OLeH: Ustadz Farid Nu'man Hasan
💘TaNYa JaWaB💘
0⃣1⃣ Safitri- banten
Pak ustadz emang benar yah hukumnya haram kalau berziarah dikuburan pada saat mau mau bulan ramadhan biasanya ramai tuh banyak yang ziarah itu bagaimana tolong penjelasanya?
Makasih.
🌸 Jawab:
Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d,
Ziarah kubur menjelang masuknya Ramadhan
Ini adalah tradisi yang sudah turun temurun di negeri ini, dan juga beberapa negeri muslim lainnya, khususnya pada rumpun melayu.
Secara umum, berziarah kubur adalah ibadah sunah, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berikut ini:
عن بُرَيْدَة – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عن زِيَارَةِ القُبُورِ فَزُوروها )) رواه مسلم . وفي رواية : (( فَمَنْ أرَادَ أنْ يَزُورَ القُبُورَ فَلْيَزُرْ ؛ فإنَّهَا تُذَكِّرُنَا الآخِرَةَ ))
Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Dahulu saya melarang kalian dari berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah.” (HR. Muslim).
Riwayat lain: “maka barangsiapa yang hendak berziarah kubur maka berziarahlah, karena hal itu bisa mengingatkan akhirat.”
Hadits ini dikeluarkan oleh:
–Imam Muslim dalam Shahihnya No. 1977
–Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5162
–Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 1571
–Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 9289
–Imam Abu ‘Uwanah dalam Musnadnya No. 7879, 7882
–Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 1235, 4319, 13512, 13640, 23053
–Imam Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 312, 11928, 11935
–Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 4373, 4465, 7366
–Imam Ath Thabarani dalam Musnad Asy Syamiyin No. 604, 2442, dalam Al Ausath No. 6394
–Imam Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4130
–Imam Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 2708
Maka, kesunahan berziarah kubur adalah perkara yang tidak diragukan lagi bagi kaum muslimin, khususnya kaum laki-laki. Ada pun berziarah kubur bagi kaum wanita telah diperselisihkan ulama, namun pendapat yang rajih adalah boleh pula bagi kaum wanita untuk berziarah kubur.
Kemudian, ziarah kubur pada dasarnya adalah ibadah muthlaq yaitu ibadah yang tidak terikat oleh waktu, peristiwa, dan sebab tertentu. Kapan pun kita mau dan ada kesempatan, maka ziarah kubur adalah masyru’ (disyariatkan). Maka, boleh saja berziarah kubur di waktu yang kita lapang baik hari ini dan itu, bulan ini dan itu, menjelang Ramadhan, pas Ramadhan, atau setelah Ramadhan, dzul qa’dah, dzul hijjah, dan lainnya. Semua ini boleh saja.
Ada pun mengkhususkan dan mengikatkan ziarah kubur dengan waktu tertentu, seperti mengikatkannya dengan menjelang Ramadhan saja, atau awal Syawal, lalu melakukannya menjadi rutinitas yang baku, maka tradisi ini tidak memiliki dasar dalam syariat. Tidak pada Al Quran, tidak pula pada As Sunnah, juga tidak pula pada sahabat, tabi’in, dan imam empat madzhab. Karena ini adalah ibadah muthlaq, maka sebaiknya dilakukan sesuai kemutlakannya itu, kadang kita ziarah kubur menjelang Ramadhan, kadang kita melakukan di awal Syawal, kadang kita lakukan di beberapa bulan lainnya, agar dia berjalan sesuai kemutlakannya itu.
Namun, masalah ini adalah perkara sensitif di masyarakat. Seorang muslim mesti mau memahami dan memaklumi kenapa sebagian masyarakat muslim -dengan didukung para ulamanya- melakukan ini. Ini adalah –meminjam istilah ahli ushul- Al ‘Urf (tradisi). Dan, tradisi bagi para pakar ada dua: Al ‘Urf Ash Shahih (tradisi yang benar) dan Al ‘Urf Al Fasad (tradisi yang rusak).
Al ‘Urf Ash Shahih adalah tradisi yang benar lagi baik, yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, baik secara umum atau terperinci. Adapun mentradisikan ziarah kubur menjelang Ramadhan dan awal Syawal mereka masukkan ke dalam kelompok ini; tradisi yang baik, karena pada dasarnya memang berziarah kubur adalah sunnah dan baik.
Al ‘Urf Al Fasad adalah tradisi yang merusak, yang bertentangan dengan syariat Islam, baik secara umum atau khusus. Seperti tradisi sebagian nelayan yang melakukan lempar sesajen ke pantai laut selatan setelah mereka mendapatkan hasil ikan yang banyak.
Demikianlah. Keluar dari khilafiyah adalah lebih utama, yakni dengan menempatkan ziarah kubur sebagaimana porsinya sebagai ibadah mutlak. Lalu tetaplah menjaga ukhuwah terhadap sesama muslim.
Demikian.
Wallahu A’lam
0⃣2⃣ iNdika ~ Kartasura
Ibu menyusui dan sedang dalam nifas, mengganti puasa Ramadhan sebaiknya mengqodho atau membayar fidyah?
🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim...
Kalau alasannya nifas, haid, maka itu qadha, sebab hukum-hukum nifas sama dengan haid.
Tapi, kalau karena menyusui dan hamil, maka ada 4 pendapat ulama.
Selengkapnya di bawah ini,
Wanita Hamil dan Menyusui: Qadha atau Fidyah?
(Pertanyaan dari beberapa muslimah)
Masalah ini termasuk yang banyak intensitas pertanyaannya. Sebelumnya kita lihat dulu karena apa Qadha dan Fidyah itu.
Untuk Qadha dalilnya adalah firman Allah Taala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
(QS. Al Baqarah (2): 184)
Untuk Fidyah dalilnya adalah kalimat selanjutnya:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al Baqarah (2): 184)
Ibu hamil disetarakan dengan orang-orang yang berat melaksanakan puasa, sebagaimana diketahui Al Quran pun juga menyebut mereka dengan wahnan 'ala wahnin (lemah yang bertambah-tambah).
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma berkata kepada wanita yang sedang hamil dan menyusui:
انت بمنزلة الذى لا يطيقه
Kamu kedudukannya sama dengan orang yang tidak mampu puasa. (Tafsir Ath Thabariy, 2/899)
Ini juga dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhuma. (Ad Daruquthni dalam Sunannya, 2/206)
Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar, sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya.
Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit, dan tidak merinci bagaimanakah sakitnya. Sedangkan ayat tentang Fidyah, juga tidak dirinci.
Nah, Khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. (Tafsir Al Quran al Azhim, 1/215. Darul Kutub al Mishriyah) bahwa ada empat pandangan atau pendapat ulama:
√ Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan wajib qadha dan fidyah sekaligus.
Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i, jika Si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.
√ Kedua, kelompok ulama yang mewajibkan fidyah saja, tanpa qadha.
Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi ﷺ, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma. Dari kalangan tabi'in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir, Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi'ut tabi'in (murid para tabiin) seperti Al Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakha'i.
Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil: Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha.
Nafi' bercerita bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa, maka dia menjawab: Hendaknya dia berbuka, dan sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum. (Riwayat Malik )
√ Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah.
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.
√ Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah.
Demikianlah berbagai perbedaan tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti?
Seorang ahli fiqih abad ini, Al Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus. Beliau berkata:
وهكذا كان كثير من النساء فى الأزمنة الماضية فمن الرحمة بمثل هذه المرأة ألا تكلف القضاء و تكتفى بالفدية، و فى هذا خير للمساكين وأهل الحاجة. أما المرأة التى تتباعد فترات حملها كما هو الشأن فى معظم نساء زمننا فى معظم المجتمعات الإسلامية و خصوصا فى المدن والتى قد لا تعانى الحمل والارضاع فى حياتها الا مرتين او ثلاثا، فالأرجح أن تقضى كما هو رأى الجمهور
"Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja, di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”
(Fiqhush Shiyam, Hal. 73-74)
Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena sering hamil dan selalu melalui bulan Ramadhan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja. Ada pun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam.
Demikian.
Wallahu Alam
0⃣3⃣ Atin ~ Pekalongan
Ustadz, seorang ibu berusia 75 tahun tidak ingin puasa karena beliau pahami orang yang sudah tua diberi keringanan untuk tidak berpuasa. Tetapi di mata anaknya ibu itu sehat dan kuat untuk puasa.
Bagaimana anak menyikapi hal itu?
🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim...
Dalam Al Qur'an disebutkan:
و علي الذين يطيقونه فدية طعام مسكين
Dan bagi orang-orang yang sudah berat melaksanakannya maka baginya wajib memberikan fidyah berupa makanan untuk orang-orang miskin. (QS. Al Baqarah:184)
Maksud dari "orang-orang yang berat melaksanakannya" adalah orang-orang yang sudah tua, jompo, sebagaimana dijelaskan para ahli tafsir salaf dan khalaf. Tapi, itu maksudnya bagi orang tua yang memang sudah tidak mampu lagi berpuasa, yang jika puasa akan mencelakakan dirinya.
Ada pun yang masih kuat, walau sudah tua, maka dia tetap wajib sebagai lainnya. Mau tidak mau, neneknya mesti dipahamkan untuk itu.
Wallahu a'lam
0⃣4⃣ Fitri ~ Gresik
Ustadz, saya sering mendenger kalau seseorang yang hutang puasa kemudian sampai datang bulan ramadhan berikutnya belum tuntas hutang puasanya maka hutang puasanya akan jadi double misalnya dari sisa hutang 2 menjadi 4. Apakah itu ada hadisnya?
🌸Jawab:
Bismillahirrahmanirrahim ..
Tidak demikian. Jika dia hutang 2 hari, lalu baru sempat di qadha Sya'ban, maka tetap 2 hari, tidak berbunga menjadi 4 hari.
Hanya saja, menunda itu kan ada dua sebab:
1) Halangan syar'i, seperti sakit, hamil, menyusui, haid, nifas .. maka dia qadha saja tanpa fidyah.
2) Halangan tidak syar'i, menunda-nunda karena malas.
Maka, menurut mayoritas ulama baik Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hambaliyah, .. dia wajib qadha dan fidyah juga.
Ada pun Hanafiyah, berpendapat hanya Qadha, tanpa fidyah.
Wallahu a'lam
0⃣5⃣ Lisa ~ Malang
Assalamuaikum ustadz Farid Nu'man,
Mohon penjelasan tentang syetan yang dibelenggu ketika bulan Ramadhan ustadz.
Sedangkan banyak sekali orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini, apakah mereka dikuasai syetan?
Jazakallah khayiran ustadz sebelumnya atas penjelasannya.
🌸Jawab:
Wa'alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh
Syetan dibelenggu, tapi manusia masih ada hawa nafsu. Itulah yang berpotensi berbuat jahat.
Makna Syetan Diikat Ketika Ramadhan
Pertanyaan:
جاء فى بعض الأحاديث أن الشياطين تصفد فى رمضان ، فكيف يتفق هذا مع وقوع جرائم كثيرة فى رمضان من الصائمين وغير الصائمين ؟
“Sebagian hadits menyebutkan bahwa syetan dibelenggu ketika Ramadhan. Bagaimana mengkompromikan hal ini dengan realita bahwa kejahatan tetap banyak terjadi pada Ramadhan yang dilakukan orang berpuasa dan yang tidak berpuasa?”
Jawab (oleh Syaikh ‘Athiyah Saqr - Mufti Mesir pada zamannya):
روى البخارى ومسلم أن النبى صلى الله عليه وسلم قال : " إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة وغلقت أبواب النار وصفدت الشياطين " وروى ابن خزيمة فى صحيحه قوله صلى الله عليه وسلم " إذا كان أول ليلة من شهر رمضان صفدت الشياطين مردة الجن . . . " .
إن الواقع يشهد بأن المعاصى ما تزال ترتكب فى رمضان وغير رمضان ، ومن أجل التوفيق بين الحديث الثابت وبين الواقع المشاهد قال الشراح : إن المراد بتقييد الشياطين فى رمضان عدم تسلطها على من يصومون صوما صحيحا كاملا رُوعيت فيه كل الآداب التى منها عفة اللسان والنظر والجوارح كلها عن المعصية ، استجابة للحديث الذى رواه البخارى : " من لم يدع قول الزور والعمل به فليس للَّه حاجة فى أن يدع طعامه وشرابه " أو المراد بالشياطين التى تصفد المردة والجبابرة منهم كما فى رواية ابن خزيمة، أما غيرهم فلا يقيدون ولذلك تقع من الناس بعض المعاصى ، أو المراد أن الشياطين كلها تُغَلُّ بمعنى يضعف نشاطها ولا تكون بالقوة التى عليها بدون أغلال وقيود ، أو المراد :
أن المعاصى التى تكون بسبب الشياطين تمنع ، ولكن تقع المعاصى التى يكون سببها النفوس الخبيثة الأمارة بالسوء أو العادات القبيحة أو شياطين الإنس ، ومن هنا نرى أن الحديث لا يصطدم مع الواقع عند فهمه فهما صحيحا ، وذلك ما نحب أن نلفت الأنظار إليه فى فهم نصوص الدين حتى لا يكون هناك شك فى الدين أو انحراف فى الفكر أو السلوك
Al Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika datang Ramadhan maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syetan-syetan dibelenggu.” Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam Shahihnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika datang malam pertama bulan Ramadhan syetan jin yang durhaka dibelenggu …”
Sesungguhnya kenyataan yang ada adalah tetap adanya maksiat pada bulan Ramadhan dan selainnya, maka mesti dikompromikan antara hadits-hadits shahih dengan kenyataan yang tampak ini. Para pensyarah (penjelas) mengatakan:
“Bahwa diikatnya syetan bermakna mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap orang yang berpuasanya benar, sempurna, dan bagus, yang di dalamnya meliputi semua adab-adab seperti menjaga lisan, pandangan, dan perbuatan lahiriyah seluruhnya dari maksiat. Hal ini merupakan jawaban dari hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak membutuhkan aktifitas meninggalkan makan dan minumnya.”
Dan dikatakan pula: “Yang dimaksud dengan syetan yang dibelenggu adalah yang durhaka dan lalim dari kaum mereka (Jin), sebagaimana hadits Ibnu Khuzaimah. Ada pun selain mereka tidaklah dibelenggu, maka dari itu terjadilah maksiat yang dilakukan manusia.” Atau maksudnya pula adalah: “Bahwa semua syetan terbelenggu dengan artian melemah akifitasnya, dan tidaklah dia menjadi kuat jika diikat dan dibelenggu.” Atau maksudnya adalah: “Bahwa maksiat yang disebabkan dari syetan menjadi tercegah, sedangkan maksiat yang ada adalah disebabkan jiwa yang buruk yang memerintahkan pada kejelekan (amarah bis suu’), kebiasaan yang jelek, atau syetan dalam bentuk manusia.”
"Dari sini kita melihat bahwa hadits-hadits tersebut tidaklah bertentangan dengan kenyataan ketika kita memahaminya dengan pemahaman yang benar. Dan hal itu, bukan berarti kita suka memalingkan berbagai pandangan terhadap nash-nash agama, sehingga tidak ada lagi keraguan terhadap agama, atau penyimpangan pemikiran dan perilaku.” (Fatawa Darul Ifta’ Al Mishriyah, 9/253).
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar