap hak-ahak manusia.

Abu Ishaq bin Syaqila   menyebutkan dari Imam Ahmad, ada dua riwayat tentang kewajiban qadha atas orang murtad. Pertama. Tidak wajib qadha. Inilah zhahirnya perkataan Al Kharaqi dalam masalah ini. Maka atas inilah tidak wajibnya qadha  atas apa yang dia tinggalkan saat kekafirannya, juga saat keislamannya terdahulu sebelum murtadnya. Sebab amal dia sudah terhapus karena kemurtadannya. Kedua. Tidak wajib qadha atas ibadah-ibadah yang dia tinggal, baik saat murtadnya atau sebelumnya. Namun tidak wajib mengulangi hajinya, sebab amal itu hanyalah terhapus karena melakukan kesyirikan lalu dia mati.

Disebutkan dalam Al Inshaf bahwa yang shahih adalah wajib baginya mengqadha apa-apa yang dia tinggalkan sebelum murtadnya, dan tidak wajib mengqadha yang dia tinggalkan ketika sudah murtadnya.

Sedangkan buat orang gila, tidak ada khilafiyah para fuqaha bahwa mereka tidak dibebankan untuk shalat pada saat gilanya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang qadha saat sudah โ€œsadar atau sembuhโ€ dari gilanya.

Sedangkan bagi orang yang pingsan, tidak wajib baginya qadha kecuali  dia siuman atau sadar saat dibagian waktu shalat dan dia tidak melaksanakan shalat itu, maka dia wajib qadha, ini pendapat Malikiyah, Syafiโ€™iyah, dan Hanabilah.  Bagi kalangan Syafiโ€™iyah orang yang pingsan berulang-ulang wajib qadha. Hanafiyah mengatakan tidak wajib qadha bagi yang pingsan saat itu jika yang dia tinggalkan melebihi sehari semalam. Bagi Hanabilah dan ini yang shahih dari mereka, hukum pingsan sama dengan hukum tidur, bahwa kewajiban kewajiban tidak gugur, tapi mesti di qadha saat bangunnya, seperti shalat dan puasa.

Sedangkan anak-anak menurut jumhur tidak wajib mengqadha shalat, tetapi mereka diperintahkan shalat saat usia tujuh tahun, dan dipukul saat usia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat. Kalangan Syafiโ€™iyah menyatakan bahwa anak-anak  walau sudah mumayyiz lalu dia meninggalkan shalat, lalu usianya sudah baligh maka perintah qadha itu menunjukkan anjuran saja, sebagaimana perintah  shalat baginya. Pendapat lain Syafiโ€™iyah tetap wajib qadha. Bagi Hanabilah, anak-anak tetap wajib shalat jika sudah berakal (โ€˜aqil), walau belum baligh.

Sedangkan orang Islam di wilayah kafir harbi, sehingga dia tidak shalat, puasa, dan tidka tahu kewajibannya, maka wajib baginya qadha menurut Syafiโ€™iyah, Hanabilah, dan juga Malikiyah. Sednagkan Hanafiyah bertempat mereka mendapatkan โ€˜udzur karena keadaanya.

Sedangkan bagi yang tidak memiliki suatu untuk bersuci, bagi Malikiyah mereka tidak wajib shalat, atau bagi orang yang sudah tidak mampu melakukannya seperti orang yang dipenjara dan disiksa, sehingga tidak wajib pula mengqadhanya. Syafiโ€™iyah mentatkan wajib mengqadha shalat wajib saja. Hanafiyah mengatakan hendaknya dia melakukan aktifitas seperti shalat, sebagai penghormatan atas waktu shalat. (Lihat semua ini dalam Al Mausuโ€™ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/26-29)

III. Bagaimanakah melakukannya?
Mengqadha shalat dilakukan menurut tertibnya. Jika seseorang tertidur atau lupa shalat Ashar, lalu dia baru ingat atau sadar ketika terbenam matahari, maka dia lakukan sesuai tertibnya yakni โ€˜Ashar dulu baru Maghrib.
Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu โ€˜Anhu katanya:

ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุนูู…ูŽุฑูŽ ุจู’ู†ูŽ ุงู„ู’ุฎูŽุทู‘ูŽุงุจู ุฌูŽุงุกูŽ ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุงู„ู’ุฎูŽู†ู’ุฏูŽู‚ู ุจูŽุนู’ุฏูŽ ู…ูŽุง ุบูŽุฑูŽุจูŽุชู’ ุงู„ุดู‘ูŽู…ู’ุณู ููŽุฌูŽุนูŽู„ูŽ ูŠูŽุณูุจู‘ู ูƒููู‘ูŽุงุฑูŽ ู‚ูุฑูŽูŠู’ุดู ู‚ูŽุงู„ูŽ ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ู…ูŽุง ูƒูุฏู’ุชู ุฃูุตูŽู„ู‘ููŠ ุงู„ู’ุนูŽุตู’ุฑูŽ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ ูƒูŽุงุฏูŽุชู’ ุงู„ุดู‘ูŽู…ู’ุณู ุชูŽุบู’ุฑูุจู ู‚ูŽุงู„ูŽ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ูˆูŽุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ู…ูŽุง ุตูŽู„ู‘ูŽูŠู’ุชูู‡ูŽุง ููŽู‚ูู…ู’ู†ูŽุง ุฅูู„ูŽู‰ ุจูุทู’ุญูŽุงู†ูŽ ููŽุชูŽูˆูŽุถู‘ูŽุฃูŽ ู„ูู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ูˆูŽุชูŽูˆูŽุถู‘ูŽุฃู’ู†ูŽุง ู„ูŽู‡ูŽุง ููŽุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู’ุนูŽุตู’ุฑูŽ ุจูŽุนู’ุฏูŽ ู…ูŽุง ุบูŽุฑูŽุจูŽุชู’ ุงู„ุดู‘ูŽู…ู’ุณู ุซูู…ู‘ูŽ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุจูŽุนู’ุฏูŽู‡ูŽุง ุงู„ู’ู…ูŽุบู’ุฑูุจูŽ

โ€œBahwa Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, โ€œWahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat โ€˜Ashar hingga matahari hampir terbenam!โ€ Maka Nabi shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam pun bersabda: โ€œDemi Allah, aku juga belum melaksanakannya.โ€ Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudlu dan kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat โ€˜Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.โ€ (HR. Bukhari No. 596)
Namun, tidak perlu tertib sesuai urutan jika (Lihat Al Mausuโ€™ah,  34/33-35):
1. Waktu shalatnya sudah sangat sempit, misal tertinggal shalat Zhuhur, baru ingat ketika waktu โ€˜Ashar sudah mau habis (menjelang maghrib), maka hendaknya melakukan โ€˜Ashar dulu.
2. Shalatnya bersama kaum muslimin yang shalat sesuai waktunya, misal dia tertidur sehingga melewati waktu zhuhur lalu bangun pas di waktu manusia shalat โ€˜Ashar berjamaah, maka hendaknya dia ikuti mereka, barulah dia shalat Zhuhur. Wallahu Aโ€™lam
3. Dia tidak mengerti (jahl) caranya, atau lupa, atau banyak yang harus diqadha.

IV. Mengqadha Shalat Sunah
Qadha pun bisa terjadi pada shalat sunah. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam, bahkan Beliau sendiri pernah melakukannya.

Qadha Shalat Sunah Fajar
Shalat sunah fajar boleh diqadha, yakni dilakukan setelah subuh baik matahari telah terbit atau belum. Hal ini berdasarkan hadits berikut (sebenarnya masih ada beberapa hadits lainnya, namun saya sebut dua saja):

โœ”Hadits Pertama:

ุนูŽู†ู’ ุฃูŽุจููŠ ู‡ูุฑูŽูŠู’ุฑูŽุฉูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ู…ูŽู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูุตูŽู„ู‘ู ุฑูŽูƒู’ุนูŽุชูŽูŠู’ ุงู„ู’ููŽุฌู’ุฑู ููŽู„ู’ูŠูุตูŽู„ู‘ูู‡ูู…ูŽุง ุจูŽุนู’ุฏูŽ ู…ูŽุง ุชูŽุทู’ู„ูุนู ุงู„ุดู‘ูŽู…ู’ุณู

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam bersabda: โ€œBarangsiapa yang belum shalat dua rakaat fajar, maka shalatlah keduanya (sunah fajar dan subuh) sampai tebitnya matahari.โ€ (HR. At Tirmidzi No. 423)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:

ูˆู‚ุฏ ุฑูˆูŠ ุนู† ุงุจู† ุนู…ุฑ ุฃู†ู‡ ูุนู„ู‡  ูˆุงู„ุนู…ู„ ุนู„ู‰ ู‡ุฐุง ุนู†ุฏ ุจุนุถ ุฃู‡ู„ ุงู„ุนู„ู… ูˆุจู‡ ูŠู‚ูˆู„ ุณููŠุงู† ุงู„ุซูˆุฑูŠ ูˆุงุจู† ุงู„ู…ุจุงุฑูƒ ูˆุงู„ุดุงูุนูŠ ูˆุฃุญู…ุฏ ูˆุฅุณุญู‚

Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia melakukannya. Sebagian ulama telah mengamalkan hadits ini dan inilah pendapat Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafiโ€™I, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, penjelasan hadits No. 423)

Imam Asy Syaukani menulis dalam Nailul Authar sebagai berikut:

ูˆูŽู‚ูŽุฏู’ ุซูŽุจูŽุชูŽ ุฃูŽู†ู‘ูŽ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ูŽ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ู‚ูŽุถูŽุงู‡ูู…ูŽุง ู…ูŽุนูŽ ุงู„ู’ููŽุฑููŠุถูŽุฉู ู„ูŽู…ู‘ูŽุง ู†ูŽุงู…ูŽ ุนูŽู†ู’ ุงู„ู’ููŽุฌู’ุฑู ูููŠ ุงู„ุณู‘ูŽููŽุฑู

โ€œTelah tsabit (kuat) bahwa Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam telah mengqadha keduanya  (shalat sunah fajar)  bersama shalat wajib (subuh) ketika ketiduran saat fajar dalam sebuah perjalanan.โ€
Tentang hadits Imam At Tirmidzi di atas,  Imam As Syaukani berkata:

ูˆูŽู„ูŽูŠู’ุณูŽ ูููŠ ุงู„ู’ุญูŽุฏููŠุซู ู…ูŽุง ูŠูŽุฏูู„ู‘ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุงู„ู’ู…ูŽู†ู’ุนู ู…ูู†ู’ ููุนู’ู„ูู‡ูู…ูŽุง ุจูŽุนู’ุฏ ุตูŽู„ูŽุงุฉู ุงู„ุตู‘ูุจู’ุญู

โ€œPada hadits ini tidaklah menunjukkan  larangan untuk melaksanakan dua rakaat tersebut setelah shalat subuh.โ€  (Nailul Authar, 3/25)

โœ”Hadits Kedua:

Hadits yang paling jelas tentang qadha shalat sunah fajar adalah riwayat tentang Qais bin Umar bahwa beliau shalat subuh di masjid bersama Rasulullah, sedangkan dia sendiri belum mengerjakan shalat sunah fajar. Setelah selesai shalat subuh dia berdiri lagi untuk shalat sunah dua rakaat. Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam   berjalan melewatinya dan bertanya:

ู…ูŽุง ู‡ูŽุฐูู‡ู ุงู„ุตู‘ูŽู„ูŽุงุฉู ููŽุฃูŽุฎู’ุจูŽุฑูŽู‡ู ููŽุณูŽูƒูŽุชูŽ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ูˆูŽู…ูŽุถูŽู‰ ูˆูŽู„ูŽู…ู’ ูŠูŽู‚ูู„ู’ ุดูŽูŠู’ุฆู‹ุง

โ€œShalat apa ini?, maka dia menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam diam, dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.โ€ (HR. Ahmad No. 23761, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf No. 4016, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul โ€˜Ummal No. 22032, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkat: โ€œBerkata Al โ€˜Iraqi: sanadnya hasan.โ€ (Fiqhus Sunnah, 1/187). Syaikh Syuโ€™aib Al Arnauth mengatakan: hadits ini mursal (terputus sanadnya pada generasi sahabat), namun semua perawinya tsiqaat. Lihat Taโ€™liq Musnad Ahmad No. 23761)

Beliau  melanjutkan:

ูˆุธุงู‡ุฑ ุงู„ุงุญุงุฏูŠุซ ุฃู†ู‡ุง ุชู‚ุถู‰ ู‚ุจู„ ุทู„ูˆุน ุงู„ุดู…ุณ ูˆุจุนุฏ ุทู„ูˆุนู‡ุงุŒ ุณูˆุงุก ูƒุงู† ููˆุงุชู‡ุง ู„ุนุฐุฑ ุฃูˆ ู„ุบูŠุฑ ุนุฐุฑ ูˆุณูˆุงุก ูุงุชุช ูˆุญุฏู‡ุง ุฃูˆ ู…ุน ุงู„ุตุจุญ

โ€œSecara zhahir, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mengqadha shalat sunah fajar  bisa  dilakukan sebelum terbit matahari atau setelahnya. Sama saja, baik terlambatnya karena adanya udzur atau selain udzur,  dan sama  pula baik yang luput itu shalat   sunah fajar saja, atau juga shalat subuhnya sekaligus.โ€ (Fiqhus Sunnah, 1/187) Sekian. Wallahu Aโ€™lam

Syaikh  Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

ูˆู‚ุงู„ ุงุจู† ุงู„ู…ู„ูƒ: ุณูƒูˆุชู‡ ูŠุฏู„ ุนู„ู‰ ู‚ุถุงุก ุณู†ุฉ ุงู„ุตุจุญ ุจุนุฏ ูุฑุถู‡ ู„ู…ู† ู„ู… ูŠุตู„ู‡ุง ู‚ุจู„ู‡. ูˆุจู‡ ู‚ุงู„ ุงู„ุดุงูุนูŠ - ุงู†ุชู‡ู‰. ูˆูƒุฐุง ู‚ุงู„ ุงู„ุดูŠุฎ ุญุณูŠู† ุจู† ู…ุญู…ูˆุฏ ุงู„ุฒูŠุฏุงู†ูŠ ููŠ ุงู„ู…ูุงุชูŠุญ ุญุงุดูŠุฉ ุงู„ู…ุตุงุจูŠุญุŒ ูˆุงู„ุดูŠุฎ ุนู„ูŠ ุจู† ุตู„ุงุญ ุงู„ุฏูŠู† ููŠ ู…ู†ู‡ู„ ุงู„ูŠู†ุงุจูŠุน ุดุฑุญ ุงู„ู…ุตุงุจูŠุญุŒ ูˆุงู„ุนู„ุงู…ุฉ ุงู„ุฒูŠู†ูŠ ููŠ ุดุฑุญ ุงู„ู…ุตุงุจูŠุญ

Berkata Ibnu Al Malik: โ€œDiamnya nabi menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunah subuh setelah ditunaikan kewajiban subuhnya, bagi siapa saja yang belum melakukannya sebelumnya. Ini adalah pendapat Asy Syafiโ€™i. Selesai. Demikian juga pendapat Syaikh Husein bin Mahmud Az Zaidani dalam kitab Al Mafatih Hasyiah Al Mashabih, Syaikh โ€˜Ali bin Shalahuddin dalam kitab  Manhal Al Yanabiโ€™ Syarh Al Mashabih, dan juga Al โ€˜Allamah Az Zaini dalam Syarh Al Mashabih.โ€ (Mirโ€™ah Al Mafatih, 3/465). Wallahu Aโ€™lam

Mengqadha shalat Baโ€™diyah Zhuhur
Imam Al Bukhari Rahimahullah berkata:

ูˆูŽู‚ูŽุงู„ูŽ ูƒูุฑูŽูŠู’ุจูŒ ุนูŽู†ู’ ุฃูู…ู‘ู ุณูŽู„ูŽู…ูŽุฉูŽ ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ุจูŽุนู’ุฏูŽ ุงู„ู’ุนูŽุตู’ุฑู ุฑูŽูƒู’ุนูŽุชูŽูŠู’ู†ู ูˆูŽู‚ูŽุงู„ูŽ ุดูŽุบูŽู„ูŽู†ููŠ ู†ูŽุงุณูŒ ู…ูู†ู’ ุนูŽุจู’ุฏู ุงู„ู’ู‚ูŽูŠู’ุณู ุนูŽู†ู’ ุงู„ุฑู‘ูŽูƒู’ุนูŽุชูŽูŠู’ู†ู ุจูŽุนู’ุฏูŽ ุงู„ุธู‘ูู‡ู’ุฑู

Kuraib berkata, dari Ummu Salamah: โ€œNabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam shalat setelah ashar sebanyak dua rakaat. Beliau bersabda: โ€œOrang-orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah zhuhur.โ€ (Shahih Bukhari, diriwayatkan secara muโ€™allaq dalam Bab Maa Yushalla Baโ€™dal โ€˜Ashri wa Minal Fawaa-it wa Nahwiha) 
Sebagaimana kita ketahui, bahwa setelah โ€˜Ashar adalah termasuk waktu dilarang shalat, tetapi kenapa Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam melakukan?
Imam Badruddin Al โ€˜Aini Rahmahullah berkata:

ู‚ุงู„ ุงู„ูƒุฑู…ุงู†ูŠ ูˆู‡ุฐุง ุฏู„ูŠู„ ุงู„ุดุงูุนูŠ ููŠ ุฌูˆุงุฒ ุตู„ุงุฉ ู„ู‡ุง ุณุจุจ ุจุนุฏ ุงู„ุนุตุฑ ุจู„ุง ูƒุฑุงู‡ุฉ

Berkata Al Karmani: โ€œIni adalah dalil bagi Asy Syafiโ€™i tentang kebolehan shalat  setelah โ€˜Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.โ€ (โ€˜Umdatul Qari, 8/19)
Imam Al โ€˜Aini mengomentari:

ู‚ู„ุช ู‡ุฐุง ู„ุง ูŠุตู„ุญ ุฃู† ูŠูƒูˆู† ุฏู„ูŠู„ุง ู„ุฃู† ุตู„ุงุชู‡ ู‡ุฐู‡ ูƒุงู†ุช ู…ู† ุฎุตุงุฆุตู‡ ูƒู…ุง ุฐูƒุฑู†ุง ูู„ุง ูŠูƒูˆู† ุญุฌุฉ ู„ุฐุงูƒ

Aku berkata: tidak benar menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena shalatnya ini merupakan bagian dari kekhususan bagi Beliau, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas hal itu. (Ibid)

Yang benar adalah bolehnya melakukan shalat  pada waktu-waktu terlarang jika ada sebab, dan itu bukanlah kekhususan bagi Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam saja. (lihat catatan kaki berikut). Dan, ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana keterangan berikut:

ุฐู‡ุจ ุงู„ู…ุงู„ูƒูŠุฉ ูˆุงู„ุดุงูุนูŠุฉ ูˆุงู„ุญู†ุงุจู„ุฉ ุŒ ูˆุฃุจูˆ ุงู„ุนุงู„ูŠุฉ ูˆุงู„ุดุนุจูŠ ูˆุงู„ุญูƒู… ูˆุญู…ุงุฏ ูˆุงู„ุฃูˆุฒุงุนูŠ ูˆุฅุณุญุงู‚ ูˆุฃุจูˆ ุซูˆุฑ ูˆุงุจู† ุงู„ู…ู†ุฐุฑ ุฅู„ู‰ ุฃู†ู‡ ูŠุฌูˆุฒ ู‚ุถุงุก ุงู„ูุฑุงุฆุถ ุงู„ูุงุฆุชุฉ ููŠ ุฌู…ูŠุน ุฃูˆู‚ุงุช ุงู„ู†ู‡ูŠ ูˆุบูŠุฑู‡ุง

Pendapat kalangan Malikiyah, Syafiโ€™iyah, Hanabilah, Abul โ€˜Aliyah, Asy Syaโ€™bi, Al Hakam, Hammad, Al Auzaโ€™i, Ishaq, Abu tsaur, dan Ibnul Mundzir, bahwasanya boleh mengqadha shalat wajib yang ditinggalkan pada waktu-waktu terlarang dan selainnya. (Asy Syarh Ash Shaghir, 1/242. Raudhatuth Thalibin, 1/193. Al Mughni, 2/107-108)

Demikianlah tentang mengqadha shalat sunah, yaitu shalat sunah fajar dan shalat baโ€™diyah zhuhur. Apakah hal ini boleh dilakukan untuk semua shalat sunah? Misalnya seseorang yang tidak sempat melakukan tahajud, akhirnya dia mengqadhanya ketika dhuha dengan mengqiyaskannya  pada kasus shalat sunah fajar dan shalat baโ€™diyah zhuhur? Sebagian ulama ada yang membolehkan, tapi jawaban yang relatif aman adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

ูˆุจุงุจ ุงู„ู‚ุฑุจุงุช ูŠู‚ุชุตุฑ ููŠู‡ ุนู„ู‰ ุงู„ู†ุตูˆุตุŒ ูˆู„ุง ูŠุชุตุฑู ููŠู‡ ุจุฃู†ูˆุงุน ุงู„ุฃู‚ูŠุณุฉ ูˆุงู„ุขุฑุงุก

Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash-nash, bukan karena qiyas-qiyas atau pendapat-pendapat. (Tafsir Al Quran Al โ€˜Azhim, 7/465)
Jadi, lebih aman dan selamat adalah mengqadha shalat sunah hanya pada jenis shalat yang memang Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam lakukan atau Beliau setujui, bukan shalat sunah lainnya. Keluar dari khilafiyah dengan mengikuti petunjuk nabi adalah lebih utama.
Para ulama kita menerangkan:

ูŠุฑู‰ ุงู„ุญู†ููŠุฉ ูˆุงู„ู…ุงู„ูƒูŠุฉ ุนู„ู‰ ุงู„ู…ุดู‡ูˆุฑ ุŒ ูˆุงู„ุญู†ุงุจู„ุฉ ููŠ ู‚ูˆู„ : ุฃู† ุงู„ุณู†ู† - ุนุฏุง ุณู†ุฉ ุงู„ูุฌุฑ - ู„ุง ุชู‚ุถู‰ ุจุนุฏ ุงู„ูˆู‚ุช

Menurut kalangan Hanafiyah, dan yang masyhur dari kalangan Malikiyah, serta Hanabilah (hambaliyah): bahwa shalat sunah โ€“kecuali sunah subuh- tidaklah diqadha setelah waktunya. (Al Hidayah wal โ€˜Inayah, 1/243. Asy Syarh Ash Shaghir, 1 /408-409, Al Inshaf,  2/178)

V. Shalat yang ditinggalkan pada masa lalu, wajibkah qadha?
Dalam hal ini sebenarnya terjadi perselisihan para imam, sebagian tetap mewajibkan qadha dengan melakukan qadha shalat yang dia tinggalkan sejauh yang dia ingat. Pada pembahasan sebelumnya telah kami jelaskan wajibnya mengqadha shalat wajib yang telah tertinggal, baik karena tertidur, lupa, dan uzur syarโ€™i lainnya,  yaitu dilakukan qadha secara segera ketika ingat dan sadar. Itulah yang diperintahkan dan dicontohkan nabi dan para sahabatnya, serta dititahkan segenap ulama Islam.
Bagaimana dengan seorang muslim yang pernah mengalami masa-masa suram terhadap agama, atau ketika masih ABG (Anak Baru Gede) masih malas untuk shalat, saat  itu mereka masih jaahil terhadap agama, atau karena lalai,  sehingga jika ditotal bisa jadi ratusan bahkan ribuan waktu shalat yang ditinggalkannya selama bertahun-tahun. Mereka baru insaf terhadap agama setelah melalui masa-masa itu, bahkan bisa jadi baru insaf ketika tua. Apakah yang seperti ini โ€œwajib qadhaโ€ juga?

Mengqadha shalat adalah sebuah amalan, yang namanya amalan mesti didasarkan  nash. Dalam konteks ini, tidak ada nash yang menunjukkan tentang wajibnya mengqadha โ€“puluhan, ratusan, bahkan ribuan- shalat yang  pernah ditinggalkan seseorang pada masa silam. Terlebih lagi, terjadi absurditas pada bagaimana cara mengqadhanya?  Ini adalah masalah penting, apalagi sudah dikatakan โ€œwajibโ€, maka tentunya masalah sepenting ini tidak mungkin luput dari perhatian pembuat syariat, lalu luput juga  dari perhatian para sahabat, dan tanpa ada  keterangan  para imam madzhab, dan para imam dunia dari zaman ke zaman hingga hari ini.

Oleh karena itu jawabannya adalah tidak wajib mengqadha jika sudah sampai seperti itu, tetapi wajib baginya banyak-banyak bertobat kepada Allah Taโ€™ala dengan menyesali, membenci perbuatan itu, dan berjanji tidak mengulanginya, serta memperbanyak shalat sunah. Inilah yang ditunjukkan oleh nash dan difatwakan oleh sebagian imam kaum muslimin.
Paling banter, wajibnya qadha menurut Imam Madzhab pun, jika meninggalkan 5 waktu shalat saja, jika lebih maka dia memulai shalatnya sesuai waktu yang sedang terjadi.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah menjelaskan:

ูˆู‚ุงู„ ุฃุจูˆ ุญู†ูŠูุฉ ูˆู…ุงู„ูƒ ูˆุงู„ุดุงูุนูŠ ูŠู‚ุถูŠู‡ุง ุจุนุฏ ุฎุฑูˆุฌ ุงู„ูˆู‚ุช ุญุชู‰ ุฅู† ู…ุงู„ูƒุง ูˆุฃุจุง ุญู†ูŠูุฉ ู‚ุงู„ุง ู…ู† ุชุนู…ุฏ ุชุฑูƒ ุตู„ุงุฉ ุฃูˆ ุตู„ูˆุงุช ูุฅู†ู‡ ูŠุตู„ูŠู‡ุง ู‚ุจู„ ุงู„ุชูŠ ุญุถุฑ ูˆู‚ุชู‡ุง ุฅู† ูƒุงู†ุช ุงู„ุชูŠ ุชุนู…ุฏ ุชุฑูƒู‡ุง ุฎู…ุณ ุตู„ูˆุงุช ูุฃู‚ู„ ุณูˆุงุก ุฎุฑุฌ ูˆู‚ุช ุงู„ุญุงุถุฑุฉ ุฃูˆ ู„ู… ูŠุฎุฑุฌ ูุฅู† ูƒุงู†ุช ุฃูƒุซุฑ ู…ู† ุฎู…ุณ ุตู„ูˆุงุช ุจุฏุฃ ุจุงู„ุญุงุถุฑุฉ

Berkata Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafiโ€™i bahwa dia harus mengqadhanya bila waktunya habis, bahkan Malik dan Abu Hanifah mengatakan barang siapa yang sengaja meninggalkan satu shalat atau beberapa shalat maka dia mesti mengqadhanya sebelum habisnya waktu hadirnya shalat.  Ini jika dia meninggalkan lima waktu shalat atau kurang, baik waktu hadirnya sudah habis atau belum, ada pun jika lebih banyak dari lima waktu maka hendaknya dia memulai shalat sesuai waktu hadirnya. (Al Muhalla, 2/235)

VI. Memperbanyak shalat sunah
Khadimus Sunnah, Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

ุดุฑุน ุงู„ุชุทูˆุน ู„ูŠูƒูˆู† ุฌุจุฑุง ู„ู…ุง ุนุณู‰ ุฃู† ูŠูƒูˆู† ู‚ุฏ ูˆู‚ุน ููŠ ุงู„ูุฑุงุฆุถ ู…ู† ู†ู‚ุตุŒ ูˆู„ู…ุง ููŠ ุงู„ุตู„ุงุฉ ู…ู† ูุถูŠู„ุฉ ู„ูŠุณุช ู„ุณุงุฆุฑ ุงู„ุนุจุงุฏุงุช.

Disyariatkannya shalat sunah adalah untuk jabran (menambal) kekurangan yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu, lantaran pada shalat terdapat berbagai keutamaan yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah lainnya. (Fiqhus Sunnah, 1/181)
Dalilnya adalah, dari Huraits bin Al Qabishah Radhiallahu โ€˜Anhu, bahwa Nabi Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam bersabda:

ุฅูู†ู‘ูŽ ุฃูŽูˆู‘ูŽู„ูŽ ู…ูŽุง ูŠูุญูŽุงุณูŽุจู ุจูู‡ู ุงู„ู’ุนูŽุจู’ุฏู ูŠูŽูˆู’ู…ูŽ ุงู„ู’ู‚ููŠูŽุงู…ูŽุฉู ู…ูู†ู’ ุนูŽู…ูŽู„ูู‡ู ุตูŽู„ูŽุงุชูู‡ู ููŽุฅูู†ู’ ุตูŽู„ูุญูŽุชู’ ููŽู‚ูŽุฏู’ ุฃูŽูู’ู„ูŽุญูŽ ูˆูŽุฃูŽู†ู’ุฌูŽุญูŽ ูˆูŽุฅูู†ู’ ููŽุณูŽุฏูŽุชู’ ููŽู‚ูŽุฏู’ ุฎูŽุงุจูŽ ูˆูŽุฎูŽุณูุฑูŽ ููŽุฅูู†ู’ ุงู†ู’ุชูŽู‚ูŽุตูŽ ู…ูู†ู’ ููŽุฑููŠุถูŽุชูู‡ู ุดูŽูŠู’ุกูŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุงู„ุฑู‘ูŽุจู‘ู ุนูŽุฒู‘ูŽ ูˆูŽุฌูŽู„ู‘ูŽ ุงู†ู’ุธูุฑููˆุง ู‡ูŽู„ู’ ู„ูุนูŽุจู’ุฏููŠ ู…ูู†ู’ ุชูŽุทูŽูˆู‘ูุนู ููŽูŠููƒูŽู…ู‘ูŽู„ูŽ ุจูู‡ูŽุง ู…ูŽุง ุงู†ู’ุชูŽู‚ูŽุตูŽ ู…ูู†ู’ ุงู„ู’ููŽุฑููŠุถูŽุฉู ุซูู…ู‘ูŽ ูŠูŽูƒููˆู†ู ุณูŽุงุฆูุฑู ุนูŽู…ูŽู„ูู‡ู ุนูŽู„ูŽู‰ ุฐูŽู„ููƒูŽ

Sesungguhnya pada hari kiamat nanti  yang pertama kali dihitung dari amal seorang hamba adalah shalatnya, jika bagus shalatnya maka dia telah beruntung dan selamat. Jika buruk maka dia telah merugi dan menyesal. Jika shalat wajibnya ada kekurangan maka Allah โ€˜Azza wa Jalla berfirman: โ€œLihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunah? Hendaknya disempurnakan kekurangan shalat wajibnya itu dengannya.โ€ Kemudian diperhitungkan semua amalnya dengan cara demikian. (HR. At Tirmidzi No. 413, katanya: hasan, Abu Daud No. 864, Ahmad No. 9494, Ad Darimi No. 1355, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3813, dll. Syaikh Husein Salim Asad mengatakan: shahih. Syaikh Syuโ€™aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Taโ€™liq Musnad Ahmad No. 9494)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah  mengatakan demikian:

ุชุงุฑูƒ ุงู„ุตู„ุงุฉ ุนู…ุฏุง ู„ุง ูŠุดุฑุน ู„ู‡ ู‚ุถุงุคู‡ุง ูˆู„ุง ุชุตุญ ู…ู†ู‡ุŒ ุจู„ ูŠูƒุซุฑ ู…ู† ุงู„ุชุทูˆุน

Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyatriatkan untuk mengqadhanya dan tidak sah jika dia melaksanakannya, tetapi hendaknya dengan memperbanyak shalat sunah. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/274)

VII. Memperbanyak Taubat
Imam Az Zarqani mengutip dari  Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah mengatakan, bahwa shalat sunah tidak bisa menggantikan shalat wajib yang ditinggalkan, sebab itu dosa besar, tetapi dengan bertaubat sebenar-benarnya, berikut ini perkataan Imam Ibnu Abdil Bar:

 ูˆู…ุนู†ู‰ ุฐู„ูƒ ุนู†ุฏูŠ ููŠู…ู† ุณู‡ุง ุนู† ูุฑูŠุถุฉ ุฃูˆ ู†ุณูŠู‡ุง ุฃู…ุง ุชุฑูƒู‡ุง ุนู…ุฏุง ูู„ุง ูŠูƒู…ู„ ู„ู‡ ู…ู† ุชุทูˆุน ู„ุฃู†ู‡ ู…ู† ุงู„ูƒุจุงุฆุฑ ู„ุง ูŠูƒูุฑู‡ุง ุฅู„ุง ุงู„ุฅุชูŠุงู† ุจู‡ุง ูˆู‡ูŠ ุชูˆุจุชู‡

Makna hadits itu adalah menurutku bagi siapa saja yang lalai dari shalat wajib atau lupa, adapun jika sengaja meninggalkannya maka tidak bisa disempurnakan dengan shalat sunah, karena itu adalah dosa besar yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan bertobat darinya. (Syarh Az Zarqani โ€˜Alal Muwaththaโ€™,  1/502)

Imam Ibnu Abdil Bar berbeda dengan Imam Ibnu Taimiyah, menurutnya jika meninggalkan shalat dengan sengaja tidak bisa dihilangkan dengan shalat sunah, tetapi dengan bertobat. Namun, keduanya sepakat bukan dengan cara mengqadha shalat wajib itu.
Ada pun Imam Ibnu Hazm, Beliau berpendapat: hendaknya orang tersebut memperbanyak shalat sunah dan amal kebaikan, serta bertobat dan memohon ampun kepada Allah Taโ€™ala.
Berikut ini perkataan Imam Ibnu Hazm:

ูˆุฃู…ุง ู…ู† ุชุนู…ุฏ ุชุฑูƒ ุงู„ุตู„ุงุฉ ุญุชู‰ ุฎุฑุฌ ูˆู‚ุชู‡ุง ู‡ุฐุง ู„ุง ูŠู‚ุฏุฑ ุนู„ู‰ ู‚ุถุงุฆู‡ุง ุฃุจุฏุง ูู„ูŠูƒุซุฑ ู…ู† ูุนู„ ุงู„ุฎูŠุฑ ูˆุตู„ุงุฉ ุงู„ุชุทูˆุน ู„ูŠุซู‚ู„ ู…ูŠุฒุงุชู‡ ูŠูˆู… ุงู„ู‚ูŠุงู…ุฉ ูˆู„ูŠุชุจ ูˆู„ูŠุณุชุบูุฑ ุงู„ู„ู‡ ุนุฒูˆุฌู„.

Ada pun orang yang sengaja meninggalkan shalat sampai habis  waktunya, maka hal itu selamanya tidak bisa disetarakan dengan mengqadhanya, tetapi hendaknya dia memperbanyak melakukan perbuatan baik dan shalat sunah, agar dapat memperberat timbangannya pada hari kiamat, dan hendaknya dia bertobat dan memohon ampunan kepada Allah โ€˜Azza wa Jalla. (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/275)
Beliau mengkritik tajam pihak yang mewajibkan qadha, katanya:

ูุฅู† ุงู„ู‚ุถุงุก ุฅูŠุฌุงุจ ุดุฑุนุŒ ูˆุงู„ุดุฑุน ู„ุง ูŠุฌูˆุฒ ู„ุบูŠุฑ ุงู„ู„ู‡ ุชุนุงู„ู‰ ุนู„ู‰ ู„ุณุงู† ุฑุณูˆู„ู‡ ุตู„ู‰ ุงู„ู„ู‡ ุนู„ูŠู‡ ูˆุณู„ู….
ูู†ุณุฃู„ ู…ู† ุฃูˆุฌุจ ุนู„ู‰ ุงู„ุนุงู…ุฏ ู‚ุถุงุก ู…ุง ุชุนู…ุฏ ุชุฑูƒู‡ ู…ู† ุงู„ุตู„ุงุฉ ุฃุฎุจุฑู†ุง ุนู† ู‡ุฐู‡ ุงู„ุตู„ุงุฉ ุงู„ุชูŠ ุชุฃู…ุฑู‡ ุจูุนู„ู‡ุง ุฃู‡ูŠ ุงู„ุชูŠ ุฃู…ุฑู‡ ุงู„ู„ู‡ ุจู‡ุง ุฃู… ู‡ูŠ ุบูŠุฑู‡ุงุŸ

Sesungguhnya qadha adalah kewajiban yang ditentukan oleh syariat, dan syariat itu tidak boleh diambil dari selain Allah Taโ€™ala melalui lisan RasulNya Shallallahu โ€˜Alaihi wa Sallam. Maka, kami bertanya,  siapakah yang mewajibkan qadha bagi orang yang sengaja tidak shalat? Kabarkan kepada kami tentang shalat yang kau perintahkan untuk melakukannya itu; apakah dia perintah Allah atau selain Allah? (Ibid)
Inilah pendapat yang  nampaknya kuat, mengingat beberapa hal:
~ Para mualaf masa awal Islam tidak pernah diperintahkan mengqadha shalat yang mereka tinggalkan ketika awal-awal keislaman mereka.
~ Pada masa Abu Bakar dan Umar Radhiallahu โ€˜Anhuma, banyak manusia yang murtad, lalu kembali lagi kepada Islam, namun mereka tidak diminta untuk mengqadha shalat yang mereka tinggalkan.

VIII. Menghargai Pendapat Lain
Sebagian imam โ€“dan ini masyhur dikalangan Syafiโ€™iyah- mengatakan wajibnya qadha terhadap shalat yang pernah ditinggalkan pada masa-masa silam. Mereka mengatakan dilakukan dengan cara: 1. Memperkirakan berapa jumalah shalat yang ditinggalkan hingga jumlah yang menenangkan hati mereka. 2. Diqadha pada waktu-waktu yang bebas kapan pun walaupun di waktu-waktu terlarang. Tentu pendapat ini perlu dihargai dan tidak ada pengingkaran dalam masalah yang masih debatable para ulama. 

Ada pun seseorang mengqadha shalat yang baru saja ditinggalkan, lalu dia ingat dan sadar, maka telah   wajib mengqadhanya menurut ijmaโ€™. Sebagaimana yang nabi dan para sahabat contohkan pada hadits-hadits di awal.
Demikianlah masalah ini. Semoga bermanfaat.

Wa Shallallahu โ€˜Ala Nabiyyina Muhammadin wa โ€˜Ala Alihi wa Shahbihi ajmain.

0โƒฃ8โƒฃ Kiki
Ustadz, bagaimana cara memberitahu atau menasehati teman yang apatis terhadap penceramah,  terutama yang tampil di televisi atau yang datang ke kota-kota,  dikarenakan teman tersebut menganggap penceramahnya meminta bayaran atau tarif tertentu ustadz?

๐ŸŒธ Jawab:
Kalau begitu, kasih dia ceramah para ustadz di kampung-kampung, ajak dia ke sana. Yang memang diakui keilmuannya.

Kalau tidak mau juga, baik sangka saja, mungkin dia maunya baca buku, atau lainnya.

Adanya ustadz yang minta tarif memang bikin ilfil, tapi tidak boleh pukul rata.
Masih banyak para ustadz yang Mukhlis.

Wallahu a'lam

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ
 ๐Ÿ’ŽCLoSSiNG STaTeMeNT๐Ÿ’Ž


Perbedaan pendapat dalam  fiqih, ibarat perbedaan menu; rendang, sate, semur, sop, tapi dagingnya sama yaitu daging sapi.., maka seharusnya ini bukan perbedaan yang membahayakan.

Ada pun perbedaan aqidah, bukan perbedaan menu, tapi memang perbedaan bahan dasar dagingnya yang daging sapi, yang lain daging yang berbeda. Inilah yang berbahaya.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar