OLeH: Ustadzah Rizqi M.A.
💎M a T e R i💎
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ
وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang masih memberikan kita nikmat iman, islam dan Al Qur'an semoga kita selalu istiqomah sebagai shohibul qur'an dan ahlul Qur'an dan dikumpulkan sebagai keluarga Al Qur'an di JannahNya..
Shalawat beriring salam selalu kita hadiahkan kepada uswah hasanah kita, pejuang peradaban Islam, Al Qur'an berjalan, kekasih Allah SWT nabi besar Muhammad SAW, pada keluarga dan para sahabatnya semoga kita mendapatkan syafaat beliau di hari akhir nanti. Insya Allah..
Aamiin..Allahumma Aamiin...
🌷🌸🌷
Konsep dzaan terkandung dalam beberapa ayat al Qur’an, mempunyai beragam pengertian yang secara berjenjang dapat diidentifikasi mulai dari pengertian yakin atau meyakini, ‘ilm (pengetahuan), sangkaan atau prasangka yang berarti dusta, sampai pada arti prasangka yang mencelakakan. Pengertian dzaan tersebut seperti yang diungkapkan dalam ayat al Qur’an berikut;
a. Kata dzaan-yadzunnudengan arti yakin terdapat dalam surat al Baqarah (2:46); “Mereka yang yakin bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya...” Kata dzaan dengan pengertian yakin dihubungkan dengan keimanan dari orang-orang yang beriman dengan Allah dan kebenaran yang diturunkanNya.
b. Kata dzaan dengan pengertian prasangka sebagai sesuatu yang terlarang dan dosa yaitu yang terdapat dalam surat al Hujurat: 12; “Wahai orang yang beriman ! Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada diantara kamu yang menggunjing sebagian yang lain…” Kata dzaan dalam ayat tersebut terkait dengan prasangka manusia dalam hubungan dengan sesama manusia dengan maksud penegasan dzaan sebagai dosa yang dapat merusak hubungan persaudaraan diantara sesama. Hal itu dapat dimaknai dalam kaitannya dengan larangan dalam ayat tersebut supaya tidak mencari-cari kesalahan orang lain. Dzaan sebagai dusta dipertegas oleh hadis Rasul dari Abu Hurairah ; “jauhilah olehmu berburuk sangka karena berburuk sangka itu termasuk berita yang paling dusta….” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah).
c. Kata dzaan dengan arti sia-sia dan tidak ada gunanya berhadapan dengan kebenaran seperti terdapat dalam surat Yunus: 36; “dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan atau sangkaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran…” Kata dzaan dengan pengertian sesuatu yang sia-sia dan tidak berguna dalam berhadapan dengan kebenaran dimaksudkan sebagai prasangka dari mereka yang mengingkari (tidak meyakini) kebenaran Allah.
d. Kata dzaan dengan arti dugaan yang membinasakan terdapat dalam surat al Fushshilat: 23; “Dan itulah dugaanmu yang telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu, (dugaan itu) telah membinasakanmu, sehingga jadilah kamu termasuk orang yang merugi.” Dzaan atau prasangka dalam ayat ini pun berhubungan dengan mereka yang mengingkari atau tidak meyakini kebenaran Allah.
🌷🌸🌷
Kata adz dzhaan, bentuk masdar dari kata dzaanna- yadzunnu, yang berarti dugaan, sangkaan, prasangka atau perkiraan. Pada umumnya prasangka atau dugaan merujuk pada sesuatu yang belum diyakini kebenarannya, karena belum ada fakta pembuktiannya. Kata dzaan juga berarti berprasangka atau menuduh. Dzann dengan pengertian prasangka menunjukkan sesuatu yang belum jelas dan pasti dengan konotasi pada hal yang tidak baik dengan implikasi yang juga tidak baik (1).
Dari beragam arti kata dzaan, mulai dari prasangka yang bersifat dusta sampai pengertian prasangka pada tingkat yakin seperti yang diungkap dalam beberapa ayat al Qur;an di atas, dapat dimaknai bahwa dzaan atau prasangka berhubungan dengan proses kognitif disertai keterlibatan fungsi hati (qalbun-al fuad) dalam menginterpretasikan fakta yang ditangkap oleh indera. Selanjutnya, dzaan dapat diasosiasikan dengan skema atau persepsi terhadap fakta tertentu hasil proses kognitif melalui interpretasi (penafsiran) terhadap apa yang diinderakan atau dirasakan dari pengalaman interaksi dengan lingkungan (2). Karena itu, sebagai hasil proses kognitif, konsep dzaan, prasangka atau praduga juga dipakai dalam terminology ilmu pengetahuan yang merupakan asumsi awal dari suatu proses penemuan kebenaran teori ilmu pengetahuan melalui pembuktian fakta empirik. Ketika prasangka atau asumsi awal tersebut menemukan pembuktian melalui proses dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan menurut prosedur ilmiah, baru kemudian dapat diakui sebagai kebenaran teori ilmu pengetahuan.
Konsep dzaan atau prasangka yang mendapatkan perhatian khusus dalam pesan al Qur’an dikarenakan dzaan berkaitan dan atau mempengaruhi sikap tindakan dan perbuatan manusia. Dzaan sebagai skema atau persepsi yang direkonstruk pikiran manusia disertai interpretasi subjektif berdasarkan pengalaman individu, yang kemudian diikuti oleh symptom emosi tertentu sehingga mendorong munculnya tindakan. Karena itu, pemaknaan dzaan juga dapat dihubungkan dengan pesan al Qur’an dalam surat Al Baqarah: 216; “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu pada hal itu baik bagimu, boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.“
Ayat di atas menegaskan tentang kewajiban berperang disertai pernyataan bahwa berperang itu tidak menyenangkan (perasaan) dan menyebabkan tidak disukai (sikap atau preferensi terhadap fakta yaitu berperang). Perasaan senang dan tidak senang muncul karena adanya persepsi (sangkaan) terhadap fakta tertentu bahwa perang tidak menyenangkan. Selanjutnya ditegaskan pula dalam ayat tersebut bahwa “bisa jadi yang tidak disenangi itu baik bagimu, sebaliknya boleh jadi yang disukai itu justru tidak baik bagimu.” Artinya perpsepsi atau sangkaan (dzaan) yang memunculkan perasaan senang dan tidak senang dalam kenyataan justru bisa terjadi yang sebaliknya, tidak sesuai dengan perasaan suka atau tidak suka yang menyertai sangkaan dalam pikiran manusia. Hal itu memperjelas bahwa sangkaan (dzaan) dalam pikiran manusia merupakan sesuatu yang tidak benar. Pesan ayat tersebut walaupun ditujukan untuk tindakan berperang, namun dalam penerapannya bisa dianalogkan dengan sangkaan terhadap fakta lain yang memunculkan perasaan suka atau tidak suka dalam pikiran manusia yang dapat mempengaruhi tindakannya (3).
Menurut ‘Athiyyah Ibn Muhammad Saalim, konsep sangkaan (dzaan) berbeda dengan konsep ragu (syakk). Keraguan (syakk) adalah adanya dua anggapan yang saling berlawanan yang menyebabkan kebimbangan. Adapun prasangka (dzaan) adalah mengambil salah satu anggapan saja dari dua anggapan tersebut, artinya individu tersebut menyudutkan satu pihak saja (Muhammad Saalim, 1420 H).
Menurut al-Syaafi’i, secara bahasa al-zhann artinya melampaui suatu hal di bandingkan yang lainnya dan menunjukkan kecenderungan kepada salah satu di antara dua hal. Menurut al-Makky, al-zhannadalah sesuatu di antara yakin (al-yaqiin) dan ragu (al-syakk). Dalam sebuah riwayat,
« ﺇﻥ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﻈﻦ ﺑﺎﷲ ﺗﻌﺎﱃ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺩﺓ ﺍﷲ »
“Sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah bagian dari ibadah kepada Allah.” (Hadits Shahih diriwayatkan oleh al-Haakim).
Dzaan adalah perilaku hati yang sebenarnya tidak bisa dilihat namun bisa dianalisis dengan indikator-indikator yang sudah dijelaskan di dalam teks-teks al-Qur’an, Hadits, dan berbagai keterangan dari para ulama.
🌷🌸🌷
Terdapat 2 (dua) kategoridzhaan dalam pemikiran Islam yaitu husnu adz dzaan (persangkaan baik) dan su’u adzdzaan (persangkaan yang buruk). Karena pengaruh dzaanterhadap emosi dan tindakan manusia, maka dalam ajaran Islam, seorang muslim dianjurkan untuk selalu berprasangka baik, terutama terhadap Allah, dan juga terhadap sesama manusia. Persangkaan baik (husnu adz dzaan) akan mendorong perasaan serta sikap positif terhadap yang disangkakan yang kemudian dapat menggerakkan tindakan perilaku positif.
◼Hadits yang menjelaskan tentang berprasangka baik kepada Allah dapat dilihat pada kutipan Hadits di bawah ini yang terjemahannya sebagai berikut:
“Aku bersama prasangka hambaku dan Aku akan selalu bersamanya. Selama dia mengingat-Ku maka Aku akan mengingatnya di dalam diri-Ku. Dan apabila dia mengingat-Ku dengan begitu banyaknya, maka Aku akan mengingatnya lebih banyak darinya. Dan apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Dan apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia mendatangi-Ku dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari.” (Hadits Shahiih riwayat al-Tirmidzy).
Terdapat riwayat lain yang menjelaskan tentang prasangka baik, yaitu;
“Janganlah pernah di antara kalian yang mati kecuali dia telah ber- husn al-Zhann ke pada Allah.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Terdapat dalam kitab: Muslim, Shahiih Muslim, hadits no. 5125 dalam al-Maktabah al-Syamilah V.3.28 dan Ahmad, Musnad Ahmad Hadits no. 13957 dalam al-Maktabah al-Syamilah V.3.28)
Adapun salah satu bentuk indikator berprasangka baik pada Allah adalah adanya sikap tawakkal, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits di bawah ini:
ﺃﺭﻯ ﺍﻟﺘﻮﻛﻞ ﺣﺴﻦ ﺍﻟﻈﻦ ﺑﺎﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ
“Aku berpendapat bahwa tawakkal adalah sikap berprasangka baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Hadits Riwayat al-Baihaqy).
Hadits ini juga senada dengan sebuah Hadits yang menjelaskan bagaimana konsep tawakkal adalah salah satu indikator berprasangka baik kepada Allah, sebagaimana yang dijelaskan pada Hadits di bawah ini:
ﺣﺴﻦ ﺍﻟﻈﻦ ﺑﺎﷲ ﻫﻮ ﺍﻟﻴﺄﺱ ﻋﻦ ﻛﻞ ﺷﻲﺀ ﺳﻮﻯ ﺍﷲ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ
“Berprasangka baik kepada Allah adalah berlepas dari dari segala hal kecuali Allah ‘Azza wa Jalla.” (Hadits Riwayat al-baihaqi).
Menurut al-Wahhaab, berprasangka baik kepada Allah adalah senantiasa menganggap Allah selalu memberikan rahmat, kesehatan, dan kemaafan, namun mereka tetap berada dalam kondisi khauf(takut akan adzab Allah) dan rajaa’ (mengharap ridhaa atau pahala).
◼Kedua, adalah prasangka buruk (su’u dzaan). Su’u dzaanadalah perilaku yang dilarang sekalipun perilaku tersebut tidak terlihat, karena Islam juga mengatur perilaku motorik maupun perilaku batin dengan motivasi pahala ataupun dosa. Berprasangka negatif adalah salah satu jenis perilaku berbahaya dan menimbulkan dampak yang cukup besar. Mengenai sikap berprasangka negatif terhadap orang lain juga dijelaskan dalam Hadits di bawah ini:
“Berhati-hatilah terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah anggapan yang paling dusta, dan janganlah mendengar aib saudaranya, mengintai-ngintai, saling benci, saling membelakangi, dan saling marah, jadilah hamba Allah yang bersaudara.” (Hadits Shahiih Riwayat al-Bukhaary).
Menurut al-‘Utsaimin, salah satu indikator adanya sikap berprasangka negatif adalah melakukan tajassus. Adapun tajassus adalah upaya untuk mencari-cari keburukan orang lain, bahkan sekalipun keburukan tersebut sudah tampak oleh indera. Sikap tajassus akan memancing perilaku untuk membicarakan keburukan orang lain (ghiibah) (al-‘Utsaimin, 1421H). Menurut al-Hanafy, ada dua indikator orang yang berprasangka buruk, yaitu membenci saudaranya dan iri (Al-Hanafy, 1427H).
Tajassus dan tahassus adalah perilaku yang menunjukkan bagaimana keinginan seseorang untuk membuktikan prasangka buruk terhadap orang lain. Biasanya orang yang ber-suu’ al-zhannakan mencari cara agar anggapannya tersebut menjadi kenyataan, salah satu caranya dengan cara mengintai (tajassus) dan mencari informasi sebanyak banyaknya dari sumber sekunder (tahassus) untuk mengetahui keburukan-keburukan orang yang menjadi objek prasangkanya.
Karena itu konsep dzaan yang ditemukan di al Qur’an dan Hadits selalu terkait dengan hubungannya kepada Tuhan dan kepada manusia. Dalam Islam mengakui bahwa proses kognitif seseorang terbentuk dari potensi-potensi nafs, persepsi bukanlah suatu hal yang melibatkan individu saja, tapi melibatkan Tuhan dan kesadaran diri. Proses kognitif dalam Islam dianggap sebagai perilaku batin, maka berpikir positif, optimis, tawakkal, dan sebagainya adalah perilaku batin yang mendapatkan balasan dari Tuhan. Begitu pula perilaku batin seperti berprasangka buruk, iri hati, dan benci juga akan mendapatkan konsekuensi dari Allah. Sebagai contoh, Hadits sebagai berikut:
“Dosa yang paling besar dari dosa-dosa besar adalah berprasangka buruk kepada Allah.” (Hadits diambil dari kitab al-Zawaajir ‘an ‘Iqtiraaf al-Kabaair).
🌷🌸🌷
Bahkan beberapa ulama seperti al-Jauhary dan al-Raaghib (dalam al-Makky) berpendapat bahwa dzaan dapat dikategorikan sebagai waham (al-wahm).
I. Konsep Dzaan dalam Tinjauan Psikologi.
Tinjauan psikologi terhadap konsep dzaan dapat dipahami dari perspektif pengalaman empirik modifikasi perilaku dengan menggunakan pendekatan kognitif behavior. Dalam pendekatan kognitif behavior tersebut, konsepdzaan dapat diasosiasikan dengan konsep distorsi kognitif yang digunakan Beck untuk modifikasi perilaku (Beck, 1976), atau konsep irrational belief (keyakinan irrasional) dari Albert Ellis (1962). Dzaan atau prasangka manusia terhadap fakta tertentu bersifat subjektif, sebab skema atau persepsi yang terbentuk dalam pikiran manusia terhadap fakta yang sama bisa berbeda antara satu dengan lain orang disebabkan perbedaan interpretasi yang bertolak masing-masing terhadap fakta. Karena itu, prasangka dalam pikiran manusia mendorong munculnya perasaan tertentu, seperti suka, tidak suka, marah, benci, senang, gembira yang pada gilirannya mendorong subjek untuk berbuat dan melakukan tindakan tertentu terhadap objek yang dipersangkakan. Karena itulah, perintah al Qur’an untuk menjauhi dzaan seperti yang terkandung dalam surat al Hujurat:12 dapat dijelaskan dari proses kognitif yang berpengaruh terhadap pembentukan perilaku manusia.
Diantara tokoh yang mengembangkan pendekatan kognitif behavior dalam proses konseling dan terapi perilaku yaitu Albert Ellis (1962), penemu terapi rasional emotif, serta Aaron Beck (1976) penemu terapi kognitif. Para konselor terapi dan modifikasi perilaku yang menggunakan pendekatan kognitif behavior menyadari bahwa terdapat dua tipe fenomena kognitif yang berbeda satu dengan yang lain. Pertama, orang berbeda dalam cara mereka memproses informasi tentang dunia, dan kedua orang berbeda dalam hal keyakinan (belief) mereka tentang dunia yang bertolak dari kesadaran mereka (Mc Leod, 2006).
Dari pendekatan kognitif behavior tersebut, Beck (1976) mengembangkan model distorsi kognitif, yang terbentuk akibat beberapa kecenderungan berikut, Pertama, generalisasi berlebihan dalam mengambil kesimpulan dengan dukungan bukti fakta yang amat terbatas. Kedua, bentuk pemikiran dikotomis hitam putih dengan kecenderungan melihat situasi dan mengambil kesimpulan terhadap situasi tersebut dari kutub yang berlawanan. Dalam cara kerja model ini, pengalaman berupa ancaman dapat berakibat hilangnya kemampuan untuk memproses informasi secara efektif, disebabkan persepsi dan interpretasi terhadap situasi tertentu yang bersifat sangat terbatas, rigid dan egosentris yang bertolak dari pengalaman individu.
Selanjutnya Datillio (1998) mengidentifikasi 8 (delapan) tipe distorsi kognitif, yaitu;
a. Arbitrary inference, yaitu kesimpulan kaku yang diambil dari kejadian tanpa bukti pendukung yang jelas.
b. Selective abstraction, yaitu gambaran yang dibentuk dari informasi tertentu yang digaris bawahi, tetapi mengabaikan informasi penting lainnya.
c. Overgeneralization, kejadian-kejadian kecil yang diambil sebagai pola umum yang disimpulkan.
d. Exaggeration and minimization, kejadian-kejadian tertentu dibesar-besarkan atau sebaliknya dikesampingkan secara tidak realistis.
e. Personalization, kejadian-kejadian diinterpretasikan secara kaku hanya merujuk pada diri sendiri.
f. Dichotomus thinking, pengalaman ditafsirkan sebagai sesuatu yang baik semuanya, atau sesuatu yang semuanya buruk, contohnya dalam relasi pasangan suami isteri, misalkan isteri merasakan pengalaman relasi mereka manis semua, sedangkan suami merasakan semuanya tidak menyenangkan.
g. Labeling, pemberian label tertentu terhadap perbuatan atau tindakan yang tidak diinginkan seperti label anak durhaka dari orang tua terhadap anak yang tidak mau berterus terang pada orang tuanya.
h. Mind reading, membaca pikiran, misalnya seseorang mendiamkan teman kerjanya karena menduga seolah temannya sedang tidak ingin diganggu (4).
Disamping itu, Ellis juga mengembangkan konsepirrational belief (keyakinan irrassional), salah satu model dalam pendekatan kognitif behavior. Menurut Ellis, masalah emosional muncul pada seseorang disebabkan oleh pemikiran “zig zag” (crooked thinking) yang timbul akibat sikap yang memandang hidup dari kerangka ‘hitam putih” atau “harus” dan “wajib”. Misalnya ketika seseorang mengalami situasi yang bersifat absolutis dan berlebihan, maka orang tersebut dapat saja bertindak berdasarkan keyakinan yang diinternalisasikannya dan bersifat irrasional. Contohnya seseorang yang berada dalam posisi penentu kebijakan pada sebuah lembaga yang mempunyai keyakinan, “yang paling penting dalam hidup saya, semua orang harus mengikuti keputusan yang saya ambil dan saya harus berhasil karena orang-orang tidak mungkin menentang keputusan saya.” Pernyataan demikian merupakan salah satu bentuk keyakinan irrasional yang berdampak terhadap subjek dan dalam relasinya dengan orang lain. Sebab, keyakinan irrasional tidak akan selalu diikuti oleh kenyataan dalam hubungan dengan orang-orang di lingkungannya. Keyakinan irrasional demikian juga akan mencederai subjek tersebut akibat reaksi dari lingkungan yang tidak sejalan dengan keyakinannya. Karena, dzaan, prasangka atau dugaan tanpa disertai fakta pendukung yang signifikan dapat diasosiasikan dengan keyakinan irrasional pada individu yang mempengaruhi sikap dan tindakannya yang menyebabkan munculnya masalah pada diri individu tersebut dan dalam relasinya dengan orang lain.
Tujuan utama penggunaan model distorsi kognitif dari (Beck, 1976) dan Datillio (1998), seperti juga konsep irrational belief (Ellis, 1962) dalam pendekatan kognitif behavior pada konseling dan terapi perilaku adalah untuk mengubah dan mengganti keyakinan keliru pada individu yang berkontribusi terhadap perilaku yang mencederai diri sendiri (self defeating) kepada keyakinan yang diasosiasikan dengan penerimaan diri (self acceptance) bagi pemecahan masalah yang konstruktif (5). Sasaran dari pendekatan kognitif behavior bagi modifikasi perilaku yaitu dengan mengubah distorsi kognitif dan juga keyakinan irrasional ke arah yang rasional sehingga efektif dalam memperbaiki perilaku.
Konsep dzaan ketika diturunkan ke dalam tataran pengalaman empirik manusia seperti yang dikemukakan di atas dapat diasosiasikan dengan konsep distorsi kognitif dari Beck dan Datillio, ataupunirrational belief dari Ellis. Dzaan, dugaan atau prasangka merupakan distorsi kognitif berupa skema atau persepsi yang terbentuk dalam pikiran indiviidu yang disebabkan oleh salah satu atau gabungan dari tipe-tipe distorsi kognitif dari Datillio berikut; arbitrary inference, selective abstraction. Over generalization, exaggeration and minimization, personalization, dichotomus thinking, labeling, atau mind reading. Sejalan dengan itu, pengalaman yang tidak menyenangkan atau ancaman yang bertahan dalam memory seseorang dapat mempengaruhi persepsi dan interpretasi individu tersebut terhadap situasi atau kejadian yang dialaminya. Hal itu disebabkan kesimpulan yang bersifat subjektif tanpa bukti fakta yang kuat sehingga membentuk prasangka. Prasangka, apalagi prasangka buruk (su’u dzaan) yang tidak berdasar kenyataan faktual akan mendorong timbulnya symptom emosional yang mencederai diri sendiri dengan munculnya perasaan marah, benci, dendam, tidak suka yang dapat menggerakkan tindakan yang tidak baik.
Dzaan juga dapat diasosiasikan dengan konsep keyakinan irrasional (irrational belief) dari Ellis yang menggunakan model A-B-C dalam pendekatan kognitif behavior. Skema kerja model A-B-C digambarkan sebagai berikut, yaitu A- activated events, situasi atau kejadian yang memicu munculnya B = (belief atau keyakinan terhadap kejadian tersebut) yang bisa berbentuk keyakinan irrasional, dan kemudian diikuti C- (consequence) berupa symptom emosional yang mendorong tindakan atau perbuatan tertentu. Jadi, A sebagai fakta pemicu, dipersepsi dan diinterpretasi oleh individu menghasilkan keyakinan subjektif (B) yang bisa bersifat irrasional, sehingga memicu emosi tertentu yang kemudian diikuti tindakan atau perbuatan yang berdampak pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Dari alur skema kognitif behavior demikian, maka dapat dipahami bahwa distorsi kognitif maupun keyakinan irrasional terhadap sesuatu kejadian akan diikuti oleh munculnya symptom emosional yang mendorong tindakan atau perbuatan yang dapat mencederai diri sendiri (defeated self) dan juga dalam hubungannya dengan orang lain.
Selanjutnya, konsep keyakinan irrasional juga diterapkan pada model Rational Emotive Behavior Therapy(REBT) yang digunakan oleh Albert Ellis (1957). Cara kerja REBT, yangjuga merupakan terapi kognitif, pada dasarnya sama dengan CBT (Cognitive Behavior Therapy). bertujuan untuk mengubah emosi dan perilaku yang muncul akibat keyakinan irrasional individu terhadap fakta atau kejadian yang dialaminya. Penjelasan cara kerja kedua model terapi tersebut yaitu bahwa A, kejadian atau fakta yang menjadi pemicu, tidak secara langsung mendorong timbulnya tindakan atau perilaku tertentu, tetapi A penyebab munculnya B (belief) dalam bentuk keyakinan irrasional yang diakibatkan persepsi dan interpretasi yang keliru terhadap fakta sehingga memicu emosi tertentu dan kemudian menjadi pendorong tindakan.
Dari penjelasan cara kerja kognitif behavior pada modifikasi perilaku, baik dengan menggunakan model distorsi kognitif dari Beck dan Datillo, maupun model CBT dan REBT dari Ellis dengan konsep keyakinan irrasional, dapat dijelaskan mengapa dzaan yang diassosiasikan dengan kedua konsep tersebut, distorsi kognitif dan keyakinan irrasional, dipandang sebagai sesuatu yang tercela dan dianjurkan untuk dijauhi dalam pemikiran Islam. Hal itu disebabkan pengaruh dzaan ,sangkaan atau prasangka, terhadap munculnya emosi tertentu yang mendorong tindakan mencederai diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Penelitian MacLeod (2005) yang menemukan bahwa pola berpikir negatif memiliki banyak dampak buruk pada psikologis manusia. Salah satunya adalah pola berpikir negatif dapat menyebabkan rasa tidak punya harapan hidup (hopelessness), sehingga rasa tidak punya harapan ini dapat berakibat pada perilaku bunuh diri. Penelitian lain yang dilakukan oleh Peden dan koleganya menemukan bahwasanya berpikir negatif dapat menjadi mediator antaranya rendahnya self-esteem dengan simptom-simptom depresi dan stressor kronis. Karena itu, dalam penerapannya lebih penting mengintervensi pikiran negatif dari pada mengintervensi stres (Peden, 2004).
II. Pembahasan.
Dzaan dalam pemikiran Islam merupakan sesuatu yang dianjurkan untuk ditinggalkan atau perbuatan yang dilarang serta dipandang sebagai perbuatan tercela dan dosa.Dalam hadits disebutkan;
إياكم والظنَّ، فإنَّ الظنَّ أكذب الحديث
“Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari-Muslim).
Karena dzaan dalam proses kognitif merupakan persepsi yang terbentuk dari skema yang disertai penafsiran subjek pelaku terhadap objek yang dipersepsikan, maka yang dianjurkan untuk dihindari dalam ajaran Islam adalah persepsi buruk (su’u dzaan). Sesuatu yang dilarang, diperintahkan, atau dianjurkan dalam perspektif ajaran Islam pada dasarnya selalu disertai makna, yang bila diterapkan akan memberikan kemaslahatan (sesuatu yang baik dan bermanfaat) bagi manusia dan kehidupan di alam semesta. Makna kemaslahatan yang terkandung pada setiap aturan ajaran Islam tidak selalu secara eksplisit dijelaskan dalam ayat al Qur’an. Sunnah Rasul yang salah satu fungsinya memberikan interpretasi operasional terhadap pesan wahyu dalam al Qur’an yang tergambar dari pengalaman empirik di masa Rasul, dan karena itu juga tidak selalu menyertakan penjelasan eksplisit makna yang dikandungnya. Karena itu, upaya menggali makna eksplisit pesan ayat al Qur’an dapat dilakukan dengan antara lain mencari titik temu pesan wahyu dengan konsep teori ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari eksperimen atau observasi terhadap fakta aktual pengalaman manusia dalam interaksi dengan lingkungan.
Telaah penggalian makna dzaan pada modifikasi perilaku manusia dengan pendekatan kognitif behavior dari teori psikologi modern merupakan salah satu upaya menemukan kemaslahatan yang terkandung dalam pesan al Qur’an yang diperkuat Hadis Rasul untuk menjauhi dzaan, sebagai sesuatu yang tercela dan merupakan dosa menurut pemikiran Islam.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hujuraat ayat 13 yang menjelaskan bahwa perbedaan gender, suku, ras, dan bangsa harus disikapi dengan cara saling mengenal dan memahami, bukan pula dengan cara memberikan anggapan negatif atas suatu suku, ras, atau bangsa (al-Zuhaily, 1418 H). Memahami orang lain adalah langkah penting dalam mengawali hubungan yang positif, saling berinteraksi dan saling mengenal akan menumbuhkan sikap kepercayaan dan empati, ini akan menghasilkan sikap saling memaafkan dan tentunya ini akan mengurangi sikap prasangka pada orang lain (Cehajic dkk,2008). Selain itu, pemahaman agama yang mendalam (intrinstic religious orientation) juga merupakan salah satu cara agar terhindar dari prasangka terhadap orang lain yang memiliki perbedaan, baik perbedaan sosial, ras, atau agama. Dengan pemahaman agama yang berorientasi intrinstik, mereka bisa lebih toleransi terhadap perbedaan (Herek, 1987).
III. Kesimpulan
Ada beberapa butir kesimpulan yag dapat ditarik dari pembahasan di atas;
1. Pemaknaan penerapan konsep dalam ayat al Qur’an yang berkaitan dengan tindakan atau perbuatan manusia, baik berupa anjuran, perintah, maupun larangan, dalam realitas empirik perilaku manusia dapat digali penjelasannya dari penerapan konsep teori ilmu pengetahuan modern. Penerapan konsep dzaan yang terdapat dalam beberapa ayat al Qur’an memperoleh titik temu pemaknaannya dari penerapan konsep distori kognitif (Beck, 1976, dan Dastillo, 1998), dan konsepirrational belief - keyakinan irrasional (Ellis, 1962) pada terapi modifikasi perilaku dengan pendekatan kognitif behavior.
2. Makna dari penerapan konsep dalam al Qur’an (ayat qauliyah-wahyu Allah) berkenan dengan fakta atau fenomena makhluk di alam semesta (ayat kauniyah- ciptaan Allah) dapat digali untuk sebagian dari temuan konsep teori ilmu pengetahuan modern hasil eksplorasi dan ekspalanasi yang dilakukan di berbagai disiplin ilmu.
🌸🌸🌸🌟🌟🌟🌸🌸🌸
💎TaNYa JaWaB💎
0⃣1⃣ Lolita
Assalamualaikum ustadzah.
Terimakasih Ustadzah atas materinya. Jika kita melakukan antisipasi terhadap kejadian buruk yang mungkin akan terjadi kedepannya, apakah itu juga termasuk berprasangka buruk kepada Allah?
Terimakasih atas jawabannya ustadzah.
🌸Jawab :
Wa'alaikumsalam,
Kalau antisipasi sebenarnya baik dalam rangka proses menjadi lebih baik. Tidak jatuh pada lubang yang sama. Beda dengan prasangka. Yang sudah judge, tanpa ada hujjah yang kuat.
0⃣2⃣ Sinda
Jazakillah materinya ustadzah,
Bagaimana membedakan prasangka dan insting atau firasat?
🌸Jawab:
Kita berlindung kepada Allah Dari keburukannya, beda tipis.
0⃣3⃣ Kiki
Jazakillah materinya ustadzah,
Bagaimana ya ustadzah untuk mengontrol hati ini agar selalu berhusnudzhon terhadap ketetapan Allah.
🌸Jawab:
Yakinkan diri bahwa Allah Maha mengetahui yang terbaik untuk hambaNya, jadi yNg Allah ridhoi itulah yang baik untuk hambaNya.
0⃣4⃣ Devi
Apakah masalah keyakinan ini termasuk keyakinan kita terhadap jodoh kita? Maksudnya, jika kita sudah mau menikah misalkan dan kita masih merasa belum yakin dengan calon pasangan kita, apakah itu juga termasuk prasangka buruk atau suudzaan kepada Allah?
🌸Jawab:
Pekuat dengan istikhoroh, doa terbaik, sholat hajat.
0⃣5⃣ Annisa
Bagaimana menyikapi orang tua yang susah di mengerti kalau yang dia maksud itu suudzon? Karena setiap di kasih tahu, beliau bilang tidak suudzon tapi selalu menuduh orang lain yang belum terbukti. Terkadang suka greget sendiri, di nasihatin masih belum paham alias ngeyel.
🌸Jawab:
Ini seni menghadapi orang yang lebih tua. Hormati, hargai, buktikan kalau prasangkanya salah dan tidak baik.
0⃣6⃣ iNdika
Bagaimana caranya menata hati agar tetap berprasangka baik kepada Allah apabila kita diperlakukan beda atau selalu dianggap salah oleh orang tua?
🌸Jawab:
Keep sabar, keep positive pasti ada hikmahnya kenapa Allah jumpakan kita dengan hal tersebut. Barangkali untuk menguatkan kita, jadi lebih baik.
Wallahu'alam.