OLeH: Ustadz Dodi Abu El Jundi
💎M a T e R i💎
MENGELOLA HARTA BERSAMA YUUKK...!!!
Kajian On-Line
Dodi Abu El Jundi
Harta dalam Islam merupakan amanah dan hak milik seseorang. Kewenangan untuk menggunakannya terkait erat dengan adanya kemampuan (kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle). Prinsip Islam mengajarkan bahwa “Sebaik-baik harta yang shalih (baik) adalah dikelola oleh orang yang berkepribadian shalih (amanah dan profesional).”
Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang, memproduksi barang maupun jasa untuk mencari rezki اللّهُ secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa diskriminasi antara laki dan perempuan. Bila kita tahu bahwa kaum wanita diberikan oleh اللّهُ hak milik dan kebebasan untuk memiliki, maka sudah semestinya mereka juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki. Rasulullah ﷺ memuji seseorang yang mengkonsumsi hasil usahanya sendiri dengan sabdanya: “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan lebih baik dari mengkonsumsi makanan yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud, memakan makanan dari hasil kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah merahmati seseorang yang mencari penghasilan secara baik, membelanjakan harta secara hemat dan menyisihkan tabungan sebagai persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memenej harta secara ekonomis, efisien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan menabung untuk masa depan dan persediaan kebutuhan mendatang. Prinsip ini sebenarnya menjadi dasar ibadah kepada اللّهُ agar dapat diterima (mabrur) karena saran, niat dan caranya baik. Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya اللّهُ itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja.” (HR. Muslim). Kesadaran akuntabilitas (ma’uliyah) dalam bidang keuangan itu yang mencakup aspek manajemen pendapatan dan pengeluaran timbul karena keyakinan adanya kepastian audit dan pengawasan dari اللّهُ subhanahu wa ta'ala seperti sabda Nabi ﷺ : “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat kebangkitannya di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal, di antaranya tentang hartanya; dari mana dia memperoleh dan bagaimana ia membelanjakan.” (HR. Tirmidzi).
NAFKAH DALAM KELUARGA Secara prinsip, fitrah kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung jawab suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan wanita sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset keluarga. اللّهُ subhanahu wa ta'ala berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka…” (QS. An-Nisa:34).
Dengan demikian, posisi kepala rumah tangga bagi suami paralel dengan konsekuensi memberi nafkah dan komitmen perawatan keluarganya secara lazim.
Oleh karena itu Nabi ﷺ secara proporsional telah mendudukkan posisi masing-masing bagi suami istri dalam sabdanya: “Setiap kalian adalah pengayom dan setiap pengayom akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami adalah pengayom bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga yang diayominya. Istri adalah pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari).
🌷🌸🌷
Ketika Rasulullah ﷺ menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali radhiyallahu 'anhuma beliau berwasiat kepada menantunya : “Engkau berkewajiban bekerja dan berusaha sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej) rumah tangga.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Jadi, sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri untuk mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga.
Meskipun demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan dalam pengelolaan aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu atau memerlukan bantuan.
Dan juga sebaliknya tidak ada larangan Syariah bagi istri untuk membantu suami terlebih ketika kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan cara yang halal dan baik serta tidak membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga selama suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi sang istri.
Bukankah Khadijah radhiyallahu 'anha ikut andil dalam membantu mencukupi kebutuhan keluarga Nabi ﷺ. sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan. (QS.Al-Maidah: 2). Prinsip keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari karunia اللّهُ (rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat mencukupi diri dan keluarga untuk beribadah kepada اللّهُ secara khusyu’.
Meskipun demikian, istri harus memiliki keyakinan bahwa tugas utama dalam keluarganya adalah mengatur urusan rumah tangga dan mengelola keuangan keluarga bukan mencari nafkah.
Para Ahli tafsir (Mufassirin) menyimpulkan dari surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan kebebasan wanita untuk berusaha mencari rezki.
Sejarah Islam di masa Nabi telah membuktikan adanya sosial kaum wanita dalam peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu mereka juga terlibat dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian.
MANAJEMEN KEUANGAN KELUARGA Manajemen keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa penentu dan pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk memenuhi kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu’ sehingga memiliki komitmen dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah dan menghindari penghasilan haram yang membawa petaka.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa berusaha dari yang haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak mempunyai pahala dan dosa tetap di atasnya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi اللّهُ yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya tidak akan diterima. Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya اللّهُ tidak akan menghapus kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan kebaikan sebab kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad) Dan sabdanya: “Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka lebih pantas baginya.” (HR. Tirmidzi).
Seorang wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya ketika hendak mencari rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih mampu bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas api neraka.”
Demikian pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada istrinya untuk menjaga amanah اللّهُ dalam mengurus harta yang dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara benar tanpa boros, kikir maupun haram.
Firman اللّهُ yang memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67).
Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang untuk ngoyo dalam pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi sehingga mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada Allah, diri maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak dan keluarga.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang harus engkau penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dimana اللّهُ telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas kemampuan manusia. (QS. Al-Baqarah: 286).
Namun bila kebutuhan sangat banyak atau pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik dan saling membantu antara suami istri dalam memperbesar pendapatan keluarga dan melakukan efisiensi dan penghematan sehingga tiang penyangga lebih besar dari pada pasak.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dan apabila kamu harus membebani mereka di luar kemampuan, maka bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah). Dalam manajemen keuangan keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi potensi keluarga termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki اللّهُ.
Islam senantiasa memperhatikan masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak dilatih mandiri dan berpenghasilan sejak usia remaja di samping berhemat agar pertumbuhan ekonomi keluarga muslim dapat berjalan lancar yang merupakan makna realisasi keberkahan secara kuantitas maka Islam melarang orang tua untuk memanjakan anak-anak sehingga tumbuh menjadi benalu, tidak mandiri dan bergantung kepada orang lain.
Firman اللّهُ ﷻ di awal (QS. An-Nisa: 6) mengisyaratkan bahwa kita wajib mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus, mengelola dan mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang nantinya akan menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus keuangan keluarga bagi perempuan, di samping anak terlatih untuk bekerja, meringankan beban dan membantu orang tua.
🌷🌸🌷
PEMBELANJAAN DAN POLA KONSUMSI ISLAMI Pengeluaran atau pembelanjaan adalah mengelola harta yang halal untuk mendapatkan manfaat material ataupun spiritual sehingga membantu para anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini terdapat beberapa jenis pembelanjaan yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang, dan pembelanjaan dengan jalan baik (amal shaleh) untuk mendapatkan pahala di akhirat, seperti zakat dan sedekah.
Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur pembelanjaan keluarga muslim, di antaranya secara garis besar adalah:
(1) Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban suami. Suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. اللّهُ berfirman: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan اللّهُ kepadanya. اللّهُ tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang اللّهُ berikan kepadanya. اللّهُ kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Thalaq: 7). Rasulullah ﷺ bersabda: “barang siapa yang menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah.” (HR. Thabrani).
Hadits ini mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan dana atau pembelanjaan untuk anggota keluarga itu akan berubah dari bentuk pengeluaran yang bersifat material (nafkah) menjadi pengeluaran yang bersifat spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari اللّهُ.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam Haji Wada’: “Ayomilah kaum wanita (para istri) karena اللّهُ , sebab mereka adalah mitra penolong bagimu. Kamu telah memperistri mereka dengan amanah اللّهُ dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan kalimat اللّهُ. Kamu berhak melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau benci memasuki kediamanmu. Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan nafkah dan pakaian secara lazim.” Menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban suami terhadap istrinya, Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia memberinya makan ketika dia makan dan memberinya pakaian ketika ia berpakaian, serta janganlah dia meninggalkannya kecuali sekadar pisah ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan menjelek-jelekkannya.” Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi Rasulullah ﷺ dan bercerita bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “ia tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul bersabda: “Ambillah dari hartanya dengan ma’ruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah ﷺ bahwa dia mempunyai uang satu dinar. Rasulullah bersabda: “Bersedekahlah dengannya untuk dirimu, kemudian sahabat itu bertanya, ‘bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?’ rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya untuk istrimu.’ Kemudian ia bertanya lagi, ‘dan bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?’ Rasul menjawab, ‘bersedekahlah dengannya untuk pelayanmu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
(2) Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan. Di antara kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orang tuanya yang sudah lanjut usia (jompo) sebagai salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua, seperti diisyaratkan Al-Qur’an: “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra: 23). Rasul bersabda: “Kedua orang tua itu boleh makan dari harta anaknya secara ma’ruf (baik) dan anak tidak boleh memakan harta kedua orang tuanya tanpa seizin mereka.” (HR. Dailami).
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak melaksanakan kewajibannya, berarti ia durhaka terhadap orang tuanya dan berarti telah memutuskan hubungan kekerabatan. Selain itu, suami dan istri harus percaya bahwa memberi nafkah kepada kedua orang tua adalah suatu kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang tua yang bersifat mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya kebajikan.
(3) Istri Boleh Membantu Keuangan Suami. Jika seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya karena fakir, istri boleh membantu suaminya dengan cara bekerja atau berdagang. Hal itu merupakan salah satu bentuk ta’awun ‘ala birri wat taqwa (saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) yang dianjurkan Islam. Selain itu, istri pun boleh memberikan zakat hartanya kepada suaminya yang fakir atau memberi pinjaman kepada suami apabila suami tidak termasuk fakir yang berhak menerima zakat.
(4) Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga. Telah dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang halal dan istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga dalam koridor mewujudkan lima tujuan syariat Islam, yaitu dalam rangka memelihara agama, akal, kehormatan, jiwa dan harta. Sabda Rasulullah ﷺ : “Istri adalah pengayom bagi rumah tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila seorang istri menyedekahkan makanan rumah tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga, maka dia mendapat pahala dari amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil usahanya, demikian pula pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” (HR. Tahbrani).
(5) Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis. Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat.” (HR. Ahmad). Selain itu ia harus realistis menerima apa yang dimilikinya (qana’ah). Rasul ﷺ bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezki cukup dan menerima apa yang اللّهُ berikan kepadanya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
(6) Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat. Istri tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar kemampuannya. Ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya seefisien mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan pendapatan suami, tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-Baqarah: 236, 286) Abu bakar pernah berkata: “Aku membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.” Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik . Islam juga menganjurkan agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan bermanfaat. Keluarga muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus berprinsip pada pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan (need) di samping manfaat (utility) sehingga hanya akan belanja apa yang dibutuhkan dan hanya akan membutuhkan apa yang bermanfaat. (QS. Al-Baqarah: 172, Al-Maidah: 4, Al-A’raf: 32).
Dalam berumah tangga, suami-istri hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan perintah agama. Sabda Nabi ﷺ : “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan ikhlas karena اللّهُ kecuali kamu mendapat pahala darinya.” (Muttafaq ‘Alaih).
(7) Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants). Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Ada tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu: a) Kebutuhan primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan. b) Kebutuhan Sekunder, yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi. Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat. c) Kebutuhan Pelengkap, Yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat. Prioritas konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas hak-hak yaitu hak terhadap diri (keluarga), اللّهُ (agama), orang lain. Orang lain juga diukur menurut kedekatan nasab dan rahim, yang paling utama adalah orang tua kemudian saudara. (QS.Al-Anfal: 75)
Aplikasi aturan-aturan di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk memperhitungkan pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga kebutuhan di atas, dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan, sehingga rumah tangga muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian yang ditimbulkan atau sikap boros untuk hal yang bukan primer. Islam mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan karena dapat mengundang kerusakan dan kebinasaan. اللّهُ berfirman: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al-Isra’:16). Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur terhadap nikmat اللّهُ.
Firman-Nya: “Pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS. Al-Mu’minun: 33).
Nabi juga sangat membenci gaya hidup mewah: “Makan, minum dan berpakaianlah sesukamu, sebab yang membuat kamu berbuat kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah dan berprasangka buruk.” (HR. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas).
(8) Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaa. Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala hal termasuk dalam manajemen pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir atau terlalu ketat. Sikap berlebihan adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa, harta dan masyarakat, sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat menimbun, memonopoli dan menganggurkan harta.
Kedua pola ekstrim dalam konsumsi itu memiliki mendekati sifat mubadzir.
Firman اللّهُ : Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon: 67) “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra: 29) “dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’: 26-27). Sabda Rasul ﷺ “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad). “Tidak akan miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad).
Jika pembelanjaan kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah akan memajukan usaha kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan اللّهُ akan memberikan kelebihan hasil usaha agar kita dapat menyimpan dan menabungnya untuk menjaga datangnya hal-hal yang tidak terduga atau untuk menjaga kelangsungan hidup generasi yang akan datang.
Semoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar