Kamis, 18 April 2019
RISYWAH DAN BAHAYANYA
OLeH: Ustadz Farid Nu'man Hasan
💎M a T e R i💎
🌸SEPUTAR RISYWAH (SUAP)
Mungkin kita tidak asing lagi dengan yang namanya suap atau sogok menyogok, istilah Arabnya: risywah. Ada yang melakukan ini hanya karena untuk mencapai tujuannya tanpa susah payah; menjadi PNS, anggota polri atau TNI, masuk SMP atau SMA unggulan, menjadi calon legislatif dan calon legislatif, menang tender, dan sebagainya. Seolah ini menjadi budaya yang merata dan sulit dihindari.
Mereka tidak peduli dosa, lenyapnya keberkahan, ... ini tidak terbersit dalam pikiran mereka.
◾APAKAH RISYWAH ITU?
Disebutkan dalam Al Mu’jam Al Wasith:
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
“Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi, atau sesuatu yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan yang haq.” (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah)
Jadi, segala macam pemberian dalam rangka menggoyang independensi seseorang dalam bersikap dan mengambil keputusan, itulah risywah. Akhirnya, pemberian itu (uang atau barang) menjadi penggerak sikapnya bukan karena kebenaran itu sendiri. Sehingga yang layak menjadi tersingkir, yang buruk justru terpilih. Haq menjadi batil, batil pun menjadi haq.
◾ ANCAMAN ITU BEGITU KERAS
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
“Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap.” (HR. At Tirmidzi, 1337, katanya: hasan shahih. Abu Daud, 3580, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 7066, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Imam Adz Dzahabi berkata dalam At Talkhish:”Shahih”).
Dalam hadits Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melaknat perantara suap. (Ar Ra-isy). (HR. Ahmad, 22399, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih lighairih.” Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 22399)
Jika seseorang melakukan suap untuk jadi PNS padahal dia tidak layak atau kurang kualifikasinya, maka keharamannya jelas, dia menzalimi hak orang lain mungkin lebih layak darinya. Inilah risywah.
Seseorang yang melakukan pekerjaan dengan syarat-syarat ilegal dari "orang dalam" agar dia bisa lolos, jika syaratnya tidak dipenuhi, maka dia tidak lolos. Ini risywah, selain itu bentuk ta'awun dalam dosa dan kejahatan.
Atau seseorang yang tidak lulus tes masuk ke sekolah unggulan, nilainya di bawah grade minimal. Tapi akhirnya dia masuk juga setelah orang tuanya memberikan sejumlah uang kepada oknum sekolah. Inilah risywah.
Atau seseorang yang tidak lulus tes kepolisian, baik tes fisik atau ujian tertulis akademik, lalu dia memberikan sejumlah uang kepada oknum kepolisian, sehingga dia bisa masuk. Ini adalah zalim dan menipu. Inilah risywah.
Masih banyak contoh lainnya.
◾BUKAN TERMASUK RISYWAH
Namun, ada pemberian uang yang tidak termasuk suap sebagaimana yang dijelaskan para ulama.
Imam Ibnul Atsir dalam Nihayah-nya berkata:
فأما ما يعطى توصلا إلى أخذ حق أو دفع ظلم فغير داخل فيه روى أن بن مسعود أخذ بأرض الحبشة في شيء فأعطى دينارين حتى خلى سبيله وروى عن جماعة من أئمة التابعين قا
لوا لا بأس أن يصانع الرجل عن نفسه وماله إذا خاف الظلم
"Ada pun pemberian demi untuk mengambil hak atau mencegah kezaliman bukanlah termasuk suap. Diriwayatkan bahwa ketika di Habasyah, Ibnu Mas’ud pernah memberikan dua dinar sampai jalan yang ditempuhnya menjadi sepi (tidak ada gangguan). Diriwayatkan dari Jama’ah para imam tabi’in, mereka mengatakan: tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya jika dia takut kezaliman." (Sebagaimana dikutip Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 4/471)
Lihat juga beberapa kitab lainnya. (Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 10/88)
🌸🌷🌸
Dalam ujian CPNS dialah yang jadi korban, dia yg dizalimi haknya, dia pantas lolos karena keunggulannya, tapi dia dizalimi dan dijegal, maka pemberian uang adalah untuk mengambil kembali haknya. Ini tidak masalah, sebagaimana penjelasan Imam Ibnul Atsir di atas. Jika dia sabar saja memang itu lebih baik.
Jadi, bagi CPNS yang telah lulus dengan prosedur yang benar, tetapi namanya akan dicoret jika dia tidak memberikan uang itu. Dia melakukan itu untuk memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh orang zalim yang ada di instansi tersebut. Ini dimaafkan.
√ Begitupula yang semisal ini, jika seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada orang yang telah menculik anaknya, dia melakukan itu untuk mengambil haknya yang telah dirampas yaitu anak. Ini tidak dikatakan risywah (suap). Tidak berdosa bagi yang memberi, tapi berdosa bagi yang menerima.
√ Begitupula yang semisal ini, seseorang sudah lulus ujian untuk mendapatkan SIM, baik ujian teori atau praktek, tetapi dia digagalkan berkali-kali karena tidak memberikan sejumlah uang, maka dia boleh memberikan sejumlah uang kepada oknum polisi tersebut yang telah merampas haknya. Ini bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh oknum polisi tertsebut. Hal ini berbeda dengan seseorang yang sejak awal sudah memberikan uang kepada oknum polisi, untuk memperlancar urusannya, padahal dia sama sekali belum layak untuk mendapatkan SIM karena ketidakmampuannya.
√ Semisal pula dengan ini, seseorang pedagang kaki lima yang berdagang di sebuah tempat strategis, dan siapapun berhak berdagang di sana, tetapi ada sekelompok preman yang meminta uang keamanan yang ilegal (baca: pungli), yang jika tidak diberikan maka pedagang ini akan diusir dari tempat tersebut. Maka, dia boleh memberikan uang tersebut bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya. Ini juga sesuai dengan kaidah Irtikab Akhafi Dhararain, melaksanakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat. Memberikan sejumlah uang kepada mereka adalah mudharat, tetapi tidak bisa berdagang di tempat yang strategis juga mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar. Maka, tidak apa-apa dia memilih mudharat yang lebih kecil untuk menghindar mudharat yang lebih besar.
√ Semisal dengan ini pula, seorang saudagar yang dirampok dagangannya oleh perampok jalanan, saudagar ini akhirnya memberikan sejumlah uang untuk menundukkan hati perampok agar tidak mengambil keseluruhannya. Jika saudagar ini tidak memberikan, atau malah melawan, justru perampok itu akan mengambil keseluruhannya bahkan membunuhnya. Maka, kondisi ini boleh baginya untuk memberikan kepada perampok itu sejumlah uang, untuk menghindar mudharat yang lebih besar.
Dan, contoh-contoh lain semisal ini. Semua ini hakikatnya bukan suap karena mereka telah dianiaya, dirampas haknya, dan uang yang mereka berikan adalah untuk menebus hak-hak mereka yang dirampas itu.
Wallahu A'lam
Masya Allah...
Begitu menakutkan ancaman risywah. Semoga kita terhindar dari hal-hal demikian.
Aamiin
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
💎TaNYa JaWaB💎
0⃣1⃣ Kiki - Tanjungpinang
Berarti ustadz jika ada yang memberikan sesuatu (baik uang atau barang) setelah tender atau transaksi nya selesai, berarti itu bukan termasuk suap ya ustadz?
🌷Jawab:
Jika pemberian itu dijanjikan sebelumnya maka itu risywah, baik diberikan awal atau akhir.
Tapi jika itu muncul tanpa ada janji atau kesepakatan, murni inisiatif saja, bukan karena untuk mengikat hati, maka ini tidak apa-apa.
Itu istilahnya baqsyis atau takrimiyah.
Wallahu a'lam
0⃣2⃣ Yuni ~ Tanggerang
Seorang calon legislatif yang menjanjikan akan mengkonblok jalan ketika dia terpilih nanti, apakah itu termasuk risywah?
🌷Jawab :
Jika seseorang sudah dikenal dermawan, rajin bersedekah di masyarakat. Lalu dia jadi caleg, lalu dia bersedekah sesuai kebiasaannya maka tidak apa-apa. Jangan hentikan kebiasaan baiknya hanya karena dia jadi caleg.
Tapi, bagi orang yang jarang sedekah tapi dia tumben rajin sedekah ketika caleg, tiba-tiba rajin ke masjid ketika caleg, tentu ini "ada apa-apanya."
Wallahu a'lam
0⃣3⃣ Mala Hasan ~ Lampung
Assalamualaikum ustadz,
Dalam sebuah tes peserta calon petugas haji yang seharusnya lolos karena mendapat penilaian layak tapi di lengserkan orang lain yang lebih dulu menghadapi atasannya dengan sejumlah uang. Apakah yang seharusnya lolos dapat menuntut haknya, karena dia yang mempunyai nilai lebih baik dari yang memberi uang tersebut.
Bagaimana jika dia ikhlas melepaskan kesempatan itu untuk orang yang telah memberi uang pada atasannya demi kesempatan untuk menjadi petugas haji tersebut?
🌷Jawab:
Ya, dia boleh menuntut haknya yang telah dirampas atasannya itu. Walau mengikhlaskannya juga lebih baik.
Wallahu a'lam
0⃣4⃣ Safitri ~Banten
Assalamuaikum ustadz,
Bagimana dengan orang yang mau masuk kerja tapi dia disuruh bayar. Nah seperti uang daftar pokoknya kalau dia mau masuk di peruhaaan itu dia harus bayar dulu baru dia bisa masuk, nah itu bagaimana kalau bisa sih apa admin tersebut memang mengambil kesempatan hukum apa yang pantas buat si pelaku ?
Terimakasih ustadz.
🌷Jawab:
Ya jelas ini risywah Atau sogokan. Jika dia memberikan, lalu lulus karena uang itu, bukan karena skill, kecakapan, maka itulah risywah.
Keduanya berdosa.
Wallahu a'lam
0⃣5⃣ Lisa ~ Malang
Assalamuaikum ustadz...
Saya membaca suatu fatwa yang menyuruh kita bersikap pertengahan dalam hal uang, bangunan, perabotan rumah dan lainnya (majmu fatawa xxix/12), maksudnya pertengahan itu bagaimana ya ustadz?
Afwan atas pertanyaan saya yang fakir ilmu ini.
🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Maksudnya ekonomis, sederhana, moderat, tidak boros, tidak mewah tapi juga tidak pelit.
Wallahu a'lam
0⃣6⃣ Ririn ~ Makassar
Saya mau bercerita sedikit, semisal saya ingin mendaftar di sebuah universitas. Kebetulan punya keluarga di universitas tersebut, dan beliau itu Dekan di salah satu fakultas, karena masuk di universitas itu susah akhirnya meminta bantuan kepada beliau. Bagaimana hukumnya? Apakah boleh?
Note : Beliau tidak di sogok, beliau hanya membantu agar bisa masuk ke universitas tersebut.
🌷Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim...
Ini namanya NEPOTISME.
Nepotisme jika semata-mata hubungan famili, perkawanan, bukan karena kelayakan, dan kelulusan, sehingga yang pantas dan layak malah tersingkir maka ini zalim, tidak boleh.
Tapi, jika adanya famili itu hanya sekedar informasi adanya lowongan saja, info tentang step atau tahapannya, bukan sampai menentukan kelulusan, maka ini tidak apa-apa.
Wallahu a'lam
0⃣7⃣ iRma ~ Tanjung Pinang
Assalamu'alaikum,
Misalnya ada oknum di kementrian agama yang minta bayaran agar porsi haji kita di majukan agar bisa diberangkatkan terlebih dulu dan akhirnya menyingkirkan yang lain itu bagaimana? Dan terkait dengan pahala hajinya bagaimana?
Terimakasih ustdaz.
🌷Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Tidak boleh, itu zalim.
Syarat haji mabrur kata Imam Ibnu Hajar, tidak mencampuri hajinya dengan dosa.
Wallahu a'lam
0⃣8⃣ Mala Hasan ~ Lampung
Ustadz, jika seseorang memberi makanan, tapi dia berharap pekerjaan yang dia berikan pada kita agar cepat di selesaikan. Apakah itu termasuk risywah atau suap?
🌷Jawab:
Ya jika merujuk ke definisinya memang demikian.
Pemberian dengan target tertentu, agar keinginannya tercapai, adalah risywah.
Seharusnya yang dia lakukan murni pemberian, hadiah untuk saling menumbuhkan cinta dan Ukhuwah, bukan karena target duniawi.
Allah Ta'ala berfirman:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
(sambil berkata), “Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak mengharap balasan dan terima kasih dari kamu."
(QS. Al-Insan: 9)
Wallahu a'lam
0⃣9⃣ Yuli ~ Jombang
Ustadz, kalau kasusnya begini:
Si A memasukkan barang ke pabrik X, kemudian memberikan sejumlah uang kepada manager pabrik si B, padahal si B tidak membantu apa-apa agar barangnya bisa masuk dan tidak pula meminta, kata A, itu berbagi rejeki, apakah termasuk risywah?
Apakah haram?
🌷Jawab:
Itu uang tip.
◾STATUS UANG TIP
Di dunia Arab, itu istilahnya Baqsyisy atau takrimiyah, pemberian kepada seseorang yang telah membantu kita, walau dia sebenarnya sudah digaji atas kerjaannya, atau kita memberikan hadiah karena puas dengan pekerjaannya. Di negeri kita dikenal dengan UANG TIP. Para ulama berbeda pendapat tentang ini.
~ Pertama. BOLEH
Ini pendapat Syaikh Muhammad Al Bahi, Syaikh Ali Jum'ah, dan lain-lain. Dengan syarat tidak dijanjikan sebelumnya. Ini merupakan bagian dari membalas kebaikan dengan hal yang lebih baik lagi.
Dalilnya adalah:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
كَانَ لِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: "Bahwa Nabi ﷺ berhutang kepadaku dan dia membayar hutangnya dan memberikan tambahannya."
(HR. Muslim no. 715)
Kita lihat, Nabi ﷺ memberikan tambahan uang saat membayar hutanh. Itu bukan riba, sebab tidak dijanjikan atau disyaratkan sebelumnya.
Para ulama mengatakan:
ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَابْنُ حَبِيبٍ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَغَيْرِهِمْ إِلَى أَنَّ الْمُقْتَرِضَ لَوْ قَضَى دَائِنَهُ بِبَدَلٍ خَيْرٍ مِنْهُ فِي الْقَدْرِ أَوِ الصِّفَةِ ، أَوْ دُونَهُ ، بِرِضَاهُمَا جَازَ مَا دَامَ أَنَّ ذَلِكَ جَرَى مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ أَوْ مُوَاطَأَةٍ
"Mayoritas ahli fiqih dari Hanafiyah, Syafi'iyyah, Hambaliyah dan Ibnu Habib dari kalangan Malikiyah, dan ulama lainnya, mengatakan bahwa jika orang yang berhutang membayar hutangnya dengan hal yang lebih baik, baik dr sisi jenis, sifat, kadar, atau lainnya, selama keduanya ridha, maka itu dibolehkan, selama memang tidak disyaratkan."
(Al Mausu'ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 23/125)
Kesamaan dengan kasus yang ditanyakan adalah sama-sama membalas kebaikan orang dengan lebih.
~ TIDAK BOLEH
Sebab, jika memang niatnya membantu atau menolong maka dia tidak boleh diberikan hadiah, sebab hadiah itu menjadi riba bagi yang menerimanya.
Dalilnya, Rasulullah ﷺ bersabda:
من شَفَعَ لأَخِيه بشفَاعةٍ، فأهْدى له هديّةً عليها؛ فقَبِلها؛ فقدْ أتَى باباً عظِيماً منْ أبوابِ الرِّبا
"Barang siapa yang memberikan bantuan kepada saudaranya, lalu dia dikasih hadiah (persenan atau tip) karena bantuannya itu, dan dia menerimanya, maka dia telah mendatangi pintu besar riba." (HR. Abu Daud No. 3541, hasan)
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu Anhu berkata:
مَنْ شَفَعَ شَفَاعَةً لِيَرُدَّ بِهَا حَقًّا أَوْ يَرْفَعَ بِهَا ظُلْمًا ، فَأُهْدِيَ لَهُ ، فَقَبِلَ ؛ فَهُوَ سُحْتٌ ". "تفسير الطبري
"Barang siapa yang memberikan bantuan, tujuannya untuk mengembalikan hak dan menghilangkan kezaliman, LALU DIA DIBERI HADIAH karena itu, lalu dia menerimanya, Maka itu bagian yang haram." (Tafsir Ath Thabariy, 8/432)
Demikian.
🔹Lalu manakah pendapat yang kuat?
Pendapat yang paling pertengahan adalah dilihat dulu jenis bantuannya.
Jika bantuannya dalam Hal-Hal yang wajib (seperti membantu orang tua yang sulit nyebrang, kakek yang sulit berjalan yg memang seharusnya dibantu), dan bantuan yang sunnah, maka terlarang dia menerima hadiah. Begitu pula membantu dalam hal-hal yang haram maka itu juga haram dihadiahi.
Ada pun jika membantu dalam hal yang mubah maka mubah pula menerima hadiahnya.
Imam Ash Shan'aniy Rahimahullah berkata:
وَلَعَلَّ الْمُرَادَ إذَا كَانَتْ الشَّفَاعَةُ فِي وَاجِبٍ كَالشَّفَاعَةِ عِنْدَ السُّلْطَانِ فِي إنْقَاذِ الْمَظْلُومِ مِنْ يَدِ الظَّالِمِ أَوْ كَانَتْ فِي مَحْظُورٍ كَالشَّفَاعَةِ عِنْدَهُ فِي تَوْلِيَةِ ظَالِمٍ عَلَى الرَّعِيَّةِ فَإِنَّهَا فِي الْأُولَى وَاجِبَةٌ فَأَخْذُ الْهَدِيَّةِ فِي مُقَابِلِهَا مُحَرَّمٌ، وَالثَّانِيَةُ مَحْظُورَةٌ فَقَبْضُهَا فِي مُقَابِلِهَا مَحْظُورٌ، وَأَمَّا إذَا كَانَتْ الشَّفَاعَةُ فِي أَمْرٍ مُبَاحٍ فَلَعَلَّهُ
جَائِزٌ أَخْذُ الْهَدِيَّةِ لِأَنَّهَا مُكَافَأَةٌ عَلَى إحْسَانٍ غَيْرِ وَاجِبٍ وَيَحْتَمِلُ أَنَّهَا تَحْرُمُ لِأَنَّ الشَّفَاعَةَ شَيْءٌ يَسِيرٌ لَا تُؤْخَذُ عَلَيْهِ مُكَافَأَةٌ
Bisa jadi maksud hadits di atas adalah bantuan dalam perkara wajib, seperti pemimpin yang menyelamatkan orang yang dizalimi dari tangan orang zalim atau dalam perkara terlarang seperti membantu pihak yang menzalimi rakyat- maka untuk jenis yang pertama adalah pembelaan tersebut adalah wajib maka diharamkan menerima hadiah karena itu. Jenis kedua pembelaan jenis tersebut adalah terlarang maka terlarang pula menerima hadiahnya.
Ada pun pertolongan dalam urusan yang BOLEH, maka boleh juga menerima hadiahnya sebab itu balasan atas kebaikan yang tidak diwajibkan.
Hal itu diharamkan jika maksudnya adalah pertolongan dalam hal yang ringan, yang memang tidak ada upah atas hal itu.
(Subulussalam, 2/58)
Begitu pula uang TIP karena kesungguhan seseorang atas kerjanya, itu boleh:
أما إذا كان كانت الهديَّة مقابل جهدٍ وعملٍ قام به الشافع ؛ فلا حرجَ في أخذها
"Ada pun jika hadiah itu diberikan karena kesungguhan kerja orang yang menolong, maka tidak apa-apa dia mengambil hadiah tersebut."
(Al Islam Su'aal wa Jawaab no. 220599)
Lalu, untuk konteks pegawai, jika memang kantor melarang hal itu, agar menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maka lebih baik memang dihindari, aman secara syar'iy sudah, tapi jangan lupa aman secara peraturan negara dan aman secara citra bagi seseorang, ini juga mesti diperhatikan.
Demikian. Wallahu a'lam
1⃣0⃣ Yuli ~ Jombang
Ustadz, yang lagi hangat ini, bagaimana dengan serangan fajar? Pilkades misalnya, pemberi tidak mengatakan kita harus milih dia, hanya sedekah saja, bolehkan diterima?
🌷Jawab:
Ya itu MONEY POLITIC.
Walau ganti nama "sedekah", itu hanya kamufkase saja. Kalau memang sedekah kenapa diberikan menjelang pemilihan?
Jika dia bukan caleg, apakah dia juga bersedekah seperti itu?
Wallahu a'lam
1⃣1⃣ Wahyuni ~ Tangerang
Tentang serangan fajar yang dilakukan salah satu caleg, karena yang membagikan orang yang kita kenal baik ketika hendak menolak kita merasa tidak enak kemudian kita terima amplop itu namun kita tidak mau memakainya. Lalu apa hukumnya ustadz, tetap berdosa kah?
Harus kita apakan amplopnya?
Nb. Amplopnya berisi uang.
🌷Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim...
Tolak baik-baik pemberian itu, jika memang kita memilihnya sesuai hagi nurani dan ikhlas. Tapi jika sulit menolak karena dia kawan dekat, saudara, atau tetangga, yang jika ditolak dia akan tersinggung, maka terima dengan banyak istighfar dan dihati membenci hal itu, lalu salurkan uang itu untuk kepentingan umum. Seperti jembatan, jalanan rusak, wc umum, trotoar, taman kota, dan sejenisnya.
Wallahu a'lam
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
💎CLoSSiNG STaTeMeNT💎
"Sedikit harta tapi halal dan berkah lebih mulia dan berkah, dibanding banyak tapi syubhat dan haram. Maka, perhatikan dari mana sumber penghasilan kita."
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar