OLeH: Ustadz H. Tri Satya Hadi
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•
🌸HATI YANG SELALU MERASA CUKUP
Sudah menjadi sifat manusia yang selalu merasa kurang dengan harta atau apa pun yang telah dimiliki. Menjadi ironi memang, ketika banyak orang yang mengukur kekayaan dan kemiskinan hanya dengan harta yang dimilikinya. Banyak ilustrasi dan contoh bagaimana manusia itu tidak pernah puas apa yang sudah dimilikinya.
Sebuah ilustrasi menggambarkan seseorang yang berjalan menuju kantornya melihat orang lain mengendarai motor, “alangkah senangnya punya motor sendiri, bisa lebih cepat ke kantor dan bisa kemana saja sesuai keinginan, serta kapan saja”, pikirnya. Ketika sudah mempunyai motor pun melihat teman mengendarai mobil bergumam, “Alangkah senangnya punya mobil, tidak kehujanan, bisa bersama keluarga atau kerabat.” Sampai ketika telah memiliki mobil pun akan kembali menginginkan yang lebih bagus, lebih besar, dan seterusnya, bahkan bisa jadi ingin mempunyai pesawat sendiri. Seakan seperti haus dan meminum air laut yang tidak hilang dahaganya, terus dan terus diminum tidak pernah puas.
Nabi Muhammad ﷺ menggambarkan manusia seperti itu dalam sabdanya, "Seandainya manusia diberi satu lembah penuh dengan emas, ia tentu ingin lagi yang kedua. Jika ia diberi yang kedua, ia ingin lagi yang ketiga. Tidak ada yang bisa menghalangi isi perutnya selain tanah. Dan Alloh ﷻ Maha Penerima taubat siapa saja yang mau bertaubat." (HR. al-Bukhari).
Manusia ketika merasa kurang akan terus berambisi dengan berbagai cara mencari dan menumpuk kekayaan, mereka kerap melupakan syukur atas apa yang didapatkan. Dan, ketika ia tidak berhasil mendapatkannya, ia akan kecewa berlebihan, stress, depresi, bahkan ada yang sampai hilang akal.
Padahal dalam Islam hakikat kekayaan atau kenikmatan dunia tidak ada nilainya jika dibandingkan kenikmatan akhirat ini. Rasulullah ﷺ bersabda, “Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup (isyarat telunjuk) di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim)
Ditegaskan pula dalam Firman Allah ﷻ, “Orang yang beriman itu berkata: “Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)
Diriwayatkan bahwa ada seorang lelaki datang kepada sahabat Abdullah bin Amr bin Ash, sahabat adalah salah satu “ahli ibadah yang senantiasa bertaubat.” Lelaki itu bertanya kepadanya, "Bukankah aku termasuk kaum muhajirin yang miskin?" Abdullah balik bertanya, "Bukankah kamu memiliki seorang isteri yang menemanimu?" Ia menjawab,"Ya" Abdullah bertanya kembali, "Bukankah kamu memiliki rumah yang kamu tinggali?" Ia menjawab, "Ya" Abdullah berkata, "Berarti kamu termasuk orang kaya." Orang itu berkata, "Aku juga memiliki seorang pembantu." Abdullah berkata, "Kalau begitu, kamu termasuk golongan Raja-raja." (HR. Muslim)
Seringkali kita merasa selalu dalam kekurangan jika dikaitkan dengan harta. Itu dikarenakan jika kita tidak berupaya keras mengendalikan nafsu maka memang manusia akan selalu berupaya memenuhinya.
Ada yang mengatakan, “uang bukan segalanya, tapi segalanya bisa selesai dengan uang”, tidak ada yang salah dengan ungkapan itu, dan faktanya demikian. Namun pertanyaannya adalah apakah dengan memiliki banyak uang, menjadi orang kaya hidupnya akan tenang dan merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Tidak sedikit pula yang hancur akibat kekayaannya. Hatinya tidak puas dengan apa yang ia miliki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih apalagi melihat ada yang lebih kaya.
Dalam kamus seorang muslim, merasa selalu kurang dan tidak puas sebenarnya ada solusinya karena Rasulullah Muhammad ﷺ pernah mengajarkan caranya. Salah satunya adalah sesuai sabda Beliau, "Lihatlah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta) dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih bisa membuatmu tidak menganggap rendah nikmat Alloh ﷻ yang telah diberikan kepadamu." (HR. al-Bukhari-Muslim)
Jika setiap muslim berusaha memunculkan kesadaran bahwa ternyata dirinya masih lebih baik dari orang-orang sekitarnya, maka rasa syukur kepada Alloh ﷻ akan timbul. Ia merasa cukup atas yang ia miliki, ambisi memburu harta akan di rem, dijaga ritmenya menyesuaikan dengan prioritas keperluannya yang akhirnya kenikmatannya semakin bertambah. Sebagaimana Alloh ﷻ berfirman, "Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku untuk kalian. Namun, jika kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."(QS. Ibrahim : 7).
Merasa cukup itu bukan berarti orang Islam tidak boleh menjadi kaya sebab mencari kekayaan pun disyariatkan dalam Islam sebagaimana yang dicantumkan dalam banyak ayat di Al-Qur’an, diantaranya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Alloh ﷻ.” (QS. Al Ahzab: 10).
Maka kekayaan itu sebagai jalan untuk mendapatkan kenikmatan yang berlimpah di akhirat. Dengan cara apa?, tentunya dengan cara orang yang bertakwa seperti yang diajarkan dalam Quran dan Hadis, banyak bersedekah, dipergunakan untuk hal yang baik, bermanfaat bagi sesama, atau jalan jihad fisabilillah.
Rasulullah ﷺ bersabda, “tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Islam sejatinya kekayaan itu bukan kemewahan dunia namun hati yang selalu merasa cukup. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari Muslim)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabiyullah ﷺ memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?”, “Benar,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?”, “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban)
Alloh ﷻ adalah Al-Ghani (Mahakaya). Alloh ﷻ selalu memberikan yang terbaik kepada hamba-Nya yang bersyukur dan selalu merasa cukup dengan apa yang dimilikinya. Hamba yang tidak pernah merasa kurang, karena yakin Allah Mahakaya. Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab al-Hikam mengingatkan, "Kesungguhanmu mengejar apa yang sudah dijamin untukmu oleh Alloh ﷻ, dan kelalaianmu melaksanakan apa yang dibebankan kepadamu, itu merupakan tanda butanya basyirah (mata batin)."
Hati yang merasa cukup inilah membuat jiwanya aman, membuat fisiknya sehat, bisa mencari nafkah dengan cara yang halal, dengan selalu ridha atas apapun yang ia terima, maka janji Alloh ﷻ melalui Rasul-Nya memberikan kenyamanan dan ketenangan seakan dunia dan segala isinya untuknya.
Rasulullah ﷺ bersabda, "Barang siapa di pagi hari jiwanya aman, fisiknya sehat, dan memiliki jatah makanan untuk sehari. Maka seakan-akan dunia dan segala isinya telah dibentangkan untuknya." (HR. Bukhari)
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rezeki berupa harta oleh Alloh ﷻ, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dicamkan baik-baik bahwa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati. Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa kanaah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu rida atas ketentuan Allah ﷻ. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut kaya yang sebenarnya.”
◾Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu kanaah (merasa puas) dengan rezeki yang Alloh ﷻ beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu rida dengan pembagian Alloh ﷻ yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya."
Perlu ditegaskan kembali, orang dengan hati yang merasa cukup inilah disebut orang yang kaya hati. Sebaliknya adalah miskin hati adalah orang yang tidak pernah merasa puas terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha keras untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun. Caranya halal atau haram tidak ia pedulikan. Hasilnya, jika ia tidak mendapatkan apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dia berpikir seakan-akan orang yang fakir atau orang yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan hasil apapun. Tidak ada rasa syukur, Tuhan dipersalahkan, Alloh ﷻ disangkakan tidak adil, dan seterusnya.
Perkataan yang amat bagus diungkapkan oleh para ulama:
"Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (miskinnya hati)." (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/272, Darul Ma’rifah)
◾An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati."
Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas dengan apa yang Alloh ﷻ beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat merasa cukup. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup dan Alloh ﷻ menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.”(HR. Muslim)
Sifat selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabiullah ﷺ meminta kepada Allah ﷻ dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim).
An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”
Sebagai penutup tulisan singkat ini, tentu di antara kita banyak bertanya bagaimana bisa menghadirkan hati yang merasa cukup.
◾Dari berbagai sumber Hati Yang Merasa Cukup Dapat Terbangun Dari:
1) Memperkuat keimanan terhadap takdir Alloh ﷻ, kesabaran dan tawakkal;
2) Mentadabburi firman Allah ta’ala dan hadis Nabi di atas;
3) Memahami hikmah Alloh ﷻ menciptakan perbedaan rezeki dan kedudukan di antara hamba;
4) Melihat kondisi mereka yang berada di bawah kita;
5) Membaca sirah dan meneladani para pendahulu yang salih;
6) Memahami bahwa harta dapat membawa dampak buruk;
7) Memahami bahwa antara yang kaya dan yang miskin hanya terjadi perbedaan yang tipis; dan
8) Berdoa untuk diberikan sifat kanaah.
Milikilah sifat kaya hati yang merasa cukup (kanaah) dengan apa yang Alloh ﷻ beri. Semoga Alloh ﷻ menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini. Amin.
“Seberapa pun syukurnya orang kaya tak dapat menandingi rida-nya orang fakir.” “Seberapa pun maksiatnya orang kaya masih lebih baik dari kecewanya orang fakir terhadap ketentuan-Nya.”
Wallahu a’lam
Pekanbaru, 25 Januari 2022
Qonaah = Kanaah (KKBI)
Ridho = Rida (KKBI)
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
0️⃣1️⃣ Kiki ~ Dumai
Ustadz, bagaimana tipsnya agar hati ini istiqomah merasa cukup ustadz, karena terkadang suka hilang timbul qanaah nya.
🌸Jawab:
Latihlah diri untuk:
1) Selalu memperbaiki niat, banyak istighfar setiap hari (Rasulullah ﷺ, minimal 70 kali/hari);
2) Selalu memahami bahwa hidup hanya sekali, dan dunia itu fana, tujuan kita adalah surga yang kekal dengan rahmat Alloh ﷻ;
3) Jauhi iri hati atas orang-orang yang lebih di atas kita;
4) Sering keliling melihat orang miskin, anak yatim, biasakan (rutin) untuk bersedekah walau hanya sedikit;
5) Sering berkumpul dengan orang-orang yang baik ikut pengajian, taklim karena di sana ada ilmu dan keteladanan;
6) Memahami bahwa setiap harta akan dipertanggungjawabkan, darimana, bagaimana, untuk apa.
7) Selalu bersyukur atas apapun yang kita terima dan berusaha untuk sabar atas segala ujian.
8) Berdoa untuk diberikan sifat qanaah.
Wallahu a'lam
0️⃣2️⃣ Naziha ~ Jabar
Assalamu'alaikum,
Ustadz, kalau ada seorang perempuan yang dibenci mertuanya karena perempuan itu dulunya, sebelum menikah mempunyai masa lalu yang sangat tidak baik dan perempuan itu setelah menikah menjadi ibu dan istri yang sangat baik, tetapi tetap saja mertuanya membencinya karena masa lalu yang tidak baik perempuan itu.
Apa yang harus dilakukan oleh perempuan itu?
Tanpa sepengetahuan mertuanya, perempuan itu selalu berbuat baik, dalam melakukan ibadah agama dan lain-lain. Perempuan itupun berbuat baik pada suami dan anaknya, tetapi dia selalu dibenci oleh orang-orang dan dibenci oleh mertuanya karena masa lalu perempuan itu yang tidak baik, maka apa yang harus perempuan itu lakukan?
🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh
“Sesungguhnya aku (Rasulullah ﷺ) diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).
Islam itu agama akhlak, tetaplah dalam akhlak yang baik, tetap jaga bahasa dan perilaku dihadapan mertua. Perubahan atau hidayah itu butuh proses dan hasilnya serahkan (tawakkal) kepada Alloh ﷻ.
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Alloh ﷻ dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Alloh ﷻ) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. 9: 105)
Tetap istiqomah dalam akhlak mulia insyaAllah perlahan namun pasti orang-orang mukmin termasuk mertua akan paham dan mengerti.
Dan jangan lupa doakan terus mertua kita agar bisa memahami dan berubah, saat sehabis sholat fardhu, dan sehabis tahajud di ⅓ malam.
Wallahu a'lam.
🔷 Alhamdulillah.
Terima kasih pak Ustadz telah menjawab pertanyaan saya, semoga Saya selalu Istiqomah dalam akhlak mulia.
0️⃣3️⃣ Cucu Cudliah ~ Tasikmalaya
Afwan ustadz terlambat menyimak.
1. Bagaimana ciri orang yang selalu bersyukur dalam kata dan sikap?
2. Bagaimana caranya supaya tetap mempunyai sifat qona'ah?
🌸Jawab:
1. Perkataannya tidak dusta, dan sikapnya yang mulia (akhlak baik), karena salah satu bentuk syukur hamba kepada kepada Alloh ﷻ adalah dengan melaksanakan perintah-Nya, yang tersampaikan dalam Al Quran dan hadist.
2. Latihlah diri untuk:
1) Selalu memperbaiki niat, banyak istighfar setiap hari;
2) Selalu memahami bahwa hidup hanya sekali, dan dunia itu fana, tujuan kita adalah surga yang kekal dengan rahmat Alloh ﷻ;
3) Jauhi iri hati atas orang-orang yang lebih di atas kita;
4) Sering keliling melihat orang miskin, anak yatim, biasakan (rutin) untuk bersedekah walau hanya sedikit;
5) Sering berkumpul dengan orang-orang yang baik, ikut pengajian, taklim karena di sana ada ilmu dan keteladanan;
6) Memahami bahwa setiap harta akan dipertanggungjawabkan, darimana, bagaimana, untuk apa.
7) Selalu bersyukur atas apapun yang kita terima dan berusaha untuk sabar atas segala ujian.
8) Berdoa untuk diberikan sifat qanaah dan bisa istiqomah.
Wallahu a'lam
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
"Apabila tidak jelas bagimu mana yang benar di antara dua perkara, lihatlah mana yang lebih dekat kepada hawa nafsumu, lalu jauhilah."
(Al-Mujalasah wa Jawahirul 'lim, hlm. 244)
Wallahu a'lam