OLeH : Bunda Heradini Faizah, S.Psi
•┈•◎❀★❀◎•┈•
❀ M a T e R i ❀
•┈•◎❀★❀◎•┈•
🌸GANGGUAN PSIKOLOGIS AKIBAT PANDEMI COVID 19
"Akhir-akhir ini banyak orang stres karena pandemi. Macam-macam pelariannya, oh ternyata tidak cuma bikin sakit radang paru-paru, tapi juga bikin sakit jiwa."
Dalam sebuah pengajian ibu, kebetulan yang mengisi perawat di Puskesmas Rembang, beliau bilang : "nanti pengajiannya jangan lama-lama ya, karena saya sedang pendataan ODGJ. Banyak ODGJ baru pasca covid." ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Ternyata memang benar, efek lain dari pandemi ini memunculkan ODGJ baru.
Waspadalah....
Akhwati fillah...
Pandemi Virus Corona (COVID-19) yang melanda Indonesia banyak imbasnya dan menghantam multisektor. Mulai dari sektor perekonomian dan sektor kesehatan.
Ada persoalan genting lain seperti masalah kesehatan jiwa. Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) mengungkapkan, berdasarkan data swaperiksa yang dihimpun Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari Bulan April – Agustus 2020, sebanyak 3.443 orang yang melakukan swaperiksa ternyata mengeluhkan masalah psikologis.
Sekitar 47,9 persen di antaranya memperlihatkan gejala kecemasan, diikuti 36,1 persen menunjukkan gejala depresi dan 16 persen lainnya menyampaikan permasalahan trauma psikologis. Dari seluruh data responden dari 34 provinsi tersebut, 85 persen di antaranya ialah perempuan.
Berdasarkan survei Puslitbangkes Kemenkes pada 2020, sekitar 6,8 persen masyarakat Indonesia mengalami gangguan cemas. Dari angka tersebut, 85,3 persen di antaranya tidak memiliki riwayat gangguan psikiatri. Jadi benar-benar penderita baru.
Gangguan jiwa adalah penyakit medis yang memiliki patologi gangguan di dalam saraf otak.
Gangguan jiwa adalah penyakit OTAK.
Gangguan jiwa ada di mana-mana dan bisa mengenai siapa saja tanpa memandang latar belakang dan status ekonomi serta pendidikannya. Gangguan jiwa terjadi melalui suatu proses yang terjadi beberapa waktu sebelumnya, bisa cepat, bisa juga lebih lambat.
Apabila dideteksi dengan lebih cepat maka gangguan jiwa akan lebih mudah diterapi, diobati sehingga yang bersangkutan dapat pulih dan produktif kembali.
🔸Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan jiwa ditengah pandemi.
Ada beberapa faktor yang berperan meningkatkan distres psikologis, seperti peningkatan gangguan cemas menyeluruh, panik, dan depresi, yaitu:
◾1. Jenis kelamin wanita lebih rentan mengalami stres dan dapat mengalami post traumatic stress disorder atau PTSD.
◾ 2. Usia 18-30 tahun atau diatas 60 tahun lebih rentan, karena usia 18-30 tahun merupakan usia produktif dan lebih banyak mendapatkan informasi dari sosial media sehingga meningkatkan terjadinya stres. Sementara, tingginya tingkat kematian pada pasien berusia diatas 60 tahun membuat terjadinya distres psikologis yang meningkat pada kelompok usia tersebut.
◾3.Tingkat pendidikan yang lebih tinggi berkaitan dengan self-awarenes terhadap kesehatan yang lebih tinggi, sehingga mereka mudah mengalami stres.
◾4. Pekerja yang bermigrasi mengalami peningkatan distres terkait kekhawatiran risiko penularan dari transportasi publik, serta penurunan pendapatan akibat penundaan atau pengurangan pekerjaan.
Akhwati fillah...
Ada 3 persoalan besar kesehatan mental yang banyak muncul di tengah wabah virus corona saat ini, yaitu:
◾1. PPKM. Pembatasan sosial atau social distancing dan kecenderungan mental yang rentan hingga rentan terjadi kekerasan dalam keluarga.
Seperti seorang artis yang mengaku stres lantaran harus mengajari anaknya dirumah, dan suaminya juga jadi sering dirumah.
Pembatasan sosial berpengaruh pada kesehatan mental sebab manusia harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Jika sebelum pandemi terbiasa berinteraksi langsung dengan orang lain, tetapi situasi saat ini menyebabkan seseorang tiba-tiba harus membatasi melakukan interaksi secara langsung. Situasi ini bukanlah hal yang mudah, terlebih di tengah suasana yang penuh dengan ketidakpastian memunculkan rasa cemas, khawatir, ketakutan, stres, hingga depresi. Dengan kata lain kondisi mental menjadi lebih rentan atau labil. Keadaan itu tidak jarang memicu perilaku kekerasan di dalam keluarga.
◾2. Pandemi Covid-19 menjadikan penggunaan internet meningkat. Kebijakan pembatasan sosial membuat internet sebagai bagian penting dalam aktivitas masyarakat hingga menimbulkan adiksi atau kecanduan. Perilaku adiksi internet ini salah satunya karena seseorang mencari informasi terkait Covid-19.
◾3. Di masa pandemi ini juga memunculkan fenomena kecanduan pada game online. Sebab, kondisi yang memaksa harus banyak beraktivitas di rumah menjadikan waktu untuk menyalurkan hobi bermain game online menjadi lebih banyak.
Kalau ini berlangsung terus-menerus bisa mengakibatkan kelelahan, over atensi atau perhatian berlebihan terhadap sesuatu, dan menurunnya kesadaran terhadap stimulasi sekitar.
Selain ketiga masalah yang muncul tersebut, kerentanan mental pada pasien yang telah sembuh dari Covid-19 juga menjadi persoalan besar dalam kesehatan mental di tengah pendemi ini. Hal tersebut terjadi karena masih adanya stigma atau pelabelan pada pasien di masyarakat. Stigma di masyarakat ini menjadikan pasien yang sembuh dari Covid-19 memiliki kekhawatiran yang lebih tinggi dibanding saat belum terpapar Covid-19.
Akhwati fillah...
Ketika seseorang sudah terkena gangguan jiwa akibat dampak dari pendemi yang entah kapan berakhir, tentunya dia membutuhkan campur tangan para ahli.
Jika masih dalam batasan wajar, maka dia perlu berkonsultasi ke psikolog.
Namun ketika dia sudah mengalami kecemasan yang berlebihan, maka peran psikiater akan sangat diperlukan.
"Lalu bagaimana dengan kita ????"
"Bagaimana membentengi diri agar tidak mengalami gangguan kejiwaan ditengah pandemi?"
"Bagaimana mengelola kesehatan jiwa atau mental di tengah pandemi?"
✓ Kurangi menonton, membaca atau mendengarkan berita yang membuat kecemasan meningkat. Carilah informasi dari sumber-sumber terpercaya dan utamakan membuat rencana praktis melindungi diri dan orang-orang terdekat. Usahakan mencari berita hanya 1-2 kali dalam satu hari dan pada waktu yang spesifik.
✓ Mencari informasi terkait menjaga kesehatan mental di masa pandemi di berbagai sumber online juga suatu langkah yang positif (Banerjee, 2020). Pilihlah situs jaringan kesehatan mental yang valid dan terpercaya seperti Kementerian Kesehatan, WHO, biro konsultasi psikologi, atau sumber-sumber yang bersifat keagamaan atau religius.
✓ Beradaptasi dengan kondisi pandemi. Saat ini, belum ada perkiraan akurat tentang berapa lama situasi COVID-19 akan bertahan, jumlah orang di seluruh dunia yang akan terinfeksi, atau berapa lama hidup orang akan terganggu (Suicide Awareness Voices of Education, 2020; Zandifar & Badrfam, 2020). Karena kehidupan harus tetap berjalan, maka langkah awal yang dilakukan adalah penerimaan (acceptance). Penerimaan berarti memberi ruang kesadaran yang penuh kepada diri bahwa pandemi COVID-19 adalah sebuah kenyataan. Jika kita sudah menerima bahwa kondisi sekarang bukanlah kondisi normal, maka kita siap untuk beradaptasi.
Wallahu a'lam
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
❀ TaNYa JaWaB ❀
•┈••◎◎❀★❀◎◎••┈•
0️⃣1️⃣ Widia ~ Bekasi
Assalamualaikum ustadzah.
Saya agak stres ustadzah, kemarin suami antigen positif, tetapi hasil test PCR (Polymerase Chain Reaction) negatif. Jadi kami sekeluarga tidak test PCR. Para tetangga saya mau bukti kalau saya dan anak-anak sehat mereka menyuruh antigen.
Saya dan anak-anak seperti virus, mereka masih menganggap kami isoman (isolasi mandiri) sampai ada bukti kami sehat. Sedangkan kami tidak ada biaya untuk antigen. Saya harus bagaimana ustadzah.
Kadang saya merasa seperti sesak padahal tidak karena saya ada maag jadi kalau saya stres dampaknya begitu.
Jazakillah ustadzah.
🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh mbak Widia di Bekasi.
Memang masih berkembang stigma negatif dimasyarakat dikarenakan banyaknya informasi hoax yang berkembang.
Informasi-informasi tersebut membuat masyarakat mengalami ketakutan secara berlebihan. Ketakutan dan kecemasan inilah yang dapat menurunkan imunitas. Sebenarnya virus ini seperti virus flu biasa, namun karena berita-berita di blow up (naikan) sedemikian rupa sehingga jadi seperti zoombie yang penderitanya harus dimusnahkan.
Jadi bersabarlah, Ketika mereka menuntut kita untuk isoman (isolasi mandiri), isomanlah apalagi ketika nampak gejala tersebut. Tetaplah dirumah. Saling "menjaga tetangga" seperti dikampung saya.
Ketika sudah isolasi 14 hari, maka bolehlah keluar rumah dengan tetap mentaati prokes (protokol kesehatan).
Jangan dipikirkan terlalu jauh-jauh.
Anggaplah mereka orang-orang yang paham.
Konsultasikan dengan bapak RT atau RW setempat bagaimana sebaiknya langkah-langkah yang harus kita lakukan. Setelah isolasi 14 hari tidak perlu test PCR jika gejala-gejala sudah tidak muncul lagi.
💎 Sudah isolasi 14 hari malah lebih dari tanggal 1 Juli.
🌸Ketika tanpa gejala berarti sudah dinyatakan sehat tanpa perlu swab antigen atau PCR.
Wallahu a'lam
0️⃣2️⃣ Annisa ~ Solo
Assalamu'alaikum ustadzah.
Saat ini ayah saya kondisi terkena covid, dari awal pertama di swab positif, saya mulai siapin alat-alat kesehatan, nebulizer, oxycan, oxymeter, saya cari-cari cara buat meredakan gejalanya yang parah, apa saya termasuk dalam ODGJ ya ustadzah?
🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh mb Anisa di Solo.
Yang sabar ya, anggap ini lagi episode cobaan dari Alloh ﷻ yang perih sekali.
Cemas? Iya. Takut? Iya. Wajarlah anak begitu ke bapaknya.
Masuk gangguan jiwa? Tidak.
Selama kamu masih mampu berpikir jernih untuk melakukan hal-hal yang harus kamu lakukan.
Berdoa banyak-banyak. Minta yang terbaik sama Alloh ﷻ. Apapun akhir dari takdir kita
Peluk penuh kasih ya.
Wallahu a'lam
0️⃣3️⃣ Tian ~ Bogor
Bunda, qodarullah 1 bulan lalu saya sekeluarga positif.
Setelah sehat ini malah lebih khawatir, apa lagi dengar kabar ada teman, tetangga kerabat yang positif, apalagi sering terdengar kabar duka seketika badan lemas.
Rasa khawatir, cemas, was-was dan suka nangis sendiri. Bertemu orang-orang bawaannya masih takut Bun.
🌸Jawab:
Mbak Tian, yang sabar ya. Banyak menenangkan diri dengan banyak-banyak dzikir dan membaca Al Quran.
Tidak usah banyak baca-baca info, berita-berita hoax, dan omongan tetangga yang tajamnya macam silet. Berikan afirmasi positif pada diri sendiri.
Wallahu a'lam
0️⃣4️⃣ Safitri ~ Banten
Bun, dengan kondisi seperti begini, banyak orang-orang yang ketika kita berniat ingin mentransfer semangat dan meyakinkan mereka agar jangan terlalu berlebihan, tapi mereka malah seperti seolah-olah "belum aja ngerasin diposisi ini," dan lain-lain. Nah itu bagaimana bun?
🌸Jawab:
Jadi seperti makan buah simalakama ya.
Mau didiamkan dikira tidak peduli. Mau kasih semangat dikira malah mengejek karena kita belum merasakan.
Solusinya adalah kasih semangat sambil kasih beras 5 kg, telur sekilo, ayam seekor, bumbu dapur, dan sembako lengkap.
Dijamin mereka akan diam seribu bahasa dan tidak mampu berkata apa-apa selain terima kasih sedalam-dalamnya.
💎 Solusi yang sangat ajib itu mah bun, sepertinya yang lebih berhak dan seharusnya sih pemerintah yah, Fitri bagian tim support saja.
🌸Kalau semua mengandalkan pemerintah, jatuhnya masyarakat yang bingung sama-sama. Karena coba dipikir, apa sih yang bisa kita harapkan dari pemerintah?
Kita disini dikurung, malah pintu imigrasi dibuka lebar-lebar. Kebijakan yang sangat-sangat membingungkan.
Jadi, mari kita saling bergandeng tangan, saling menyemangati dengan cara masing-masing.
Ada lho di Yogja komunitas sedekah. Tidak bisa sedekah uang, sedekah tenaga mengantar makan untuk yang sedang isoman.
Disetiap kota ada. Dikoordinir oleh Dinas Sosial. Ada dapur umum untuk menopang kebutuhan mereka-mereka yang sedang isolasi mandiri.
Ada yang membantu masak, membantu ambil bahan dari para donatur, antar makanan. Anak-anak SMA, karang taruna dan anak-anak pramuka banyak yang membantu.
💎 Tapi bun, benar tidak, kita juga harus bisa mensugesti dan yakin dengan diri kita sendiri?
🌸Benar sekali. Dan sugesti baik pada diri sendiri itu sudah 50% imun.
💎Nahh iya, itu yang selama ini berusaha Fitri yakinkan bun, fitri berusaha selalu berfikir positif, dan yakin yakin sama diri sendiri terutama sama Alloh ﷻ, bahkan semuanya atas kehendaknya, dan Fitri membedakan fikiran dan ngga berfikir terlalu berat dengan covid-19 masa ya Allah banget.
0️⃣5️⃣ Anita ~ Lampung
Assalamualaikum ustadzah.
Bagaimana untuk mengontrol kejiwaan anak-anak terutama yang berusia 15 tahun ke atas yang mana mereka tidak bisa bersosialisasi sewajarnya usia mereka karena harus di rumah saja?
🌸Jawab:
Waalaikummussalam warahmatullah wabarakatuh mb Anita dari Lampung.
Keadaan saat ini memaksa anak-anak untuk belajar dari rumah. Belajar dari rumah memaksa anak untuk paham dari sekedar apa yang diterangkan oleh guru secara online.
Memang banyak hal yang hilang, interaksi anak-anak dengan teman, interaksi anak dengan guru, serta interaksi anak hubungannya dengan kemampuan dia dalam bersosialisasi.
Hal ini memaksa orang tua untuk bekerja lebih keras lagi dalam menanamkan nilai-nilai yang hilang tersebut kepada anak.
Orang tua dituntut untuk lebih sering berada di rumah guna mengontrol dan mendampingi anak dalam perkembangannya.
Kalau semua itu tidak memungkinkan, memasukkan anak ke pondok pesantren adalah solusi terbaik. Karena sampai saat ini, anak-anak di pesantren, mereka belajar seperti biasa dengan prokes ketat yang dilaksanakan. Termasuk anak-anak saya.
Wallahu a'lam
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
❀CLoSSiNG STaTeMeNT❀
•┈•◎❀★❀◎•★•◎❀★❀◎•┈•
Di masa pandemi ini memaksa individu untuk dapat beradaptasi dengan kebiasaan baru. Namun tidak semua individu siap untuk dapat beradaptasi, sehingga menimbulkan masalah kesehatan kejiwaan.
Dan solusi dari semua masalah kejiwaan utamanya adalah berserah diri kepada Alloh ﷻ.
Yakin bahwa apapun yang menimpa kita, tetangga, dan orang orang yang kita sayang, adalah takdir terbaik kita.
Tetap semangat.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar