OLeH: Ustadz Farid Nu'man Hasan
💎M a T e R i💎
🌷BAHAYA MENINGGALKAN SHOLAT
Sungguh malang orang yang mengaku muslim tapi tidak shalat. Pengakuan kosong yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Berikut ini berbagai kecaman untuk mereka yang sengaja meninggalkan shalat.
🔷KECAMAN DALAM AL QURAN
Allah Ta’ala telah mengecam mereka dalam berbagai ayat-Nya:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam: 59)
Mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Saqar. Allah Ta’ala berfirman:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ (42) قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ (43)
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al Muddatsir: 42-43)
Mereka mengalami kesulitan sakaratul maut. Allah Ta’ala berfirman:
كَلا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ (26) وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (27) وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ (28) وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ (29) إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ (30) فَلا صَدَّقَ وَلا صَلَّى (31) وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى (32) ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى (33) أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (34) ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى (35)
“Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): "Siapakah yang dapat menyembuhkan?", dan Dia yakin bahwa Sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau. dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran), kemudian ia pergi kepada ahlinya dengan berlagak (sombong). kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu, kemudian kecelakaanlah bagimu dan kecelakaanlah bagimu.” (QS. Al Qiyamah (75): 26-35)
Mereka juga diancam dengan neraka Wail (kecelakaan). Allah Ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Ma’un (107): 4-5)
🔷KECAMAN DALAM AL HADITS
Dalam berbagai hadits shahih, orang yang sengaja meninggalkan shalat disebut kafir. Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
“Batas antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim No. 82)
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. At Tirmidzi No. 2621, katanya: hasan shahih gharib,Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 11, katanya: “isnadnya shahih." Ahmad No. 22937, Syaikh
Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: sanadnya qawwy (kuat))
Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة من النار يوم القيامة ومن لم يحافظ عليها لم تكن له نورا ولا نجاة ولا برهانا وكان يوم القيامة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف
“Barangsiapa yang menjaga shalatnya maka baginya cahaya, bukti, dan keselamatan dari neraka pada hari kiamat. Barangsiapa yang tidak menjaganya maka dia tidak memiliki cahaya dan tidak selamat (dari api neraka), dan tidak memiliki bukti, serta pada hari kiamat nanti dia akan hidup bersama Qarun, Fir’aun, Hamman, dan Ubai bin Khalaf.” (HR. Ad Darimi No. 2721, Syaikh Sayyiq Sabiq mengatakan sanadnya jayyid (baik), Fiqhus Sunnah, 1/93. Dar Al Kitab Al ‘Arabi. Ahmad No. 6576, kata pentahqiqnya: sanadnya hasan)
Imam Al Mundziri Rahimahullah mengatakan:
وقال ابن أبي شيبة قال النبي صلى الله عليه وسلم : من ترك الصلاة فقد كفر
وقال محمد بن نصر المروزي سمعت إسحاق يقول صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة كافر
Berkata Ibnu Abi Syaibah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat maka dia telah kafir.”
Berkata Muhammad bin Nashr Al Marwazi, aku mendengar Ishaq berkata: “Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat, maka dia telah kafir.” (Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Cet. 5, Maktabah Al Ma’arif. Riyadh)
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar, maka telah terhapus amalnya.” (HR. Bukhari No. 528)
Sementara dalam hadits lain, bahwa orang yang meninggalkan shalat boleh dihukum mati (tentu setelah keputusan mahkamah syariah). Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان
"Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni): Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Ya’ala dan Ad Dailami dishahihkan oleh Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tapi Syaikh Al Albani mendhaifkannya dalam Dhaiful Jami’ No. 3696)
Kafirkah Yang Meninggalkan Shalat?
▪MANUSIA MENINGGALKAN SHALAT KARENA DUA KEADAAN:
1. Mengingkari kewajibannya.
Dia tidak shalat karena menurutnya shalat lima waktu itu bukan kewajiban. Jenis ini adalah kafir, murtad dari Islam, tidak ada perselisihan atas hal itu dan merupakan kesepakatan kaum muslimin.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
ترك الصلاة جحودا بها وإنكارا لها كفر وخروج عن ملة الاسلام، بإجماع المسلمين.
"Meninggalkan shalat karena menolak dan mengingkarinya, maka itu adalah kafir dan keluar dari agama Islam menurut ijma’ kaum muslimin." (Fiqhus Sunnah, 1/92)
2. Tidak shalat tapi masih mengakui kewajibannya tapi meninggalkan karena malas, tenggelam kesibukan yang tidak beralasan, dan semisalnya. Maka para ulama berbeda pendapat, ada yang menilainya kafir dan murtad, ada yang menilainya masih muslim tapi fasiq dan berdosa besar.
Alasannya banyak hadits-hadits yang menyatakan kafirnya meninggalkan shalat dan hukumnya adalah mati, sebagaimana hadits-hadits yang sudah kami sebut sebelumnya. Begitu pula pandangan para sahabat nabi secara umum.
🔷KECAMAN DAN FATWA DARI PARA SAHABAT
Secara umum, para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan kafirnya oang yang sengaja meninggalkan shalat. Dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
كان أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم لا يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة
"Para sahabat nabi tidaklah memandang suatu perbuatan yang dapat kufur jika ditinggalkan melainkan meninggalkan shalat.” (HR. At Tirmidzi No. 2757, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2622)
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mencatat dalam Al Muhalla-nya:
وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَمُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاةَ فَرْضٍ وَاحِدَةٍ مُتَعَمِّدًا حَتَّى يَخْرُجَ وَقْتُهَا فَهُوَ كَافِرٌ مُرْتَدٌّ.
“Telah datang dari Umar, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, dan selain mereka dari kalangan sahabat Radhiallahu ‘Anhum, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib sekali saja secara sengaja hingga keluar dari waktunya, maka dia kafir murtad.” (Al Muhalla, 1/868. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Abdullah bin Amr bin Al Ash Radhiallahu ‘Anhuma, mengatakan:
ومن ترك الصلاة فلا دين له.
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5/508. Darul Fikr)
Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu berkata:
لا إيمان لمن لا صلاة له ولا صلاة لمن لا وضوء له رواه ابن عبد البر وغيره موقوفا
“Tidak ada iman bagi yang tidak shalat, dan tidak ada shalat bagi yang tidak berwudhu.”
Diriwayatkan Ibnu Abdil Bar dan selainnya secara mawquf. (Atsar ini Shahih mawquf. Lihat Syaikh Al Albani, Shahih At Targhib wat Tarhib, 1/575. Maktabah Al Ma’arif)
Imam Al Mundziri Rahimahullah menyebutkan:
وكذلك كان رأي أهل العلم من لدن النبي صلى الله عليه وسلم أن تارك الصلاة عمدا من غير عذر حتى يذهب وقتها كافر
“Demikian pula, dahulu pendapat ulama dari orang yang dekat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yakni para sahabat), bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja tanpa ‘udzur, sampai habis waktunya, maka dia kafir.” (Ibid)
Tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat juga menjadi pendapat umumnya ahli hadits, sebagaimana keterangan berikut dari Imam Ibnu Rajab Al Hambali Rahimahullah yang mengatakan:
الإمام أحمد وكثير من علماء أهل الحديث يرى تكفير تارك الصلاة .
وحكاه إسحاق بن راهويه إجماعا منهم حتى إنه جعل قول من قال : لا يكفر بترك هذه الأركان مع الإقرار بها من أقوال المرجئة . وكذلك قال سفيان بن عيينه : المرجئة سموا ترك الفرائض ذنبا بمنزلة ركوب المحارم ، وليسا سواء ، لأن ركوب المحارم متعمدا من غير استحلال : معصية ، وترك الفرائض من غير جهل ولا عذر : هو كفر . وبيان ذلك في أمر آدم وإبليس وعلماء اليهود الذين أقروا ببعث النبي صلي الله عليه وسلم ولم يعملوا بشرائعه . وروي عن عطاء ونافع مولى ابن عمر أنهما سئلا عمن قال : الصلاة فريضة ولا أصلي ، فقالا : هو كافر . وكذا قال الإمام أحمد .
$Imam Ahmad dan kebanyakan ulama ahli hadits berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Ishaq bin Rahawaih menceritakan adanya ijma’ di antara mereka (ahli hadits), sampai-sampai dijadikan sebuah ungkapan barangsiapa yang mengatakan: tidak kafirnya orang yang meninggalkan rukun-rukun ini dan orang itu masih mengakui rukun-rukun tersebut, maka ini adalah termasuk perkataan murji’ah. Demikian juga perkataan Sufyan bin ‘Uyainah: orang murji’ah menamakan meninggalkan kewajiban adalah sebagai dosa dengan posisi yang sama dengan orang yang menjalankan keharaman. Keduanya tidaklah sama, sebab menjalankan keharaman dengan tanpa sikap ‘menghalalkan’ merupakan maksiat, dan meninggalkan kewajiban-kewajiban bukan karena kebodohan dan tanpa ‘udzur, maka dia kufur. Penjelasan hal ini adalah dalam perkara Adam dan Iblis, dan ulama Yahudi yang mengakui diutusnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka tidak mengamalkan syariat-syariatnya. Diriwayatkan dari Atha’ dan Nafi’ pelayan ibnu Umar, bahwa mereka berdua ditanya tentang orang yang mengatakan: Shalat adalah wajib tetapi saya tidak shalat.” Mereka berdua menjawab: Dia kafir. Ini juga pendapat Imam Ahmad.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 1/9. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan, tentang pihak yang mengkafirkan orang yang tidak shalat:
ومن غير الصحابة أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه، وعبد الله بن المبارك، والنخعي، والحكم بن عتيبة وأبو أيوب السختياني، وأبو داود الطيالسي، وأبو بكر بن أبي شيبة، وزهير بن حرب، وغيرهم رحمهم الله تعالى
"Dari selain sahabat nabi, adalah Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha’i, Al Hakam bin ‘Utaibah, Abu Ayyub As Sukhtiyani, Abu Daud Ath Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan selain mereka, Rahimahumullah Ta’ala." (Fiqhus Sunnah, 1/93)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menguatkan pendapat ini, karena syaari’ (pembuat syariat) telah menamakan orang yang meninggalkan shalat dengan sebutan kafir, dan menjadi dinding pembatas antara seseorang dengan penyebutan kafir adalah shalat. (Ibid, 1/95)
Sementara itu, mayoritas ulama mengatakan orang yang meninggalkan shalat karena sengaja, baik karena malas, atau alasan yang tidak syar’i lainnya, bahwa dia masih muslim tapi fasiq.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
رأي بعض العلماء الاحاديث المتقدمة ظاهرها يقتضي كفر تارك الصلاة وإباحة دمه، ولكن كثيرا من علماء السلف والخلف، منهم أبو حنيفة، مالك، والشافعي، على أنه لا يكفر، بل يفسق ويستتاب، فإن لم يتب قتل حد أعند مالك والشافعي وغيرهما. وقال أبو حنيفة: لا يقتل بل يعزر ويحبس حتى يصلي، وحملوا أحاديث التكفير على الجاحد أو المستحل للترك،
"Pandangan sebagian ulama bahwa hadits-hadits yang lalu, secara zahir menunjukkan bahwa kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara sengaja dan darahnya halal ditumpahkan, tetapi banyak ulama salaf dan khalaf diantaranya Abu Hanifah, Malik, dan Asy Syafi’i yang mengatakan tidak kafir, tetapi fasiq dan mesti dimintai tobatnya. Jika dia tidak bertobat maka mesti dihukum mati menurut Malik dan Syafi’i, sedangkan Abu Hanifah mengatakan: tidak dibunuh tetapi hukum ta’zir dan dikucilkan sampai dia shalat. Golongan ini memaknai hadits-hadits kafirnya meninggalkan shalat adalah jika karena meningkari atau dia menghalalkan meninggalkan shalat." (Fiqhus Sunnah, 1/94-95)
Selain itu, mereka juga berdalil dengan beberapa dalil lainnya, di antaranya:
Firman Allah Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
"Sesungguhnya Allah tidak alan mengampuni dosa menyukutukan diri-Nya, tetapi Dia mengampuni dosa selain itu bagi yang dikehendaki-Nya." (QS. An Nisa: 48, 116)
Jelas menurut ayat ini, dosa selain syirik masih berpotensi Allah Ta’ala ampunkan, dan meninggalkan shalat termasuk di antaranya.
Alasan lain, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ (دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ) يَدْعُو بِهَا وَأُرِيدُ أَنْ أَخْتَبِئَ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي فِي الْآخِرَةِ
"Setiap nabi memiliki doa yang dikabulkan, dan aku ingin menyimpan dulu doaku sebagai syafaat bagi umatku di akhirat nanti." (HR. Al Bukhari No. 6304, Muslim No. 198)
Jadi, seluruh umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam akan mendapatkan syafaat dari Allah Ta’ala melalui doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
"Manusia paling bahagia adalah yang mendapatkan syafaatku pada hari kiamat, yaitu manusia yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah secara tulus dari hatinya atau jiwanya." (HR. Al Bukhari No. 99)
Dalil lainnya adalah, dari Huraits bin Al Qabishah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ
"Sesungguhnya pada hari kiamat nanti yang pertama kali dihitung dari amal seorang hamba adalah shalatnya, jika bagus shalatnya maka dia telah beruntung dan selamat. Jika buruk maka dia telah merugi dan menyesal. Jika shalat wajibnya ada kekurangan maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Lihatlah apakah hambaKu memiliki shalat sunah? Hendaknya disempurnakan kekurangan shalat wajibnya itu dengannya.” Kemudian diperhitungkan semua amalnya dengan cara demikian." (HR. At Tirmidzi No. 413, katanya: hasan, Abu Daud No. 864, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 9494)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan demikian:
تارك الصلاة عمدا لا يشرع له قضاؤها ولا تصح منه، بل يكثر من التطوع
"Orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, tidak disyariatkan untuk mengqadhanya dan tidak sah jika dia melaksanakannya, tetapi hendaknya dengan memperbanyak shalat sunah." (Lihat Fiqhus Sunnah, 1/274)
Hadits ini menunjukkan bahwa memperbanyak shalat sunnah dapat menutupi kekurangan shalat wajib yang ditinggalkan, maka itu tanda bahwa dia tidak kafir, sebab shalat sunnahnya orang kafir tentu tidak bermanfaat. Sementara ulama lain memahami bahwa makna hadits ini bukan “shalat wajib yang ditinggalkan” disempurnakan oleh shalat sunnah, tetapi shalat yang tidak bagus kualitasnya akan ditutupi oleh shalat sunnah, dia masih shalat tapi kurang bagus kualitasnya, sebab tidak mungkin shalat wajib bisa terbayar oleh shalat sunnah.
Dialog Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad Rahimahumallah
Imam As Subki bercerita dalam Thabaqat Syafi’iyah:
حكى أن أحمد ناظر الشافعى فى تارك الصلاة فقال له الشافعى يا أحمد أتقول إنه يكفر قال نعم
قال إذا كان كافرا فبم يسلم
قال يقول لا إله إلا الله محمد رسول الله ( صلى الله عليه وسلم )
قال الشافعى فالرجل مستديم لهذا القول لم يتركه
قال يسلم بأن يصلى قال صلاة الكافر لا تصح ولا يحكم بالإسلام بها فانقطع أحمد وسكت
Dikisahkan bahwa Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i berdebat tentang orang yang meninggalkan shalat.
Imam Asy Syafi’i bertanya kepada Imam Ahmad: “Wahai Ahmad, apakah engkau mengatakan orang yang meninggalkan shalat itu kafir?”
Imam Ahmad menjawab: “Ya.”
Imam Asy Syafi’i bertanya lagi: “Lalu, bagaimana caranya dia berislam lagi?”
Imam Ahmad menjawab: “Dia mesti mengucapkan Laa Ilaaha Illallahu Muhammad Rasulullah.”
Imam Asy Syafi’i berkata: “Dia masih mengucapkan kalimat itu, dia tidak pernah meninggalkan kalimat syahadat.”
Imam Ahmad mengatakan: “Kalau begitu dia melakukan shalat (untuk kembali Islam).”
Imam Asy Syafi’i menjawab: “Shalatnya orang kafir itu tidak sah, dan dengan itu dia tidak dihukumi sebagai Islam.” Maka Imam Ahmad pun terdiam. (Imam Tajuddin As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah Al Kubra, 2/61)
Bagi kami, di tengah kondisi umat Islam yang sakit mentalnya dan umumnya lemah keberagamaannya, maka posisi mereka dihadapan para da’i dan ulama bagaikan pasien dihadapan dokter. Mereka mesti dihidupkan harapannya bukan ditakut-takuti. Maka, pendapat umumnya ulama madzhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Asy Syafi’i, lebih sesuai dengan kondisi zaman ini. Sebab, umat saat ini akan lari dan membenci agama jika dicekoki pandangan yang mengkafirkan mereka, karena itu mengerikan bagi mereka. Sehingga masalah ini tidak terhenti pada adu kuat dalil saja, tapi juga bagaimana psikologis umat Islam sebagai manath-objek dari fiqihnya, juga menjadi perhatian para pemerhati masalah seperti ini.
Wallahu A’lam
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
💎TaNYa JaWaB💎
0⃣1⃣ Kiki ~ Pekanbaru
Ustadz disebutkan "Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai dari shalatnya",
Ustadz itu maksud "lalai" disana apakah termasuk menunda atau tidak diawal waktu juga kah ya ustadz?
🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim,
Imam Ibnu Jarir dalam Tafsirnya menjelaskan ada 4 penjelasan makna saahuun (lalai):
1) Meninggalkan shalat sama sekali.
2) Menunda shalat sampai habis waktunya.
3) Shalatnya bolong-bolong.
4) Shalatnya ingin dilihat.
Wallahu A’lam
0⃣2⃣ Yayi ~ Sukabumi
Assalaamu'alaikum,
Ustadz, terkadang kalau bepergian saya lupa bawa baju ganti karena merasa perjalanan tidak begitu jauh namun karena kendala sering macet dan sebagainya saya mendahulukan sholat pada setiap waktunya, namun saya merasa pakaian saya khawatir terkena najis dan sebagainya karena keluar masuk pasar atau tempat tertentu. Bagaimana dengan sholat saya ustadz?
Jazakallah khayran.
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Ada kaidah:
اليقين لا يزال بالشك
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan
Jadi, jika kita yakin masih suci maka shalat saja pakai pakaian itu. Jangan biarkan was-was dihati kita. Selama belum benar-benar nyata dan terlihat kena najis, maka yakinlah masih suci.
Wallahu A’lam
💎Kalau diperjalanan jauh dari masjid misalnya sudah masuk maghrib bertemu masjid setelah jam 10 malam bagaimana itu ustadz?
🌸Safar adalah salah satu sebab bolehnya dijamak.
Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia mengadakan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.” (HR. Al Bukhari No. 1112)
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا.
“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah boleh menurut mayoritas para ulama, sama saja baik ketika dalam perjalanannya atau ketika turun (berhenti).” (Fiqhus Sunnah, 1/289)
Jarak dibolehkan jamak itu sama seperti jarak boleh qashar. Mayoritas ulama mengatakan jika sdh 4 burd, atau 88,657 km.
Wallahu A’lam
0⃣3⃣ Bunda Vina ` Cianjur
Assalamualaikum,
Ustadz, kalau kita ngantuk ketiduran belum sholat isya, bangun-bangun di sepertiga malam, tapi ingat belum melaksanakan sholat isya, apa saya sholat nya, apa termasuk lalai juga?
Jazakallah kyaran.
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Shalat lah saat bangun. Tidak apa-apa. Orang tertidur tidaklah dianggap berdosa.
Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ : عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ ، وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ، وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Pena diangkat dari 3 golongan:
1. Orang tidur sampai dia bangun.
2. Anak kecil sampai dia mimpi basah (baligh).
3. Orang gila sampai dia berakal.
(HR. Abu Daud no. 4403 At Tirmidzi no. 1423. Shahih)
Wallahu A’lam
0⃣4⃣ Nurjanah ~ Serang Banten
Assalamualaikum ustadz,
1. Ketika kita hendak sholat tiba-tiba orang tua kita nyuruh sesuatu kepada kita, mana yang harus di dahulukan apakah sholat dulu karena sudah waktunya ataukah penuhi perintah orang tua dulu?
2. Ketika sedang khusyu berdoa tiba-tiba orang tua memanggil kita apakah tetap lanjut berdoa ataukah berhenti menjawab panggilan orang tua?
Mohon penjelasannya ustadz.
Jazakallah khayr.
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
1. Jika shalat wajib, maka lanjutkan shalatnya. Menyahut orang tua juga wajib, tapi shalat wajib lebih dahulukan.
2. Jika shalat sunnah, atau sekadar berdoa, maka dahulukan orang tua, sebab menyahut orang tua adalah wajib. Sedangkan itu sunnah.
Wallahu A’lam
0⃣5⃣ Serra ~ Malang
Assalamualaikum,
Bagaimana mensiasati sholat ketika memiliki bayi masih 3 bulan.
Terima kasih
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Mengurus bayi adalah salah satu mayaqqat (kesulitan) bagi seorang ibu. Jika bisa dihandel maka shalat seperti biasa.
Jika tidak bisa ditinggal tidak apa-apa urus anak dulu sampai tidur, boleh dijamak jika sangat sulit ditinggal atau bahaya jika ditinggal.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada hari saat tidak ketakutan dan tidak hujan.” (HR. Muslim No. 70)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata:
وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.
“Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i secara marfu’ (sampai) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.” (Al Fatawa Al Kubra, 5/350)
Wallahu A’lam
0⃣6⃣Yuli-Jombang
Assalamualaikum ustadz,
Dalam materi disebutkan bahwa tidak ada qadha untuk sholat yang telah berlalu.
Di daerah saya, ada kebiasaan jika seseorang meninggal dan sebelumnya dalam keadaan sakit, tidak mengerjakan sholat, maka setelah almarhum atau almarhumah dimakamkan maka ada sekelompok orang yang mengerjakan shalat sebagai qadha untuk si almarhum, bagaimana dengan hal ini ustadz?
Lalu, bagaimana dengan orang yang lupa sehingga terlewat waktu sholat?
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Tidak qadha itu menurut Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Hazm, dan lainnya. Tapi mayoritas ulama tetap mewajibkan qadha.
Ada pun untuk yang sudah wafat adalah :
Menghadiahi Pahala Shalat Untuk Mayit
Shalat dengan niat pahalanya untuk orang yang sudah wafat adalah zona debatable para ulama. Sebagian ulama mengatakan tidak sampai dan tidak ada contohnya, sebagian lain mengatakan boleh dan sampai.
Namun para ulama sepakat bahwa doa, sedekah, haji, dan umrah, adalah sampai pahalanya kepada mayit. Begitu pula nadzar dan waqaf yang dulu pernah direncanakan oleh mayit dimasa hidupnya, lalu kemudian ditunaikan oleh keluarganya. Semua ini tidak ada perselisihan: boleh dan sampai.
Adapun membaca Al Qur'an, shalat, shaum, qurban, aqiqah, adalah hal yang diperdebatkan para imam sejak dulu.
✔Pihak Yang Membolehkan
Ini dimotori oleh Hambaliyah generasi awal dan pertengahan, serta Hanafiyah, dan sekelompok Syafi'iyyah dan Malikiyah. Alasannya adalah Qiyas dengan kebolehan sedekah, haji, dan umrah untuk mayit.
Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata:
الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ مِنْ صَدَقَةٍ أَوْ صَلَاةٍ أَوْ غَيْرِهِ لِلْأَخْبَارِ .
Sampai kepada mayit semua bentuk amal kebaikan, baik berupa sedekah, shalat, dan amal shalih lainnya, karena adanya riwayat tentang itu.
(Imam Al Bahutiy, Syarh Muntaha Al Iradat, 3/16)
Syaikh Abdullah Al Faqih Hafizhahullah mengatakan:
وعلى القول الراجح بجواز إهداء ثواب الصلاة للميت، فيجوز أن تكون هذه الصلاة جماعة أو فرادى
Pendapat yang lebih kuat adalah BOLEHNYA menghadiahkan pahala SHALAT untuk mayit, dan boleh shalat ini dilakukan secara berjamaah atau sendirian.
(Fatawa Asy Syabakah Al Islamiyyah no. 121425)
Namun demikian, Syaikh Abdullah Al Faqih tetap mengutamakan mengikuti perilaku salaf dengan melakukan hal-hal yang disepakati saja. Kata Beliau:
ولهذا فالأفضل والأكمل أن يقتصر المسلم على ما وردت به السنة كالدعاء للميت والصدقة، والصيام عنه إذا كان عليه صوم واجب، وكذلك الحج عنه إذا كان عليه حج واجب، لأدلة كثيرة
Oleh karenanya, maka yang lebih utama dan lebih sempurna adalah seorang muslim mencukupkan diri pada apa-apa yang sampai dari Sunnah, seperti doa buat mayit, sedekah, puasa jika dia masih ada kewajiban puasa, demikian juga haji untuknya jika dia masih ada kewajiban haji, karena dalil-dalilnya banyak.
(Ibid, no. 8132)
Apa yang dikatakan Syaikh tentang puasa untuk mayit adalah hal yang diperselisihkan ulama, di mana Syafi'iyah mengatakan boleh berdasarkan hadits Shahih Muslim, sementara Jumhur mengatakan tidak, kecuali puasa nadzar.
Semetara itu, Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, mengatakan bahwa hadiah pahala Shalat untuk mayit adalah BOLEH menurut banyak ulama, Namun walaupun boleh tapi hal itu BUKAN KEBIASAAN ulama salaf, dan lebih utama adalah mengikuti salaf, bukan menyelisihi mereka.
Berikut ini perkataannya:
وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بالصدقة على الميت، وأمر أن يصام عنه الصوم، فالصدقة عن الموتى من الأعمال الصالحة، وكذلك ما جاءت به السنة في الصوم عنهم. وبهذا وغيره احتج من قال من العلماء: إنه يجوز إهداء ثواب العبادات المالية والبدنية إلى موتى المسلمين. كما هو مذهب أحمد وأبي حنيفة، وطائفة من أصحاب مالك والشافعي.
فإذا أهدي لميت ثواب صيام أو صلاة أو قراءة جاز ذلك وأكثر أصحاب مالك والشافعي يقولون: إنما شرع ذلك في العبادات المالية.
ومع هذا لم يكن من عادة السلف إذا صلوا تطوعاً وصاموا وحجوا أو قرأوا القرآن، يهدون ثواب ذلك لموتاهم المسلمين، ولا بخصوصهم، بل كان عادتهم كما تقدم- أي فعل العبادة لأنفسهم مع الدعاء والصدقة للميت- فلا ينبغي للناس أن يبدلوا طريق السلف، فإنه أفضل وأكمل
Telah Shahih dari Nabi Shalallahu'Alaihi wa Sallam bahwa Beliau memerintahkan sedekah untuk mayit, dan juga berpuasa untuk untuknya. Maka, sedekah untuk mayit adalah termasuk amal Shalih, demikian pula tentang sunahnya puasa untuk mereka.
Oleh karena itu, berdasarkan ini dan selainnya, di antara ulama ada yang mengatakan: "Bolehnya menghadiahkan pahala ibadah badan dan harta kepada mayat kaum muslimin." Sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, segolongan dari pengikut Imam Malik dan Imam Asy Syafi'iy.
Maka, jika dihadiahkan pahala untuk mayit berupa pahala puasa, atau SHALAT, atau membaca Al Qur'an, hal itu BOLEH.
Tapi, MAYORITAS para pengikut Malik dan Asy Syafi'iy mengatakan itu hanya disyariatkan pada ibadah HARTA saja.
Disamping memang hal ini TIDAK PERNAH menjadi kebiasaan kaum salaf, jika mereka shalat, puasa, haji, membaca Al Qur'an, menghadiahkan pahalanya tidak untuk mayit kaum muslimin, dan tidak pula dikhususkan untuk mereka.
Bahkan dahulu kebiasaan mereka -seperti yang dijelaskan sebelumnya - bahwa bersamaan dengan ibadah untuk diri mereka sendiri mereka juga berdoa dan bersedekah untuk mayit. Maka tidak sepatutnya manusia mengganti jalan kaum salaf, karena itu lebih utama dan lebih sempurna.
(Al Fatawa Al Kubra, 3/37)
Sementara itu, ada pula yang mengatakan kebolehan ini hanya khusus shalat Sunnah, itulah yang masyhur di kalangan Hambaliyah.
Imam Al Bahutiy mengatakan:
ولو صلى فرضاً وأهدى ثوابه لميت لم يصح في الأشهر، وقال القاضي: يصح
Seandainya shalat wajib lalu pahalanya dihadiahkan untuk mayit maka itu TIDAK SAH menurut pendapat yang terkenal (dalam madzhab Hambali). Al Qadhi berkata: SAH.
(Syarh Al Muntaha Al Iradat, 1/385)
✔Pihak Yang Mengatakan Tidak Sampai
Alasannya adalah karena hal ini tidak ada dasarnya, dan perkara peribadatan tidak bisa diqiyaskan.
Inilah mayoritas Malikiyah dan Syafi'iyah, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
أَمَّا وُصُولُ ثَوَابِ الْعِبَادَاتِ الْبَدَنِيَّةِ: كَالْقِرَاءَةِ وَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ فَمَذْهَبُ أَحْمَد وَأَبِي حَنِيفَةَ وَطَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا تَصِلُ وَذَهَبَ أَكْثَرُ أَصْحَابِ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ إلَى أَنَّهَا لَا تَصِلُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
Ada pun sampainya pahala ibadah badaniyah seperti membaca Al Qur'an, SHALAT, dan shaum, maka madzhab Ahmad, Abu Hanifah, dan segolongan pengikut Malik dan Asy Syafi'iy bahwa semua ini SAMPAI. Ada pun mayoritas pengikut Malik dan Asy Syafi'iy mengatakan itu TIDAK SAMPAI. Wallahu a'lam.
(Majmu' Al Fatawa, 24/324)
Ini juga pendapat Hambaliyah kontemporer, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah;
أما الصلاة لها، فلا أصل لذلك؛ لأنه لم يشرع لنا أن نصلي عن الأموات
Ada pun Shalat untuknya (mayit) itu tidak ada dasarnya, karena kita tidak disyariatkan shalat untuk orang yang sudah wafat.
(Lihat: https://www.binbaz.org.sa/fatawa/1091)
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah no. 7482, menyebutkan justru itu BID'AH, sebab hal itu tidak ada dasarnya:
لا يجوز أن تهب ثواب ما صليت للميت، بل هو بدعة لأنه لم يثبت عن ا لنبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ولا عن الصحابة ـ رضي الله عنهم
Tidak boleh menghadiahkan pahala shalat yang Anda lakukan untuk mayit, bahkan itu bid'ah karena itu tidak Shahih dari Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam, tidak pula dari sahabat Radhiallahu Anhum.
Maka, lebih baik dan tidak kontroversi adalah lakukan amal-amal yang pasti ada dalam Sunnah saja seperti mendoakan, sedekah, haji dan umrah. Walau tetap tasamuh (lapang dada) terhadap perbedaan yang ada.
Demikian.
Wallahu a'lam
0⃣7⃣ Pipit ~ Jakarta
Assalamu'alaikum,
Bagaimana hukum orang yang shalat karena kepepet waktu padahal keadaannya sedang kotor (keputihan dan jauh dari wc atau kejebak macet)?
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Jika waktunya masih sempat bersihkan keputihannya, maka bersihkanlah. Wudhu lalu shalat. Jika memang sempit, misal 5 menit lagi akan azan ashar padahal belum shalat zuhur. Tidak apa wudhu lalu shalat, saat itu pakai pendapat yang mengatakan keputihan bukan najis seperti pendapat Hanafiyah dan Hambaliyah.
Wallahu A’lam
0⃣8⃣ Nesa ~ Padang
Assalamu'alaikum ustadz,
Ustadz, bagaimana caranya mendapatkan khusuk ketika sholat? Padahal sudah sangat berusaha untuk khusuk dalam sholat dan tidak mengingat hal diluar sholat tapi tetap saja kecolongan sampai berkali-kali untuk mencoba agar kembali bisa khusuk saat sholat.
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Khusyu itu tenang dan sakinah. Hati diisi dengan ingat kepada Allah, melalui bacaan shalat. Tidak ada pikiran duniawi yang masuk.
Siapkan hati sebelum shalat. Tempat yang bersih dan jauh dari kebisingan. Kalau bisa pahami makna bacaannya agar lebih meresap. Jangan baca terburu-buru. Paling sering menghilangkan kekhusyuan adalah terburu-buru dalam shalat. Lalu bersungguh-sungguhlah dalam meraih khusyu.
Wallahu A’lam
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎
كم الي الصلاة متي سمعت النداء مهما تكن الظروف
Bangunlah untuk shalat, saat kau mendengarkan panggilannya, apa pun kondisimu
(Syaikh Hasan bin Abdirrahman al Banna Rahimahullah)
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar